Minggu, 07 September 2008

WACANA KEKUASAAN PERWAKILAN KEBENARAN

Haris del Hakim

Pendahuluan
Tulisan ini hanya sketsa ringan untuk mendekonstruksi wacana kita tentang ambisi kekuasaan yang mengatasnama-kan kebenaran (baca: dogma keagamaan) dan bagaimana mewujudkan dan mempertahankan cita-citanya tersebut. Seperti yang kita saksikan, pada saat ini muncul gerakan-gerakan yang mengatasnamakan kebenaran dan dengan itu merasa berhak melakukan berbagai macam tindakan untuk mewujudkan cita-citanya. Dan ternyata fenomena tersebut bukan hal yang baru di panggung sejarah panjang manusia ini.

Hancurnya Mitos Kekuasaan
Maha sempurna Allah telah menahbiskan Muhammad sebagai nabi dan utusan terakhir
Kalimat tersebut sangat pendek, tetapi mengandung prinsip-prinsip yang luar biasa: Muhammad merupakan uswah hasanah, namun seiring perjalanan waktu penokohan tentang Muhammad pun mengalami pergeseran sehingga perlu verifikasi informasi agar tidak ada klaim yang paling berhak mengatasnamakan kebenaran atau mewakili Islam, hancurnya mistifikasi kekuasaan. Pertama, Nabi Muhammad sebagai uswah hasanah (profil par-excellent) bagi orang-orang muslim dan beriman. Tingkah laku Muhammad dalam pentas sejarah merupakan gambaran penjelmaan firman Tuhan di muka bumi yang mewakili kebenaran. Dengan kata lain, Muhammad dan kebenaran merupakan komponen tunggal.

Kedua, pada zaman sekarang, sekitar 1374 tahun setelah kematian Muhammad, deskripsi mengenai tata laku Muhammad tentu mengalami perubahan-perubahan. Selama kurun waktu itu banyak kepentingan kekuasaan yang mengambil keuntungan lewat karakter Muhammad. Mereka akan mengadakan perubahan pada tataran detail. Sebagai contoh peritiwa Isra Mi’raj yang sebagian golongan percaya bahwa Muhammad melihat Abu Thalib sedang disiksa di neraka dengan kaki dibakar api sedangkan otaknya mendidih. Gambaran itu di kemudian hari ternyata muncul pada zaman Muawiyah yang bermusuhan dengan Ali bin Abi Thalib. Muawiyah menciptakan cerita tentang ayah Ali yang disiksa di neraka untuk melakukan pembunuhan karakter.

Sejarah Khilafah Islam menunjukkan pola perilaku politik yang tidak seideal dibayangkan oleh beberapa kelompok orang. Pasca kematian Muhammad umat Islam hampir pecah. Beberapa suku yang ditaklukkan pada zaman Muhammad menolak membayar zakat dan Khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shidiq, melakukan tindakan militeristik untuk menyelesaikannya, yaitu dengan perang riddah. Perilaku politik itu semakin jauh menyimpang pada Khilafah—Maududi menyebut sebagai kerajaan atau dinasti—Umayyah. Dinasti tersebut dimulai dengan intrik politik Muawiyah terhadap khalifah keempat. Ketika sedang terjadi konflik politik yang memanas hingga menimbulkan perang saudara, perang Shiffin, tentara Muawiyah hampir kalah oleh pasukan Ali bin Abi Thalib. Saat itu muncul ide kotor dari pihak Muawiyah. Mereka mengeluarkan Alquran dan menancapkannya di ujung tombak sebagai tanda bahwa mereka juga muslim yang berhak atas perundingan. Ali tidak percaya dengan intrik tersebut tetapi banyak sahabatnya yang menerima, sehingga diadakanlah perundingan yang berujung pada kekalahan Ali secara politis.

Akibatnya kemudian, mereka yang menggunakan Alquran sebagai alat perdamaian ternyata tidak seideal yang mereka katakan. Selama berkuasa Muawiyah mengubah pola kebijakan-kebijakan bervisi khilafah rasyidah menjadi dinasti yang bertolak belakang dengan Islam itu sendiri. Ciri utama “kebebasan” memilih Amirul Mukminin yang mewarnai sistem khilafah berubah menjadi pola Monarkhi. Istilah Amirul Mukminin sendiri sebenarnya bernuansa ilahiah dan profetis dan secara linguistik berlandaskan pada ayat “Taatilah Allah dan taatilah Rasulullah Saw serta Ulil Amri (orang-orang yang memegang persoalan) kalian”. Artinya, terdapat strata birokratik metafisik untuk ditaati. Ulul Amri yang diartikan secara gegabah dengan pemerintah, satu golongan atau kelas yang berperan untuk memproduksi kebijakan atau perintah-perintah semata, menjadi kabur maknanya. Ulul Amri tidak sekadar pemerintahan, tetapi lebih jauh dari itu adalah orang-orang yang bertanggungjawab, menjamin, menyediakan, melayani, dan mengurus segala persoalan orang-orang mukmin. Kata athi’û dalam ayat tersebut hanya melekat pada Allah dan Rasul-Nya, sedangkan pada kata ulil amri hanya sertaan saja. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya bersifat mutlak, sementara pada ulil amri harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Karena itu, suatu pemerintahan yang meskipun menggunakan label dan formalitas Islam tetapi tidak mempunyai karakter ulil amri menjadi tidak wajib ditaati, bahkan bisa disebut sebagai pemerintahan yang zalim. Dan mendukung pemerintahan seperti itu merupakan dukungan terhadap kezaliman.

Sementara, monarkhi merupakan sistem kekuasaan yang mewariskan kekuasaan hanya pada garis keturunan. Warisan masyarakat yang distratifikasi secara kaku dengan memandang gen, seperti kasta, darah biru, darah putih, dll. yang menjadi identitas pada masa jahiliyah ternyata dihidupkan kembali oleh Dinasti Umayyah. Ajaran pokok Islam berupa tauhid telah berupaya mendekontruksi sistem kekuasaan yang berdasarkan berhala, simbol kekuasaan yang kaku dan tidak menerima kritik, menjadi sistem kekuasaan yang egaliter dan rendah hati bagi pemegang kekuasaan; contoh ideal penguasa Islam ialah Muhammad dan Khalifah Rasyidah karena terlibat langsung dalam persoalan umat daripada kepentingan pejabatnya.

Pada masa dinasti itulah muncul interpretasi baru tentang tauhid yang berperan pula terhadap terjadinya perubahan deskripsi tentang Muhammad. Nabi dan Rasulullah akhir zaman itu pun ternodai oleh kekuasaan. Zaman Dinasti Umayyah inilah muncul pemerintahan yang feodalistik di mana penguasa dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi dan tidak terbantahkan kebijakan-kebijakan-nya. Beberapa orang tokoh yang mencoba kritis tanpa segan-segan disingkirkan oleh dinasti tersebut. Uniknya, korban mereka adalah orang-orang yang dinobatkan nabi sebagai tolok ukur kebenaran setelah kematiannya. Secara kebetulan mereka kalah secara politik, menjadi golongan marjinal yang berafilisiasi dengan Ali bin Abi Thalib. Di antaranya, Abu Dzar al-Ghifari, Khabab (pekerja keras yang tangannya pernah dicium oleh nabi Muhammad), Abdullah bin Mas’ud, Bilal, Salman al-Farisi, dll. Bahkan, dalam sebuah sumber disebutkan bahwa khutbah Jum’at merupakan sarana dialogis antara umat dan ulil amri atau ajang perdebatan atas kebijakan penguasa. Tetapi, pada zaman dinasti Umayyah berubah menjadi sarana indoktrinasi atas legalitas kekuasaan Muawiyah dan pembunuhan karakter Ali bin Abi Thalib. Sejak itu pula khatib menjadi corong penguasa dikawal oleh aparat keamanan dan siapa saja yang menentang isi khutbahnya akan diberi hukuman.

Perlu diperhatikan, Islam saat itu merupakan komoditas politik yang marketable, menarik perhatian, dan simbol single majority. Karena, prestasi-prestasi yang berhasil diraih oleh bangsa Arab yang gilang gemilang sejak kepemimpinan Nabi Muhammad hingga ekspansi wilayah yang luar biasa di masa Umar bin Khattab. Harga diri bangsa Arab sebagai bangsa tiba-tiba naik hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari 50 tahun.

Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana menverifikasi data-data mengenai Muhammad sehingga tak ada klaim yang mengangkangi kebenaran dan mewakili Islam. Persoalan ini tidak bisa dianggap sepele mengingat Muhammad adalah ukuran kebenaran, sebagaimana telah dikemukakan. Sehingga ancaman yang tepat bagi orang yang mengatasnamakan sesuatu sebagai perilaku (sunnah) Muhammad padahal bukan darinya neraka. Sebagaimana yang disebutkan: “Barangsiapa secara sengaja mengatasnamakan suatu perbuatan sebagai perbuatanku padahal itu bukan dariku, maka bersiap sedialah untuk mengambil salah satu tempat di neraka.”

Ketiga, pasca kematian Muhammad tidak ada lagi wakil Tuhan, kebenaran, atau pihak yang menjadikan seseorang lebih dari yang lain. Hanya saja nabi pernah mensinyalir bahwa sekelompok orang yang menjadi pewaris nabi adalah ulama (al-ulamâ wartsat al-anbiyâ’). Persoalannya, kategori apa yang dimiliki oleh ulama sehingga berhak menjadi pewaris para nabi (waratsat al-anbiyâ) dan bukan di belakang atau penerima kentut para nabi (wara’ah al-anbiyâ’). Alquran menjelaskan mereka adalah sekelompok orang yang takut kepada Allah (QS. Fathir: 28). Sedangkan para salaf as-shalih memberikan pengertian tambahan bahwa mereka tidak mendatangi penguasa dan lebih memilih hidup bersama orang-orang kecil. Mereka menukil hadis yang berbunyi, ”Takutlah kalian pada orang yang tidak mempunyai perwakilan siapa pun selain Allah.” Dalam peribahasa dinyatakan hanya burung bulbul yang berkumpul dengan bulbul. Hanya ulama sejati yang memilih berkawan karib dengan orang-orang lemah dan tidak berdaya.

Pernyataan tersebut masih bisa dibantah apabila tolok ukur kita bersifat material. Sedangkan dari sudut keimanan, maka kategori manusia paling tinggi derajatnya adalah yang bertakwa dan tidak ada seorang pun yang tahu kedudukan seseorang di sisi Allah, sebab hanya Allah sendiri yang tahu kedudukan hamba-Nya. Sehingga, tidak semua orang yang mengaku atau diakui sebagai ulama bisa disebut ulama, melainkan harus memiliki karakter yang benar-benar menunjukkan dia adalah seorang ulama. Menurut logika sederhana, seorang wakil harus diangkat oleh yang diwakili—dus, ulama harus diangkat oleh Allah dan tidak bisa mengangkat diri sendiri atau bersekutu untuk disebut ulama. Fenomena walisongo di tanah Jawa perlu dikaji ulang. Apakah kemunculan mereka murni sebagai wali Allah yang memegang walayah dan berhak menjadi wakil Tuhan atau pewaris para nabi? Ataukah walisongo tidak lebih dari persekutuan orang-orang tertentu yang menginginkan kekuasaan dan mengatasnama-kan umat Islam? Sebab, banyak hal yang perlu dikoreksi mengenai keberadaan mereka. Para wali berketurunan Arab, kecuali Sunan Kalijaga, dan masih termasuk keluarga besar Sunan Ampel. Mereka bergabung, menghancurkan kerajaan Pajang pimpinan Sultan Hadiwijaya—yang dikenal sebagai murid Sunan Kalijaga—dan Majapahit yang bermusuhan dengan Giri kemudian melahirkan kerajaan Demak Bintoro dikomandoi oleh Raden Patah. Apakah Demak benar-benar representasi dari Islam sebagaimana yang dicita-citakan para walisongo? Pada zaman Sultan Trenggono terjadi pengkhianatan dan membiarkan kolonialisasi Portugis leluasa di Malaka, apabila yang diceritakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Arus Balik-nya itu benar. Berbeda dengan Pati Unus yang gigih menentang kedatangan para petualang itu. Siapakah yang berhak mengklaim sebagai perwakilan dari kebenaran? Samakah kelompok walisongo itu dengan Majelis Ulama’ Indonesia yang tidak memiliki basis umat secara jelas—berbeda dengan NU dan Muhammadiyah—dan hanya berkecimpung dalam barisan kekuasaan?

Muhammad: keagungan yang dikerdilkan
Sosok Muhammad masih menarik untuk dikaji kembali dan semakin menarik karena fenomena karikatur di Denmark beberapa bulan lalu. Mayoritas orang Denmark menganggap kaum muslim di sana hanya sedikit dan tidak berdaya. Akan tetapi, anggapan itu ternyata salah besar. Mereka terhenyak ketika karikatur yang diniati sekadar tingkah iseng seorang kreator tiba-tiba menjadi persoalan internasional yang membahayakan kedudukan Denmark. Muhammad ternyata bukan hanya milik orang Denmark, tetapi milik umat Islam seluruh dunia. Sehingga, menodai kehormatan Muhammad ialah menodai keyakinan umat Islam.

Kreator atau pembuat karikatur “Muhammad Biang Teroris” tidak bisa disalahkan secara mutlak. Sebab, hal itu menyangkut bangunan pemikiran yang mereka terima sejak puluhan dan bahkan ratusan tahun. Citra tentang Muhammad di lingkungan mereka berbeda jauh dengan citra Muhammad di kalangan kaum muslim. Salah satu pencitraan Muhammad tersebut ada dalam karya Dante berjudul The Divine Comedy. Edward Said telah membuat sinopsis yang apik tentang bagaimana Dante menggambar-kan Muhammad: “Maometto” – Muhammad – muncul dalam canto (bagian dari suatu syair) 28 inferno. Muhammad ditempatkan pada lapisan kesembilan dari sepuluh lapisan Bolgias of Malebolge, gugusan parit kelam yang mengelilingi kubu setan di neraka. Demikianlah, sebelum sampai kepada Muhammad, terlebih dahulu Dante melewati lapisan yang berisi orang-orang yang dosanya lebih ringan: si cabul, si tamak, si rakus, si bid’ah, si angkara murka, si pembunuh diri, dan si durhaka (penghina Tuhan). Lapisan setelah Muhammad hanya diisi oleh para pemalsu dan pengkhianat (yang mencakup Judas, Brutus, dan Casius), sebelum orang tiba pada dasar neraka di mana setan sendiri berada. Jadi Muhammad termasuk ke dalam hirarki kejahatan yang ketat, dalam kategori yang dinamakan Dante sebagai semonator di scandalo e di scisma (penyebar skandal dan perpecahan). Hukuman terhadap Muhammad, yang merupakan nasibnya yang abadi, adalah hukuman yang sangat menjijikkan. Tubuhnya terus-menerus dibelah dua dari dagu hingga ke anus bagaikan, kata Dante, tong kayu yang papan-papannya dirobek. Pada bagian ini Dante menguraikan detil-detil eskatologis yang tercakup dalam hukuman tersebut: isi perut dan najis Muhammad digambarkan sejelas-jelasnya. Muhammad menerangkan kepada Dante mengenai hukuman yang menimpanya, sambil menunjuk kepada Ali, yang mendahuluinya dalam barisan para pendosa yang dibelah tubuhnya oleh malaikat penyiksa. Ia meminta pada Dante untuk memperingatkan seorang bernama Fra Dolcino, pendeta murtad yang sektenya menganjurkan komunalitas wanita dan harta benda, yang dituduh memiliki seorang istri, akan siksaan yang menimpanya. Docino sendiri merupakan pemimpin sekte pada masa Dante yang sedang melonjak debut teologinya.” (Said: 88-89).

Padahal, karya Dante tersebut terinspirasi oleh Risalah al-Ghufran karya al-Ma’ari yang menggambarkan bagaimana penulis, bernama Ghufran, masuk surga dan bertemu dengan para penyair di sana. Dia meminta penjelasan tentang makna kata-kata dalam puisi kepada penyairnya langsung. Perbedaannya, karya Dante dianggap sebagai karya abadi dan “menjadi bacaan wajib” bagi generasi Barat, sedangkan karya al-Ma’ari tidak dikenal oleh sembarang orang. Bahkan, bantahan atas karya Dante yang dilakukan oleh Muhammad Iqbal tidak mendapatkan perhatian sama sekali dan asing bagi kaum muslim sendiri. Penyair sekaligus pendiri negara Pakistan itu memberikan gambaran tentang Muhammad dalam Javid Namah. Di buku tersebut dia menjelaskan bahwa dalam lingkup Jupiter tokoh bertemu dengan Hallaj dan menanyakan misteri-misteri Nabi Muhammad yang memberikan jawaban salam dalam bentuk syair yang panjang:

sebab ia itu manusia, sekaligus zat
zatnya bukan Arab, bukan Persia
dia manusia, namun sebelum adam
“Hamba-Nya” penulis nasib
di dalam dirinya ada perbaikan keporak-porandaan
“Hamba-Nya” pemberi ruh, sekaligus pengambil ruh;
“Hamba-Nya” kaca sekaligus batu keras
“Hamba” itu sesuatu, dan “Hamba-Nya”
sesuatu yang lain lagi –
kita semua menanti; dialah yang dinanti-nantikan
“Hamba-Nya”tak berawal, tak berakhir,
“Hamba-Nya” – dimana baginya pagi dan petang?
Tak seorang pun tahu rahasia-rahasia “Hamba-Nya”—
“Hamba-Nya” tak lain adalah rahasia “kecuali Allah”

Bagi dunia Barat, Muhammad tidak lebih seorang psikopat, seperti yang dikemukakan oleh para pemuka kafir Jahiliyah yang menyebut sebagai penyair atau orang gila. Namun, Muhammad Iqbal memberikan bantahan yang brilian: “Kalau seorang psikopat mampu memberikan arah segar kepada jalannya sejarah manusia, ini merupakan satu hal yang sangat menarik minat psikologi untuk menyelidiki pengalamannya yang sebenarnya yang telah mengubah budak-budak menjadi pemimpin-pemimpin manusia dan yang telah mengilhami perilaku dan membentuk perjalanan hidup seluruh ras manusia. Menilai dari berbagai aktivitas yang memancar dari gerakan yang dilancarkan oleh nabi, ketegangan spiritual danperilaku yang muncul darinya tak dapat dipandang sebagai suatu tanggapan terhadap semata-mata fantasi di dalam otaknya. Tak mungkin untuk memahaminya kecuali sebagai tanggapan terhadap situasi obyektif yang melahirkan antusiasme-antusiasme baru, tatanan-tatanan baru, titik-titik tolak baru. Jika kita lihat masalahnya dari sudut pandang antropologi, tampaklah bahwa seorang psikopat merupakan faktor penting dalam ekonomi organisasi manusia.”

Di sini jelas sekali perbedaan cara pandang orang-orang muslim, yang kebetulan tinggal di kawasan Timur, dan orang-orang Barat tentang Muhammad. Bagi orang-orang Timur, Muhammad merupakan harga diri. Di samping sebagai nabi bagi umat Islam dia juga penggerak lahirnya kebesaran Islam yang menguasai dunia selama 700 tahun. Semenjak wafatnya Muhammad pada tahun 632, hegemoni militer yang disusul dengan hegemoni kebudayaan dan keagamaan Islam berkembang sangat pesat. Pada mulanya Persia yang megah itu ditaklukkan, Syria dan Mesir, lalu Turki kemudian Afrika Utara pun jatuh ke tangan orang muslim; pada abad kedelapan dan sembilan Spanyol, Sisylia, dan negara bagian Prancis pun ditaklukkan. Abad ketiga belas dan keempat belas, Islam hampir berkuasa sampai ke India, Indonesia, dan China.

Akan tetapi, ekspansi yang menimbulkan rasa takut dan gentar itu digambarkan dengan sedikit perhatian oleh para penulis barat. Coba perhatikan teks-teks berikut: “sezaman dengan periode sejarah Eropa paling gelap dan lamban” dan koreksi yang bersifat narsis “karena semua ilmu muncul di Barat, ilmu-ilmu Timur tampaknya telah mengendor dan merosot.” Satuhal yang perlu diperhatikan, para penulis Barat selalu memberikan gambaran yang menggeneralisir mengenai Timur, memberikan keterangan yang detail mengenai Barat; salah satu strategi hegemoni. Itulah mengapa kebudayaan Barat selalu terlihat unggul, sebab selalu diberikan penjelasan sangat terperinci yang berbeda dengan Timur yang di-gebyah uyah saja (dalam bahasa Jawa, pokoke sebagai kata yang tak terbantah kebenarannya).

Penutup
Uraian di atas menunjukkan pada kita bagaimana kekuasaan merekonstruksi argumen-argumen agar dapat melanggengkan dirinya. Pertanyaannya kemudian, akankah kita terus mengulang rekonstruksi kebenaran hanya demi menutupi ambisi kekuasaan?

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi