Kamis, 30 Oktober 2008

Kelirunya Kaum Akademisi

Hudan Hidayat
http://karyahudan.wordpress.com/

Di penghujung tahun lalu, seakan gemas menyimak arah politik dan polemik sastra yang mengeras, seorang penyair dalam esainya meminta agar kembali kepada teks. Kembali kepada teks, artinya bukanlah menunjukkan ke depan publik “inilah saya”, seperti anggapan orang dengan polemik brutal Saut-Wowok dan Goenawan-TUK. Tetapi “inilah karya saya,” seperti yang terlihat dalam tanggapan balik terhadap Taufiq Ismail cs dalam “polemik sastra pornografi”.

Harapan penyair ini, sepintas mengandung kebenaran yang tegas. Tapi kalau kita simak lebih jauh, “inilah saya,” dan “inilah karya saya”, adalah sesuatu yang berimpit dan niscaya. Karena, “saya” berada di dalam “karya saya”. Dan saya yang sedang melakukan politik sastra atau politik tekstual sastra, bisa terjadi, atau tak bisa dilepaskan, dari “inilah karya saya”. Atau “inilah karya saya” bisa terjadi, atau tak bisa dipisahkan, dari “inilah saya”.

Kenyataan seperti itu, dimaknai Fadlillah Malin Sutan Kayo sebagai “pengarang atau kritikus yang tidak rela melepaskan kekuasaan atas makna karya sastra kepada pembaca”. Padahal masyarakat sudah bergerak ke arah multikultur. Karena itu, menurutnya, telah terjadi perebutan, bahkan tabrakan, kekuasaan atas makna karya sastra.

Darimanakah model pertama, dari cara menampilkan diri “inilah saya?” Tuhan bisa langsung menciptakan manusia tanpa harus mengatakannya. Tetapi toh Dia mengatakannya. “Akan Kuciptakan manusia ke dunia”, kata-Nya. Kata-kata Tuhan ini, adalah model pertama “inilah saya” itu, yang mewujud ke dalam bentuk dialog. Dan respon iblis itu model “konflik pertama”. Maka dialog dan konflik, menjadi paket niscaya dari pihak-pihak yang berkomunikasi.

Karena itu, mengharapkan dunia sepi dari konflik, nyaris mustahil. Sama mustahilnya meminta dunia tanpa dialog. Mematikan dialog terasa tak menghormati ajaran Tuhan, atau menantang Tuhan. Dan kemanakah kita kalau berpaling dari Tuhan? Tak akan kemana, karena kemana pun kau menghadap di sana wajah-Nya juga. “Inilah saya”, oleh Tuhan mewujud ke dalam inilah “karya Saya”, yakni dunia dan isinya. Kau boleh menggunakannya sesuai ajaran Saya. Tetapi ingat, karena “Saya” ada di sana, maka kau harus mengingat Saya dengan menyebut nama Saya. Banyak memuji dan memuliakan diri Saya. Segera terlihat Dia yang ingin “diakui”. Dan Dia yang murka bila “eksistensi-Nya” tak diakui.

Maka Tuhan tak cukup hadir beserta karya-Nya, tapi hadir juga beserta diri-Nya.

Dengan landasan seperti itu, maka saya berpendapat bahwa seni bukan hanya terdedah dalam “kata”. Tapi juga dalam manusia. Sehingga dia menjadi “seni fiksi” dan “seni fakta”. Sehingga sebuah novel bukan hanya mengeram dalam aksara tapi juga mengeram dalam (diri dan ucapan) manusia. Maka novel menjadi manusia yang berjalan. Persambungan semacam ini mengisyaratkan sebuah dialektik: keindahan yang berjalan bolak-balik, antara novel dan pengarangnya.

Dialog dan konflik dalam sastra Indonesia (kini), bisa dipandang sebagai jejak dari seni fiksi dan seni fakta yang sedang memainkan perjalanan bolak-baliknya. Pada titik tertentu, seni fakta itu menjadi seni fiksi. Ia menjadi fiksi yang enak dinikmati (umpama gerak mata Saut dan Wowok yang seolah mengedip nakal, atau senyum Goenawan yang nampak misteri dan intelektual) . Selalu kita bisa mencari atau menemukan sisi-sisi humor dari dunia yang berkonflik. Saya telah menjelaskan filsafat “saya” dan “mengada” dari sumbernya. Tempat saya mengembalikan segala dialog dan konflik.

Karena itu, saya bisa mengerti bila Sutardji Calzoum Bachri tak cukup menuliskan O Amuk Kapak, tapi juga menulis esai. Bisa dikatakan seluruh buku Isyarat adalah manifestasi dari “inilah saya” dalam perspektif “inilah karya saya”. Itu adalah upaya yang wajar. Karena politik tekstual semacam itu, bukan saja dibutuhkan untuk mengawal “saya-nya” Sutardji yang telah terrepsentasi dalam “karya Sutardji”. Tapi ia adalah perwujudan dari seni fakta yang kini menemukan dirinya ke dalam seni esai. Bahkan seni dalam tubuh Sutardji sendiri (seni fakta – tindakannya, ucapannya).

Angkatan 70-an, yang menurutnya telah menyelesaikan Barat dan Timur dalam sastra, tak jemu-jemu disuarakan Sutardji hampir pada seluruh esainya. Tardji seolah hendak menegaskan keberadaan dirinya di dalam tahun-tahun yang memang penuh hingar-bingar pencarian kreatif. Tapi Tadji lupa, di seberang sana ada Ayip Rosidi dan Ramadhan KH, yang juga menggenggam tradisi. Lagi pula bukan hanya angkatan 70-an yang melakukan eksplorasi habis-habisan dalam kesusastraan Indonesia modern, seperti yang hendak diyakinkan Sutardji.

Begitu juga saya memaknai, bila seorang Budi Darma menulis Para Pencipta Tradisi. “Marilah kita bayangkan ada seorang pengarang terkemuka bernama Nirdawat”, katanya.
Siapakah Nirdawat? Tidak lain adalah Budi Darma sendiri. Mengapa Budi Darma mengambil ekspose semacam itu? Apakah ia enggan, karena akan menunjukkan Rendra yang dikatakannya sebagai “Pak turut para teater terkemuka di New York?” - “Bangsat! Sesuai dengan dugaan saya, orang yang dianggap dramawan itu menjiplak dari sini”, kata Nirdawat.

Atau saat ia mengatakan ketidakberdayaan Goenawan Mohamad atas tulisan “Portrait of an Artist as a Doddering Man”, yang diejeknya sebagai “Potret Seorang Seniman Sebagai Orang Buyetan”. Dimana “Pintalan kata-kata dan pikiran orang yang dianggap umum sebagai esais di Indonesia itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah bias buku ini”. Tetapi tebaran-tebaran esai Goenawan kemudian toh menunjukkan pencapaian-epncapai annya sendiri.

Dan apakah kata Budi Darma terhadap dirinya sendiri? “Sebagai seorang pengarang terkemuka, tentu saja Nirdawat sendiri sudah membentuk sebuah tradisi. Dia tahu benar betapa banyak orang yang telah meniru-nirukan tulisannya”. Jadi Budi Darma, melalui metapor Nirdawat ini, telah menunjukkan “inilah saya”, yang sumbernya tidak lain dan tidak bukan, “inilah karya saya”.

Saya menunjukkan penggalan sejarah itu, untuk membuka kedok mereka (tua dan muda) yang seolah bersuara arif, atau meledek, “Menulis sajalah. Biarkan orang lain yang akan menilai karyamu.” Atau yang sering dikatakan mereka dengan (seolah) elegan: setelah karya lahir, maka sang pengarang pun meninggal. Karena, mereka yang berkata seperti itu, ternyata menyelundupkan juga “inilah diri saya” ke dalam esai-esainya.

Karena itu, saya ingin mengajak berhentilah menjadi “narsiskus malu-malu”.

Membicarakan “inilah saya” bukanlah narsis. Tapi menjadi kelanjutan dari “inilah karya saya” yang sering menjadi deadlock di dalam dunia kritik sastra, karena belum hidupnya tradisi dialog, atau karena macam-macam ambisi di dalamnya “yang tak ada hubungan sama sekali dengan klaim pemikiran: upaya untuk mencari atau menemukan kebenaran. Dan dengan perspektif inilah saya membaca peluncuran buku puisi Nirwan Dewanto baru-baru ini, yang lengkap dengan sebuah pernyataan bolak-balik antara “inilah karya saya” dengan “inilah saya”, seperti terbaca di dalam “buku kecil” sebagai properti dalam acara peluncuran buku puisi itu.

Saya mengatakan itu, tidak dalam perspektif yang dipakai Kayo (pengarang dan kritikus yang tidak rela melepas kekuasaan atas makna sastra), tapi sebagai “mengawal makna sastra”, yang menjadi implikasi logis dari seseorang yang sedang menunjukkan dirinya secara eksistensial: mereka yang berada dalam dunia, dan mereka yang menafsirkan dunia yang menghidupi mereka.

Tapi makna sastra, meski sang pengarang atau kritikus “mengawalnya”, telah diambil alih oleh pembaca, sebagaimana dikatakan Kayo. Dan pembaca sastra Indonesia, bisalah dikatakan sebagai cermin aliran-aliran politik di Indonesia yang terkenal itu.

Karena itu bisa dijelaskan, setelah periode ledakan “Saman” dan “Supernova”, dunia sastra kini sedang diserang wabah “Laskar Pelangi” dan “Ayat-Ayat Cinta”. Sebuah wabah yang, mungkin, telah mencengkam benak seorang Sutardji dengan kata-kata: sehebat-hebat karya sastra, dia tak akan punya arti kalau tidak hebat pula dalam pencapaian pada pembaca. Tapi, siapa pembaca yang dimaksud Sutardji itu? Orang banyak yang selama ini terasing dari sastra, atau orang banyak yang mengerti sastra tapi bersepakat terhadap suatu pencapaian karya sastra?

Kayo menghendaki masyarakat sastra multikultural yang santun, saling menghargai pendapat orang lain. Hemat saya, tulisan dengan semangat membela Taufiq Ismail itu, adalah tulisan yang bersiasat dalam logikanya: di satu pihak ia meneriakkan kata santun, menerima dan membenarkan kenyataan aliran kesusastraan, bahwa kebenaran juga adalah milik orang lain, bukan milik kita sendiri. Tapi bersamaan itu, cara ia mengungkap data jelas mengarah atau menunjuk kepada sebuah aliran – aliran “sastra pornografi”.
Dengan “melupakan” Taufiq Ismail yang melansir istilah Gerakan Syahwat Merdeka, Fiksi alat Kelamin, maka “santun” yang dimaksud Kayo adalah kekasaran metodologi dalam penyajian data. Santun di sana seolah sebuah kehendak untuk mengesankan pembaca tulisannya, bahwa sang sastrawan, atau aliran yang sedang jadi objek tulisannya, ditempatkan dalam keadaan “bersalah atau tertuduh”. Ketidakimbangan data dari kedua belah pihak yang berpolemik (Taufiq menyebutnya “polemik-polemikan”, tapi masyarakat menyambutnya antusias, bahkan di dunia maya ada yang menyebutnya sebagai hidupnya kembali pertarungan “sekularisme Nurcholis Madjid” tahun 70-an lapangan sastra) telah menggugurkan “santun” yang dikehendaki Kayo, ke dalam suatu ketimpangan arus data yang tidak “santun”.

Bagi saya tak mengapa. Tapi, Sutan Kayo sebagai warga dari sebuah komunitas akademis (dosen sastra Andalas), yang tak juga beranjak dari penanggap polemik sastra pornografi sebelumnya (berpendapat ada “sastra seks”), tanpa pembuktian akademis, telah melakukan pembalikan spirit dunia ilmu. Sikap ini, bagi saya telah ikut mematikan ilmu itu sendiri.

Tetapi perspektif “inilah saya” dan “inilah karya saya” ada batasnya. Meskipun ia bagian dari cara mengada yang mendapatkan pembenaran sebagai sesuatu niscaya, seperti di dunia politik orang bertarung untuk memperebutkan kekuasaan politik, atau di dunia lain melakukan rekayasa untuk menguakkan konvensi alam, sehingga menjadi sebuah teori yang bisa menjinakkan alam, maka saat batas itu dilanggar, alam yang sudah berhasil dijinakkan itu justru menjadi bumerang. Kalau sudah begitu, bukan kemudahan yang didapat manusia saat batas dilanggar tapi bencana alam. Kerusakan seperti yang terus menerus kita saksikan selama ini, adalah contoh nyata dari pelanggaran batas itu.

Agaknya batas-batas itu, baru-baru ini telah dilanggar di bidang sastra. Adalah penghargaan Mastera kepada Ayu Utami, menunjukkan pelanggaran batas itu. Sudah menjadi rahasia umum di publik sastra, bahwa kedua orang juri di dalam penghargaan Mastera (Sapardi Djoko Damano dan Putu Wijaya), dekat atau dalam lingkaran ide dan kekuasaan dengan Goenawan Mohamad. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Ayu Utami dengan Saman-nya adalah sebuah karya “kolaborasi” TUK yang dikomandani Goenawan Mohamad. Dan sudah menjadi rahasia umum pula, bahwa Taufiq Ismail, adalah orang yang sangat berperan dan berpengaruh di lingkaran Mastera sebagai wakil dari Indonesia.

Pelanggaran ini, bagi saya memperlihatkan sebuah fenomena yang menarik. Seolah saya melihat di sini pertarungan atau perdamaian dua aliran sastra. Yakni sastra yang berkiblat kepada moral yang datang dari agama yang diwakili oleh Taufiq Ismal di satu pihak, dan sastra yang diwakili oleh kebebasan ekspresi tanpa harus dikekang oleh moral agama di pihak lainnya, yang dalam ajang penghargaan Mastera ini diwakili oleh Ayu Utami dengan Saman-nya.

Taufiq Ismail, sebagai orang yang sangat berperanan di dalam Mastera, tentulah secara ideologis tidak akan membiarkan Ayu Utami yang, sepanjang tahun 2007, bersama pengarang-pengarang lain, telah diklaimnya sebagai pembawa sastra dengan semangat “Fiksi Alat Kelamin”.

Bagaimana mungkin “Fiksi Alat Kelamin” bisa menang di dalam ajang penghargaan Mastera ini? Pertanyaan ini, tentulah membawa kita pada sebuah pertanyaan lain: apakah peran Sapardi Djoko Damono dan Putu Wijaya dalam penghargaan itu?

Kalau peranan Sapardi dan Putu Wijaya berjalan normal di dalam ajang penghargaan ini, maka sebuah kesimpulan yang paradoks harus kita terima sebagai sebuah kenyataan, yakni bahwa ajang penghargaan Mastera itu, adalah sebuah ajang yang sangat toleran kepada segenap aliran-aliran sastra, termasuk sasta dengan pendekatan “fiksi alat kelamin” seperti yang diintrodusir oleh Taufiq Ismail. Kesimpulan ini nampaknya dikuatkan oleh fakta di lapangan, yakni saat Pusat Bahasa memberikan penghargaan pula kepada novel Ayat-Ayat Cinta sebagai sebuah novel yang telah berhasil menggugah masyarakat untuk membaca karya sastra.

Tetapi kalau peranan Sapardi dan Putu Wijaya berjalan dengan tidak normal, sudah cukup alasankah bagi kita untuk sampai kepada suatu kesimpulan, bahwa telah terjadi pelanggaran batas terhadap filsafat “inilah saya” dan “inilah karya saya” yang sesungguhnya amatlah manusiawi itu? Pelanggaran yang menyempit pada satu arah: novel Saman. Dan mengapa harus novel Saman? Bagaimana mengujinya dari perspektif kritik sastra, dalam deretan novel atau pengarang yang lain?

Jakarta, 4/1-22/4 2008

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi