Jumat, 21 November 2008

Saling Rindu Balai Pustaka dan Sastra

Sjifa Amori
http://www.jurnalnasional.com/

Pernah jadi acuan karya sastra di Indonesia. Kini, berusaha lagi menjadi barometer penerbitan sastra di Indonesia.

Jika sudah sejak 1995 kalangan seniman gusar akan peran Balai Pustaka yang semakin minim dalam mengangkat harga diri dunia sastra, apalagi saat ini? Jangan-jangan benar kata sastrawan Ibnu Wahyudi. Bahwa, kegusaran itu sudah digantikan sinisme tentang kemampuan Balai Pustaka sebagai pembangkit ruh sastra Indonesia.

Gedung Balai Pustaka boleh jadi masih tegak berdiri. Tapi pesonanya telah lama runtuh. Tak perlu jeli, melangkahkan kaki ke pelataran parkirnya saja, sudah terasa kesan "ditinggalkan". Terasa usang dan jauh dari menarik. Ibarat sebuah kapal, menurut, Direktur Utama Balai Pustaka, Zaim Uchrowi, memang sudah karam. Meski tak berarti tak bisa kembali berlayar dengan segala kemegahannya.

Meski di dalam gedungnya bercokol pula lembaga bergengsi American - Indonesian Exchange Foundation (AMINEF) yang menawarkan beasiswa sangat bergengsi, Fulbright. Toh dekorasi di lantai 6 yang ditempati lembaga itu jauh berbeda dengan lantai 3 di mana sang Dirut Balai Pustaka berkantor. Juga jauh berbeda dari toko buku Balai Pustaka di bagian terluar lantai dasar yang menjual buku-buku terbitan Balai Pustaka.

Tak mesti gedung mewah memang untuk menguatkan image yang positif. Tapi tampil baik, bersih dan asri, kan harus. "Setidaknya untuk menimbulkan rasa bangga bagi pembaca sastra yang khusus datang ke Balai Pustaka, baik karena harus membaca, karena terpaksa membaca, ataupun yang memang ingin membaca buku-bukunya," kata Ibnu Wahyudia saat dihubungi Jurnal Nasional usai mengajar di Fakultas Ilmu Budaya kampus Universitas Indonesia, Depok.

Gejala penurunan popularitas Balai Pustaka ini, menurut Zaim, mulai terjadi sejak akhir 80-an. Yaitu ketika Balai Pustaka tidak lagi dikawal para penulis. Namun dimanajeri pekerja biasa yang tidak besar dalam kultur tulis menulis. "Akhir 80-an, Balai Pustaka sempat dipimpin oleh Subagio Sastrowardoyo." Subagio yang merupakan penyair, penulis cerita pendek dan esei, serta kritikus sastra Indonesia ini dianggap mampu mempertahankan peranan Balai Pustaka dalam dunia sastra Indonesia.

Mulai bangkit
Pada pertengahan 90-an pun, masih menurut Zaim, Balai Pustaka terbilang bangkit secara bisnis. Tapi tetap ada yang hilang. Secara substantif, jiwa penerbit sastra dan budayanya menurun sekali. Diakhiri dengan ketidaksiapan institusi dan timnya menghadapai status Persero yang harus sigap menghadapi perubahan zaman beserta kesulitan kompetisinya.

Dan Balai Pustaka pun resmi makin terpuruk ketika pemerintah mencabut dukungannya. Sampai-sampai posisi direktur utamanya kosong dan hanya jadi bahan tertawaan jika ditawarkan. Apalagi, Balai Pustaka mengemban beban rugi, sampai minus 55 milyar. Tapi Zaim yang diangkat sebagai Direktur Utama PT. Balai Pustaka persero pada 14 Juni 2007, percaya akan kekuatan Balai Pustaka jika berjalan tepat pada track yang pernah dilaluinya.

"Kalau mencoba mengambil kesempatan bisnis di track lain, banyak penerbit lain yang sudah lebih jago. Kita tidak punya modal internal dan jiwa serta spirit ke sana. Jadi biarkan itu digarap penerbit lain. Sementara Balai Pustaka fokus sebagai penerbit pengembang karakter bangsa. Kita merasa bidang itu sebenernya masih kosong," ujar Zaim saat disambangi di kantornya, di Jl. Gunung Sahari Raya No. 4, Jakarta Pusat, Senin (9/6).

Soal keterkaitan sastra dan perkembangan karakter bangsa, J.J. Kusni juga pernah mengutarakannya. Dalam literatur Karya Sastra dan Pembangunan Karakter Bangsa itu, J.J. Kusni menyinggung kembali pendapat Max Lane, pemerhati masalah Indonesia dan eseis Australia, yang pernah menuliskan artikel Post-New Order Literature and the Country's Nation Building di harian The Jakarta Post, Jakarta ( 31 Agustus 2002). Max Lane mendasari artikel tersebut pada premis bahwa "salahsatu ciri bangsa modern terletak pada tubuh sastra nasionalnya. Pada titik tertentu dalam perkembangannya bangsa- bangsa sebagai suatu kolektif massa rakyat yang menyepakati perspektif budaya bersama, sebuah sastra nasionalmuncul kekehidupan dan diakui. Di Indonesia, adanya sastra nasional modern, sejak awal merupakan salah satu komponen sentral perjuangan nasional".

J.J .Kusni yang memiliki gelar doktor sejarah pada I'Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (I'EHESS), Paris, ini, mengatakan sastra nasional berkembang sejajar dengan perkembangan bangsa ini untuk menjadi Indonesia. Gagasan dan debat tentang nasionalisme, tentang keindonesiaan, justru telah mendahului kelahiran organisasi-organisasi politik bertingkat nasional, seakan-akan memperlihatkan bahwa sastra-seni sebagai "republik merdeka", merupakan tenaga pembidas yang kemudian disusul usaha pelaksanaannya oleh rupa-rupa organisasi.

Karena itulah Balai Pustaka harus mampu menghidupkan ruh ini lagi dalam kegiatan penerbitannya. Menjadi pembangun dan pengembang karakter bangsa. Tanpa mengabaikan maraknya persaingan bisnis dan unsur profit. Tentu ini perlu kecakapan dalam hal manajerial yang business oriented. Dan perlu solusi yang konkret dalam hal meraih untung. Atau paling tidak menambal "lubang" kerugian yang dideritanya.

Dalam tulisan yang dipresentasikan pada Seminar Internasional Kesastraan 2007, Ibnu yang pernah menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan, mengemukakan jalan keluar konkret dengan sangat optimistis. Optimisme ini muncul karena kini Balai Pustaka sudah dipimpin orang yang tepat. Dengan catatan, pola kerja mengejar proyek tanpa memikirkan untung rugi harus ditiadakan. "Termasuk korupsinya."

Kiblat sastra
Menurut Ibnu, dengan posisi Balai Pustaka yang masih selamat dan hidup hingga saat ini, masih besar harapan menjadikannya sebagai kiblat sastra. Seperti juga Dewan Bahasa dan Pustakanya Malaysia.

"Kalau di Indonesia ada Gramedia dan Mizan ya nggak apa-apa. Tapi Balai Pustaka yang usianya hampir 100 tahun mestinya harus mempunyai peran yang lebih strategis dan jelas. Dan memang harus dikelola dengan profesional agar bisa bersaing. Kalau Saman lahir dari Kepustakaan Populer Gramedia, artinya Balai Pustaka kan bisa melahirkan karya monumental juga dengan cara lain. Macam-macamlah jalannya. Sayembara dengan imbalan kontrak dan bayaran sangat tinggi. Atau cara lain agar naskah bagus jatuhnya ke Balai Pustaka. Yang pasti harus punya tim atau orang yang tugasnya mengamati dan memburu bakat, jadi bukan hanya menerima naskah dan mempertimbangkan untuk diterbitkan atau tidak. Tapi memiliki tenaga yang jeli dan peka untuk tahu siapa penulis yang pada 5 hingga 10 tahun ke depan akan jadi sastrawan hebat," ujar Ibnu yang juga pernah menyunting karya terbitan Balai Pustaka pada 1980-an. Seperti Lembar-lembar Sajak Lama (kumpulan sajak P. Sengodjo) tahun 1982 dan Pahlawan dan Kucing (kumpulan cerpen Suripman) tahun 1984.

Eksistensi Balai Pustaka saat ini, meskipun dengan semua ketidakpopulerannya adalah sebuah point yang baik untuk memulai. Belum lagi, statusnya sebagai alat dan saksi perjuangan sastra kemerdekaan, membuatnya jadi lembaga pemilik kekayaan negara yang berlimpah.

"Di perpustakaaan kita masih banyak sekali buku-buku zaman Belanda. Itu semua harta kekayaan Balai Pustaka. Dan banyak orang, sastrawan, termasuk saya sendiri yang berhutang karena dibantu dibesarkan oleh Balai Pustaka. Itu bisa dimobilisasi jadi kekuatan yang akan bagus. Seluruh karya klasik kita sampai sekarang masih laku keras. Seperti Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang, dan banyak lagi. Kamus kita juga masih jadi andalan," kata Zaim yang pernah bergabung dengan majalah Tempo dan memprakarsai berdirinya Republika hingga pernah menjadi pimpinan redaksi koran tersebut.

"Kita yang mengawali buku-buku budaya. Buku babon induk sejarah nasional juga adanya di Balai Pustaka," tambah Zaim.

Sejarawan Ceko, Milan Hubl, pernah mengatakan, langkah pertama menaklukkan sebuah bangsa adalah dengan memusnahkan ingatannya. Hancurkan buku-buku, kebudayaan, dan sejarahnya. Lalu, perintahkan seseorang untuk menulis buku-buku baru, membangun kebudayaan baru, dan menyusun sejarah baru. Tak akan lama, bangsa itu mulai lupa pada masa kini dan masa lampaunya. M. Hasan Basri mengungkapkan itu semua dalam bukunya Buku dan Karakter bangsa. Dalam rangkuman buku tersebut di situs id.shvoong.com, diutarakan juga pernyataan bahwa buku tidak hanya menjadi kekuatan yang mampu mengubah sebuah bangsa lebih baik, namun buku juga bisa membuat suatu bangsa lupa ingatannya-seperti yang dikatakan Hubl, lupa akan sejarah bangsanya,
tidak ingat akan budayanya serta kehilangan karakter dan identitas bangsanya. Peran ini jelas sangat bisa dimainkan Balai Pustaka.

Pembuktian identitas
Apalagi, di awal pendiriannya, Balai Pustaka ditujukan untuk pembuktian identitas juga. Yaitu pengembangan bahasa-bahasa daerah utama di Hindia-Belanda. Seperti bahasa Jawa, Sunda, Melayu, dan Madura. Salah satu novel dalam bahasa Melayu terbitan Balai Pustaka kala itu yang ternama berjudul Siti Noerbaja karangan Marah Roesli, seorang penulis dari Minangkabau. Era itu kemudian jadi penanda penyebaran sastra Jawa Modern. Jumlah buku berbahasa Jawa lebih banyak dibandingkan yang berbahasa Melayu.

Dari penelusuran George Quinn, pada katalog Balai Pustaka di 1920, ada 40 buku berbahasa Madura, 80 judul berbahasa Melayu, hampir 100 buku berbahasa Sunda, dan hampir 200 berbahasa Jawa. Di tahun ini pula lahir novel Serat Rijanto karangan Raden Bagoes Soelardi yang menjadi tonggak sastra Jawa modern.

Dengan modal dan tujuan identitas bangsa itulah, Balai Pustaka di bawah Zaim bertujuan berkembang sampai ke wilayah Asia Tenggara. Kita bisa mainkan betul pada level Asia Tenggara. "Saya pernah ke Mindanao, Filipina. Ternyata masyarakat di sana bisa berbahasa Melayu. Mereka menyebutkan buku-buku Indonesia. Kemudian di Vietnam dan Kamboja, ada perkampungan Cham dengan masyarakat berbahasa Melayu. Di Thailand juga demikian. Kalau Balai Pustaka bisa menjangkau mereka dan melayani kebutuhan masyarakat nusantara lama ini, akan sangat berarti bagi kita untuk masuk ke tataran regional.

Tapi ini harus diawali dari tingkat nasional dulu. Dari sudut pandang pembaca dan penulis, Ibnu lalu menambahkan, "Setidaknya menimbulkan rasa bangga orang terhadap Balai Pustaka. Apalagi setengah mati susahnya mencari buku-buku Balai Pustaka. Begitu dapat desainnya kuno. Jadi harus memikirkan agar buku-bukunya dikemas dengan desain yang menyebabkan orang bangga membawanya kemana-mana. Harus ada revolusi desain. Tinggal bagaimana Zaim mampu membenahi dan menunjukkan bahwa Balai Pustaka bukan tempat pembuangan naskah yang nggak dimuat di penerbit lain. Tapi kalau bisa, Balai Pustakalah yang pertama kali dikirimi. Makanya harus ada imbalan yang layak. Harus tranparan mengenai jumlah dana kalau ada proyek. Dan kalau ada naskah tidak dimuat, alasannya juga harus jelas."

Memang sampai saat ini belum ada rencana Balai Pustaka untuk "menagih utang" pada sastrawan yang pernah turut dibesarkannya. Karena masih muda usia kepemimpinan Zaim, ia mengaku masih bebenah di dalam. "Cuci piring" bekas pesta yang lalu, baru mulai stratgei ke luar. Supaya pengarang juga tidak kecewa bekerjasama dengan Balai Pustaka.

Dalam waktu dekat ini, Balai Pustaka berencana menerbitkan ulang karya lama. Misalnya Polemik Kebudayaan (1948) karya Achdiat Karta Miharja, karena dirasa relevan dengn kondisi Indonesia saat ini. Belum ada buku baru pun, Balai Pustaka takkan kekurangan bahan. Ia tentu takkan kering dengan harta kekayaan sastra dan budaya yang, sebenarnya, bisa diolah, dikemas, dan dimanajeri kembali dengan pendekatan yang disesuaikan perkembangan zaman.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi