Minggu, 08 Maret 2009

Darmanto Jatman: Manusia Sudah Disapih Gusti Allah...

Ganug Nugroho Adi, Darmanto Jatman
http://www.suaramerdeka.com/

PADA 1990-an penyair Darmanto Jatman menulis sajak yang menggagas Indonesia sebagai sebuah perusahaan, Patriotisme Kromo. Hampir 10 tahun kemudian, sajak itu memperoleh SEA Write Award (Penghargaan Sastra Asia Tenggara).

Seperti sajak-sajaknya yang lain, "demokratisasi bahasa" begitu kental dalam Patriotisme Kromo. Ya, demokratisasi. Barangkali itu sebagai kata ganti untuk menyebut keberanian Darmanto dalam memasukkan keberagaman kata, bahasa, juga nama-nama dari Jawa, Indonesia, Inggris, Cina, dan juga Belanda dalam puisinya.

Alhasil, lewat sajak-sajaknya, "penyair bangsat" ini seakan menciptakan dunia baru dengan para "warga negara" yang datang dari berbagai budaya, status sosial, dan intelektual. Dari juragan sampai batur, dari direktur sampai tukang potong rumput. Dan dalam dunia ciptaannya, "penyair kribo" itu membuat para penghuni bisa menciptakan harmonisasi, saling melengkapi, utuh, dan akur.

"Bagaimanapun, demokratisasi itu tidak bisa dihalangi," katanya suatu malam di rumahnya Jl Menoreh Raya.

Kini, tepatnya 16 Agustus lalu, Darmanto 60 tahun. Dan lewat sebuah sajaknya, ia jujur, "bahwa sekarang aku merasa tua". Ia memandang pohon-pohon berdaun, dan bertanya-tanya, "Kramaleya jadi admiral, kenapa bukan Blakasuta?"

Know they limitation, suffered thou not! katanya.

Lalu, penulis sajak Golf untuk Rakyat itu pun bercerita banyak tentang sastra, budaya, dan penghargaan itu. Juga tentang rencananya yang akan menggelar orasi budaya Ora Ngeli, Keli dan peluncuran buku kumpulan puisinya, 23 Agustus mendatang. Berikut ini perbincangannya dengan Suara Merdeka dalam beberapa kali pertemuan.

Soal Patriotis Kromo yang memperoleh SEA Write Award, itu bagaimana ceritanya?

Itu kan sebenarnya puisi Bilung. Karena yang kita hadapi Kurawa, maka saya memakai Bilung sebagai corong. Tokoh Bilung itu senangnya ya nglulu, nyolu. Berbeda dari Semar yang nasihat-nasihatnya bijak dan mengarahkan. Tapi Semar hanya untuk Pandawa.

Artinya, Anda tidak serius ketika menggagas Indonesia sebaiknya menjadi sebuah perusahaan lewat sajak itu?

Sangat serius. Negeri ini kan sebenarnya mengalami proses kulturan yang sangat kuat. Mulai masyarakat plural menuju agraris dan kemudian masyarakat industri. Nah, sebagai sebuah negara, Indonesia ini kan sebenarnya memiliki akses yang banyak dijual. Ada Rendra, Habibie...

Bagaimana dengan etika-etika politik, apakah tidak bertentangan dengan konsep negara sebagai perusahaan?

Perubahan kultural, dari masyarakat plural sampai akhirnya masyarakat industri, sudah begitu cepat. Bilung yang sekarang sudah berbeda jauh dari Bilung yang dulu. Gampangnya, globalisasi kapitalisme sudah tak bisa lagi dihentikan.

Lihatlah, kini bisnis sudah memasuki semua lini kehidupan. Bahkan di ruang yang paling sempit pun, seperti tingkat kampung, dusun, RT, dan RW. Contoh konkret, sekarang remaja Gunungpati -daerah yang beberapa tahun lalu masih terpencil dan sulit dijangkau- sudah mengenal celana jins, anak-anak ber-play station, nyetel VCD Batman, baca komik Dragon Ball. Sekarang bahkan sudah ada universitas di sana.

Dari aspek seni-budaya, Ki Narto Sabdho menciptakan gending Modernisasi Desa yang ngepop, atau lakon carangan Srikandi Ngedan. Itu entertainment, salah satu ciri perubahan masyarakat agraris menuju masyarakat urban.

Zastrouw Ngatawi (bekas asisten Gus Dur) malah pernah cerita pada saya, kini pesantren-pesantren juga mulai berbisnis. Para santrinya menjadikan pondok pesantren sebagai home industry, membuat kitab suci, tasbih, dan peci untuk dijual. Para ustadz ramai-ramai memasang tarif untuk khotbah.

Pengamat politik, anggota Dewan, pejabat pemerintah juga setali tiga uang. Bupati anu, misalnya, harus dibayar sekian juta untuk meresmikan sebuah pabrik atau peletakan batu pertama sebuah proyek.

Di perkotaan, globalisasi makin gila-gilaan. Bukan lagi sebatas perkara kafe dan bioskop, tapi sudah sampai pada teve, koran, dan internet. Pintu bagi arus informasi, baik sosial, budaya, makin lengkap, dan itu tak bia dihentikan.

Jadi?

Ya, kenapa semua pemasukan itu tidak dikelola saja. Keuntungannya dibagi untuk rakyat, bukan masuk kantong pribadi.

Baiklah. Sekarang demokratisasi yang tidak bisa dihalangi itu bagaimana?

Demokratisasi kan sebenarnya memiliki sub-sub. Pertama sekularisasi. Ini sungguh tak bisa dielakkan. Manusia itu sudah dewasa, sudah disapih Gusti Allah.

Sudah bukan zamannya orang muslim dan Nasrani udrek-udrekan. Ucapan assalamu'alikum, amitabba, atau salam sejahtera sebenarnya bisa diucapkan oleh dan untuk siapa saja. Itu kan hanya persoalan tubuh, bukan hati. Tapi toh masih ada orang-orang yang mencoba membatasi.

Sub kedua?

Reformasi. Ini jangan diartikan sebatas suksesi kepemimpinan seperti yang terjadi pada Mei 1998. Itu hanya contoh kecil, cuma salah satu bentuk fisik. Reformasi tidak otomatis terjadi dengan pergantian kekuasaan. Sebaliknya, esensi yang penting. Antara Orde Lama, Orde Baru, atau Orde Reformasi yang seperti sekarang tidak akan ada bedanya jika esensi dari masing-masing orde itu sama.

Bisa berikan contoh?

Dalam lingkungan yang sempit, keluarga, misalnya. Karena saya dari keluarga ningrat Jawa, paham patriarki sangat berlaku di rumah ini. Dulu anak, istri semuanya harus patuh dan segaris dengan saya. Tapi sekarang tidak bisa lagi. Suatu kali, seorang ayah harus ngalah dan manut pada istri atau anak.

Contoh kecil, Abi (Abigael Wohing Ati, putri Darmanto-Red) akan memakai mobil untuk les. Padahal saya, ayahnya, juga akan memakai mobil itu. Namun karena dari sisi kepentingan si Abi lebih memerlukan, ya akhirnya saya ngalah. Paham patriarki luluh.

Dalam tataran yang lebih luas, bernegara, misalnya?

Selama ini, dalam tiga orde, negara itu kan selalu ingin menang sendiri. Tidak mau kalah dengan wong cilik. Konsep negara yang ngemong dan melayani tidak muncul sama sekali. Jadi, kalau sekarang disebut sebagai era reformasi, bagian mana sebenarnya yang sudah direformasi?

Kembali ke soal demokratisasi, konon proses demokrasi itu juga akan menimbulkan banyak problem...

Memang, demokratisasi bukan berarti tanpa masalah. Terutama mereka yang memegang paham-paham lama, orang-orang konservatif.

Ada jalan keluar?

Ada baiknya setiap kali menghadpi perubahan kita bersikap rila lamun kelangan nora gegetun (rela kehilangan tapi tidak menyesal). Kita mesti bersikap seperti itu terhadap budaya dan wacana agung. Tradisi itu pasti akan digerus perubahan zaman. So, kalau tradisi itu memang harus ilang ya tidak apa-apa. Relakan saja.

Tapi bukankah kita juga perlu nguri-uri tradisi?

Nguri-uri itu kan tidak selamanya menelan mentah-mentah. Kita ambil ajarannya, bukan fisiknya. Seperti sewiji, greget, sengguh ora mingkuh... itu falsafah Jawa yang hebat. Kalau itu dipadukan dengan ajaran raja-raja Jawa, serat wulangreh, wedhatama atau centhini akan lebih hebat. Itu sebenarnya yang perlu diuri-uri, bukan malah ramai-ramai mendirikan joglo, gapura... itu kan hanya simbol, fisik.

Apakah itu yang Anda maksud dengan "ora ngeli, keli"?

Kalimat itu kan sebenarnya kan memiliki banyak tafsir, tergantung bagaimana cengkok orang ketika membacanya. Tapi, maksudnya kira-kira di zaman yang arusnya deras ini, kita mengalir saja. Seperti tokoh Bilung, tidak menentang, tapi menggelicir.

Seperti orang bermain selancar?

Ha..ha.. boleh juga.

Sekarang tentang puisi Anda yang memperoleh SEA Write Award itu. Respons Anda bagaimana?

Bagi saya, yang penting sebenarnya bukan SEA Write Award-nya, tapi justru peran Pusat Bahasa, lembaga yang merekomendasikan puisi saya ke penghargaan itu. Untuk saya, itu yang penting.

Kenapa?

Saya pernah diundang ke berbagai diskusi dan kongres bahasa, termasuk Pusat Bahasa, untuk berbicara tentang penggunaan bahasa yang campur-baur. Di banyak tempat, banyak yang menolak diksi yang saya gunakan itu. Alasannya, pilihan kata yang saya gunakan bisa merusak tata bahasa. Ee.. tiba-tiba kok saya malah dapat penghargaan.

Hebatnya, Sapardi Djoko Damono (penyair dan guru besar Fakultas Sastra UI-Red) yang menjadi ketua dewan juri di Pusat Bahasa malah bilang penggunaan bahasa yang macam-macam dalam puisi saya itu bisa dipertanggungjawabkan, karena memang tidak ada cara atau ekspresi lain.

Untuk SEA Write Award, itu bukan surprise. Penghargaan itu kan mirip arisan. Yang lain sudah pada dapat, giliran saya pasti akan datang. Itu saja.

Anda pernah bilang, masyarakat kini malas "mengurus puisi". Tapi sekarang puisi Anda dapat penghargaan...

Ya, saya pernah mengatakan itu. Tapi itu zaman PKI dulu. Sekarang pemerintah dan masyarakat mulai berubah, meski masih ada satu-dua pelarangan penyair baca puisi.

Satu syair puisi Anda berbunyi, "bahwa sekarang saya merasa tua". Apakah Anda tetap memiliki kegelisahan di usia yang sekarang?

Ya. Tapi kegelisahan itu berbeda dari masa-masa dulu. Sekarang saya lebih banyak memikirkan orang-orang sekitar: anak, istri, cucu... Tentang masa depan mereka nanti, atau mereka nanti akan jadi seperti apa... pokoknya hal-hal semacam itu. Bukan lagi kegelisahan untuk diri sendiri.

Saya ingin mandhita saja di Pakem (Yogyakarta) untuk merenung. Itu keinginan saya setelah pensiun nanti.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi