Ganug Nugroho Adi, Darmanto Jatman
http://www.suaramerdeka.com/
PADA 1990-an penyair Darmanto Jatman menulis sajak yang menggagas Indonesia sebagai sebuah perusahaan, Patriotisme Kromo. Hampir 10 tahun kemudian, sajak itu memperoleh SEA Write Award (Penghargaan Sastra Asia Tenggara).
Seperti sajak-sajaknya yang lain, "demokratisasi bahasa" begitu kental dalam Patriotisme Kromo. Ya, demokratisasi. Barangkali itu sebagai kata ganti untuk menyebut keberanian Darmanto dalam memasukkan keberagaman kata, bahasa, juga nama-nama dari Jawa, Indonesia, Inggris, Cina, dan juga Belanda dalam puisinya.
Alhasil, lewat sajak-sajaknya, "penyair bangsat" ini seakan menciptakan dunia baru dengan para "warga negara" yang datang dari berbagai budaya, status sosial, dan intelektual. Dari juragan sampai batur, dari direktur sampai tukang potong rumput. Dan dalam dunia ciptaannya, "penyair kribo" itu membuat para penghuni bisa menciptakan harmonisasi, saling melengkapi, utuh, dan akur.
"Bagaimanapun, demokratisasi itu tidak bisa dihalangi," katanya suatu malam di rumahnya Jl Menoreh Raya.
Kini, tepatnya 16 Agustus lalu, Darmanto 60 tahun. Dan lewat sebuah sajaknya, ia jujur, "bahwa sekarang aku merasa tua". Ia memandang pohon-pohon berdaun, dan bertanya-tanya, "Kramaleya jadi admiral, kenapa bukan Blakasuta?"
Know they limitation, suffered thou not! katanya.
Lalu, penulis sajak Golf untuk Rakyat itu pun bercerita banyak tentang sastra, budaya, dan penghargaan itu. Juga tentang rencananya yang akan menggelar orasi budaya Ora Ngeli, Keli dan peluncuran buku kumpulan puisinya, 23 Agustus mendatang. Berikut ini perbincangannya dengan Suara Merdeka dalam beberapa kali pertemuan.
Soal Patriotis Kromo yang memperoleh SEA Write Award, itu bagaimana ceritanya?
Itu kan sebenarnya puisi Bilung. Karena yang kita hadapi Kurawa, maka saya memakai Bilung sebagai corong. Tokoh Bilung itu senangnya ya nglulu, nyolu. Berbeda dari Semar yang nasihat-nasihatnya bijak dan mengarahkan. Tapi Semar hanya untuk Pandawa.
Artinya, Anda tidak serius ketika menggagas Indonesia sebaiknya menjadi sebuah perusahaan lewat sajak itu?
Sangat serius. Negeri ini kan sebenarnya mengalami proses kulturan yang sangat kuat. Mulai masyarakat plural menuju agraris dan kemudian masyarakat industri. Nah, sebagai sebuah negara, Indonesia ini kan sebenarnya memiliki akses yang banyak dijual. Ada Rendra, Habibie...
Bagaimana dengan etika-etika politik, apakah tidak bertentangan dengan konsep negara sebagai perusahaan?
Perubahan kultural, dari masyarakat plural sampai akhirnya masyarakat industri, sudah begitu cepat. Bilung yang sekarang sudah berbeda jauh dari Bilung yang dulu. Gampangnya, globalisasi kapitalisme sudah tak bisa lagi dihentikan.
Lihatlah, kini bisnis sudah memasuki semua lini kehidupan. Bahkan di ruang yang paling sempit pun, seperti tingkat kampung, dusun, RT, dan RW. Contoh konkret, sekarang remaja Gunungpati -daerah yang beberapa tahun lalu masih terpencil dan sulit dijangkau- sudah mengenal celana jins, anak-anak ber-play station, nyetel VCD Batman, baca komik Dragon Ball. Sekarang bahkan sudah ada universitas di sana.
Dari aspek seni-budaya, Ki Narto Sabdho menciptakan gending Modernisasi Desa yang ngepop, atau lakon carangan Srikandi Ngedan. Itu entertainment, salah satu ciri perubahan masyarakat agraris menuju masyarakat urban.
Zastrouw Ngatawi (bekas asisten Gus Dur) malah pernah cerita pada saya, kini pesantren-pesantren juga mulai berbisnis. Para santrinya menjadikan pondok pesantren sebagai home industry, membuat kitab suci, tasbih, dan peci untuk dijual. Para ustadz ramai-ramai memasang tarif untuk khotbah.
Pengamat politik, anggota Dewan, pejabat pemerintah juga setali tiga uang. Bupati anu, misalnya, harus dibayar sekian juta untuk meresmikan sebuah pabrik atau peletakan batu pertama sebuah proyek.
Di perkotaan, globalisasi makin gila-gilaan. Bukan lagi sebatas perkara kafe dan bioskop, tapi sudah sampai pada teve, koran, dan internet. Pintu bagi arus informasi, baik sosial, budaya, makin lengkap, dan itu tak bia dihentikan.
Jadi?
Ya, kenapa semua pemasukan itu tidak dikelola saja. Keuntungannya dibagi untuk rakyat, bukan masuk kantong pribadi.
Baiklah. Sekarang demokratisasi yang tidak bisa dihalangi itu bagaimana?
Demokratisasi kan sebenarnya memiliki sub-sub. Pertama sekularisasi. Ini sungguh tak bisa dielakkan. Manusia itu sudah dewasa, sudah disapih Gusti Allah.
Sudah bukan zamannya orang muslim dan Nasrani udrek-udrekan. Ucapan assalamu'alikum, amitabba, atau salam sejahtera sebenarnya bisa diucapkan oleh dan untuk siapa saja. Itu kan hanya persoalan tubuh, bukan hati. Tapi toh masih ada orang-orang yang mencoba membatasi.
Sub kedua?
Reformasi. Ini jangan diartikan sebatas suksesi kepemimpinan seperti yang terjadi pada Mei 1998. Itu hanya contoh kecil, cuma salah satu bentuk fisik. Reformasi tidak otomatis terjadi dengan pergantian kekuasaan. Sebaliknya, esensi yang penting. Antara Orde Lama, Orde Baru, atau Orde Reformasi yang seperti sekarang tidak akan ada bedanya jika esensi dari masing-masing orde itu sama.
Bisa berikan contoh?
Dalam lingkungan yang sempit, keluarga, misalnya. Karena saya dari keluarga ningrat Jawa, paham patriarki sangat berlaku di rumah ini. Dulu anak, istri semuanya harus patuh dan segaris dengan saya. Tapi sekarang tidak bisa lagi. Suatu kali, seorang ayah harus ngalah dan manut pada istri atau anak.
Contoh kecil, Abi (Abigael Wohing Ati, putri Darmanto-Red) akan memakai mobil untuk les. Padahal saya, ayahnya, juga akan memakai mobil itu. Namun karena dari sisi kepentingan si Abi lebih memerlukan, ya akhirnya saya ngalah. Paham patriarki luluh.
Dalam tataran yang lebih luas, bernegara, misalnya?
Selama ini, dalam tiga orde, negara itu kan selalu ingin menang sendiri. Tidak mau kalah dengan wong cilik. Konsep negara yang ngemong dan melayani tidak muncul sama sekali. Jadi, kalau sekarang disebut sebagai era reformasi, bagian mana sebenarnya yang sudah direformasi?
Kembali ke soal demokratisasi, konon proses demokrasi itu juga akan menimbulkan banyak problem...
Memang, demokratisasi bukan berarti tanpa masalah. Terutama mereka yang memegang paham-paham lama, orang-orang konservatif.
Ada jalan keluar?
Ada baiknya setiap kali menghadpi perubahan kita bersikap rila lamun kelangan nora gegetun (rela kehilangan tapi tidak menyesal). Kita mesti bersikap seperti itu terhadap budaya dan wacana agung. Tradisi itu pasti akan digerus perubahan zaman. So, kalau tradisi itu memang harus ilang ya tidak apa-apa. Relakan saja.
Tapi bukankah kita juga perlu nguri-uri tradisi?
Nguri-uri itu kan tidak selamanya menelan mentah-mentah. Kita ambil ajarannya, bukan fisiknya. Seperti sewiji, greget, sengguh ora mingkuh... itu falsafah Jawa yang hebat. Kalau itu dipadukan dengan ajaran raja-raja Jawa, serat wulangreh, wedhatama atau centhini akan lebih hebat. Itu sebenarnya yang perlu diuri-uri, bukan malah ramai-ramai mendirikan joglo, gapura... itu kan hanya simbol, fisik.
Apakah itu yang Anda maksud dengan "ora ngeli, keli"?
Kalimat itu kan sebenarnya kan memiliki banyak tafsir, tergantung bagaimana cengkok orang ketika membacanya. Tapi, maksudnya kira-kira di zaman yang arusnya deras ini, kita mengalir saja. Seperti tokoh Bilung, tidak menentang, tapi menggelicir.
Seperti orang bermain selancar?
Ha..ha.. boleh juga.
Sekarang tentang puisi Anda yang memperoleh SEA Write Award itu. Respons Anda bagaimana?
Bagi saya, yang penting sebenarnya bukan SEA Write Award-nya, tapi justru peran Pusat Bahasa, lembaga yang merekomendasikan puisi saya ke penghargaan itu. Untuk saya, itu yang penting.
Kenapa?
Saya pernah diundang ke berbagai diskusi dan kongres bahasa, termasuk Pusat Bahasa, untuk berbicara tentang penggunaan bahasa yang campur-baur. Di banyak tempat, banyak yang menolak diksi yang saya gunakan itu. Alasannya, pilihan kata yang saya gunakan bisa merusak tata bahasa. Ee.. tiba-tiba kok saya malah dapat penghargaan.
Hebatnya, Sapardi Djoko Damono (penyair dan guru besar Fakultas Sastra UI-Red) yang menjadi ketua dewan juri di Pusat Bahasa malah bilang penggunaan bahasa yang macam-macam dalam puisi saya itu bisa dipertanggungjawabkan, karena memang tidak ada cara atau ekspresi lain.
Untuk SEA Write Award, itu bukan surprise. Penghargaan itu kan mirip arisan. Yang lain sudah pada dapat, giliran saya pasti akan datang. Itu saja.
Anda pernah bilang, masyarakat kini malas "mengurus puisi". Tapi sekarang puisi Anda dapat penghargaan...
Ya, saya pernah mengatakan itu. Tapi itu zaman PKI dulu. Sekarang pemerintah dan masyarakat mulai berubah, meski masih ada satu-dua pelarangan penyair baca puisi.
Satu syair puisi Anda berbunyi, "bahwa sekarang saya merasa tua". Apakah Anda tetap memiliki kegelisahan di usia yang sekarang?
Ya. Tapi kegelisahan itu berbeda dari masa-masa dulu. Sekarang saya lebih banyak memikirkan orang-orang sekitar: anak, istri, cucu... Tentang masa depan mereka nanti, atau mereka nanti akan jadi seperti apa... pokoknya hal-hal semacam itu. Bukan lagi kegelisahan untuk diri sendiri.
Saya ingin mandhita saja di Pakem (Yogyakarta) untuk merenung. Itu keinginan saya setelah pensiun nanti.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar