Jumat, 29 Januari 2010

YANG LIAN: Puisi adalah Kampung Halaman Saya

Pewawancara: Luky Setyarini
http://www.ruangbaca.com/

Ketika Revolusi Budaya dilancarkan di Cina antara 1966-1976, ada sekelompok penyair yang karena gaya puisinya yang sulit dipahami, seperti berkabut, disebut sebagai Misty Poets. Salah satu dari para penyair kritis yang aktif menulis di majalah Jintian (Today) itu adalah Yang Lian.

Lahir di Swiss pada 1955, ayah Yang seorang diplomat. Ketika keluarganya pulang kampung, Yang muda dikirim ke pedesaan Changping dekat Beijing, untuk mengikuti program reedukasi. Seorang putra diplomat yang berpendidikan tinggi memang diwajibkan belajar dari petani. Metode ini digunakan di masa Mao Zedong pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an. Selama tinggal di pedesaan, Yang mulai menulis puisi.

Sekembalinya ke Beijing, Yang bekerja di stasiun pemancar radio pemerintah. Pada 1979, Yang bergabung dengan kelompok penyair yang menulis untuk Jintian. Gaya puisi pria berusia 54 tahun ini berubah menjadi modern, eksperimental, yang jamak dipraktekkan para penyair Misty Poets. Pada 1983, karyanya berjudul Norlang (nama suatu air terjun di Tibet) membuat gusar pemerintah Cina. Surat penangkapan untuk Yang dikeluarkan, namun Yang berhasil lolos.

Ketika militer Cina menumpas demonstrasi di Lapangan Tiananmen dengan kekerasan –dikenal sebagai Peristiwa 4 Juni 1989 — Yang berada di Selandia Baru dan ikut menggelar aksi protes terhadap kekerasan oleh pemerintah Cina. Karya-karyanya kemudian dilarang beredar di Cina, termasuk dua calon buku yang akan diterbitkan waktu itu. Tak lama kemudian, kewarganegaraannya pun dicabut dan dia memohon suaka di Selandia Baru. Pada 2008, dia terpilih sebagai salah satu anggota Dewan PEN Internasional, perhimpunan penyair, esais, dan novelis. Sejak 1993, dia bermukim di London.

Pada pertengahan Oktober lalu, Yang hadir di Pameran Buku Frankfurt. Reporter Tempo Luky Setyarini berkesempatan mewawancarainya. Berikut petikannya.

Kenapa Anda hadir di pameran ini?

Titik perhatian dari pameran ini adalah seluruhnya mengenai Cina, tentang sastranya, politiknya. Dalam hal ini, membawa Cina menjadi fokus masyarakat internasional. Karena itu, diskusinya mengenai apa pun, politiknya, atau sastra, linguistik. Saya pikir ini sangat penting bagi pernyataan mengenai perubahan Cina dari versi lama era Perang Dingin hingga bergerak menjadi — yang saya harap –sedikit menjadi versi baru. Makanya saya tertarik untuk datang.

Pemerintah Cina juga hadir. Anda tidak merasa khawatir, takut, atau terancam dengan melontarkan pendapat Anda?

Tidak. Saya memang sudah beberapa kali ke Cina. Namun setelah peristiwa Tiananmen saya tidak pernah kembali menjadi bagian dari Republik Rakyat Cina. Pertama kali saya kembali ke Cina pada 1995, ketika saya mengganti kewarganegaraan Selandia Baru. Cina menjadi negara asing bagi saya, tapi saya menulis dalam bahasa ibu. Saya tidak mengakui badan politiknya, tapi saya mengakui bahasa dan tradisinya. Ya, saya tahu mereka di sini. Lalu mengapa? Mereka ada di mana saja.

Cina saat ini ibarat memiliki wajah ganda. Satu wajah kapitalis, satu lagi komunis. Menurut Anda?

Istilah yang tepat adalah Cina merupakan komunis terburuk dan kapitalis terburuk. Inilah yang paling tepat untuk menggambarkan Cina, karena saya dapat kembali ke Cina dan melihat Cina dari dalam, sejauh ini. Ada beberapa bagian, seperti menteri propaganda, yang menjadi mitra langsung penyelenggara Pameran Buku Frankfurt. Mereka adalah bagian dari Cina dan pemerintah Cina yang paling, paling buruk. Mereka tidak membawa tanggung jawab yang nyata ke dunia nyata. Mereka hanya bertanggung jawab supaya mesin ideologi tetap berfungsi, bertanggung jawab hanya terhadap pemimpin mereka, dan tidak terhadap rakyat.

Banyak penulis dan seniman Cina dipenjara karena pemikiran vokal dan bebas mereka. Bagaimana menurut Anda?

Memang, sayang sekali. Sekali lagi, secara linguistik, ini merupakan bagian terburuk dari yang terburuk dari Cina, yaitu sensor tegas terhadap pendapat dan pemikiran bebas, dan mereka sangat takut terhadap kata-kata. Di titik ini, tidak disangkal lagi, kita harus berjuang demi pembebasan para penulis itu. Kita harus berbicara untuk mereka, kita harus berjuang sebisa mungkin untuk mereka. Makanya, ketika tahun lalu saya dipilih menjadi anggota Dewan PEN Internasional, saya juga mendorong perubahan di lapisan lain, tapi fokusnya terutama pada para penulis yang ditahan. Kami mempublikasikan daftar penulis yang berada di penjara ke hadapan internasional. Ini merupakan hal yang menyedihkan.

Anda kan dapat mengunjungi Cina. Bisa diceritakan bagaimana situasi kesusastraannya saat ini?

Inilah masalah terbesarnya. Karena kontrol politik dan sensor di satu sisi, dan pasar yang sangat besar di sisi lain, para penulis yang sebenarnya pemikir independen ditekan dari dua sisi, kekuasaan dan uang.

Jadi, ada dua kemungkinan. Pertama, penulis menjadi seseorang yang punya pemikiran kuat, memiliki pemahaman yang jernih mengenai dirinya, tulisan apa yang ingin dibuat, makanya peganglah prinsip itu, jangan peduli akan dipublikasikan atau tidak, penulis itu akan menjelma dengan jiwa tradisi klasik yang luar biasa dan menjadi penulis besar internasional.

Tapi, sayangnya, hanya sedikit penulis Cina yang ingin melakukannya. Sebagian besar lebih suka menjadi pemain, terikat pada pohon sensor, tapi bergegas ke pihak komersial dan menulis hal seperti makanan instan, seperti McDonald’s. Karena mereka ingin menulis hari ini, menjualnya besok, dan mendapat banyak uang besok lusanya. Dalam kasus ini, pasar bukanlah pasar yang sebenarnya. Ini sebenarnya pasar yang tidak sehat dengan kontrol ideologi.

Saya sudah membaca puisi Anda dan saya pikir karya Anda tidak ’berbahaya’. Apakah puisi Anda masih dilarang diterbitkan di Cina?

Puisi punya gerakan yang menarik. Kami untungnya menulis puisi yang tak mudah dipahami. Sejak kami mulai menulis, sejak kami meninggalkan dunia yang besar dan palsu seperti sosialisme, kapitalisme, kami menggunakan bahasa yang murni dan klasik, serta menggunakan matahari, bulan, air, kegelapan, kehidupan, ajal. Makanya, puisi-puisi kami disebut misty poems atau puisi yang diselubungi kabut. Karena, itu tadi, puisi kami tidak mudah dipahami, dan diasosiasikan dengan slogan politik.

Jadi, puisi-puisi kami tak hanya bercerita mengenai perlawanan terhadap propaganda politik, tapi juga menunjukkan hasrat puitis, melalui bahasa, juga mempertanyakan diri sendiri sedalam mungkin. Makanya tidak hanya mengenai hitam dan putih, tapi penuh dengan kompleksitas, kekayaan, perasaan diri yang kontradiktif, tapi pada akhirnya bentuk yang kreatif.

Pada dasawarsa 1980-an, ketika gerakan politik dibungkam, karya saya dilarang, lalu ketika demonstrasi Tiananmenn dirusak, buku-buku dimusnahkan. Itu bukan karena mereka memahami puisi saya. Mereka melarang karya saya, bukan karena puisinya, tapi mereka ingin menghancurkan saya. Jadi, sebetulnya, sang penyairlah alasannya. Jadi, puisi mati mengatasnamakan penyairnya.

Sekarang, ketika seluruh Cina menjadi komersial, masalahnya bukan lagi sensor dan melarang puisi karena politis. Puisi itu sendiri disensor secara komersial, alasan komersial. Para penerbit hampir begitu saja berhenti mencetak puisi apa pun. Karena tidak menjual. Karena itu bukanlah bisnis budaya, melainkan sekedar bisnis. Mereka tidak peduli pada gelombang budaya. Sangat menyedihkan bagi Cina, negara yang memiliki tradisi besar dalam puisi klasik. Tapi saya tetap melanjutkan menulis puisi. Tak peduli apa mereka mau menerbitkannya atau tidak, atau mereka bilang bagus atau tidak. Saya pikir, puisi itu sangat penting bagi saya sendiri.

Anda tinggal di London, Anda juga berkeliling dunia. Apakah Anda merasa bagian dari masyarakat penulis dan seniman dunia?

London adalah tempat pertemuan yang besar. Bukan karena begitu banyaknya komunitas, tapi sebenarnya karena kedalaman, sejarah, dan tradisi Inggris Raya itu sendiri sebagai lapangan pemikiran terbuka. Namun saya tidak menempatkan diri saya dalam panggung besar itu. Saya juga menciptakan London versi sendiri. Buku yang Anda miliki, Lee Valley Poems, adalah puisi-puisi London versi saya. Ini bukanlah puisipuisi London, tapi puisi-puisi London kepunyaan Yang Lian. Lee Valley adalah lembah dekat rumah saya di London, tempat saya jalan-jalan.

Apakah dengan begitu, London menjadi kampung halaman Anda? Atau masihkah Cina menjadi kampung halaman Anda? Ataukah dunia adalah tanah air Anda?

Puisi adalah kampung halaman saya. Itulah yang selalu saya gapai melalui pemikiran kaya saya. Itu tidak dibatasi oleh batas negara, abadi dan tanpa batas.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi