Misbahus Surur*
http://www.lampungpost.com/
Manusia jamaknya memang selalu merasa alergi saat berhadapan dengan ihwal kematian. Seolah kematian terus-menerus mengeram dalam ceruk kekhawatiran.
KEDATANGAN maut adalah ujung bagi waktu yang membeku, juga seperti lupa yang merenggut ingatan kita. Maut menderu-deru seperti angin, menjerit di pori-pori nyawa. Berburu waktu dengan manusia, meski akhirnya ia menyeringai di depan dengan genggaman temali kepastian. Maut bagai kutukan yang merangsek ke dalam hidup, berselubung misteri dan teka-teki. Dan Tuhan sengaja tak memberi manusia porsi pengetahuan yang memadai untuk mengungkapnya. Manusia hanya terus diiming-iming, bahwa saatnya nanti ia akan bertemu ajal. Meski ingatan perihal itu tak kunjung membikin manusia takluk.
Hidup hanya menunda kekalahan, kata Chairil Anwar dalam sajak Derai-derai Cemara. Kekalahan yang boleh jadi tersirat di pikiran Chairil saat itu sebagai ketakutan manusia akan tibanya ajal/mati. Sebuah kekalahan telak, karena tak ada ruang di mana manusia dapat melawan atau lari menyingkir. Namun, seorang Chairil agaknya masih berusaha memanfaatkan hidupnya meski manusia akan kalah juga. “Hanya ada satu hal yang nyata, kematian,” kata Najib Mahfud. Kendati ia bukan sebuah kenyataan yang memastikan diri dalam ruang dan waktu yang presisi; karena manusia tak pernah tahu kapan, sebab, dan di mananya. Maka, kita adalah kematian dan anak dari kematian, tambah Mahfud, pada salah satu halaman novel Aulad Haratina.
Kalau kita cermati, akhir-akhir ini, kian jarang orang yang berpikir perihal (ke)mati(an). Alih-alih sekadar krentek dalam pikiran, berkelebat dalam benak saja tidak. Seolah kematian menjadi barang yang terlalu mewah untuk dipikir-renungkan. Kondisi seperti itu, membikin pemaknaannya menjadi dangkal, nirpenghayatan dan jarang sekali diingat-ingat. Apalagi saat-saat sekarang, perkembangan teknologi mutakhir kian memberi dampak serius bagi terenggutnya nilai kesadaran, spiritualitas dan penghayatan. Kehidupan yang serbacepat berakibat turunnya penghayatan manusia akan makna kehidupan. Di sisi lain, sains modern dengan meminjam tangan ilmu biologi, kedokteran, dan keilmuan medis lainnya, tak kalah kuasa mereduksi esensi kematian. Bahkan, saat ini, dominasi besar-besaran paradigma saintifik ke dalam tubuh pengetahuan modern, kerap memiuhkan makna kematian. Akibatnya, makna kematian menjadi dangkal, terkapar dalam simplifikasi. Bahkan ia tak lagi menjadi pengalaman yang menggetarkan hati, tetapi sekadar fragmen kehidupan yang biasa.
Pelibatan ilmu pengetahuan dengan mendayagunakan pengalaman langsung; mencicipi detail lekuk kematian, menyelam dalam denyutnya yang abstrak, kian jarang. Lapisan kesadaran manusia modern gersang tergusur habitus mereka yang absurd. Dulu saat humanitas hanya didudukkan sebagai yang pasif, beberapa filsuf, seperti Kierkegaard, Husserl, juga Hiedegger, pernah menyerukan kembalinya eksistensi manusia beserta segenap keunikannya. Kierkegaard, misalnya, memahkotai humanisme dengan segala makna dan perantinya; hidup-mati, bahagia-sengsara, juga soal kebebasan, yang kemudian memuncak pada dimensi diri dan spritualitas kehidupan. Menurut Kierkegaard, ketika apa yang paling dekat dengan manusia itu (baca: kematian) makin tak dikenali, maka eksistensi manusia perlahan-lahan menjadi redup dan suram.
***
Sungguh memang maut amat misterius. Kemisteriusan itu bukan karena diri kematian itu, melainkan karena tak pernah ada manusia yang mampu mengetahui kedatangannya. Ia hampir selalu datang mendadak, tak pernah berikat janji ataupun kontrak yang serbapasti. Mendiang Chairil Anwar misalnya, pernah menyinggung perihal ajal dalam sajak Yang Terampas dan Yang Putus: Di karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin// Aku berbenah dalam kamar// Dalam diriku jika kau datang// Dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu// Tapi hanya tangan yang bergerak lantang. Sajak ini adalah sajak kelam nan muram untuk menyambut derap kematian saat dirasa makin dekat. Kematian yang ditakzimi Chairil dengan ikhtiar melawan. Meski bekal dan persiapan bisa jadi belum matang. Atau taruhlah gegap kematian yang ditebar Pramudya Ananta Toer dalam novel Bukan Pasar Malam : “…Detik demi detik lenyap ditelan malam. Dan dengan tiada terasa umur manusia pun lenyap sedetik demi sedetik ditelan malam dan siang ….Di mana pun juga dia menampakkan dirinya. Di mana pun juga dia menyerbu ke dalam kepala dan dada manusia…” Kemudian diteruskan lewat aforisme lain yang padat nan serasa lebih menyentak, “… dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana.” Sebuah parafrase, yang seakan terpacak rapi dalam pikiran Pram untuk senantiasa memprotes peran manusia yang kadang dikerdilkan dirinya sendiri; sekadar menjalani hidup dan kemudian menerima begitu saja takdir kematiannya.
Chairil, Pram, juga Mahfud adalah orang-orang yang sanggup menyambut kematian. Tapi mereka bukan manusia yang tak gentar terhadap maut. Mereka hanya punya langkah tepat untuk menghadapi kematian, bahkan ikhtiar melawannya. Tentu saja saat kehidupan menjadi nirmakna dan tak seyogianya, jalan satu-satunya bukankah hanya dengan bekal melawan. Pada titik ini, agaknya mereka menginsafi kematian sebanding dengan menghargai kehidupan; kehidupan yang didedikasikan secara penuh seluruh pada kemanusiaan. Tersebab itu, mereka melawan berbekal keberanian, meski akhinya akan (di)tiada(kan). Mereka sadar, bahwa ketiadaan itulah kebenaran sesungguhnya. Dan kesiapan untuk ditiadakan adalah langkah satu-satunya menyambut keberanian hidup yang tanpa konformitas.
Sebab itu, pada batas tertentu mereka bukanlah barisan manusia kalah. Barangkali keyakinan mereka sebagaimana pemerian Paul Tillich: “Keberanian adalah peng-iya-an dan afirmasi diri ketika kita tidak ber-ada.” Maka, ketiadaan/ kematian akhirnya mereka sambut bukan sebagai afirmasi atas kegentaran terhadap mati, melainkan hanya sebagai satu-satunya langkah sublim menyambut ketiadaan. Mereka seperti orang-orang bebas lainnya, betapa mereka memandang hidup itu bukan hal-hal biasa dan sewajarnya. Kehidupan kadang menjelma bak sebujur jasad sakit yang diluberi limpahan anakronisme; dusta, rekayasa, juga euforia di sekujurnya, di mana kebebasan harus selalu diperjuangkan. Untuk itu, hidup bagi mereka bukan irama harian yang melenggang tenang, melainkan jalan berliku penuh kerikil dan kegelisahan. Siapa berani menantang hidup, harus berani menenteng kematiannya. “Berani hidup tak takut mati, takut hidup mati saja”. Begitulah mungkin aforisma orang bijak yang pantas untuk mereka. Frase ini terasa subtil untuk menyambut tibanya ajal, terlebih saat kematian berbalik menggentarkan. Sekali berarti, sudah itu mati, tegas Chairil.
Kematian memang akhir dari pergulatan hidup. Ending dari drama kehidupan manusia. Tapi bagi Chairil, Pram, juga Mahfud kehidupan yang tunai oleh buah kemanusiaan yang telah disepuh dengan berbagai lembar kisah tragis kehidupan itu, dengan beberapa episode yang berlalu silih berganti, bukanlah akhir yang berkesudahan. Ia tak harus ditangisi dan dirutuki sedih. Biarlah ia lari ke uzurnya, karena memang tak ada guna untuk digerutui. Seperti kata Chairil: kalau sampai waktuku, ku mau tak seorang kan merayu. Karena, sebagai “binatang jalang”, ia ingin tetap meradang menerjang, tanpa rayuan apalagi sedu sedan.
***
Ingat akan mati mungkin memang satu-satunya jalan adiluhung saat perjalanan manusia di dunia ini didapati hanya melacurkan diri dalam dusta-dusta peradaban, kebudayaan, kesejarahan, dan seterusnya yang ujung-ujungnya mendustai dirinya sendiri sebagai makhluk Tuhan yang hakikatnya dibekali beban sekaligus amanah besar (khalifatullah fi al-ardh) menjaga kosmik tetap lestari dan seimbang. Pada tahap ini, ada beberapa momen berharga yang patut dibentangkan dalam gelaran peristiwa kelahiran sekaligus perkabungan manusia -mengutip kata hukama’ (ahli hikmah): “jadikanlah kelahiranmu dipenuhi derai senyum kegembiraan yang mengembang. Dan kelak, saat tiba ajal kematianmu, jadikanlah manusia yang menghadirinya semata berkeinginan merayakan bersama ratap tangis, sembari tak putus-putus mengingat jasa-jasa yang kau toreh pada sejarah hidupmu”. Bisa jadi, inilah kredo puitis bagi yang hidup hendak bersiap mati. Wallahu ‘alam
*) Peminat sastra, mahasiswa S-2 UIN Maliki, Malang.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar