Sabtu, 01 Mei 2010

Generasi Zaman Kita

Sabiq Carebesth*
http://oase.kompas.com/
Judul : ”Resistence, Rebelion and Death” /Perlawanan, Pemberontakan, Kematian.
Pengarang : Albert Camus
Penerbit : Pustaka Promethea
Cetakan : cet 1, 2007
Tebal : X+ 350 hlm

Buku ini ditulis Albert Camus dengan bahasa kita, dia berbicara pada kita, dan tentang masalah-masalah kita. Seperti yang ditegaskannya sendiri dalalam surat penghargaan Nobelnya 1957, ”Masalah-masalah hati nurani manusia di zaman kita.” Zaman generasi pasca perang.

Oleh karenanya tidak berlebihan rasanya untuk menyebut buku ini sebagai kepemimpinan intelektual, politik bagi generasi sesudah perang, generasi kita. Siapakah generasi pasca perang? Ialah generasi abad ke-20. Generasi dan suatu abad zaman yang diliputi perang; kegetiran kamp-kamp buruh-budak di rusia, ironisme dukungan AS terhadap Spanyol di bawah kekuasan Franco. Juga nihilisme prematur dan pesimisme yang dianggap sebagai racun abad yang sulit diatasi. Dan sekarang generasi yang mengalami anomi (unnormality; life without charakter dan value) sebagai akibat panjang dari konstruksi budaya neoliberal yang hedonis sekaligus eksploitatif.

Di Indonesia kita yang elok ini? Abad 20 adalah abad pergolakan, peralihan menuju modern yang dipaksakan, impian melesat untuk menjadi sama modern dengan negara-negara maju di belahan eropa dan amerika sana, yang rupanya menyimpan pula ironi dan tragiknya: peristiwa 1965, polemik politik aliran, konflik dan profokasi horozontal, ekonomi pembangunan (developmentalisme) yang timpang, dan tidak luput pula polemik ironis kebudayaan LEKRA vs Manifesto Kebudayaan.—itulah masalah hati nurani manusia di zaman generasi kita.

Di tengah situasi memprihatinkan itulah Albert Camus muncul, hadir (bersama karya-karya polemisnya) memberontak dari kegelisahan dan tempat yang dirasakannya tidak sesuai hati nurani kemanusiaan, untuk berbicara lantang menjadi pembela gigih atas nilai-nilai moral positif kita dan “manusia-manusia diam yang”, diseluruh dunia, memikul kehidupan yang telah diciptakan untuk mereka. Itulah yang dilakukan Camus dengan karyanya; berbicara sejauh dia dapat bagi mereka yang tidak dapat berbicara.” Fungsi penulis bukanlah tanpa tugas yang sulit. Penulis hari ini tidak boleh melayani mereka yang membuat sejarah. Dia harus melayani mereka yang menjadi sasaran sejarah itu.” Itulah credo yang disampaikan Camus di balai kota Stock Holm 1957.

Tidak lama setelah The Stranger, The Plague mendapat pujian dari semua negara, pada 1950, 1953 dan 1958 Alber Camus meluncurkan tiga Volume “Actuelles”. Tiga volume actueless dan sebuah buku kumpulan esainya bertajuk ”Resistence, Rebelion and Death”, tidak hanya meneguhkan eksistensi Camus sebagai penulis terkemuka Prancis dan dunia. Tetapi sekaligus menunjukan komitmen Camus, yang seperti dikatakannya”untuk mengabdi pada kebenaran, dan mengabdi pada kemerdekaan.”

Esai-esai dalam ”Resistence, Rebelion and Death” ini seperti dikatakan Justin O’ brein dalam kata pengantarnya untuk buku ini, adalah esai-esai yang memperkenalkan Camus yang sebenar-benarnya baru—apa yang mungkin boleh disebut sebagai Camus yang sebenarnya (The Camus Actuel). Esai-esai dalam buku ini mengungkapkan secara lebih jelas sikap salah seorang dari jiwa paling jelas dari zaman kita—orang yang komit sekaligus jauh. Atau seperti dikatakan dengan tersirat dalam esai moralnya sendiri “The Artist at Work”, seorang yang solider dan sekaligus soliter. Maka terasa tidak berlebihan bila Justin O’ brien menyebut camus dan tulisannya seperti 3 volume title esainya, Actuelles: kecil tapi padat, menyindir tapi tidak deskriptif, dan bersahaja. Berlaku sekarang dan untuk kepentingan saat ini.
***

”Resistence, Rebelion and Death” ini berisikan 23 esai terbaik Camus yang dipilih olehnya sendiri, yang menurutnya layak untuk diabadikan.

Secara tematik buku ini berbicara tentang kemerdekaan dan (membela) kebebasan, tentang paham kebangsaan (cinta tanah air) beriring dengan faham keadilan (kemanusiaan), juga tentang generasi pasca perang (abad ke 20) yang berhadapan dengan frustasi, pesimisme-nihilisme, juga sosialisme (realis), dan yang terakhir paham kesenian Albert Camus yang terdapat dalam esainya”Taruhan Generasi Kita” dan “Bercarya dalam Bahaya” yang menyiratkan dengan lebih mendalam apa yang disebut Camus sebagai “Memasukkan karya kedalam zamannya.”

Buku ini dibuka dengan ajakan kepada kita untuk merenungkan polemik dan ironi kebangsan (cinta tanah air) dan keadilan sebagai paham kebebasan Camus. Dalam esainya pembukanya kepada Rene Leynaud, ”Kepada Sorang Sahabat Jerman”. Dalam esai itu terdapat sebuah dialog, dimana Camus bicara dengan nada lantang, tegas dan mantap. Dengan gaya pidato seorang propagandis dalam situasi perang. Dengan kesadaran penuh bahwa kata-kata selalu mengambil warna dari setiap perbuatan atau pengorbanan yang ditimbulkan oleh kata-kata itu, yang karenanya tidak memberikan makna yang sama pada kata-kata yang sama, dan tidak berbicara dengan bahasa yang sama. Kata-kata yang dimaksud Camus dalam pembicaraan surat “Kepada Sorang Sahabat Jerman” itu adalah: kata-kata “Tanah Air”

Nasionalisme buta, paham kebebasan orang-orang Jerman (ketika itu) di bawah hiruk pikuk panji perang dan pembantaian Nazisisme: Nasionalisme. Yang menurut Camus, “Bergelimang dalam kebohongan pada saat diperlukan dan abai terhadap pencarian kebenaran. (hlm. 7)

Demikianlah Camus benar-benar mengutuk nasionalisme jenis itu, cinta tanah air; yang hanya demi membangun kejayaan dan bangunan megah tanah airnya, berdiri di atas tumpukan mayat manusia-manusia yang dikalahkan. Pepernagan dan mengabaikan keadilan serta merendahkan intelegensia. “Aku tidak mencintai negaraku, jika ketidakadilan terdapat dalam apa yang kita cintai, itu sama saja dengan tidak mencintainya.”

Dengan cara memandang dunia yang semacam itu, manusia-manusia lantas menjadikan negara sebagai suatu sentris, tujuan tunggal dan yang diluar dari itu bersifat subordinat!! Itulah paham keliru yang ditentang Camus terhadap pemaknaan nasionalisme “Cinta Tanah Air”.

Tema dalam keempat surat Camus untuk Rene Leynaud rasanya tepat untuk generasi kita sekarang untuk merefleksikan kembali gagasan kebangsaan, cinta tanah air yang menancap dalam pikiran dan dada, untuk mempertanyakan kembali, dihadapan paham keadilan, kebebasan dan pencarian terus menerus akan kebenaran dan cinta kasih sesama. Agar jangan sampai kata (demi) tanah air, “mengandung nada tambahan yang buta dan berdarah, dan menjadikan kata itu selamanya bertentangan dengan kemanusiaan kita–keadilan dan kebebasannya-. (Suarat Ketiga, hlm. 23)
***

Konfrontasi dan pesimisme

Ditengah situasi sosiologis dan antropologis yang dibubuhi perang, camp-camp konsentrasi, ketakutan dan ancaman—beserta Prancis yang terjajah Nazisme Jerman, gagasan keadilan, hati nurani, pencarian kebenaran, wajar ketika itu ditempatkan dibawah di posisi subordinat dibawah paham Nasionalisme yang menggelora dan herois; yang dibumbui perlawanan dalam bentuknya yang paling brutal, kebengisan yang sama melukai kemanusian, dianggap sebagai ide pesimistis yang melemahkan hati—dihadapan perang dan perlawanan. Di Prancis dalam suasana perang saat itu pelajaran tentang hati nurani dan kebebasan seperti dibicarakan Alber Camus, atau eksistensialisme (Malraux dan JP. Sarte) benar-benar dituding sebagai cikal pesimisme, soliterisme; benar-benar tidak punya tempat dihadapan Prancis yang Bonaparteis.

Di tengah zaman yang carut marut semacam itu Alber Camus (dengan pembelaanya atas kebebasan&keberanian) menilai gagasan bahwa filsafat pesimistis adalah filsafat yang membuat kecil hati, merupakan ide yang kekanak-kanakkan. Tudingan seperti yang dilakukan oleh Georges Rabeaw dalam artikel “Nazisme tidak mati” yang dicatat dengan herois dan propaganis itu, dianggap Camus sebagai penilaian konformis yang berwawasan dangkal. Bagi Camus, filsafat eksistensial yang panjang dan terkenal itu, yang menurutnya kesimpulannya salah, namun setidaknya merepresenstasikan petualangan besar pikiran; bahwa kode moral bagi manusia memang tidak semuanya harus disimpulkan dalam negasi dan absurditas, namun”Kami harus terlebih dahulu mengemukakan negasi dan absurditas karena mereka itulah yang telah dijumpai oleh generasi kami. Karena bagi kami peradaban tidak dibangun dengan menegur orang secara pedas. Peradaban dibangun dengan konfrontasi ide-ide, dengan jiwa-jiwa, serta serta dengan penderitaan dan keberanian.” (Pesimisme dan Tirani, hlm. 73-74)—Combat, September 1945.
***

Camus bukan tanpa kekurangan, buku yang ditulisnya, yang berisi keprihatinan atas zamannya ini—yang ditulis dengan kekhasan antara polemis dan tragedinya, yang ia penuh vitalitet dan dedikasi untuk generasi zamannya dan yang ia berkarya dalam bahaya, dalam beberapa bagian menunjukan sisi absurditas dan diri soliter yang melewati batas yang diterapkan oleh dirinya sendiri dan zaman kita sekarang. Beberapa tema pun terasa janggal bagi zaman kita sekarang misalnya tema-tema soal pers heroisme atau tema kesenian yang dibicarakan Camus. Namun hal itu tidak menutupi manfaat buku ini sebagai pemandu refleksi bagi banyak hal untuk manusia dan generasi kita. Bagi mereka yang masih perduli kebebasan kita??

*) Penulis adalah Direktur pada Lingkar Studi Kebudayaan Indonesia (LSKI)Jakarta, dan bekerja sebagai Editor Publikasi Indhrra (Indonesian Secretariat for the Development of Human Resources in Rural Areas) Yayasan Bina Desa.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi