Sabiq Carebesth*
http://oase.kompas.com/
Judul : ”Resistence, Rebelion and Death” /Perlawanan, Pemberontakan, Kematian.
Pengarang : Albert Camus
Penerbit : Pustaka Promethea
Cetakan : cet 1, 2007
Tebal : X+ 350 hlm
Buku ini ditulis Albert Camus dengan bahasa kita, dia berbicara pada kita, dan tentang masalah-masalah kita. Seperti yang ditegaskannya sendiri dalalam surat penghargaan Nobelnya 1957, ”Masalah-masalah hati nurani manusia di zaman kita.” Zaman generasi pasca perang.
Oleh karenanya tidak berlebihan rasanya untuk menyebut buku ini sebagai kepemimpinan intelektual, politik bagi generasi sesudah perang, generasi kita. Siapakah generasi pasca perang? Ialah generasi abad ke-20. Generasi dan suatu abad zaman yang diliputi perang; kegetiran kamp-kamp buruh-budak di rusia, ironisme dukungan AS terhadap Spanyol di bawah kekuasan Franco. Juga nihilisme prematur dan pesimisme yang dianggap sebagai racun abad yang sulit diatasi. Dan sekarang generasi yang mengalami anomi (unnormality; life without charakter dan value) sebagai akibat panjang dari konstruksi budaya neoliberal yang hedonis sekaligus eksploitatif.
Di Indonesia kita yang elok ini? Abad 20 adalah abad pergolakan, peralihan menuju modern yang dipaksakan, impian melesat untuk menjadi sama modern dengan negara-negara maju di belahan eropa dan amerika sana, yang rupanya menyimpan pula ironi dan tragiknya: peristiwa 1965, polemik politik aliran, konflik dan profokasi horozontal, ekonomi pembangunan (developmentalisme) yang timpang, dan tidak luput pula polemik ironis kebudayaan LEKRA vs Manifesto Kebudayaan.—itulah masalah hati nurani manusia di zaman generasi kita.
Di tengah situasi memprihatinkan itulah Albert Camus muncul, hadir (bersama karya-karya polemisnya) memberontak dari kegelisahan dan tempat yang dirasakannya tidak sesuai hati nurani kemanusiaan, untuk berbicara lantang menjadi pembela gigih atas nilai-nilai moral positif kita dan “manusia-manusia diam yang”, diseluruh dunia, memikul kehidupan yang telah diciptakan untuk mereka. Itulah yang dilakukan Camus dengan karyanya; berbicara sejauh dia dapat bagi mereka yang tidak dapat berbicara.” Fungsi penulis bukanlah tanpa tugas yang sulit. Penulis hari ini tidak boleh melayani mereka yang membuat sejarah. Dia harus melayani mereka yang menjadi sasaran sejarah itu.” Itulah credo yang disampaikan Camus di balai kota Stock Holm 1957.
Tidak lama setelah The Stranger, The Plague mendapat pujian dari semua negara, pada 1950, 1953 dan 1958 Alber Camus meluncurkan tiga Volume “Actuelles”. Tiga volume actueless dan sebuah buku kumpulan esainya bertajuk ”Resistence, Rebelion and Death”, tidak hanya meneguhkan eksistensi Camus sebagai penulis terkemuka Prancis dan dunia. Tetapi sekaligus menunjukan komitmen Camus, yang seperti dikatakannya”untuk mengabdi pada kebenaran, dan mengabdi pada kemerdekaan.”
Esai-esai dalam ”Resistence, Rebelion and Death” ini seperti dikatakan Justin O’ brein dalam kata pengantarnya untuk buku ini, adalah esai-esai yang memperkenalkan Camus yang sebenar-benarnya baru—apa yang mungkin boleh disebut sebagai Camus yang sebenarnya (The Camus Actuel). Esai-esai dalam buku ini mengungkapkan secara lebih jelas sikap salah seorang dari jiwa paling jelas dari zaman kita—orang yang komit sekaligus jauh. Atau seperti dikatakan dengan tersirat dalam esai moralnya sendiri “The Artist at Work”, seorang yang solider dan sekaligus soliter. Maka terasa tidak berlebihan bila Justin O’ brien menyebut camus dan tulisannya seperti 3 volume title esainya, Actuelles: kecil tapi padat, menyindir tapi tidak deskriptif, dan bersahaja. Berlaku sekarang dan untuk kepentingan saat ini.
***
”Resistence, Rebelion and Death” ini berisikan 23 esai terbaik Camus yang dipilih olehnya sendiri, yang menurutnya layak untuk diabadikan.
Secara tematik buku ini berbicara tentang kemerdekaan dan (membela) kebebasan, tentang paham kebangsaan (cinta tanah air) beriring dengan faham keadilan (kemanusiaan), juga tentang generasi pasca perang (abad ke 20) yang berhadapan dengan frustasi, pesimisme-nihilisme, juga sosialisme (realis), dan yang terakhir paham kesenian Albert Camus yang terdapat dalam esainya”Taruhan Generasi Kita” dan “Bercarya dalam Bahaya” yang menyiratkan dengan lebih mendalam apa yang disebut Camus sebagai “Memasukkan karya kedalam zamannya.”
Buku ini dibuka dengan ajakan kepada kita untuk merenungkan polemik dan ironi kebangsan (cinta tanah air) dan keadilan sebagai paham kebebasan Camus. Dalam esainya pembukanya kepada Rene Leynaud, ”Kepada Sorang Sahabat Jerman”. Dalam esai itu terdapat sebuah dialog, dimana Camus bicara dengan nada lantang, tegas dan mantap. Dengan gaya pidato seorang propagandis dalam situasi perang. Dengan kesadaran penuh bahwa kata-kata selalu mengambil warna dari setiap perbuatan atau pengorbanan yang ditimbulkan oleh kata-kata itu, yang karenanya tidak memberikan makna yang sama pada kata-kata yang sama, dan tidak berbicara dengan bahasa yang sama. Kata-kata yang dimaksud Camus dalam pembicaraan surat “Kepada Sorang Sahabat Jerman” itu adalah: kata-kata “Tanah Air”
Nasionalisme buta, paham kebebasan orang-orang Jerman (ketika itu) di bawah hiruk pikuk panji perang dan pembantaian Nazisisme: Nasionalisme. Yang menurut Camus, “Bergelimang dalam kebohongan pada saat diperlukan dan abai terhadap pencarian kebenaran. (hlm. 7)
Demikianlah Camus benar-benar mengutuk nasionalisme jenis itu, cinta tanah air; yang hanya demi membangun kejayaan dan bangunan megah tanah airnya, berdiri di atas tumpukan mayat manusia-manusia yang dikalahkan. Pepernagan dan mengabaikan keadilan serta merendahkan intelegensia. “Aku tidak mencintai negaraku, jika ketidakadilan terdapat dalam apa yang kita cintai, itu sama saja dengan tidak mencintainya.”
Dengan cara memandang dunia yang semacam itu, manusia-manusia lantas menjadikan negara sebagai suatu sentris, tujuan tunggal dan yang diluar dari itu bersifat subordinat!! Itulah paham keliru yang ditentang Camus terhadap pemaknaan nasionalisme “Cinta Tanah Air”.
Tema dalam keempat surat Camus untuk Rene Leynaud rasanya tepat untuk generasi kita sekarang untuk merefleksikan kembali gagasan kebangsaan, cinta tanah air yang menancap dalam pikiran dan dada, untuk mempertanyakan kembali, dihadapan paham keadilan, kebebasan dan pencarian terus menerus akan kebenaran dan cinta kasih sesama. Agar jangan sampai kata (demi) tanah air, “mengandung nada tambahan yang buta dan berdarah, dan menjadikan kata itu selamanya bertentangan dengan kemanusiaan kita–keadilan dan kebebasannya-. (Suarat Ketiga, hlm. 23)
***
Konfrontasi dan pesimisme
Ditengah situasi sosiologis dan antropologis yang dibubuhi perang, camp-camp konsentrasi, ketakutan dan ancaman—beserta Prancis yang terjajah Nazisme Jerman, gagasan keadilan, hati nurani, pencarian kebenaran, wajar ketika itu ditempatkan dibawah di posisi subordinat dibawah paham Nasionalisme yang menggelora dan herois; yang dibumbui perlawanan dalam bentuknya yang paling brutal, kebengisan yang sama melukai kemanusian, dianggap sebagai ide pesimistis yang melemahkan hati—dihadapan perang dan perlawanan. Di Prancis dalam suasana perang saat itu pelajaran tentang hati nurani dan kebebasan seperti dibicarakan Alber Camus, atau eksistensialisme (Malraux dan JP. Sarte) benar-benar dituding sebagai cikal pesimisme, soliterisme; benar-benar tidak punya tempat dihadapan Prancis yang Bonaparteis.
Di tengah zaman yang carut marut semacam itu Alber Camus (dengan pembelaanya atas kebebasan&keberanian) menilai gagasan bahwa filsafat pesimistis adalah filsafat yang membuat kecil hati, merupakan ide yang kekanak-kanakkan. Tudingan seperti yang dilakukan oleh Georges Rabeaw dalam artikel “Nazisme tidak mati” yang dicatat dengan herois dan propaganis itu, dianggap Camus sebagai penilaian konformis yang berwawasan dangkal. Bagi Camus, filsafat eksistensial yang panjang dan terkenal itu, yang menurutnya kesimpulannya salah, namun setidaknya merepresenstasikan petualangan besar pikiran; bahwa kode moral bagi manusia memang tidak semuanya harus disimpulkan dalam negasi dan absurditas, namun”Kami harus terlebih dahulu mengemukakan negasi dan absurditas karena mereka itulah yang telah dijumpai oleh generasi kami. Karena bagi kami peradaban tidak dibangun dengan menegur orang secara pedas. Peradaban dibangun dengan konfrontasi ide-ide, dengan jiwa-jiwa, serta serta dengan penderitaan dan keberanian.” (Pesimisme dan Tirani, hlm. 73-74)—Combat, September 1945.
***
Camus bukan tanpa kekurangan, buku yang ditulisnya, yang berisi keprihatinan atas zamannya ini—yang ditulis dengan kekhasan antara polemis dan tragedinya, yang ia penuh vitalitet dan dedikasi untuk generasi zamannya dan yang ia berkarya dalam bahaya, dalam beberapa bagian menunjukan sisi absurditas dan diri soliter yang melewati batas yang diterapkan oleh dirinya sendiri dan zaman kita sekarang. Beberapa tema pun terasa janggal bagi zaman kita sekarang misalnya tema-tema soal pers heroisme atau tema kesenian yang dibicarakan Camus. Namun hal itu tidak menutupi manfaat buku ini sebagai pemandu refleksi bagi banyak hal untuk manusia dan generasi kita. Bagi mereka yang masih perduli kebebasan kita??
*) Penulis adalah Direktur pada Lingkar Studi Kebudayaan Indonesia (LSKI)Jakarta, dan bekerja sebagai Editor Publikasi Indhrra (Indonesian Secretariat for the Development of Human Resources in Rural Areas) Yayasan Bina Desa.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar