Budiman Sudjatmiko*
http://www.tempointeraktif.com/
Bagaimanakah kita harus memaknai seratus tahun kebangkitan nasional? Rasa-rasanya, bagi kebanyakan orang saat ini, sebuah perayaan sebagai bentuk parade sukacita bukanlah pilihan. Tentu tak mungkin menabuh gendang dan menari di kala rakyat masih dibelenggu oleh ancaman kesulitan hidup yang semakin menyesakkan hari demi hari.
Mungkin sebuah perenungan akan lebih tepat. Perenungan untuk mencari di manakah hilangnya jejak-jejak kebangkitan akan lebih bermakna justru di tengah semakin sirnanya asa akibat perhelatan tekanan kehidupan karena tersanderanya republik.
Seratus tahun lalu, mahasiswa-mahasiswa sekolah kedokteran STOVIA menemukan momentum kebangkitan di tengah impitan penindasan kolonialisme. Kita pun kini mencoba mengikuti jejak mereka mencari momentum yang sama di tengah pengisapan neoliberalisme. Namun, di manakah kita harus mulai?
Kerja kolektif
Marilah kita mulai, seperti mereka dulu, dengan menumbuhkan kesadaran akan realitas ketertindasan dan ketertinggalan. Inilah saat ketika pilihan-pilihan tersandera akibat hilangnya peran negara sebagai badan publik, yang ironisnya dibentuk secara sadar untuk melindungi kepentingan masyarakat. Ungkapan “tiada pilihan yang tersisa selain memotong subsidi” adalah contoh nyata sirnanya tanggung jawab sosial negara sekaligus pengabaian atas alasan adanya negara.
Kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan bukanlah perkara mudah. Seabad yang lalu, para aktivis pergerakan harus mengunjungi daerah demi daerah untuk menyadarkan rakyat akan ketertindasan mereka. Kesadaran itu terkubur di tengah tuntutan pragmatisme hidup dan janji-janji manis elite kolonial dengan kampanye politik etis. Kini kesadaran pun mungkin terbenam di antara tekanan untuk bertahan hidup dan politik tebar pesona yang meninabobokan rakyat.
Sejarah kita sendiri kerap menunjukkan bahwa di tengah situasi fatamorgana itu, mobilisasi gagasan dan mobilisasi sumber daya manusia menjadi penting. Mobilisasi melalui pengorganisasian politik massa-rakyat yang dapat membuat tiap individu yang sadar menjadi pelaku-pelaku perubahan. Mata mereka yang tertindas harus dibuka, sehingga mereka sadar bahwa perubahan tidak datang dari langit. Perubahan tidak datang dari seorang satria piningit. Perubahan datang dari tiap orang biasa yang sadar bahwa mereka harus berubah, melakukan perubahan, dan menjamin masa depan untuk kehidupan yang lebih baik untuk semua. Perubahan adalah buah kerja keras panjang yang tanpa kenal lelah dan tetap bekerja untuk mengakhiri suatu bangunan struktur yang membuat mereka tertindas/tertinggal.
Tidak hanya sampai di situ. Perubahan adalah juga kerja bersama, seperti seratus tahun lalu, bukan kesadaran dan kerja individu yang melahirkan kebangkitan nasional. Kolektivitas adalah apa yang membedakan pergerakan kemerdekaan sebelum dan sesudah 20 Mei 1908.
Perasaan ketertindasan/ketertinggalan sebagai satu entitas bangsa menjadi faktor pembeda dari upaya-upaya perjuangan para pangeran, raja, dan ulama yang pernah mengangkat senjata melawan kolonialisme. Kesadaran kolektivitas para mahasiswa STOVIA-lah yang 20 tahun kemudian melahirkan tonggak sejarah baru dalam kongres pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda. Melalui sumpah itulah kebangkitan nasional melahirkan suatu entitas politik-kebangsaan baru, yaitu Indonesia.
Jejak kerja bersama itu yang mungkin harus kita cari saat ini di tengah politik liberalisme (di tengah kurangnya kadar kesadaran menjadi demokrat) yang membuat semangat kekelompokan berdominasi. Memang, hampir mustahil menghapuskan kepentingan pribadi dan kelompok ketika ia memang secara sah diharuskan berkontestasi. Namun, ketika ia menjadi panglima, tujuan bersama pun menjadi sisa-sisa.
Kebangkitan sebagai spirit
Kebangkitan itu sebagian besarnya adalah soal spirit. Spirit letaknya ada dalam imajinasi pikiran dan kegelisahan yang mengusik hati sanubari massa. Imajinasi yang sedemikian rupa sehingga menginspirasi orang secara massif. Barulah imajinasi massif itu mewujud dalam tindakan sosial.
Harapan pada suatu zaman kebangkitan yang mampu membebaskan bangsa dari kolonialisme adalah spirit yang menyebar hingga ke dalam bentuk gosip-gosip di kalangan masyarakat. Ia menjadi discourse sosial. Discourse yang meluas ke tingkat massa menyebabkan massa gelisah, bak api dalam sekam yang mencari jawaban atas hari ini dan hari depannya.
Discourse yang bergerak di tingkat masyarakat di era kolonial itu suatu kali memiliki momentum meletup tanpa terkendali, dikatalisasi oleh tekanan sosial dan ekonomi yang luar biasa serta berita kebangkitan negara Timur lainnya. Potensi letupan-letupan kecilnya dapat kita lihat dalam berbagai bentuk, mulai selebaran-selebaran di tingkat massa hingga bentrokan-bentrokan fisik dengan aparat kolonial. Perlawanan diam-diam dan terbuka ke bentuk yang paling konfliktual secara terbuka sesungguhnya hanyalah wajah permukaan. Ada yang jauh mengendap di dalam hati massa itu, yaitu kebangkitan kemerdekaan bangsa.
Pada masa itu, suasana spirit sosial itu sebenarnya hanya menunggu suatu keberanian untuk memimpin proses perubahannya. Hanya tinggal menunggu pemimpin yang punya keberanian memimpin perubahan untuk berangkat melalui imajinasi sosial rakyat. Dari sana lalu memuarakan letusan-letusan sosial itu menjadi sebuah tindakan yang, karena massif diikuti oleh massa rakyat yang gelisah terhadap perubahan menentang kolonialisme, bermetamorfosis menjadi gerakan sosial politik yang dahsyat pada masa-masa berikutnya. Itulah riwayat bagaimana bangsa ini akhirnya meraih kemerdekaan untuk dirinya.
Pertanyaannya, refleksi bagi kita kini adalah mampukah kita menangkap gejala-gejala spirit perubahan di tingkat rakyat itu, kini dan di sini? Kemudian mampukah kita menangkap imajinasi sosial dan mengkristalisasikannya? Kristalisasi adalah bentuk olahan terhadap imajinasi sosial itu. Kemudian menyebarkannya ulang ke dalam suatu cita-cita yang bisa diterima dan dibenarkan oleh rakyat. Jika kita bisa menangkap imajinasi sosial rakyat itu, kini tugas kita menjadi lebih jelas: memimpin cita-cita perubahan rakyat dalam rangka kebangkitan nasional selanjutnya.
Spirit yang mencari pemimpin
Proses ini mungkin dapat disebut sebagai suatu discourse sosial. Suatu proses komunikasi teks tuturan rakyat, dengan segala model bentuknya, yang ditangkap oleh aktivis gerakan sosial, diolah, dan dinyatakan kembali kepada massa rakyat. Ini seperti peristiwa rekontekstualisasi yang kompleks. Melibatkan rakyat beserta teks sosialnya, diterima oleh aktivis sosial dan diberikan bentuk konteks baru, kemudian disampaikan dalam bentuk teks progresif yang menginspirasi khalayak rakyat secara massif. Tak bisa dibantah bahwa ini merupakan suatu proses discourse yang kompleks.
Namun, jika kita mampu dengan tepat memposisikan diri di arena komunikasi sosial itu, kita mampu bukan hanya menyelami imajinasi sosial rakyat, melainkan juga maju selangkah lagi dengan memimpin imajinasi rakyat ke dalam bentuk tindakan perubahan yang luar biasa. Syaratnya sederhana saja. Sebagaimana pada awal-awal kebangkitan, hampir semua pemimpin kebangkitan nasional hidup bersama rakyat, sangat dekat dengan kehidupan keseharian rakyat, sehingga bahasa rakyat hampir tak berjarak dengannya. Pesan sosial rakyat bisa diterima dengan sangat baik oleh mereka.
Pertanyaan reflektif kepada kita adalah sedekat mana jarak kedekatan komunikasi sehari-hari kita dengan rakyat. Sedekat apa kita bisa memahami pesan massa rakyat. Jadi, menurut saya, konteks kebangkitan baru ini hanya perlu disederhanakan saja, sebagai sebuah teks baru, sedangkan mekanisme prosesual pemberian maknanya hanya perlu direfleksikan dari pengertian pada proses yang sama pada awal kebangkitan pertama 1908.
Sejarah kembali mengetuk pintu rumah kita, hanya mereka yang berjiwa pemimpin akan punya cukup keberanian untuk membukakan pintunya: bersiap menerima kenyataan sejarah apa pun yang akan datang. Itulah yang dilakukan oleh dr Soetomo, dr Wahidin Soedirohoesodo, dan kawan-kawan pada 100 tahun yang lampau.
*) Ketua Umum Relawan Perjuangan Demokrasi-PDI Perjuangan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar