Sabtu, 01 Mei 2010

Menggali Jejak Kebangkitan

Budiman Sudjatmiko*
http://www.tempointeraktif.com/

Bagaimanakah kita harus memaknai seratus tahun kebangkitan nasional? Rasa-rasanya, bagi kebanyakan orang saat ini, sebuah perayaan sebagai bentuk parade sukacita bukanlah pilihan. Tentu tak mungkin menabuh gendang dan menari di kala rakyat masih dibelenggu oleh ancaman kesulitan hidup yang semakin menyesakkan hari demi hari.

Mungkin sebuah perenungan akan lebih tepat. Perenungan untuk mencari di manakah hilangnya jejak-jejak kebangkitan akan lebih bermakna justru di tengah semakin sirnanya asa akibat perhelatan tekanan kehidupan karena tersanderanya republik.

Seratus tahun lalu, mahasiswa-mahasiswa sekolah kedokteran STOVIA menemukan momentum kebangkitan di tengah impitan penindasan kolonialisme. Kita pun kini mencoba mengikuti jejak mereka mencari momentum yang sama di tengah pengisapan neoliberalisme. Namun, di manakah kita harus mulai?

Kerja kolektif

Marilah kita mulai, seperti mereka dulu, dengan menumbuhkan kesadaran akan realitas ketertindasan dan ketertinggalan. Inilah saat ketika pilihan-pilihan tersandera akibat hilangnya peran negara sebagai badan publik, yang ironisnya dibentuk secara sadar untuk melindungi kepentingan masyarakat. Ungkapan “tiada pilihan yang tersisa selain memotong subsidi” adalah contoh nyata sirnanya tanggung jawab sosial negara sekaligus pengabaian atas alasan adanya negara.

Kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan bukanlah perkara mudah. Seabad yang lalu, para aktivis pergerakan harus mengunjungi daerah demi daerah untuk menyadarkan rakyat akan ketertindasan mereka. Kesadaran itu terkubur di tengah tuntutan pragmatisme hidup dan janji-janji manis elite kolonial dengan kampanye politik etis. Kini kesadaran pun mungkin terbenam di antara tekanan untuk bertahan hidup dan politik tebar pesona yang meninabobokan rakyat.

Sejarah kita sendiri kerap menunjukkan bahwa di tengah situasi fatamorgana itu, mobilisasi gagasan dan mobilisasi sumber daya manusia menjadi penting. Mobilisasi melalui pengorganisasian politik massa-rakyat yang dapat membuat tiap individu yang sadar menjadi pelaku-pelaku perubahan. Mata mereka yang tertindas harus dibuka, sehingga mereka sadar bahwa perubahan tidak datang dari langit. Perubahan tidak datang dari seorang satria piningit. Perubahan datang dari tiap orang biasa yang sadar bahwa mereka harus berubah, melakukan perubahan, dan menjamin masa depan untuk kehidupan yang lebih baik untuk semua. Perubahan adalah buah kerja keras panjang yang tanpa kenal lelah dan tetap bekerja untuk mengakhiri suatu bangunan struktur yang membuat mereka tertindas/tertinggal.

Tidak hanya sampai di situ. Perubahan adalah juga kerja bersama, seperti seratus tahun lalu, bukan kesadaran dan kerja individu yang melahirkan kebangkitan nasional. Kolektivitas adalah apa yang membedakan pergerakan kemerdekaan sebelum dan sesudah 20 Mei 1908.

Perasaan ketertindasan/ketertinggalan sebagai satu entitas bangsa menjadi faktor pembeda dari upaya-upaya perjuangan para pangeran, raja, dan ulama yang pernah mengangkat senjata melawan kolonialisme. Kesadaran kolektivitas para mahasiswa STOVIA-lah yang 20 tahun kemudian melahirkan tonggak sejarah baru dalam kongres pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda. Melalui sumpah itulah kebangkitan nasional melahirkan suatu entitas politik-kebangsaan baru, yaitu Indonesia.

Jejak kerja bersama itu yang mungkin harus kita cari saat ini di tengah politik liberalisme (di tengah kurangnya kadar kesadaran menjadi demokrat) yang membuat semangat kekelompokan berdominasi. Memang, hampir mustahil menghapuskan kepentingan pribadi dan kelompok ketika ia memang secara sah diharuskan berkontestasi. Namun, ketika ia menjadi panglima, tujuan bersama pun menjadi sisa-sisa.

Kebangkitan sebagai spirit

Kebangkitan itu sebagian besarnya adalah soal spirit. Spirit letaknya ada dalam imajinasi pikiran dan kegelisahan yang mengusik hati sanubari massa. Imajinasi yang sedemikian rupa sehingga menginspirasi orang secara massif. Barulah imajinasi massif itu mewujud dalam tindakan sosial.

Harapan pada suatu zaman kebangkitan yang mampu membebaskan bangsa dari kolonialisme adalah spirit yang menyebar hingga ke dalam bentuk gosip-gosip di kalangan masyarakat. Ia menjadi discourse sosial. Discourse yang meluas ke tingkat massa menyebabkan massa gelisah, bak api dalam sekam yang mencari jawaban atas hari ini dan hari depannya.

Discourse yang bergerak di tingkat masyarakat di era kolonial itu suatu kali memiliki momentum meletup tanpa terkendali, dikatalisasi oleh tekanan sosial dan ekonomi yang luar biasa serta berita kebangkitan negara Timur lainnya. Potensi letupan-letupan kecilnya dapat kita lihat dalam berbagai bentuk, mulai selebaran-selebaran di tingkat massa hingga bentrokan-bentrokan fisik dengan aparat kolonial. Perlawanan diam-diam dan terbuka ke bentuk yang paling konfliktual secara terbuka sesungguhnya hanyalah wajah permukaan. Ada yang jauh mengendap di dalam hati massa itu, yaitu kebangkitan kemerdekaan bangsa.

Pada masa itu, suasana spirit sosial itu sebenarnya hanya menunggu suatu keberanian untuk memimpin proses perubahannya. Hanya tinggal menunggu pemimpin yang punya keberanian memimpin perubahan untuk berangkat melalui imajinasi sosial rakyat. Dari sana lalu memuarakan letusan-letusan sosial itu menjadi sebuah tindakan yang, karena massif diikuti oleh massa rakyat yang gelisah terhadap perubahan menentang kolonialisme, bermetamorfosis menjadi gerakan sosial politik yang dahsyat pada masa-masa berikutnya. Itulah riwayat bagaimana bangsa ini akhirnya meraih kemerdekaan untuk dirinya.

Pertanyaannya, refleksi bagi kita kini adalah mampukah kita menangkap gejala-gejala spirit perubahan di tingkat rakyat itu, kini dan di sini? Kemudian mampukah kita menangkap imajinasi sosial dan mengkristalisasikannya? Kristalisasi adalah bentuk olahan terhadap imajinasi sosial itu. Kemudian menyebarkannya ulang ke dalam suatu cita-cita yang bisa diterima dan dibenarkan oleh rakyat. Jika kita bisa menangkap imajinasi sosial rakyat itu, kini tugas kita menjadi lebih jelas: memimpin cita-cita perubahan rakyat dalam rangka kebangkitan nasional selanjutnya.

Spirit yang mencari pemimpin

Proses ini mungkin dapat disebut sebagai suatu discourse sosial. Suatu proses komunikasi teks tuturan rakyat, dengan segala model bentuknya, yang ditangkap oleh aktivis gerakan sosial, diolah, dan dinyatakan kembali kepada massa rakyat. Ini seperti peristiwa rekontekstualisasi yang kompleks. Melibatkan rakyat beserta teks sosialnya, diterima oleh aktivis sosial dan diberikan bentuk konteks baru, kemudian disampaikan dalam bentuk teks progresif yang menginspirasi khalayak rakyat secara massif. Tak bisa dibantah bahwa ini merupakan suatu proses discourse yang kompleks.

Namun, jika kita mampu dengan tepat memposisikan diri di arena komunikasi sosial itu, kita mampu bukan hanya menyelami imajinasi sosial rakyat, melainkan juga maju selangkah lagi dengan memimpin imajinasi rakyat ke dalam bentuk tindakan perubahan yang luar biasa. Syaratnya sederhana saja. Sebagaimana pada awal-awal kebangkitan, hampir semua pemimpin kebangkitan nasional hidup bersama rakyat, sangat dekat dengan kehidupan keseharian rakyat, sehingga bahasa rakyat hampir tak berjarak dengannya. Pesan sosial rakyat bisa diterima dengan sangat baik oleh mereka.

Pertanyaan reflektif kepada kita adalah sedekat mana jarak kedekatan komunikasi sehari-hari kita dengan rakyat. Sedekat apa kita bisa memahami pesan massa rakyat. Jadi, menurut saya, konteks kebangkitan baru ini hanya perlu disederhanakan saja, sebagai sebuah teks baru, sedangkan mekanisme prosesual pemberian maknanya hanya perlu direfleksikan dari pengertian pada proses yang sama pada awal kebangkitan pertama 1908.

Sejarah kembali mengetuk pintu rumah kita, hanya mereka yang berjiwa pemimpin akan punya cukup keberanian untuk membukakan pintunya: bersiap menerima kenyataan sejarah apa pun yang akan datang. Itulah yang dilakukan oleh dr Soetomo, dr Wahidin Soedirohoesodo, dan kawan-kawan pada 100 tahun yang lampau.

*) Ketua Umum Relawan Perjuangan Demokrasi-PDI Perjuangan.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi