Hendri R.H
http://oase.kompas.com/
Sepertinya ini sebuah guratan takdir bahwasannya kami harus menyembah redaksi kebudayaan untuk dikatakan sebagai seorang sastrawan. Lalu apakah menjadi sebuah kemutlakan bahwa sastrawan harus melewati penggonjlogan redaksi sastra?
Gelar sastrawan bagi seorang penyair, penulis, esais, dan dramawan bukanlah proses formal sebuah pendidikan akademik. Ada semacam dikotomi bahwa sebenarnya pendidikan formal bagi sastrawan adalah media massa. Pemerolehan gelar sarjana sastra dalam formalitas akademik, tentu tidak menjamin menjadi sastrawan, diperlukan suatu jalan panjang bahwa proses kreatif dan pengakuan dari sastrawan lain itu hal yang cukup penting.
Namun, jika dilihat dari sudut pandang berbeda, proses untuk mendapatkan pengakuan sebagai sastrawan tidaklah mudah. Ada semacam gengsi tersendiri bahwa seorang sastrawan harus identik dengan media massa, atau bahkan karyanya harus sering nongol di media massa.
Sastrawan yang baru naik daun akan senang ketika karyanya dihargai oleh orang sekelas Nirwan Dewanto, atau bahkan sekalipun dicaci maki oleh seorang H.B Jassin. Karya sastra yang dihasilkan tentu bukan hanya untuk konsumsi pribadi namun juga dipublikasikan ke khalayak umum. Dengan kata lain sastrawan sendiri membutuhkan eksistensi agar karya-karyanya dapat dikenal.
Menariknya dalam ruang lingkup sejarah sastra Indonesia, kemunculan media massa membawa angin perubahan yang cukup berarti, lihat saja W.S Rendra yang karyanya pertama kali dimuat dalam majalah-makalah terkemuka di Jakarta dan lembaran kebudayaan di Solo dan Yogya. Belum lagi Seno Gumira Adjidarma, Acep Zamzam Noor, Sutardji Calzoum Bachri dan Joni Aria Dinata yang hidup dan menemukan gelar sastrawannya lewat media massa.
Penghargaan dan pengakuan tersebut sebenarnya membuat sebuah pembenaran bahwa seorang penulis ketika berhasil melewati testing redaksi, telah dianggap sebagai seorang sastrawan. Asumsi semacam ini memang benar adanya, karena saking hidupnya dunia sastra, bermunculan penyair-penyair muda dalam khazanah sastra Indonesia. Di satu sisi hal ini menjadi modal awal bagi sastrawan muda untuk menggali dan mengembangkan potensinya. Terlebih ketika karyanya dimuat, mau tidak mau akan mempengaruhi kepercayaan dirinya.
Dalam ruang batas seperti inilah, penggolongan antara penulis akademik dan non-akademik, berbaur menjadi satu. Dihadapan seorang redaktur sastra, tidak ada semacam dikotomi berlabel akademisi sastra, justru karya yang menjadi label tersendiri. Sehingga siapa saja bisa menemukan gelar sastrawannya ketika memasuki dunia koran dan majalah.
Pengkaderan sastrawan oleh redaktur sastra sebenarnya berawal dari abad ke-20 ketika di Bandung terbit sebuah surat kabar Medan Prijaji dengan redaktur R.M.D Tirto Adhi Soerjo yang memuat cerita-cerita bersambung berbentuk roman. Berlanjut sampai zaman balai Pustaka dan angkatan 66, sudah banyak media massa yang ikut melestarikan sastra diantaranya Jong Sumatra, Sastra, Indonesia dan Horizon dan Kalam yang dikelola oleh kelompok Teater Utan Kayu. Sampai sekarang ini, mungkin hanya surat kabar yang masih setia menyajikan rubrik sastra tiap minggu.
Pemerolehan gelar untuk menjadi seorang sastrawan tentu saja tidak harus melalui koran atau majalah. Taufik Ismail misalnya, justru eksis ketika karyanya dibacakan dalam sebuah demonstrasi mahasiswa dan pelajar dalam menyampaikan TRITURA. Pengarang yang hidup dalam dunia “perlawanan” juga tak kalah eksistensinya, misalnya Wiji Tukul yang menyuarakan kaum buruh.
Tetapi hal demikian akan sulit diterapkan pada masa sekarang, dulu ketika orang membaca dan menulis dianggap sebagai sebuah barang langka, kini setiap orang bisa melakukannya. Sehingga mau tidak mau sastrawan butuh media untuk eksisistensi dan penggonjlogan dari redaksi sastra, terutama bagi media yang sudah malang melintang di media massa, seperti Horizon, Kompas, Republika, dan Tempo. Persaingan tentu menjadi hal menarik untuk mengukuhkan gelar sastrawannya.
Bahkan saking ketatnya persaingan untuk karya pada koran dan majalah. Seorang sastrawan muda harus mampu bersaing dengan sastrawan senior dalam hal eksistensi. Sastrawan sekelas Hamsad Rangkuti, Taufik Ismail, Putu Wijaya dan Sides Sudyarto, masih tetap aktif menulis untuk Koran dan majalah. Padahal sebenarnya mereka sudah mempunyai pamor jika seandainya mau menerbitkan buku sekalipun.
Seno Gumira Adjidarma yang malang melintang dalam dunia Koran, membuat sendiri kumpulan cerpennya, Sepotong Senja Untuk Pacarku, Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta, Saksi Mata, Penembak Misterius, Kematian Donny Osmond, Dunia Sukab, Iblis Tidak Pernah Mati, Di Larang Menyanyi di Kamar Mandi, adalah kumpulan cerpen dia ketika ditulis di media massa. Padahal jika berpijak pada ketenaran namanya, dia toh bisa saja membuat antologi independen yang terlepas dari media massa. Namun testing media massa justru membuat para cerpenis membukukan kembali karyanya, seakan cerpen-cerpen tersebut sudah lulus dan berlabel sertifikasi media massa.
Lain hal dengan para penyair yang rame-rame membukukan kembali karyanya ketika di media massa. Kompas saban tahun juga menerbitkan buku kumpulan cerpen, yang lebih dikenal dengan cerpen pilihan kompas. Pembukuan kembali cerpen seperti ini seperti mengundang kembali kanonisasi karya sastra yang digembar-gemborkan oleh Saut Situmorang.
Sebenarnya kanonisasi yang heboh terlebih dahulu, ketika seorang kritikus sastra Marcel Reich-Ranicki jerman membuat kumpulan karya terbaik. Menurut dia, karya tersebut layak dipandang sebagai karya abadi. Bagaimana dengan Indonesia, tentu saja menimbulkan polemik tersendiri. Akan timbul asumsi publik bahwa karya sastra di luar kumpulan karya sastra tersebut merupakan karya yang tidak bermutu, terutama kumpulan karya media massa ternama yang sudah lulus testing redaksi sastra.
Saut situmorang bahkan menyebut bahwa betapa susahnya menjadi seorang sastrawan Indonesia. Seperti yang ia ungkapkan ketika mengutip pernyataan Nirwan Dewanto dalam “Kilas Balik 2002”, 5 Januari 2003.Redaktur Tempo ini mengatakan.
“Setiap akhir tahun saya merasa lara dan terkutuk sebab saya tahu tak banyak karya sastra dalam bahasa nasional kita dalam setahun itu yang layak dikenang. Sebagian besar hanya akan tinggal sebagai bahan dokumentasi. Juga sepanjang 2002. Namun, takut menjadi anak durhaka di kampung halaman sendiri, saya berusaha toleran terhadap mutu sastra, lalu menghibur diri: lihat, bakat baru terus bermunculan. Ajaib, masih ada yang bisa meloloskan diri dari mediokritas yang kian merajalela dalam masyarakat saya. Bagaimana mungkin negeri yang tenggelam dalam kelisanan ini masih bisa menghasilkan penulis unggul?”
***
Memandang sekilas tentang peranan media masa dalam mendidik seorang penyair. Akan selalu berbenturan bahwa dengan otoriterisme seorang redaksi sastra atau setidaknya harus melewati meja redaksi. Akibatnya banyak orang yang hendak menjadi seorang sastrawan harus menelan pil pahit karena karyanya dimuat sama sekali. Sebagai perlawanan muncul berbagai media lainnya sebagai tandingan media massa, yaitu Internet.
Kemunculan situs dan komunitas sastra Internet mulai merebak ketika Internet masuk ke Indonesia. Hakikatnya setiap orang bisa menulis karya sastra, tanpa ada interfereni semacam redaksi sastra, bahkan saking mudahnya, orang bisa memajang karya-karya dalam ruang pribadi di internet.
Antologipuisi, puisikita, gedongpuisi, puitika dan cybersastra merupakan antek-antek generasi sastra Internet. Saking merakyatnya dunia sastra orang-orang mulai meramaikan khazanah sastra Internet. Malah tahun 2002 situs cybersastra membuat sebuah antologi puisi bernama cyberpunk. Penerbitan antologi puisi sebagai “jalan pintas” untuk mencapai gelar sastrawan tentu saja mengundang berbagai reaksi keras. Dalam sebuah esai Saut Situmorang, Maman S. Mahayana Pengajar FSUI mengatakan , bahwa para penyair cyberpunk Indonesia itu belum pantas untuk dikategorikan sebagai “penyair” tapi “penulis puisi” hanya berdasarkan ketidakjelasan produktivitas mereka belaka.
Sebuah tamparan keras juga dilontarkan Ahmadun Yosi Herfanda, Redaktur Republika ini menyebut bahwa pemuatan karya sastra di Internet, hanyalah karya yang tidak lolos ke Media. Pernyataan ini seakan-akan ada dikotomi yang begitu jauh antara sastra Koran dan sastra Internet.
Para penulis di dunia internet, mungkin menyadari betul bahwa eksistensi menulis di media masa tentu lebih menantang dan mendapatkan keuntungan finansial tersendiri. Namun sepertinya karena kemudahan dan kemajuan zaman, mereka dengan mudah dapat menciptakan media sendiri, sehingga akan lebih bebas berekspresi tanpa rasa deg-degan kecewa ketika karyanya tidak dimuat.
Label-label media massa yang diisi oleh para sastrawan seperti Nirwan Dewanto, Ahda Imran, Rahim Asik, Ahmadun Yosi Herfanda. Seakan sebuah simbolisme keutuhan pengkaderan gelar sastrawan, di tangan merekalah mungkin gelar tersebut dapat diperoleh.
Pemilihan media massa untuk membuka gerbang seorang sastrawan memang tidak dapat dielakan. Eksistensi dan persaingan tentu menjadi hal yang menarik dan menuntut seorang untuk lebih kreatif. Tetapi untuk menjadi gelar seorang sastrawan tentu tidaklah mudah, tidak hanya mengandalkan peran media massa, pemantapan, daya kreatifitas, atau bahkan gelar akademik sekalipun. Karena menjadi seorang sastrawan adalah panggilan hati, itulah kiranya yang dikatakan oleh Acep Zam-zam Noor.
*) Lahir di Sumedang 4 agustus 1989. Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis Esai dan Puisi, puisinya tergabung dalam antologi Para Penyair. Aktif dan bergabung di Komunitas Anak Sastra UPI www.anaksastra.blogspot.com
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar