Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Jika sastra dipercaya merupakan potret sosial yang mengusung ruh kebudayaan masyarakatnya, maka boleh jadi antologi cerpen karya Fakhrunas MA Jabbar ini merepresentasikan kebalau kegelisahan masyarakat Melayu masa kini. Ia berada dalam sebuah garis demarkasi antara keagungan masa lalu dan kesuraman masa depan. Ia bagai berada di tengah kehidupan yang tak dapat melepaskan diri dari tradisi, mitos-mitos masa lalu, dan cengkraman sejarah puak Melayu di satu pihak, dan di pihak lain, ia juga menyadari kondisi masyarakat Melayu masa kini yang tak dapat menahan modernitas.
Jika mitos berfungsi memberi penyadaran akan keberadaan dunia gaib yang irasional dan sekaligus alat meneguhkan keyakinan adanya jaminan kehidupan masa kini, maka tradisi, dalam hal ini, berfungsi sebagai medium bagi individu maupun masyarakat (Melayu), untuk mewujudkan identitasnya. Proses pembentukan identitas itu sendiri tidaklah hadir dan mengada begitu saja. Ia melewati perjalanan waktu yang berkaitan dengan masa lalu dan coba menghubungkannya melalui gerak merangkak menuju masa depan dengan titik berangkat terjadi pada masa kini.
Tempat berdiri di antara masa lalu, masa kini dan masa depan itu, seperti sebuah keniscayaan yang harus diterima dengan sejumlah kearifan. Ia tidak dapat serta-merta meninggalkan masa lalu, melupakan dan menguburnya dalam-dalam. Tetapi ia juga harus bersikap realistik bahwa masa kini adalah titik berangkat untuk melangkah ke masa depan. Itulah yang terjadi pada sebagian besar puak Melayu. Setidak-tidaknya cara pandang dan kearifan itu direpresentasikan dengan sangat baik dalam antologi cerpen ini.
Agak berbeda dengan sastrawan Melayu sezamannya, seperti Taufik Ikram Jamil, Syaukani al-Karim, Abel Tasman, atau Hang Kafrawi, nama yang muncul kemudian, dan sederet panjang nama sastrawan Melayu lainnya, dalam diri Fakhrunas MA Jabbar, kita tidak merasakan adanya semangat menggelegak suara perlawanan dalam menggugat dikotomi Pusat—Daerah. Dalam konteks ini, Fakhrunas seperti sengaja tidak menyentuh wilayah politik pemerintahan yang dalam sejumlah karya sastrawan Riau lainnya sebagai salah satu sumber masalah bagi puak Melayu. Fakhrunas cenderung bermain dalam tataran kultural. Ia melihat, bahwa kebudayaan dimulai dengan kata kerja. Mengada dan berkembang melalui sebuah proses yang tidak statis. Dinamika masyarakat itu sendiri yang mengembangkannya. Maka, modernitas harus diterima sebagai realitas, meski juga tidak berarti menerima dan memamahnya secara serampangan.
Bahwa politik Indonesia (: sentralitas) telah menjauhkan puak Melayu dari kesejahteraan, dan sebaliknya, makin mengakrabkan masyarakatnya pada penderitaan dan kesengsaraan, tidak juga berarti masalah lain harus diabaikan. Masyarakat Melayu dengan tradisi dan sistem kepercayaannya, dengan berbagai mitos masa lalunya, dan dengan perilaku dan pandangan hidupnya, dalam beberapa hal justru menghadirkan masalah ketika modernitas memasuki wilayah domestik mereka. Maka, orientasi yang mengarah pada sejarah keagungan puak Melayu untuk meneguhkan jati diri kemelayuan, tidak ditempatkan sebagai problem keindonesiaan, melainkan hadir dalam konteks kultural. Oleh karena itu, sambil menerima modernitas, kultur Melayu harus disikapi dengan berbagai kearifan lokalnya, dan bukan disingkirkan begitu saja. Ia tidak menolak tradisi, tetapi juga tak mengingkari adanya modernitas yang kini menjadi fakta yang harus diterima, disikapi dan ditegakkan bersama tradisi masa lalu itu. Itulah yang dikatakan Anthony Giddens, sebagai masyarakat pascatradisional. Sebuah masyarakat yang dalam kehidupannya masa kini, masih sangat dipengaruhi oleh perilaku yang berorientasi ke masa lalu, ke tradisi di belakangnya, tetapi masih memperlihatkan jejak-jejaknya dalam ingatan individu yang kemudian menyebar menjadi ingatan kolektif dan mitos-mitos yang terus dipelihara.
Masyarakat Melayu kini, secara faktual, memang tidak lagi dikerangkeng atau didominasi cara pandang tradisionalisme. Ia sudah melewati fase itu. Tetapi, dalam melangkah ke masa depan, kearifan masa lalu, suka atau tidak, dirasakan penuh dengan nilai-nilai yang luhur yang mengagumkan dan memancarkan pesona tentang bagaimana kehidupan ini harus dilakoni secara bijaksana. Dalam tarik-menarik itulah, Fakhrunas MA Jabbar seperti mengingatkan kita untuk tidak gegabah menerima apa pun yang datang atas nama modernitas. Begitu pula, tradisi masa lalu, meski dihadirkan secara intuitif dan penuh dengan irasionalitas, tidak serta-merta pula harus disimpan di lemari besi. Selalu ada nilai yang dapat digunakan sebagai cermin atau ukuran untuk membangun harmoni.
Dengan demikian, antologi cerpen ini juga seperti mewartakan sebuah potret masyarakat Melayu ketika tradisi masa lalu ditinggalkan setengah hati. Hal yang sama terjadi juga dalam penerimaan mereka terhadap modernitas. Maka, sebagai sebuah potret kultural, antologi cerpen ini sesungguhnya merupakan representasi terjadinya perubahan sosial sebagai konsekuensi adanya perkembangan zaman. Perubahan sosial cara berpikir dalam mengingat masa lalu dan menatap masa depan.
Dalam hal tersebut, Fakhrunas MA Jabbar seperti berada dalam posisi yang khas. Ia tak hanyut pada ingatan kolektif tentang keagungan puak Melayu. Ia tak menggugat pemerintah Pusat (Jakarta) yang mengambil bahasanya (: bahasa Melayu) dan menguras harta kekayaan alamnya. Ia lebih memusatkan diri pada perilaku dan cara berpikir puaknya yang tidak dapat melepaskan diri dari sikap budaya tradisional, berikut mitos-mitosnya. Di sinilah ia terkesan sekadar menyajikan cara pandang dunia Melayu yang tidak hitam-putih dan artifisial. Ia menawarkan sesuatu yang lain yang penuh dengan kearifan lokal.
***
Periksalah metafora sebatang ceri yang menyimpan sejarah tentang perjalanan sebuah rumah tangga. Bagi tokoh aku, pohon itu mempunyai makna yang mendalam. Ia merupakan saksi hidup catatan sejarah rumah tangganya. Sebaliknya, sang istri menempatkannya secara berbeda. Batang pohon beserta dedaunannya hanyalah sebuah artefak tak berguna dan hanya menebarkan sampah. Dalam tarik-menarik itulah tiba-tiba kearifan lokal muncul sebagai jalan tengah. Kedatangan mertua yang juga menikmati keberadaan pohon itu mewartakan sebuah dominasi masa lalu masuk ke dalam wilayah garis demarkasi tradisionalisme dan modernitas. Tokoh aku memang kemudian merelakan pohon itu dikuasai mertua. Ia mengalah demi menjaga harmoni suami—istri—mertua.
Tetapi, apa yang kemudian terjadi? Alam ternyata berkehendak lain. Hujan badai telah merenggut pohon itu. Maka, tak ada satu pun yang salah dalam peristiwa itu. Usaha mempertahankan keluhuran masa lalu dan menatap realitas masa depan, semua dapat diselesaikan lewat kompromi. Dengan cara itu, tak ada yang menang atau kalah dalam peristiwa itu. Semuanya dapat menerima ketika alam menentukan lain. Sebuah cerita simbolik yang mengingatkan kita pada kisah-kisah para aulia dan kaum sufi.
Cerita simbolik seperti itu, tampak juga dalam cerpen “Lelaki yang Menyimpan Dompet di Jantungnya” dan “Mata yang tak Jera.” Dalam kedua cerpen itu, kita dihadapkan pada konsep cinta sejati dan nafsu yang tak terkendali.
Dalam cerpen “Seorang Cacat di Hari Kemerdekaan” –yang mengingatkan saya pada novel Pulang karya Toha Mohtar—, masa lalu bagi tokoh tua Usin Deka merupakan alat legitimasi keberadaannya kini, tetapi sekaligus juga sebuah cacatan hitam yang sesungguhnya menyimpan problem traumatik. Maka, ketika aparat setempat hendak membangun sebuah patung dirinya sebagai bentuk apresiasi atas jasa-jasanya, Usin Deka melihatnya, di satu pihak, akan makin mengukuhkan keberadaannya kini, dan di pihak lain, ada cemas yang tidak dapat dikubur begitu saja.
Masalahnya, di sana, dalam peristiwa masa lalu itu, masih ada tokoh lain –Harun Soma—yang menjadi saksi sejarah hitamnya. Maka, ketika Harun Soma melihat patung Usin Deka berdiri di lapangan kecamatan sebagai peringatan atas jasa-jasa kepahlawanannya, sebagai simbol nilai-nilai perjuangan, Harun sekadar menggelengkan kepala sambil berbisik. “Sebuah kebohongan telah diabadikan.” Dan Harun Soma tak melakukan gugatan atas kebohongan itu. Artinya, ia tak hendak melukai masyarakat. Ia juga tak mau mencoreng nama Usin Deka. Biarlah masa lalu terkubur bersama kematian peristiwa hitam Usin Deka. Bukankah sikap seperti ini hanya dimiliki oleh seseorang yang berjiwa besar dan semata-mata lebih mementingkan harmoni.
Masih dengan gaya simbolik, pesan yang sama hadir pula dalam cerpen “Menjamu Mendiang.” Cinta ibu yang penuh pada sang suami (ayah) yang meninggal beberapa tahun lamanya, diwujudkan melalui upacara perjamuan pada arwah almarhum. Tokoh aku yang membiarkan apa yang dilakukan ibu, sesungguhnya sekadar bentuk kecintaan dan pengabdian anak kepada ibu. Maka, ketika dalam sebuah perjamuan, makanan yang dihidangkan ibu berkurang sebagian, ibu meyakininya sebagai bukti bahwa suaminya datang. Ekspresi cintanya bersambut. Bagaimana mungkin hidangan makanan itu bisa berkurang, jika tidak dicicipi suaminya? Begitulah keyakinan ibu.
Tokoh aku –yang hidup di masa kini—tentu saja melihatnya lain. Dan ternyata benar. Makanan itu sebagian dimakan kucing. Lalu, bagaimanakah sikap tokoh aku dalam menghadapi dunia masa lalu ibunya? “Aku tidak ingin mengecewakan emak. Kubiarkan emak menyelami kebahagiaan hidupnya meski telah membentangkan jamahan dunia yang lain. Dunia mendiang ayahku.” Di sinilah, tradisi dibiarkan hidup, sejauh tak menciptakan disharmoni atau mengganggu stabilitas sosial. Ia membangun sebuah kedamaian bagi pihak lain, dan yang lainnya lagi, tak perlu menghancurkan kedamaian itu. Bagaimana mungkin tokoh aku dapat menyatukan dan memberi penjelasan tentang pengalaman empiriknya yang rasional, dengan keyakinan ibunya yang irasional, tetapi dianggap sebagai pengalaman empirik juga. Maka, tak perlu ada penjelasan tentang itu. Biarkanlah dua dunia hidup bergandengan secara damai, meski ia harus mengekang kegelisahannya sendiri. Ada kesadaran untuk membangun konsensus. Atau, jika merujuk gagasan Emile Durkheim –Bapak Sosiologi Moralitas—kesadaran itu lahir dari sebuah solidaritas organis.
Sejumlah cerpen lain dalam antologi ini memperlihatkan, betapa Fakhrunas MA Jabbar hidup dan berhadapan dengan dua dunia: irasionalitas dan rasionalitas, tradisionalitas dan modernitas. Masa lalu yang irasional itu adalah bagian dari tradisi. Sementara itu, rasionalitas yang ditawarkan modernitas adalah fakta dari sebuah proses perkembangan zaman. Ia juga harus dihadapi sebagai masa kini dan masa kini adalah titik berangkat menuju masa depan. Itulah yang dimaksud sebagai kearifan (wisdom) lokal. Sebuah sikap kompromistis untuk tidak melukai tradisi, tetapi juga tidak berarti ikut mendukungnya. Kearifan itu semata-mata untuk menjaga kontinuitas, benang merah yang menghubungkan masa lalu dan masa kini untuk melangkah ke masa depan. Bukankah tradisi merupakan perantara realitas masa lalu dan fakta masa kini.
Cermati juga cerpen “Kucing Belang Beranak Tiga” yang masih memperlihatkan penghadiran dua dunia: masa lalu sebagai basis tradisi dan masa kini sebagai awal memasuki modernitas. Kepercayaan bahwa memelihara kucing belang tiga akan memperoleh keberuntungan, dilegitimasi oleh tindakan Rohimah, istri tokoh aku, yang memenangi nomor Sie Jie –sebuah perjudian sejenis togel. Tokoh aku yang tak percaya pada tahayul dan menganggap judi sebagai perbuatan yang dilarang, tentu saja menolak tindakan istrinya itu. Sebuah bentuk pengingkaran atas nama rasionalitas dan agama. Tetapi, ketika pengingkaran itu dilakukan tanpa wisdom, istrinya mendadak mati. Terjadilah khaos. Jelas, bahwa bentuk kompromi sebagai usaha menjaga harmoni merupakan bagian penting dalam masyarakat yang hidup dalam dunia itu.
Yang dilakukan tokoh aku dengan merobek kupon Sie Jie merupakan bentuk penghancuran yang tanpa proses, tanpa penjelasan, tanpa kompromi. Dengan demikian, sikap memaksa modernitas yang bersifat membelah dapat menciptakan gegar identitas. Para penjaga tradisi merasa berhadapan dengan sebuah intervensi kultural yang memaksa dan membelah. Intervensi itu tidak hanya dapat menghancurkan identitasnya, tetapi juga keberadaannya dalam komunitas budaya.
Dalam konteks itu, penghancuran yang dilakukan tokoh aku –yang merobek kupon Sie Jie—dapat pula dimaknai sebagai penghancuran mitos. Bukankah mitos menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tradisi masa lalu. Maka, penghancuran mitos itu juga bermakna menafikan keberadaan “sesuatu yang gaib” yang dalam pandangan Van Peursen, menutup adanya jaminan hidup serasi—selaras. Jika itu yang terjadi, khaos-lah yang bakal datang menggantikan harmoni. Bukankah harmoni hanya mungkin akan terjadi jika di sana terjadi serangkaian kompromi? Harmoni sangat mungkin terjadi dan berlangsung abadi jika kekerasan, pertumpahan darah dan pembunuhan dapat dihindarkan, apalagi jika selamanya dibenamkan dan dikubur dalam-dalam. Jika luka tidak dibiarkan terkoyak dan dendam kesumat dapat disumbat, maka perbedaan akan menjadi sebuah kekayaan. Pluralitas menjadi identitas yang bergerak dinamis, penuh warna yang membentangkan tantangan yang merangsang untuk melahirkan kreativitas yang menggelombang. Maka, kehehidupan akan berjalan tanpa dicekam kecurigaan dan ketakutan. Pesan itulah sesungguhnya yang hendak ditawarkan Fakhrunas MA Jabbar.
Dalam kasus cerpen ini, Fakhrunas seperti mengingatkan kembali pentingnya tradisi sebagai alat legitimasi mengukuhkan sebuah generasi atau regenerasi identitas, baik personal maupun kolektif. Tradisi boleh ditolak tanpa harus melakukan penghancuran secara serempak. Begitu juga, modernitas boleh diterima tanpa harus memamahnya secara membuta tuli. Masih diperlukan seleksi terhadapnya, dan kompromi merupakan salah satu usaha mendamaikan tradisi dan modernitas. Dengan begitu, mitos tentang kucing belang tiga, meski irasional sekalipun, tetap akan memperlihatkan fungsinya untuk memberi penyadaran dan sekaligus juga memberi jaminan kultural bagi kehidupan masa kini, terutama dalam kehidupan masyarakat pascatradisional..
***
Sejumlah cerpen lainnya dalam antologi itu, secara keseluruhan mengusung problem masyarakat pascatradisional; sikap budaya sebuah komunitas yang coba mencari dan menemukan identitas baru. Komunitas ini merasa telah melangkah meninggalkan tradisi, tetapi belum sepenuhnya memasuki wilayah modern. Atau, itulah yang disebut sebagai masyarakat pramodern. Ia berada dalam garis demarkasi antara tradisi dan modernitas, antara masa lalu dan masa kini.
Bagaimanapun, Fakhrunas MA Jabbar dalam antologi cerpennya itu seperti mewartakan sisi lain dari kultur puaknya: Melayu. Di sana, kita menemukan semangat mengusung mitos, menghidupkan kembali kelakar khas Melayu, dan terjadinya proses perubahan sosial yang kemudian membentuk apa yang disebut sebagai masyarakat pascatradisional. Sebuah antologi cerpen yang kaya simbol-simbol kultural. Dan Fakhrunas MA Jabbar telah menyikapi problem budaya puaknya itu secara dewasa dan dengan sangat cerdas.
Bojonggede, 6 September 2005
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar