Sabtu, 01 Mei 2010

Pascamodernisme dan Masyarakat Konsumer

Fredric Jameson
http://sautsitumorang.blogspot.com/

Konsep pascamodernisme tidak diterima atau bahkan dimengerti secara luas saat ini. Resistensi terhadapnya bisa jadi disebabkan oleh ketidakpahaman atas karya-karya yang dilahirkannya dalam semua cabang seni: puisi John Ashbery, misalnya, tapi juga puisi cakap (talk poetry) yang jauh lebih sederhana yang muncul sebagai reaksi terhadap puisi modernis yang kompleks, ironis dan akademis di tahun 60an; reaksi terhadap arsitektur modern dan khususnya terhadap bangunan-bangunan monumental kaum International Style, bangunan-bangunan pop dan decorated sheds yang dirayakan Robert Venturi dalam manifestonya, Learning from Las Vegas; Andy Warhol dan Pop Art, tapi juga Fotorealisme baru-baru ini; di musik, momen John Cage dan juga sintesa terakhir dari gaya klasik dan “populer” komposer-komposer seperti Philip Glass dan Terry Riley, dan juga musik punk dan new-wave rock dari grup-grup seperti Clash, Talking Heads dan Gang of Four; dalam film, semua yang dihasilkan Godard?film dan video avantgarde kontemporer—tapi juga film-film komersial atau fiksi gaya baru, yang tandingannya terdapat dalam novel-novel kontemporer, dimana karya-karya William Burroughs, Thomas Pynchon dan Ishmael Reed di satu sisi dan novel baru Perancis di sisi lain, mesti juga dimasukkan sebagai variasi-variasi dari apa yang bisa disebut sebagai pascamodernisme.

Daftar ini akan menjelaskan dua hal sekaligus: pertama, kebanyakan dari pascamodernisme-pascamodernisme yang disebut di atas muncul sebagai reaksi-reaksi khusus atas bentuk-bentuk mapan dari modernisme tinggi (high modernism), atas modernisme tinggi dominan ini atau itu yang telah menaklukkan universitas, museum, jaringan galeri seni dan yayasan-yayasan. Gaya-gaya yang dulu subversif dan menantang—Ekspresionisme Abstrak; puisi modernis Pound, Eliot atau Wallace Steven; International Style (Le Corbusier, Frank Lloyd Wright, Mies); Stravinsky; Joyce, Proust dan Mann—yang dianggap mengejutkan oleh kakek kita, bagi generasi yang sampai di panggung di tahun 1960an dirasakan sebagai sang kemapanan dan musuh—tonggak-tonggak reifikasi yang sudah mati, menyesakkan, keramat, yang mesti dihancurkan kalau sesuatu yang baru ingin diciptakan. Ini berarti terdapat banyak bentuk yang berbeda-beda dari pascamodernisme sebanyak modernisme tinggi yang ada, karena bentuk-bentuk tersebut paling tidak pada awalnya merupakan reaksi-reaksi lokal dan khusus melawan model-model yang ada. Ini tentu saja tidak membuat pekerjaan menjelaskan pascamodernisme sebagai sesuatu yang koheren menjadi lebih mudah, karena kesatuan dari impuls baru ini—kalau memang ada—hanya terdapat dalam modernisme yang ingin digantikannya.

Ciri kedua dari daftar pascamodernisme-pascamodernisme di atas adalah kekaburan di dalamnya mengenai beberapa batasan penting, yang paling menyolok adalah erosi dari perbedaan lama antara budaya tinggi dan yang-disebut budaya massa atau populer. Ini mungkin merupakan perkembangan yang paling meresahkan dilihat dari sudut pandang kaum akademis, yang secara tradisional memiliki kepentingan sendiri (vested interest) dalam melestarikan sebuah dunia budaya tinggi atau elite yang terpisah dari lingkungan sekitarnya yang penuh dengan kebodohan (philistinism), schlock dan kitsch, budaya sinetron dan Reader’s Digest, dan dalam mewariskan keahlian membaca, mendengar dan melihat yang sulit dan kompleks kepada calon-calon anggota baru kelompok elite mereka. Tapi banyak dari pascamodernisme-pascamodernisme terbaru malah terpesona dengan keseluruhan landskap dari dunia periklanan dan motel-motel, strip Las Vegas, tontonan tengah malam dan film picisan Hollywood, dengan apa-yang-disebut sebagai parasastra (paraliterature) dengan cerita-cerita gothik dan roman airport paperback-nya, biografi populer, misteri pembunuhan dan novel fiksi ilmiah (science fiction) atau fantasi. Mereka tidak lagi “mengutip” dari “teks-teks” seperti yang mungkin dilakukan oleh seorang Joyce, atau seorang Mahler; mereka menggabungkan semuanya sampai ke titik dimana garis pemisah antara seni tinggi dan bentuk-bentuk komersial nampak makin sulit untuk dibuat.

Sebuah indikasi yang agak berbeda mengenai pengaburan kategori-kategori lama antara genre dan discourse dapat ditemukan dalam apa yang kadang-kadang disebut sebagai teori kontemporer (contemporary theory). Satu generasi yang lalu masih terdapat sebuah wacana teknis (technical discourse) dari filsafat profesional—sistem-sistem besar filsafat Sartre atau kaum fenomenologis, karya Wittgenstein atau filsafat bahasa atau analitik—yang bisa dibedakan dari wacana disiplin-disiplin akademis lainnya—dari ilmu politik, misalnya, atau sosiologi atau kritik sastra. Sekarang kita makin lama makin banyak membaca sebuah jenis tulisan yang cuma disebut “teori” yang merupakan keseluruhan dari tapi sekaligus juga bukan hal-hal yang disebut di atas. Jenis wacana baru ini, biasanya dihubungkan dengan Perancis dan dengan apa-yang-disebut sebagai teori Perancis, makin bertambah luas pengaruhnya dan menandai berakhirnya filsafat sebagai filsafat. Apakah karya Michel Foucault, misalnya, akan disebut filsafat, sejarah, teori sosial atau ilmu politik? Hal ini tak bisa diputuskan, begitulah kata orang sekarang ini; dan saya usulkan agar “wacana teoritis” (theoretical discourse) seperti ini juga dimasukkan sebagai manifestasi dari pascamodernisme.

Sekarang saya mesti menjelaskan tentang pemakaian yang sepantasnya dari konsep ini: ia bukanlah sekedar sebuah kata lain untuk menjelaskan sebuah gaya yang khusus. Ia juga, setidaknya dalam pemakaian saya, merupakan sebuah konsep periodesasi yang berfungsi untuk menghubungkan munculnya bentuk-bentuk formal baru dalam kebudayaan dengan kelahiran sebuah tipe kehidupan sosial baru dan sebuah orde ekonomi yang baru—apa yang secara eufemistis disebut sebagai modernisasi, masyarakat pascaindustri atau konsumer, masyarakat media atau tontonan, atau kapitalisme multinasional. Momen baru kapitalisme ini bisa ditelusuri dari masa boom pascaperang di Amerika Serikat di akhir tahun 1940an dan awal 1950an atau, di Perancis, dari berdirinya Republik Kelima di tahun 1958. Tahun 1960an dalam banyak hal merupakan periode transisi penting, periode dimana orde internasional yang baru (neokolonialisme, Revolusi Hijau, komputerisasi dan informasi elektronik) secara sekaligus tercipta dan tersapu serta tergoncang oleh kontradiksi-kontradiksi internalnya sendiri dan oleh perlawanan eksternal. Di sini saya ingin menggaris-besari beberapa cara pascamodernisme baru ini mengekspresikan kebenaran dalam (inner truth) dari orde sosial kapitalisme akhir yang baru muncul tersebut, tapi saya akan membatasi penjelasan saya dengan dua dari bentuk-bentuknya yang penting saja, yang akan saya sebut pastiche dan schizophrenia: keduanya akan memberikan kita kesempatan untuk melihat kekhasan dari pengalaman pascamodernis atas ruang dan waktu secara berurutan.

Salah satu bentuk atau praktek terpenting dalam pascamodernisme saat ini adalah pastiche. Saya harus jelaskan dulu maksud istilah ini, yang umumnya cenderung dikacaukan ataupun diasimilasikan dengan gejala bahasa yang disebut parodi. Baik pastiche maupun parodi merupakan peniruan atau bahkan mimikri (mimicry) atas gaya-gaya lain dan terutama atas mannerisme dan loncatan-loncatan stilistik dari gaya-gaya lain. Sastra modern pada umumnya memang menyediakan kesempatan yang luas untuk parodi karena sastrawan-sastrawan modern besar semuanya menciptakan atau menghasilkan gaya-gaya yang cukup unik: lihatlah kalimat-kalimat panjang Faulkner, atau imaji-imaji alam khas D.H. Lawrence; Wallace Stevens dengan keunikan pemakaian abstraksi-abstraksinya; perhatikan juga mannerisme para filosof, Heidegger misalnya, atau Sartre; juga gaya musik Mahler atau Prokofiev. Semua gaya ini, bagaimanapun berbedanya satu dari yang lainnya, adalah sama dalam satu hal yakni: kekhasannya; kalau sebuah gaya sudah terpahami, tak mungkin akan terkacaukan lagi dengan gaya yang lain.

Parodi memanfaatkan keunikan gaya-gaya ini dan memakai idiosinkrasi dan keeksentrikan gaya-gaya tersebut untuk menghasilkan tiruan yang mengejek karya yang asli. Saya tidak mengatakan bahwa impuls satire memang disengaja dalam semua bentuk parodi. Bagaimanapun, seorang parodis yang baik harus memiliki rasa simpati terpendam atas karya asli, sama seperti seorang peniru (mimic) yang baik harus mampu memahami orang yang ditirunya. Namun, efek umum dari parodi—baik yang bersimpati atau yang bermusuhan—adalah mengejek keunikan khas dari mannerisme stilistik tersebut serta kemubaziran dan keeksentrikannya bila dibandingkan dengan cara orang biasanya menulis atau berbicara. Jadi di balik semua parodi terdapat semacam keyakinan bahwa ada norma linguistik yang berbeda dari gaya-gaya para modernis besar dan yang bisa dipakai untuk mengejek gaya-gaya tersebut.

Tapi apa yang akan terjadi bila kita tak percaya lagi pada eksistensi bahasa normal, bahasa sehari-hari, norma linguistik (katakanlah semacam jenis bahasa yang jelas dan memiliki kekuatan komunikatif seperti yang diunggulkan Orwell dalam eseinya yang terkenal itu, misalnya)? Kita bisa membayangkannya begini: mungkin fragmentasi dan privatisasi sastra modern yang begitu besar—ledakannya ke dalam segudang gaya pribadi dan mannerisme yang berbeda-beda—melatar-depani kecenderungan-kecenderungan yang lebih dalam dan umum dari kehidupan sosial seluruhnya. Sekiranyalah seni modern dan modernisme—jauh daripada sekedar semacam rasa ingin-tahu estetik yang khusus—memang mengantisipasi perkembangan sosial dalam garis-garis ini; sekiranyalah dalam beberapa dekade sejak munculnya gaya-gaya modern yang besar masyarakat sendiri memang mulai terpecah-pecah seperti ini, setiap kelompok mulai berbicara dalam bahasa pribadi anehnya masing-masing, setiap profesi mengembangkan kode atau idiolek masing-masing, dan akhirnya setiap individu menjadi semacam pulau linguistik, terpisah dari yang lainnya? Tapi kemudian kalau memang demikian halnya maka kemungkinan terdapatnya sebuah norma linguistik yang bisa dipakai untuk mengejek bahasa-bahasa pribadi dan gaya-gaya idiosinkratik akan lenyap, dan yang tinggal bagi kita hanyalah gaya-gaya yang bermacam ragam belaka.

Di saat seperti inilah pastiche muncul dan parodi jadi tak mungkin lagi. Pastiche, seperti parodi, adalah tiruan dari sebuah gaya tertentu atau unik, pemakaian sebuah topeng stilistik, bicara dalam sebuah bahasa mati: tapi ini merupakan sebuah hal biasa dari peniruan macam begini, tanpa adanya maksud lain seperti pada parodi, tanpa impuls satire, tanpa tawa, tanpa adanya anggapan bahwa sesuatu yang normal memang benar-benar ada dan yang kalau dibandingkan dengan karya yang sedang ditiru maka yang ditiru itu jadi nampak agak lucu. Pastiche adalah parodi kosong, parodi yang telah kehilangan rasa humornya: pastiche bagi parodi adalah sama seperti praktek modern dari semacam ironi kosong (blank irony) bagi, apa yang oleh Wayne Booth disebut sebagai, ironi stabil dan komik dari abad 18 misalnya.

Tapi sekarang kita perlu memperkenalkan sesuatu yang baru ke dalam teka-teki ini untuk membantu menjelaskan mengapa modernisme klasik adalah sesuatu dari jaman tempo doeloe dan mengapa pascamodernisme memang mesti menggantikannya. Komponen baru ini adalah sesuatu yang secara umum disebut sebagai “matinya sang subjek” atau, dalam bahasa yang lebih konvensional, berakhirnya individualisme sebagai individualisme. Modernisme-modernisme besar, seperti yang telah kita katakan, terjadi karena terciptanya sebuah gaya pribadi, unik dan khas seperti sidik jari atau tubuh kita. Ini berarti bahwa estetika modernis secara organis terkait dengan konsep diri dan identitas pribadi yang unik, kepribadian dan individualitas yang unik, yang menghasilkan visi dunianya sendiri yang unik serta membentuk gaya khasnya sendiri yang juga unik.

Ternyata saat ini, dilihat dari berbagai perspektif yang berbeda-beda, para teoritikus sosial, psikoanalis, bahkan para linguis, belum lagi kita yang bekerja dalam bidang kebudayaan serta perubahan budaya dan formal, semuanya sedang membahas pendapat bahwa individualisme dan identitas pribadi seperti di atas adalah sesuatu yang sudah kadaluwarsa; bahwa individu atau subjek individualis yang lama itu sudah “mati”; dan bahkan kita bisa mengatakan bahwa konsep individu yang unik dan dasar teori dari individualisme tersebut bersifat ideologis. Nyatanya memang terdapat dua posisi atas hal ini, dimana yang satu lebih radikal daripada yang lainnya. Posisi pertama sudah puas hanya berkata: ya, pada jaman dahulu kala, pada jaman kapitalisme kompetitif klasik, pada masa jaya-jayanya keluarga inti (nuclear family) dan munculnya kaum borjuis sebagai kelas sosial yang dominan, memang ada sesuatu yang disebut sebagai individualisme, sebagai subjek individual. Tapi sekarang, di jaman kapitalisme korporasi, jaman yang-disebut sebagai jaman manusia organisasi, jaman birokrasi baik dalam bisnis maupun pemerintahan, jaman ledakan penduduk—sekarang ini, subjek individual borjuis lama itu sudah tak ada lagi.

Kemudian ada posisi kedua, yang paling radikal dari keduanya, yakni apa yang bisa kita sebut sebagai posisi pascastrukturalis. Disamping setuju dengan posisi pertama di atas, posisi pascastrukturalis ini juga menambahkan bahwa: bukan saja subjek individual borjuis itu merupakan sesuatu yang sudah berlalu, tapi juga hanya sebuah mitos; pada dasarnya subjek tersebut memang tak pernah ada; tidak pernah ada subjek-subjek otonom seperti itu. Konstruk ini hanyalah sebuah mistifikasi filsafat dan budaya belaka untuk membuat kita yakin bahwa kita “memiliki” subjek-subjek individual dan identitas pribadi yang unik.

Untuk maksud esei ini tidaklah begitu penting untuk memutuskan mana dari kedua posisi tersebut yang benar (atau mana yang paling menarik dan produktif). Apa yang kita dapat dari semua ini adalah sebuah dilema estetik: karena kalau pengalaman dan ideologi dari diri yang unik itu, sebuah pengalaman dan ideologi yang mendasari proses kreatif modernisme klasik, memang sudah berlalu dan tak berlaku lagi, maka sekarang jadi tak jelas apa yang para seniman kontemporer mesti lakukan. Yang jelas hanyalah bahwa model-model lama—Picasso, Proust, TS Eliot—tidak terpakai lagi (atau sudah bersifat merusak), karena tak ada lagi orang yang memiliki dunia pribadi dan gaya yang unik seperti itu untuk diekspresikan. Dan ini mungkin bukan sekedar sebuah persoalan “psikologis” semata: kita juga mesti memperhitungkan bobot luar biasa dari tujuhpuluh atau delapanpuluh tahun modernisme klasik itu sendiri. Ada juga hal lain kenapa para seniman kontemporer tidak akan mampu lagi menciptakan gaya-gaya dan dunia-dunia baru—semuanya sudah diciptakan; hanya sejumlah kecil kombinasi gaya yang mungkin; kombinasi-kombinasi yang paling unik malah sudah dilakukan. Jadi bobot dari keseluruhan tradisi estetik modernis—sekarang sudah mati—juga “membebani seperti sebuah mimpi buruk dalam kepala orang-orang yang masih hidup,” seperti kata Marx dalam konteks yang lain.

Makanya, sekali lagi, pastiche: di dunia dimana inovasi gaya sudah tak mungkin lagi, yang tinggal hanyalah peniruan gaya-gaya mati, bicara lewat topeng-topeng dan dengan suara-suara dari gaya-gaya dalam museum angan-angan (imaginary museum). Tapi ini berarti bahwa seni kontemporer atau pascamodernis akan menjadi mengenai seni itu sendiri dalam sebuah cara yang baru; bahkan, ini berarti bahwa salah satu pesan utamanya akan berkaitan dengan perlunya kegagalan seni dan estetika, kegagalan dari yang baru, keterpenjaraan dalam masa lalu.

Karena ini mungkin nampaknya sangat abstrak, saya ingin memberikan beberapa contoh, yang mana salah satunya begitu akrabnya dengan kita hingga jarang kita hubungkan dengan jenis-jenis perkembangan dalam seni tinggi seperti yang dibahas di sini. Praktek khusus dari pastiche ini bukan budaya tinggi tapi budaya massa dan umumnya dikenal sebagai “film nostalgia” (apa yang dengan tepat disebut orang Perancis sebagai la mode rĂ©tro?gaya retrospektif). Kita mesti mengartikan kategori ini dalam pengertiannya yang seluas-luasnya, kalau tidak, tak syak lagi, hanya akan menunjuk pada film-film tentang masa lampau dan tentang masa-masa tertentu dalam masa lampau tersebut. Salah satu film awal dari “genre” (kalau memang bisa dibilang begitu) baru ini adalah American Graffiti oleh Lucas, yang dalam tahun 1973 berusaha menggambarkan segala suasana dan kekhasan Amerika Serikat tahun 1950an, Amerika Serikat di era Eisenhower. Film Polanski Chinatown melakukan hal yang sama atas tahun 1930an, sama seperti The Conformist oleh Bertolucci untuk konteks Itali dan Eropa dari periode yang sama, era fascis di Itali; dan seterusnya. Kita bisa meneruskan daftar ini lebih panjang lagi; mengapa menyebutnya pastiche? Bukankah film-film tersebut lebih merupakan karya dalam genre yang lebih tradisional yang dikenal sebagai film sejarah?karya yang bisa dengan lebih sederhana diteorikan dengan membandingkannya dengan bentuk terkenal lainnya yaitu novel sejarah?

Saya punya alasan mengapa kita memerlukan kategori-kategori baru untuk film-film demikian. Tapi baiklah terlebih dulu saya tambahkan beberapa anomali: seandainya saya sarankan bahwa Star Wars pun adalah sebuah film nostalgia. Apa artinya ini? Saya percaya kita bisa setuju bahwa film ini bukanlah sebuah film sejarah tentang masa lalu intergalaksi kita. Baiklah saya menjelaskannya dengan cara lain: salah satu pengalaman budaya terpenting generasi-generasi tahun ‘30an sampai ‘50an adalah acara serial tv hari Sabtu sore tipe Buck Rogers?tokoh-tokoh alien yang jahat, pahlawan-pahlawan sejati Amerika, tokoh perempuan dalam bahaya, sinar maut atau kotak penyebab kiamat, dan ketakpastian cerita (cliffhanger) di akhir episode yang jawabannya baru bisa diketahui Sabtu sore berikutnya. Star Wars menciptakan kembali pengalaman ini dalam bentuk pastiche: yaitu bahwa tak ada lagi alasan untuk memparodi serial-serial jenis ini karena mereka sudah lama mati. Star Wars, jauh dari sekedar sebuah satire tak berarti atas bentuk-bentuk yang sekarang sudah mati ini, memuaskan rasa ingin yang dalam (haruskah saya katakan yang tertekan?) untuk mengalaminya kembali: ini merupakan sebuah objek yang kompleks dimana pada tingkat awal anak-anak dan remaja bisa langsung terlibat dalam ceritanya, sedangkan penonton yang lebih tua bisa memuaskan rasa nostalgia yang lebih dalam untuk kembali ke periode lampau tersebut dan untuk mengalami artefak estetiknya yang lama sekali lagi. Jadi film ini secara metonim adalah sebuah film sejarah atau nostalgia: tidak seperti American Graffiti, Star Wars tidak menciptakan kembali sebuah gambaran masa lalu dengan totalitas kehidupan sehari-harinya; tapi, dengan menciptakan kembali rasa dan bentuk dari objek-objek seni khas masa yang sudah lalu (serial-serial tv di atas tadi), film ini bertujuan membangkitkan sebuah suasana tempo doeloe yang diasosiasikan dengan objek-objek tersebut. Sementara itu Raiders of the Lost Ark menduduki posisi tengah di sini: pada satu level film ini adalah tentang tahun ‘30an dan ‘40an, tapi pada realitasnya juga mengungkapkan periode tersebut secara metonim melalui cerita-cerita petualangan ciri-khasnya (yang tak ada lagi sekarang).

Sekarang baiklah saya diskusikan sebuah anomali menarik lainnya yang akan membawa kita lebih jauh lagi untuk memahami film nostalgia khususnya dan pastiche umumnya. Yang ini menyangkut sebuah film yang dibuat baru-baru ini berjudul Body Heat yang, seperti telah berulang kali ditunjukkan para kritikus, merupakan semacam pembuatan-kembali yang tak langsung atas film The Postman Always Rings Twice atau film Double Indemnity. (Plagiarisme yang jelas maupun tidak dari plot-plot lama tentu saja juga merupakan sebuah ciri dari pastiche.) Body Heat secara teknis bukanlah film nostalgia karena mengambil tempat di sebuah setting kontemporer, di sebuah kampung kecil Florida, dekat Miami. Di sisi lain, kekinian teknis ini sangat bersifat ambigu: daftar nama dalam film (credits)—biasanya petunjuk pertama kita—memakai huruf-huruf dan ditulis dalam gaya Art-Deco tahun 30an yang mau tak mau membangkitkan rasa nostalgia (pertama-tama kepada Chinatown tentu saja, dan lalu kepada referen yang lebih bersejarah). Kemudian gaya tokoh utamanya sendiri pun bersifat ambigu: William Hurt adalah seorang bintang baru tapi tidak memiliki gaya khas superstar laki-laki generasi sebelumnya seperti Steve McQueen atau bahkan Jack Nicholson, atau malah, persona-nya di sini adalah semacam gabungan karakteristik keduanya dengan sebuah peran-lakon yang agak lebih tua dari tipe yang umumnya diasosiasikan dengan Clark Gable. Jadi di sini pun terdapat sebuah suasana masa lampau dalam semuanya ini. Penonton mulai bertanya-tanya mengapa cerita ini, yang bisa ditempatkan di mana saja, mengambil tempat di sebuah kota kecil Florida, walau referensinya bersifat kontemporer. Selang beberapa waktu barulah kita sadari bahwa setting kota kecil ini memiliki sebuah fungsi strategis yang penting: ini memungkinkan film untuk dibuat tanpa terikutnya signal-signal dan referensi-referensi yang akan kita asosiasikan dengan dunia kontemporer, dengan masyarakat konsumer—peralatan rumahtangga dan artefak-artefak, gedung pencakar langit, dunia objek dari kapitalisme akhir. Jadi secara teknis objek-objeknya (mobil-mobilnya, misalnya) adalah produk tahun 1980an, tapi hal-hal lainnya dalam film merupakan semacam usaha pengaburan atas referensi kontemporer itu sendiri agar memungkinkannya diterima sebagai film nostalgia—sebagai sebuah naratif yang dibuat di sebuah masa silam yang tak terdefinisikan, masa 30an abadi, atau katakanlah, di luar sejarah. Saya lihat bahwa gejala merembet dan menguatnya gaya film nostalgia bahkan dalam film-film sekarang yang jelas punya setting kontemporer sudah keterlaluan: seolah-olah, karena bermacam alasan, kita tak mampu lagi sekarang memfokus kekinian kita, tak mampu lagi menghasilkan representasi estetis pengalaman-pengalaman sehari-hari kita sendiri. Jika memang demikian kenyataannya maka ini merupakan sebuah tuduhan luar biasa terhadap kapitalisme konsumer itu sendiri—atau paling tidak, sebuah simptom patologis yang mengkhawatirkan dari masyarakat yang telah jadi tidak mampu lagi berurusan dengan waktu dan sejarah.

Sekarang kita kembali ke persoalan mengapa film nostalgia atau pastiche harus dipandang berbeda dari novel atau film sejarah yang lama. (Saya juga akan masukkan dalam diskusi ini contoh karya sastra utama dari gejala ini, yakni novel-novel E.L. Doctorow—Ragtime, dengan suasana akhir abad 19-nya, dan Loon Lake, yang sebagian besar tentang era 1930an kita. Bagi saya, novel-novel ini hanya penampilannya saja yang merupakan novel-novel sejarah. Doctorow adalah seorang seniman serius dan salah satu dari sedikit novelis Kiri atau radikal tulen yang berkarya saat ini. Tapi tidaklah merugikan baginya kalau saya mengatakan bahwa naratif-naratifnya tidak mewakili masa lalu kita tapi merupakan ide-ide stereotif budaya kita tentang masa lalu tersebut.) Produk budaya telah digiring balik ke dalam pikiran, ke dalam subjek monadik: tak ada lagi kesanggupan untuk melihat langsung ke dunia nyata tapi mesti, seperti dalam gua Plato, menelusuri imaji-imaji mental dunia pada dinding-dinding tertutupnya. Kalau masih ada realisme tersisa di sini, maka “realisme” ini merupakan hasil dari rasa terkejut dalam menerima kungkungan tadi dan dalam menyadari bahwa, karena alasan khusus apapun, kita nampaknya dikutuk untuk mengerti masa lalu kita melalui imaji-imaji pop dan stereotif kita sendiri tentang masa lalu yang selamanya di luar jangkauan kita itu…

[Esei di atas merupakan bagian terjemahan dari esei "Postmodernism and Consumer Society" karya pemikir Marxis, Fredric Jameson. Diambil dari buku "The Anti-Aesthetic: Essays on Postmodern Culture", Hal Foster, ed. (Bay Press, 1983). Terjemahan lengkapnya akan diterbitkan oleh penerbit [sic] Jogjakarta pada tahun 2010]

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi