Selasa, 04 Mei 2010

Saya Telah Difitnah

AS Sumbawi
http://www.sastra-indonesia.com/

Sungguh. Beruntunglah anda yang bisa baca-tulis. Juga punya kesempatan membaca sebuah tulisan dan mengetahui bahwa Saya telah dijahati. Saya benar-benar telah difitnah.

Memang, ini bukan pertama kalinya. Bahkan sampai sekarang ini, sejak berabad-abad yang lalu, entah sudah berapa jutaan, milyaran, triliunan kali Saya selalu dimunculkan seperti itu. Saya dijadikan tokoh dengan berbagai macam profesi, jenis kelamin, klasifikasi umur, watak, kejadian, dan sebagainya.

Beberapa orang penulis meletakkan Saya sebagai tokoh dari berbagai tulisan; baik novel, cerpen, novelet, dan entah apalagi macamnya; mulai dari cerita cinta yang romantis, detektif, misteri, horor, silat, perjuangan kaum tertindas, petualangan, pencarian, dan sebagainya.

Di antara penulis yang pernah ada dan yang masih ada di dunia, penulis yang berperawakan kurus, berambut pendek yang ikal, berkulit kusam karena jarang mandi, berbola mata menonjol dengan sinar mata yang suram akibat kurang tidur dan jalan-jalan, namun yang menjadi khas fisiknya adalah tiga buah tahi lalat di pipi sebelah kiri yang membentuk segitiga kecil sama sisi inilah yang selalu mengganggu keberadaan Saya dengan menjadikan Saya sebagai tokoh yang mengidap penyakit psikologis. Psikopatik. Narcissis, neurotik, oedipus complex, pengidap depresi dan lain-lain merupakan sesuatu yang tak asing bagi tokoh Saya.

Malam itu, seperti beberapa kesempatan sebelumnya, penulis itu kembali mengagetkan setelah dua hari Saya merasa nyaman.
“Yah!” katanya bangkit dari rebahan sembari menyungkurkan sebuah buku sekenanya ke punggung kasur.
“Hei, bangun.”
“Ah, tuan penulis mengganggu saja.” Ia tersenyum.
“Bangunlah. Aku punya sesuatu untukmu,” katanya menyalakan komputer.
“Fitnah?! Pasti yang itu-itu saja.”
“Jangan komentar dulu. Yang ini lain dari yang lainnya,” katanya meyakinkan.
“Sudah. Jangan cemberut!” tambahnya seraya meng-click program Microsoft Word.
“Awas, kalau mengganggu! Akan kubunuh!” ancamnya dengan berlagak kepada Saya. Lantas ia menarikan jari-jari tangannya pada hamparan tombol keyboard komputer.*

Cerpen yang ditulisnya itu menceritakan seorang anak laki-laki dua puluhan tahun yang melakukan mutilasi terhadap tubuh ayahnya. Dalam pandangannya, si ayah merupakan ayah dan suami yang bejat bagi anak dan ibunya. Si ayah tak menghiraukan kehidupan keluarga. Kerap melakukan penganiayaan terhadap istri dan anak laki-lakinya. Merampas uang hasil kerja istrinya untuk mabuk dan berjudi dan berkencan dengan pelacur. Bahkan juga kerap membawa pelacur tidur di rumah. Hanya tampak satu perilaku baik dalam diri si ayah, bahwa ia menyayangi anak perempuannya yang masih kecil. Ia kerap membawa oleh-oleh untuk anak perempuannya itu ketika pulang.

Merasakan tingkah laku ayahnya, dalam pikiran anak laki-laki itu bersarang keinginan untuk membunuhnya. Setelah beberapa lamanya waktu, rencana itu selalu gagal dilaksanakan akibat segala sesuatunya tidak mendukung. Di samping itu, ia khawatir jangan-jangan ibunya akan berkurang kasih sayang kepadanya setelah tahu bahwa ia membunuh si ayah.

Pagi itu rumah tampak sepi. Hanya ada si anak laki-laki dan si ayah. Sementara ibunya pergi ke pasar dan adik perempuannya pergi sekolah di taman kanak-kanak. Melihat ayahnya yang sedang tidur setelah semalam membawa pulang seorang pelacur dan diteruskan dengan mabuk, ia merasa segala sesuatu mendukung dirinya untuk melancarkan rencana yang sudah menjadi obsesi terbesar dalam hidupnya. Ia kemudian mengambil pisau besar dan menghujam dada ayahnya. Melihat ayahnya meronta, ia menambah intensitas tikaman pisau hingga maut melenggang pergi membawa nyawa ayahnya.

Ia menyeret tubuh ayahnya ke lantai. Kemudian mulai melunaskan apa yang selama ini sering dibayangkannya. Menginjak-injak wajah ayahnya. Menendang kepalanya seperti dalam sepak bola. Membanting kedua tangan dan menghantamkan kedua kakinya ke tembok yang kerap memukul dan menendang ibu dan dirinya. Mengodol-odol perutnya yang membuatnya tak peduli pada kehidupan keluarga. Memotong kemaluannya yang sering digunakan dengan pelacur. Menyakiti ibunya.

Setelah isi dadanya telah dimuntahkan, plong, ia kemudian berusaha menghilangkan jejak-jejak perbuatannya. Ketika kembali setelah menguburkan potongan-potongan tubuh ayahnya yang dibungkusnya dengan karung, ia terkejut saat melihat ibunya telah duduk di kursi dalam kamar. Kepala si ibu bertumpu pada lengannya yang menyilang di atas sandaran kursi. Dan jari-jari tangannya memegang sobekan kaos dalam si ayah. Sementara darah mengotori separuh bagian kamar.

Si Ibu berkata: “Apa yang terjadi? Kau membunuhnya?” Ia tetap diam dan berjalan mendekat.
“Jadi benar kau membunuhnya?! Hei?!” si ibu menamparnya. Ia hanya diam sembari memandang mata ibunya yang bertambah merah. Si ibu kemudian pergi.

Ia sedang menggulung seprei yang berlumuran darah ketika ibunya kembali dengan setimba air dan kain pel. Kemudian membersihkan lantai.
“Cepat. Sebelum adikmu tahu,” kata si ibu.
Segera ia membawa seprei ke belakang, kemudian kembali dengan setimba air bersih.
“Di mana jenazahnya?”
“Telah kusingkirkan.”
“Di mana?”
“Tempat yang aman. Ibu tak usah khawatir.”*

Sudah tiga hari si ayah tak terlihat. Si anak senang bahwa ayahnya mati di tangannya. Ia tak rela ayahnya mati dengan terhormat, karena si ayah tak layak untuk itu. Maka, ia sendiri yang harus membunuhnya. Menurutnya; bahwa mati oleh tangan darahdaging sendiri adalah jalan kematian paling hina. Ia yakin, dengan begitu, semua orang akan beranggapan bahwa ayahnya bejat. Ia senang dengan hal itu, karena ayahnya benar-benar bejat. Bajingan. Dan ia merasa telah membebaskan keluarganya dari duri dalam daging. Membebaskan ibu.

Sebelum peristiwa itu, si anak pernah menduga bahwa ibunya akan shock jika mengetahui bahwa dirinya telah membunuh ayahnya. Tak apa-apa. Memang perlu waktu, pikirnya. Kemudian si anak membayangkan ibunya menyambut gembira ketika ia menemuinya dengan kabar bahwa ia telah membunuh bajingan itu. Ibunya akan mengucapkan mengucapkan ribuan terima kasih dan ribuan pujian. Seperti seorang putri yang diselamatkan oleh seorang ksatria berkuda putih yang gagah berani. Namun, yang terjadi kemudian adalah ibunya banyak diam dan tak menghiraukan dirinya.

Dalam keadaan seperti itu, si anak kerap memperhatikan ibunya ketika sedang melakukan pekerjaan. Pandangan mata ibunya menerawang jauh dan kosong. Si anak yakin bahwa ibunya memikirkan hal-hal yang tak jauh-jauh dari peristiwa itu.

Suatu kali ia memperhatikan ibunya yang melamun ketika sedang mengiris bawang merah. Tanpa sadar ia mengiris jarinya sendiri.

“Ibu!” ingatnya. Si ibu tersentak melihat jarinya berlumuran darah. Matanya merah.
Si anak buru-buru memegang tangan ibunya untuk menghisap lumuran darah di jarinya. Si ibu mengibaskan tangannya lantas pergi. Memang butuh waktu untuk membuat ibu kembali dan lebih menyayangiku, pikirnya.

Sementara si adik perempuan sering menanyakan perihal ayah kepada ibunya. Namun, ibunya selalu mengatakan bahwa si ayah pergi karena urusan penting. Sebenarnya, si anak laki-laki tidak setuju dengan jawaban ibunya yang berbohong kepada adik perempuannya itu. Ia berharap ibunya akan berterus-terang bahwa bajingan itu telah mampus dengan sepantasnya.

Beberapa hari kemudian, si anak ditangkap polisi atas laporan ibunya. Jenazah si ayah pun telah diketemukan dan tengah diperiksa tim forensik. Dalam keadaan seperti itu, dalam proses persidangan kasusnya, si anak yakin bahwa palu hakim ada di pihaknya. Namun jika sebaliknya, ia menganggap palu hakim telah semena-mena kepadanya. Karena ia merasa berbuat kebaikan dengan membunuh bajingan itu. Si anak jadi membenci ibunya karena maju menjadi saksi dalam persidangan. Menurutnya, seharusnya ibunya menjadi lebih sayang kepadanya. Karena ia telah menyelamatkan ibunya. Si anak juga membenci para wartawan yang seenak-udel menuduhnya sebagai pembunuh berdarah dingin.

Hari itu palu hakim memutuskan si anak bersalah. Sehabis persidangan si ibu mengunjungi dirinya di penjara. Tidak seperti biasanya, saat itu ia bersedia menerima ibunya. Lantaran melihat kesedihan ibunya yang teramat dalam. Ia sangat menyayangi ibunya.

Sebelum pulang ibunya berkata: “Aku tak mau kau menjadi buronan dan hidup sengsara dalam pelarian, Nak. Makanya aku melapor ke polisi. Aku berharap setelah keluar dari sini, kau bisa menjadi orang baik. Benar-benar sembuh. Aku menyayangimu, Nak.”
Si anak kecewa dan marah. Ia mengumpati mereka semua.

“Ah, bajingan. Mereka semua menganggapku sakit seperti anggapan dokter jiwa dan psikiater yang tidak valid itu. Psikopat.”
“Ya, ya, baiklah. Tapi, aku berharap cepat-cepat keluar dari sini. Aku ingin mengajarkan kebenaran kepada mereka semua,” katanya tersenyum dengan harapan. {}*

“Yah. Selesai,” katanya kemudian memencet tombol Control dan S.
“Bagaimana?” tambahnya.
“Tuan penulis, Saya bosan. Katanya, ceritanya lain dari yang lain.”
“Lho, memang lain.”
“Tapi, tetap saja dengan penyakit psikologis-psikopatik.”
“Ya, memang. Tapi, bagus khan. Apalagi penutupnya itu,” ia menatap ke layar computer dan membaca dua baris terakhir: “Aku berharap cepat-cepat keluar dari sini. Aku ingin mengajarkan kebenaran kepada mereka semua.”

“Bisa kaubayangkan bagaimana seorang psikopat berkata seperti itu,” tambahnya tersenyum. “Pembaca akan shock.”
“Tapi, tuan penulis. Saya bosan menjadi tokoh psikopat. Bagaimana kalau sekali-kali Saya dijadikan sebagai seorang pria yang tampan, berkelakuan sopan, kaya…”
“Hem, kaya?! Kok enak?!”
“Ya, miskin juga nggak apa-apa, deh. Tapi yang rajin bekerja…”
“Profesinya apa?”
“Ehm, penulis saja. Seperti tuan.” Ia tersenyum.
“Kemudian Saya jatuh cinta dan menikah dengan seorang…”

“Pelacur?!”
“Bukan. Gadis yang sangat cantik. Dan kaya.”
“Hem, lelaki mana yang tak suka?!”
“Iya. Gambarannya seperti ini, jika seluruh perempuan cantik di dunia ini dikumpulkan, maka kecantikan perempuan tersebut adalah hasil dari persekutuan seluruh perempuan cantik tadi. Sederhana, toh.”

“Wah. Aku jadi ingin tahu. Penasaran bagaimana cantiknya dia.”
“Pokoknya, tuan tulis saja seperti itu.” Ia mengiyakan kepala dengan tersenyum.
“Dan bagaimana dengan ceritanya, Saya percayakan kepada tuan. Tapi, harus yang romantis, heroic, dan happy ending.”
“Aku tidak mau,” katanya seraya melompat. “Itu akan membuat pembaca suka melamun. Mengkhayal.”

“Tapi, Saya ingin seperti itu. Dan Saya yakin, banyak pembaca yang akan suka.”
“Pokoknya, a-k-u t-i-d-a-k m-a-u.” Ia diam sejenak. “Kau tahu karya sastra yang oleh para kritikus dibedakan sastra serius, mainstreem dan sastra pop, kitch?” Saya hanya diam dan cemberut.
“Tidak usah kusebutkan bagaimana para kritikus membedakan ciri-ciri keduanya. Tapi, menurutku,… hei, dengarkan.”
“Iya. Saya tidak tuli.”

“Sudah. Cemberutnya berhenti…” ia mengambil rokok dan menyulutnya. Lihatlah, gayanya seperti penulis besar. Padahal, mutu karyanya masih kalah dengan karya-karya dari penulis yang jauh lebih muda darinya. Lihat, bagaimana dia menghisap rokok dan mengeluarkan asapnya. Huh, menyebalkan.

“Kau tahu?! Bagiku, karya yang membikin melamun dan mengkhayal itu yang dikategorikan kitch. Sementara yang membikin merenung dan berpikir itu yang dikategorikan mainstream.”

“Terserah tuan. Masalahnya, Saya bosan menjadi pengidap penyakit psikologis-psikopatik.”
“Huh, dikasihtahu kok.” Ia mengisap rokoknya. “Sana. Aku mau membaca cerpen tadi. Barangkali ada yang perlu direvisi,” katanya kemudian menyalakan printer.
“Ehm, enaknya judul apa, ya?!”
“Saya Bosan Sama Tuan, judul yang bagus.”
“Diam. Awas, kubunuh kau?!” ancamnya.*

Seminggu sudah penulis itu tidak menyapa Saya. Maklumlah, ia akhir-akhir ini kerap bepergian dengan vespa tuanya. Akan tetapi, seminggu tak menyapa Saya masih cukup sebentar dibandingkan beberapa waktu yang telah berlalu. Ia pernah tak menyapa Saya selama tiga bulanan. Meskipun, ia sudah beberapa kali mencoba dan bertemu Saya. Saya tenang dengan keadaan Saya.

Sementara rumah kecil di sebuah perumahan yang dibelinya dengan kredit itu kerap kosong. Ia belum beristri dan tinggal sendiri, meskipun menurut rencana dua bulan lagi ia akan menikah dengan teman kuliahnya dulu. Ia pun jarang berkunjung ke rumah orangtuanya di luar kota. Hanya lebaran saja.
Tiba-tiba pagi itu dia pulang dan mengagetkan Saya.

“Hei, bangun! Aku punya sesuatu,” katanya menghidupkan komputer.
“Apa tuan?!
“Lho, dasar pikun.”
“Benarkah?!”
Kemudian ia membeberkan idenya. Ceritanya tentang lelaki tampan dari Timur Tengah yang menjalin cinta dengan seorang gadis yang cantik dan kaya. Berprofesi sebagai novelis muda yang cukup ternama. Ia seorang yang megalomania, yang melakukan bunuh diri hanya karena kecewa dengan karyanya. Ia menganggap karya-karyanya yang terakhir mengalami penurunan kualitas. Tidak sedahsyat karya-karyanya yang sebelumnya. Sementara kekasihnya, gadis cantik dan kaya itu masuk rumah sakit jiwa karena kenyataan itu.

Penulis itu tampak berpikir dan belum mulai menulis.
“Tuan penulis.”
“Hem, mengganggu saja. Apa?”
“Saya bosan. Saya ingin dijadikan seperti apa adanya.”
“Gila apa?!” katanya dengan melompat. “Itu sama saja bunuh diri.” Saya merinding.
“Kau tahu. Kalau aku menjadikan dirimu apa adanya, lantas apa yang akan terjadi. Kau itu murni. Tidak ada apa-apanya jika tidak dijadikan sebagai yang lain. Makanya, harus difitnah agar menjadi ada,” katanya dengan mimik serius.
“Terserah tuan, deh. Saya pasrah. Memang sudah nasib Saya menjadi korban fitnah.”*

Memang, ini bukan pertama kalinya. Bahkan sampai sekarang ini, sejak berabad-abad yang lalu, entah sudah berapa jutaan, milyaran, triliunan kali Saya dijadikan korban. Difitnah oleh para penulis yang pernah ada dan yang masih ada di dunia. Akhirnya, Saya tahu. Dan langkah terbaik bagi Saya selanjutnya adalah masa bodoh.

Saya masa bodoh dengan apa yang akan ditulis oleh penulis dengan tiga buah tahi lalat di pipi sebelah kiri yang membentuk segitiga kecil sama sisi itu. Terserah. Akan tetapi, sungguh Saya masih beruntung. Karena anda bisa baca-tulis. Dengan begitu, anda tentu saja bisa menjadi saksi bahwa Saya telah difitnah. Karena ngomong-ngomong, dua kakek dan dua nenek dari penulis yang tengah kita hadapi ini, buta dalam bahasa Indonesia. Ia hanya bisa membaca huruf arab dan pegon saja.

Dan kertas-kertas yang menampung huruf-huruf dalam cerpen yang akan ditulis oleh penulis ini, akan membantu Saya. Begitu juga dengan buku-buku dan media massa. Menjadi bukti pada pengadilan nanti.
“Bagaimana tuan penulis?”
“Diam! Sudah bosan hidup, ya. Minta dibunuh?! (*)

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi