Alex R. Nainggolan
http://www.sinarharapan.co.id/
Penerbitan ulang kumpulan puisi Wiji Thukul Aku Ingin Jadi Peluru oleh Indonesiatera, barangkali sedikit unik. Di tengah riuh reformasi, di mana keran kebebasan ekspresi seni yang terbuka lebar, puisi-puisi Thukul, yang acapkali bernada protes itu, mungkin terkesan biasa, bahkan tak ada artinya sama sekali. Kita pun sama-sama tahu, jauh sebelum Thukul menulis sejumlah puisi yang bernada kecaman, W.S. Rendra, di paruh dekade 70-an sudah menuliskan dalam Potret Pembangunan dalam Puisi, atau Emha Ainun Nadjib dengan Sesobek Catatan Buat Indonesia. Kegeraman para penyair itu, merupakan saksi abadi, yang membungkus segala ketimpangan sekaligus protes terhadap kondisi sosial-ekonomi di tengah masyarakat.
Kegeraman semacam itu, dengan mencoba untuk memotret gap-gap di sekeliling, terangkum pula dengan pelbagai tema, baik itu kaya-miskin, baik-jahat, kediktatoran, kesewenangan kekuasaan. Memang pijakan awal dari semua denyut aura kalimat yang tumbuh berpusat pada kekuasaan (power) di mana segala keinginan untuk tetap mempertahankan kursi, yang ternyata tak selamanya mulus. Seandainya para penguasa mendengarkan suara-suara bawah, tentu ia akan memperbaiki, dengan mempertimbangkan dan melakukan koreksi dari dalam. Tapi ternyata para penguasa cenderung amnesia untuk sekadar menghiraukan suara-suara ”sumbang” tersebut.
Kegeraman yang ditulis para penyair, semacam Thukul, Emha, dan Rendra, yang ternyata memilih untuk bertindak sebagai penyaksi. Penyair, bagaimanapun seseorang yang menciptakan dunianya sendiri, dunia dari karya-karyanya. Tetapi ia pun bertindak dalam posisi yang tak pernah mungkin untuk lepas dari realitas. Sajak-sajak yang bernuansa protes sosial, terkadang cenderung mengeluarkan penyair dari dunianya. Meskipun demikian, sajak-sajak protes juga tak tinggal diam, bukan sekadar menjelma jadi pamflet yang gelap, sebagaimana iklan di televisi akhir-akhir ini. Katakanlah sajak-sajak serupa itu ditulis di periode saat ini, ketika euforia kebebasan menggema merupakan susunan bunyi yang ganjil, tentu akan diacuhkan begitu saja. Akan tetapi penyair-penyair sebelumnya, yang bertindak sebagai ”penyaksi” yang berhadapan dengan cermin realitas yang bobrok, melakukan jauh sebelum keran demokrasi negeri ini terbuka bebas. Dan, Thukul adalah salah seorangnya. Sajak-sajak yang terangkum dalam Aku Ingin Jadi Peluru terkesan sederhana, diksi-diksi yang dipakai sangat biasa, bahkan lumrah ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Namun yang tergambar di sana ialah sebuah kesederhanaan yang memancar. Lewat kata-kata yang umumnya kita jumpai sehari-hari, Thukul seperti mencoba untuk menarik sebuah busur yang baru, dengan memosisikan dirinya sebagai yang terlibat di dalam (insider). Puisi-puisi yang ditulisnya menampakkan wajah protes yang meluap, pertanyaan-pertanyaan satire—yang menuju sebuah muara bagaimanapun dalam peristiwa politik, kehidupan bernegara melulu rakyat kecil yang menjadi korban. Sudah barang tentu, lingkungan kondisi masyarakat golongan ekonomi ke bawah cukup akrab di mata Thukul. Melalui puisi ia berjuang, sekadar melakukan ”penggugatan”, dan perjuangan yang dilakukan olehnya tidak hanya berhenti hanya sebatas diksi dalam puisi, melainkan juga melebar dalam kegiatan nyata di mana ia juga bergabung dalam sebuah gerakan yang memperjuangkan kebebasan orang-orang sipil bersama mahasiswa.
Thukul seperti ingin menegaskan jika seorang penyair, tidak hidup sendirian. Meminjam Afrizal Malna, seorang penyair juga hidup bersama masyarakat luas. Cerminan karya yang dihasilkan tidak akan jauh dari lingkungan di mana ia tinggal. Suatu hal yang mengingatkan pula bagaimana Arief Budiman menghidupkan sastra kontekstual yang sempat menjadi perbincangan hangat di ranah sastra Indonesia.
Meskipun pada bagian lain, antara karya dan penyair memerlukan suatu ”jarak” yang aman. Bagaimana puisi dan penyair mampu memilah realitas, sehingga menciptakan dunia sendiri: imajinasi. Sebuah batas yang memang tak bisa ditarik secara gamblang, tetapi setidaknya dalam berkarya para penyair (sastrawan) juga berpijak dalam realitas tersebut. Sehingga tidak hanya sekadar berdiri sendiri, hidup dalam menara gading imajinasinya sendiri saja.
Lima Bagian
Buku ini dipilah menjadi lima bagian, ditambahkan pula lima buah puisi baru dalam edisi cetak ulang ini. Bagian pertama: Lingkungan Kita Si Mulut Besar, kedua Ketika Rakyat Pergi, ketiga Darman dan Lain-Lain, keempat Puisi Pelo, dan kelima adalah Baju Loak Pundaknya. Dalam majalah Basis, Yogyakarta pernah pula diangkat masalah puisi Momok Hiyong, yang menjadi sentral perjalanan hidup Wiji Thukul. Tragedi-tragedi kemanusiaan yang selama ini ditutupi kembali terkuak dengan membaca kumpulan ini. sebuah protes dari masyarakat biasa, yang mencoba menegakkan kembali hakikat kemanusiaan.
Banyak judul puisi yang terkumpul memakai kata Catatan, saya kira memang Thukul bermaksud untuk mencatat secara garis besar realitas keseharian yang ditemuinya. Berbagai potret kegetiran hidup hadir terkuak semacam ongkos yang mahal di sebuah puskesmas, kehidupan buruh yang sengsara, atau ketika kesenian tak lagi bisa menjadi pegangan hidup. Sejumlah kesaksian yang begitu tegar, getir, dan siap menjadi pisau. Ternyata hidup tidak hanya berisi kesenangan semata, sebagaimana yang tertuang dalam acara sinetron di layar televisi kita. Thukul memaparkan pula, bagaimana ia mencintai perempuan, dengan bermodal baju yang loak pundaknya.
Pemakaian simbol binatang banyak pula hadir, simak dalam sajak Tikus—bagaimana Thukul mencoba menggugat tentang kekalahan si ”kecil” dengan yang ”besar”. Kita pun dihadapi dalam sebuah hukum rimba, siapa yang menang dialah yang berkuasa:seekor tikus/pecah perutnya/terburai isinya/berhamburan dagingnya//seekor tikus mampus/dilindas kendaraan/tergeletak/di tengah jalan/kaki dan ekornya terpisah dari badan/darah dan bangkainya/menguap/bersama panas aspal hitam//siapa suka/melihat manusia dibunuh/semena-mena/ususnya terburai tangannya terkulai/seperti tikus selokan/mampus/digebuk/dibuang/di jalan/dilindas kendaraan//kekuasaan sering jauh lebih ganas/ketimbang harimau hutan yang buas/korbannya berjatuhan/seperti tikus-tikus/kadang tak berkubur/tak tercatat/seperti tikus/dilindas/kendaraan lewat…
Sajak ini ditutup dengan pertanyaan yang bersedia. Thukul seperti mempertanyakan lagi naluri kemanusiaan bagi orang-orang yang kerjanya menindas:kau bersedia/diumpamakan/ seperti tikus?
Kekerasan demi kekerasan terus saja diabadikan, Thukul seperti membingkainya dengan mencatat keseharian, sikap dirinya, pernyataan yang tak mau ”menolak patuh”, tentunya lewat puisi. Perlawanan yang tak berkesudahan diungkap, dan Thukul bersedia menjadi martir untuk itu. Inilah salah satu kelebihan Thukul, puisi-puisi yang ditulisnya bukan hanya sekadar bermodal dengkul semata. Ia piawai menggabungkan keseharian yang acapkali luput dari perhatian kita, namun tak bisa kita ingkari. Suatu hal yang mengingatkan saya pada gaya-gaya nyeleneh, baik yang tertulis di kaus oblong atau lirik-lirik lagu gaya anak muda. Lirik-lirik itu pun tetap menohok realitas sekelilingnya, walaupun Thukul memakai diksi yang lebih ”keras” lagi. Hal lain yang kembali menerawangkan ingatan saya pada puisi-puisi epik Pablo Neruda, menyandingkannya bagaimana perlawanan yang ditawarkan kedua penyair ini hampir sama.
Dalam Bunga dan Tembok tampak juga bagaimana Thukul menghardik kekuasaan tiran:…jika kami bunga/engkau adalah tembok/tapi di tubuh tembok itu/telah kami sebar biji-biji/suatu saat kami akan tumbuh bersama/dengan keyakinan:engkau harus hancur!//dalam keyakinan kami/di mana pun –tirani harus tumbang! Sikap dirinya sebagai seorang penulis juga tergambar dalam puisi lainnya di Puisi di Kamar:…tak menyerah aku pada tipudaya bahasamu/yang keruh dan penuh genangan darah/aku menulis aku penulis terus menulis/sekalipun teror mengepung.
Demikianlah, Thukul, dalam menulis puisi juga berusaha untuk tidak terlalu menghiraukan para kritikus sastra. Dalam pengantarnya, Thukul menulis bahwa dalam penciptaan puisi penyair hanya tergantung kepada diri sendiri. Mungkin kritikus ada juga fungsinya. Tetapi, kritikus bagi Thukul cuma nomor empat urutannya. Penyair yang bagus, ialah penyair yang tidak tertekan, sebagaimana berada di dalam bilik pemilu, tanpa tekanan, bebas, tidak dipilihkan, melainkan memilih sendiri.
Barangkali, memang benar apa yang diucapkan oleh H.B.Jassin—yang konon terilhami dari negarawan besar Mahatma Gandhi, semestinya sastra menempatkan posisi sebagai penyaksi zaman dengan prinsip humanisme universal-nya. Kemanusiaan yang menyeluruh, meskipun kita tahu, jauh sebelumnya telah ”menggugat” bagaimana kekuasaan yang timpang tak akan mampu menopang kehidupan berbangsa menjadi lebih baik. Kita pun mencatat, bagaimana Rendra sempat tinggal di balik jeruji, kerapkali dilarang untuk membaca puisinya. Tapi hukuman berbalik yang diterima bagi penguasa yang paranoid terhadap karya sastra memang tak akan bertahan lama. Dan sejarah telah mencatatnya. Thukul merupakan salah seorang dari para pencatat sejarah itu.***
Penulis adalah penyair, tinggal di Jakarta.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar