Anton Kurnia*
http://www.sinarharapan.co.id/
Cinta yang terluka dan balas dendam sebagai api yang menyalakan semangat untuk mengarungi hidup penuh petualangan bisa kita temui dalam serial komik silat Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes Th.
Si Buta, sejak kelahirannya pada 1967 lewat terbitan UP Soka Jakarta, tak pelak merupakan tokoh komik lokal paling populer. Namanya terus bergema sejak diangkat ke gedung bioskop pada dasawarsa 1970-an dengan mencuatkan mendiang Ratno Timoer sebagai aktor pemerannya hingga ke layar kaca dalam zaman sinetron dewasa ini. Saat ini sebuah sinetron yang dibuat berdasarkan salah satu episode komik petualangan Si Buta masih diputar di sebuah stasiun televisi swasta nasional.
Kisah Si Buta dari Gua Hantu diawali oleh dendam yang tak terbalas. Barda Mandrawata, seorang pemuda tani di sebuah desa pelosok Banten, tengah menanti hari pernikahannya dengan Marni Dewianti saat seorang buta yang sakti tapi telengas, Si Mata Malaekat, mampir di desanya dan berbuat onar. Ia membunuh Ganda Lelajang, ayahanda Marni, karena soal sepele. Barda dan kawan-kawannya dari Perguruan Elang Putih mencoba menuntut balas. Paksi Sakti Indrawata, ayahanda Barda sekaligus ketua perguruan, menantang duel Si Mata Malaekat. Namun, ia tewas.
Barda yang merasa kalah jago dari si pembunuh pergi meninggalkan desanya dan menyepi di sebuah gua untuk memperdalam ilmu silat. Ia ingin membalas dendam. Berkaca pada musuhnya, ia berupaya mempelajari ilmu membedakan suara yang tak tergantung pada mata.
Pada suatu hari, pemuda yang dibakar dendam itu mengangkat goloknya menyilang sejajar dengan mata. Digerakkannya golok itu menggores sepasang matanya. Sejak itu Barda menjadi buta. Tapi, menjadi buta ternyata membuatnya lebih tangguh. Kepekaan nalurinya justru menjadi jauh lebih tajam karena terbebas dari indera penglihatan. Kesaktian ini membuat Barda bertekad menuntaskan dendamnya pada Si Mata Malaekat.
Singkat cerita, Si Mata Malaekat tewas di tangan Barda. Dendam terbalas sudah. Tapi, cerita justru baru dimulai. Tambatan cintanya, Marni yang jelita, telah menjadi isteri orang, meninggalkan luka di hati Barda. Barda alias Si Buta dari Gua Hantu yang kini tampil gagah dengan setelan baju kulit ular berikut tongkat yang didapatnya dari gua tempatnya menempa diri memutuskan hengkang meninggalkan kampung halamannya. Ia bertualang ke berbagai penjuru Nusantara demi menumpas kejahatan ditemani oleh Wanara, monyet cerdik yang setia.
Setelah episode pertama berjudul Si Buta dari Gua Hantu, muncul berbagai petualangan singkat Si Buta di Pulau Jawa, antara lain lewat episode Borobudur dan Mawar Berbisa. Lalu, ia terus mengembara ke Timur, menyeberang ke Bali dalam Banjir Darah di Pantai Sanur dan Nusa Tenggara Barat dalam kisah Reo Manusia Srigala yang mengambil latar di Sumbawa. Disambung perjalanan melintasi lautan menuju Sulawesi dalam Prahara di Donggala, Perjalanan ke Neraka dan Kabut Tinombala. Selanjutnya, ia kembali menyeberangi laut menuju Nusa Tenggara Timur, tepatnya Pulau Flores, dalam Tragedi Larantuka.
Si Buta dalam Sejarah Komik Indonesia
Si Buta merupakan masterpiece Ganes Th yang pada masanya merupakan salah satu dari tiga dewa komik Indonesia bersama Jan Mintaraga dan Teguh Santosa. Mereka adalah penerus generasi yang lebih awal dengan tiga tokoh utamanya: Taguan Hardjo, Zam Nuldyn dan Abdul Salam.
Ganes Th memulai kariernya sebagai ilustrator dan pembuat komik remaja. Namanya mencuat sejak munculnya serial Si Buta dari Gua Hantu yang kemudian difilmkan. Ia juga membuat sejumlah komik lepas, antara lain Tuan Tanah Kedawung (berlatar Betawi tempo doeloe, difilmkan oleh Tidar Film, 1972), Taufan (sebuah kritik sosial, berlatar zaman Jepang hingga awal masa kemerdekaan) dan Pendekar Slebor yang berlatar kehidupan pesantren di pesisir utara Pulau Jawa.
Ganes terutama menyandarkan komiknya pada kekuatan gambar dan gerak tokoh-tokohnya daripada penggunaan bahasa. Kelebihannya itu mampu menutupi kekurangannya dalam menggambar naturalis. Seperti halnya Taguan Hardjo, kelebihannya yang lain adalah gayanya yang ekspresif dalam menggambarkan raut wajah tokoh-tokohnya. Si Buta sendiri nyaris selalu ditampilkan bermimik dingin dengan garis bibir tipis yang berkesan keras.
Ia pun mahir menyusun plot berliku. Seringkali ia menyembunyikan identitas tokoh antagonis hingga saat terakhir dan mencoba mengecoh pembaca dengan kesimpulan yang keliru.
Terkadang ia mencoba puitis. Ia pernah menyisipkan selarik sajak Chairil Anwar (1922-1949), Aku, yang dipelesetkannya dalam salah satu episode petualangan Si Buta. Sajak itu dideklamasikan oleh seorang tokoh pengemis eksentrik yang selalu mengulang-ulang kalimat, ”Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang…”
Si Buta adalah sebuah fenomena, bahkan legenda, dalam dunia komik silat kita. Dari serial laris ini bermunculan sederet epigon yang kemudian ikut meramaikan kancah perkomikan nasional di masa lalu. Tak bisa disangkal, kesuksesan Ganes dengan Si Buta dari Gua Hantu mengilhami para komikus setelahnya.
Salah satunya adalah Djair Warni yang melejit lewat serial Jaka Sembung (terbit mulai 1968). Dalam serial itu Djair menciptakan sesosok tokoh bernama Karta alias Si Gila dari Muara Bondet yang dari namanya saja sudah terlihat jejak kemiripannya dengan Si Buta. Profil tokoh ini amat dekat dengan Si Buta: tampan, gagah, berambut gondrong. Hanya saja, ia tidak buta.
Awal proses kependekaran Karta tak jauh beda dengan ”metamorfosis” Barda, lagi-lagi disebabkan oleh dendam dan cinta. Karta, pemuda desa yang lugu, lari dari desanya akibat kematian Nuraini, kekasihnya yang bunuh diri pada malam perkawinannya dengan lelaki pilihan orangtuanya. Karta yang dijadikan kambing hitam kematian itu dihajar oleh si lelaki hingga babak belur, menorehkan dendam di hatinya.
Ia kemudian memperdalam ilmu silat secara otodidak dengan latihan ganjil selama bertahun-tahun di sebuah muara sungai hingga mampu menguasai sebuah ilmu golok yang aneh tapi ampuh. Setelah dendamnya terbalas, ia bertualang. Ia dianggap gila karena sering tertawa-tawa sendiri lalu tiba-tiba menangis sesenggukan apabila teringat pada almarhum kekasihnya. Karta lalu diangkat sebagai adik seperguruan oleh Jaka Sembung.
Djair pun tampaknya terilhami petualangan Si Buta keliling Nusantara saat menciptakan sejumlah episode pengembaraan Jaka Sembung di Indonesia Timur dalam lakon Singa Halmahera, Iblis Pulau Aru, Wori Pendekar Bumerang dan Papua. Bedanya, Djair mewarnai karyanya dengan napas perlawanan terhadap kaum penjajah asing dan nuansa Islam yang cukup kentara (simak misalnya episode Wali Kesepuluh).
Menimbang Aspek Intrinsik Si Buta
Sebagai sebuah karya, serial komik Si Buta dari Gua Hantu sebenarnya tak jauh beda dengan komik-komik lain sezamannya. Ada beberapa kelemahan umum, seperti logika teks yang terkadang diabaikan oleh kebetulan-kebetulan. Namun, ada sejumlah keunggulan di dalamnya, antara lain soal penokohan.
Ganes memberi alasan bagi kecenderungan tokoh-tokohnya walau tak jauh dari tema cinta dan dendam. Ada perkembangan psikologis dalam diri mereka. Barda yang semula berwatak periang memilih pergi dari kampung halamannya dan bersikap dingin pada wanita karena cintanya yang terluka.
Si Buta pun digambarkan cukup manusiawi. Terkadang ia dan monyetnya tampak sedang makan di warung nasi dan membayar dengan uang yang didapat dari orang yang pernah ditolongnya (lihat Perjalanan ke Neraka). Si Buta pun bukannya tak bisa kalah. Ia pernah nyaris mati akibat racun pukulan kecubung biru dan terpaksa harus mencari obat penawarnya dengan susah payah (baca Kabut Tinombala).
Selain itu, Si Buta tak mengabaikan latar tempat dan waktu. Ganes dengan sadar mengambil tempat-tempat faktual (Banten, Borobudur, Pantai Sanur, Gunung Rinjani, Donggala, Gunung Tinombala, Pulau Flores, Larantuka) sebagai ajang petualangan Si Buta. Bandingkan misalnya dengan komik-komik silat Jan Mintaraga atau serial Panji Tengkorak karya Hans Djaladara.
Waktu kejadian dalam kisah Si Buta, walaupun tak disebut eksplisit, kira-kira adalah sekitar abad ke-17 ketika VOC mulai menancapkan kukunya di Nusantara. Itu ditandai dengan munculnya tokoh orang-orang Belanda (VOC berdiri pada 1602) dan penggambaran suasana yang belum terlalu modern (kendaraan yang lazim ditampilkan adalah kereta kuda).
Tokoh antagonis dalam kisah Si Buta bukanlah kaum penjajah asing, melainkan tuan-tuan tanah, penguasa-penguasa lokal yang tamak, atau tukang-tukang pukul yang doyan menindas rakyat kecil. Mereka itulah yang menjadi musuh Si Buta, sang pembela kaum tertindas.
Cukup menarik cara pandang Ganes terhadap modernitas dalam serial Si Buta ini. Ia berpihak pada ilmu pengetahuan modern dan menolak tahayul. Dalam kisah Reo Manusia Serigala, terdapat tokoh ilmuwan asing yang tengah melakukan penyelidikan botani di Nusantara. Saat Reo sakit demam, bocah itu disembuhkan dengan larutan air kina yang diberikan oleh sang ilmuwan. Rupanya Reo mengidap malaria.
Begitupun dalam Tragedi Larantuka terdapat tokoh dokter bule yang berupaya menolong warga sebuah desa di Larantuka yang terserang wabah rabies akibat serangan gerombolan anjing liar. Penduduk lokal menganggap penyakit itu disebarkan oleh setan. Dengan cerdik, Ganes menampilkan tokoh dukun tradisional justru sebagai pembantu dokter yang tak lagi percaya pada ilmu klenik. Ia bekerja sama dengan si dokter mengumpulkan dana untuk membeli obat bagi rakyat miskin dengan cara memanipulasi kebodohan seorang tuan tanah kikir.
Komik dalam Kebudayaan Kita
Demikianlah catatan singkat tentang Si Buta dari Gua Hantu, tokoh legendaris dalam sejarah komik Indonesia. Tulisan ini hanyalah merupakan tinjauan sederhana seorang pembaca. Telaah yang lebih serius dari berbagai sudut pandang keilmuan, entah itu dari aspek sastra atau seni rupa, dan tinjauan ilmiah yang lebih mendalam, tentunya terbuka untuk dilakukan.
Sejauh ini, telaah paling serius terhadap komik Indonesia justru dilakukan oleh seorang Prancis bernama Marcel Bonnef dalam disertasi yang dibuatnya pada 1973 silam, Les Bandes dessines Indonesiennes (baru diterjemahkan di sini sebagai sebuah buku bertajuk Komik Indonesia pada 1998).
Bagaimanapun, seperti ditulis komikus Jan Mintaraga dalam sebuah esai bertajuk ”Komik, Bastar Tanpa Kewarganegaraan” (dimuat Kompas, 1983), komik adalah bagian tak tersangkal dari kebudayaan kita yang berkaitan seni rupa dan sastra, biarpun pada kenyataannya di sini tak pernah dianggap sebagai karya yang pantas diperbincangkan secara terhormat.
*) Sastrawan dan pembaca komik.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar