Saut Situmorang
http://sautsitumorang.wordpress.com/
Sinisme historis dalam melihat kondisi “sastra Indonesia” kontemporer sudah memenuhi kepala saya selama bertahun-tahun waktu saya membaca artikel berjudul aforistis “Karya Bagus, Argumentasi Lemah” oleh Chavchay Syaifullah di Media Indonesia, Minggu 8 Oktober 2006, tentang “kegagapan forum” orang-orang Teater Utan Kayu di arena sastra “internasional” berbahasa Inggris seperti Ubud Writers and Readers Festival. Waktu itu saya berada dalam kereta api pagi yang membawa saya pulang ke Jogja setelah diundang Dewan Kesenian Jakarta baca-puisi pada acara Tadarus Puisi di Taman Ismail Marzuki (TIM). Saya ngakak penuh tekstasi setelah selesai membaca artikel “subversif” tersebut. Akhirnya ada juga wartawan budaya yang benar-benar percaya dan menjalankan “kebebasan pers” yang selama ini cuma jadi retorika omong kosong wartawan omong kosong di Republik Animal Farm ini, sorak saya dalam hati. Saya jadi teringat pada apa yang pernah dikatakan wartawan-cum-novelis kelas wahid dari Inggris, George Orwell: “During times of universal deceit, telling the truth becomes a revolutionary act”! Siapa bilang revolusi itu sudah tak ada lagi!!!
Begitu saya sampai di negeri gempa Jogja saya mendengar kabar burung bahwa Media Indonesia mendapat serangan SMS dari kelompok “sastrawan” yang namanya disebut-sebut dalam artikel-reportase Chavchay tersebut, yaitu komunitas Teater Utan Kayu (TUK) dan salah satu SMS tsb bahkan menyatakan dengan arogan dan sangat patronising bahwa ruang budaya Media Indonesia dipimpin oleh 2 orang super-bego dan bahwa kedua orang “super-bego” ini menyebarkan kebodohan di koran nasional bertiras besar! Betapa arogannya! Betapa reaksionernya! So much for freedom of the press!
Tapi saya setuju dengan pendapat Chavchay Syaifullah dalam artikelnya itu. Justru apa yang dia tuliskan itulah merupakan kondisi memprihatinkan dari apa yang dulu disebut sebagai “sastra Indonesia” itu, yang membuat saya jadi teridap sinisme sejarah itu. Politik “sastra” yang dilakukan TUK terlalu kasat mata, terlalu vulgar, untuk tidak mungkin terlihat oleh orang-orang di luarnya, seperti saya misalnya. Dan saya sendiri pernah bersinggungan langsung dengan salah satu dari aktivitas mereka ini sampai berefek skandal di kota Solo beberapa waktu lalu.
Saya sengaja datang sendiri naik motor bebek Legenda saya dari Jogja untuk melihat apa yang TUK klaim sebagai sebuah “Temu Sastra Internasional” yang akan mereka adakan selama 2 malam di Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo, setelah selesai di Denpasar. Saya ingin membuktikan sendiri benar-tidaknya “internasionalisme” event yang menurut saya cuma semacam program menebus dosa sejarah kolonialisme Belanda yang ironisnya justru dilakukan oleh salah satu negeri bekas jajahannya sendiri itu. Di Solo saya mendapat informasi bahwa ternyata tidak ada satupun sastrawan Solo yang ikut sebagai peserta dalam peristiwa sastra antar-bangsa yang justru diadakan di Taman Budaya kota itu sendiri, kecuali sebagai pembawa acara! Padahal di 2 kota lain di mana acara yang sama juga diarisankan, Denpasar dan Jakarta, para sastrawan lokalnya terlibat aktif termasuk membacakan karya masing-masing. Saya dan beberapa kawan seniman asal Solo lalu merespons arogansi TUK yang seolah-olah menganggap tak ada sastrawan Solo yang pantas ikut acara mereka yang hebat itu dengan membuat surat pernyataan dengan tanda tangan para seniman dan non-seniman dari berbagai latar belakang profesi dan asal-kota dalam bahasa Indonesia dan Inggris, yang kemudian kami bagi-bagikan pada malam kedua, termasuk kepada peserta dari luar Indonesia. Respons dari TUK yang kami terima sudah gampang diduga, mirip dengan respons yang diterima Chavchay Syaifullah. Kami dituduh macam-macam. Saya sendiri, misalnya, dalam sebuah artikel-reportase yang ditulis dalam majalah berita Tempo beberapa waktu setelah Skandal Solo itu berlalu dikatakan secara eufemisme pasemonan sebagai cemburu atau iri hati karena tidak diundang! Disuruh untuk mengelus dada sendiri! Padahal penulisnya (terkutuklah dia itu!!!) tidak pernah mewawancarai saya, bahkan hadir pun tidak di Solo! Menurut “kabar angin”, semua informasi yang dipakainya untuk menuliskan pseudo-reportasenya itu didapatnya dari seseorang bernama “Goenawan Mohamad”! Pada malam kedua acara “Temu Sastra Internasional” yang kami ganggu dengan sengaja itu, saya dan kawan-kawan perancang surat pernyataan tersebut sebenarnya menunggu diajak konfrontasi argumentasi oleh panitia. Kami menunggu sambil ngebir di warung kopi tepat di depan pintu masuk gedung TBS itu karena konon seseorang bernama Goenawan Mohamad sangat tersinggung dengan surat kami itu dan mengklaim kami anti-diskusi. Sampai kami pindah tempat minum ke sebuah café tengah kota, tak ada ajakan yang kami tunggu-tunggu itu datang. Malah, kata seorang kawan yang sengaja ikut malam itu dengan panitia acara, mereka minum-minum wine setelah acara usai di rumah salah seorang seniman tari lokal! So much for a democratic literary discussion.
Apa yang diamati Chavchay sebagai “kegagapan forum” orang-orang TUK di arena sastra “internasional” berbahasa Inggris seperti Ubud Writers and Readers Festival itu cuma membuktikan kadar “internasionalisme” dan “kosmopolitanisme” komunitas yang selalu berpretensi paling radikal selera artistiknya ini. Ketidakmampuan mereka berbahasa Inggris juga dibuktikan oleh jeleknya terjemahan Hasif Amini atas cerpen-cerpen Jorge Luis Borges yang ironisnya malah dipuji-puji oleh kawannya seperti Nirwan Dewanto! Juga coba baca kembali apa-apa yang pernah ditulis oleh Nirwan Dewanto dalam media yang ada relasinya dengan TUK tentang sastra Indonesia kontemporer. Klaim-klaim yang dibuat Nirwan Dewanto tentang puisi Indonesia saja, misalnya, sangat mengada-ada, tidak dapat dipertanggungjawabkannya dalam konteks “kritik sastra” makanya bisa disebut “fitnah” , dan sangat arogan sehingga kalau dibandingkan dengan apa yang dituliskan Chavchay tentang realitas gagap forum internasional TUK justru sangat pantas untuk disebut “super-bego”. Dan media cetak yang memuat tulisan-tulisan super-bego dan fitnah itu sangat pantas juga untuk disebut sebagai “menyebarkan kebodohan di (media) nasional bertiras besar”! Sementara untuk memuji-muji karya sesama anggota TUK seperti yang dilakukannya atas Ayu Utami, Nirwan Dewanto tidak merasa ada persoalan sama sekali untuk menyatakan (dengan maksud melambungkan reputasi komunitasnya, tentu saja) bahwa Ayu Utami tidak terlahir dari sejarah sastra Indonesia, misalnya, walau tetap saja dia impoten untuk mengelaborasi apa yang dimaksudkannya dengan klaim pseudo-kritik sastranya itu.
Narsisisme TUK ini akan lebih jelas lagi terlihat dari kutipan di bawah ini yang saya ambil dari sebuah artikel berjudul “The Search for a Silver Lining in Indonesia” di edisi bahasa Inggris majalah Jerman Der Spiegel 23 Desember 2005. Dalam artikel yang juga menyebut-nyebut nama Ayu Utami itu, perhatikanlah kata-kata yang saya italic di bawah:
The Utan Kayu cultural center in Jakarta provides a perfect example of progress, Indonesian style. It was here that the foundation of modern Indonesia was laid not too long ago. In the summer of 1994, when then dictator Suharto ordered three news magazines shut down, journalists and writers bought a group of run-down buildings at Utan Kayu 68 H and opened a publishing house — in direct defiance of the dictator’s edict. A left-leaning political movement soon developed and, in 1998, Utan Kayu became the starting point for the mass demonstrations that led to Suharto’s ouster.
Benarkah TUK merupakan tempat di mana “fondasi dari Indonesia modern” diletakkan? Benarkah TUK merupakan sebuah “gerakan politik kiri” dan yang menjadi “awal-mula” dari gerakan reformasi yang menjatuhkan diktator Suharto? Apa ini bukan sebuah klaim keterlaluan besar atas sejarah Indonesia kontemporer!
Kalau kita mengatakan bahwa ini terjadi karena kesuperbegoan wartawan Der Spiegel yang buta akan sejarah jatuhnya Suharto, lantas dari mana dia mendapatkan informasinya tersebut? Bukankah sebego-begonya seorang wartawan dari sebuah media internasional sekaliber Der Spiegel, dia tetap akan mendasarkan reportasenya itu pada wawancara dengan pihak yang terkait, nara sumber (seseorang bernama “Ayu Utami” dalam kasus ini), dan tidak berdasarkan khayalan semata-mata?
Persoalan “kebenaran jurnalistis” ini sangat relevan terutama dengan apa yang terjadi atas satu lagi laporan Chavchay Syaifullah di koran Media Indonesia. Laporan pandangan mata langsung Chavchay atas acara Utan Kayu International Literary Biennale 2007 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 23 Agustus 2007, berjudul “Geger Menangis, Pesta Bir Berlanjut” (Media Indonesia, Minggu 26 Agustus 2007) ternyata benar-benar menimbulkan geger. Chavchay dituduh membuat “berita yang mengandung fitnah berat” terhadap Utan Kayu International Literary Biennale 2007 tsb dan “sedikitnya empat kebohongan” menurut orang-orang TUK (baca “Bantahan Panitia Penyelenggara Utan Kayu International Literary Biennale 2007, Komunitas Utan Kayu, Jakarta” yang berjudul “Empat Dusta” di Media Indonesia, Minggu 2/9/2007). Dalam bantahan “Empat Dusta” tsb, Sitok Srengenge sebagai “Direktur Utan Kayu International Literary Biennale” bahkan menyatakan bahwa “Chavchay Saefullah seolah-olah melakukan reportase acara pembukaan Utan Kayu International Literary Biennale 2007” tsb [italic saya]. Laporan pandangan mata Chavchay itu dianggap “fitnah berat”, “berita bohong”, “seolah-olah. . .reportase” cuma karena Chavchay tidak melakukan apa yang menurut orang TUK sebagai hukum utama jurnalisme, yaitu asas “cover both sides”! Walau Chavchay bisa menunjukkan bukti rekaman atas apa yang dinyatakan penyair Geger Prahara (bahwa dia “diusir satpam” acara Utan Kayu International Literary Biennale 2007), misalnya, tapi bukti rekaman tsb tetap tidak dianggap valid sebagai bukti jurnalistik oleh orang TUK! (Dalam sebuah SMS kepada saya Saut Situmorang, Geger juga menyatakan: “Kbr baik! Apa kbr jg? Kasus dgn Satpam 100% fakta! Yg fiktif adalah soal menangis. Salam Geger”.)
Disamping Kasus Geger ini, satu isu lain yang dianggap sebagai “fitnah” itu adalah soal “pesta bir” yang dituliskan Chavchay, sementara perihal “kerjasama yang biasa aja” (dalam bahasa Zen Hae, Ketua Komite Sastra, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), di SMS-nya kepada saya) yang dilakukan DKJ dalam mendukung acara yang bukan program resminya itu dengan sengaja diabaikan sama sekali. (Ada sebuah ironi di sini. DKJ mengeluarkan uangnya sampai puluhan juta untuk “kerjasama yang biasa aja” ini, tapi mengaku tidak punya uang waktu sebelumnya sastrawan Jakarta bernama Sihar Simatupang datang minta bantuan tiket sekali-jalan ke Medan yang mengundangnya sebagai pembicara dalam event sastra “internasional” Puisi Dunia di Medan!)
Pembelaan Sitok Srengenge menarik soal “pesta bir” tsb. Dia bilang bahwa “Penyediaan bir adalah suatu kelaziman dalam jamuan internasional. Hal itu juga bukan pertama kalinya terjadi di Taman Ismail Marzuki.” Saya adalah seorang yang sangat mencintai bir, terutama bir pilsener yang dingin. Saya yakin tak ada makhluk hidup di TUK yang mampu minum bir dingin sebanyak saya, hehehe… Saya juga tahu bahwa image peminum bir memang tidak positif di negeri ini, beda dengan di Barat di mana minum bir tidak ada bedanya dengan minum kopi, sebuah properti sosialisasi. Inilah romantisme para pencinta bir di negeri ini. Jadi kalau dalam sebuah peristiwa sastra besar, yang “internasional” lagi, di negeri ini dan yang dihadiri banyak orang-orang negeri ini, disediakan bir untuk diminum bebas, kan wajar kalau ada yang risih! Sastra kan sudah dianggap budaya adiluhung di negeri ini, sementara bir merupakan kebalikannya. Masak budayawan Indonesia tidak paham dengan realitas masyarakatnya sendiri ini! Soal mabuk karena ngebir, itu kan juga relatif. Apa memang banyak orang Jakarta yang benar-benar sanggup minum sebanyak penyair Saut Situmorang dan tidak teler! “Mabuk” kan beragam definisinya. Minum empat botol besar bir dingin bagi saya itu belum “mabuk”, tapi minum satu gelas bir mungkin saja akan membuat orang Indonesia lain “mabuk”. Jadi ini kan soal bahasa, masak penyair besar Indonesia tidak paham dengan bahasa nasionalnya sendiri! Juga, kalau memang benar “Penyediaan bir adalah suatu kelaziman dalam jamuan internasional”, kenapa waktu “jamuan internasional” yang diadakan TUK di TBS Solo beberapa tahun lalu itu tidak disediakan bir? Saya dan kawan saya terpaksa harus menyediakan sendiri bir kami di malam-malam Solo yang panas itu. Apa karena Temu Sastra di Solo itu memang kurang atau malah tidak “internasional”!
Kalau Chavchay dibilang membuat “fitnah” dan “dusta” dalam reportase jurnalistiknya yang jujur dan berani itu sampai dia harus dipindahtugaskan pimpinannya karena desakan otoriter seorang mogul media massa yang juga merupakan orang pertama TUK – yang cuma mengingatkan saya pada tokoh utama film Citizen Kane karya Orson Welles – sebagai resiko seorang wartawan kecil tapi berani di negeri yang tak menghormati kebebasan berpendapat ini, bagaimana dengan reportase wartawan Der Spiegel di atas? Apakah dia sudah melakukan asas “cover both sides”, mencek-ulang kepada pihak lain, hasil wawancaranya dengan seseorang bernama “Ayu Utami” tentang peran TUK dalam gerakan pro-demokrasi yang menjatuhkan Suharto itu? “Both sides” mana yang sudah di-cover-nya? Saya yakin orang TUK pasti sudah membaca majalah Jerman yang berisi dongeng tentang mereka itu (saya saja sudah!) dan karena tidak ada protes dari mereka atas isi dongeng itu maka bisa diartikan bahwa, paling tidak, mereka sangat puas dengannya! Juga bagaimana dengan pseudo-reportase majalah Tempo tentang Skandal Solo seperti yang saya singgung di atas! (Skandal Chavchay itu sendiri, menurut kabar terakhir, belum “dianggap selesai” oleh TUK. Alasannya: “Catatan Redaksi” yang ditulis Edy A Effendi untuk menemani bantahan “Empat Dusta” Sitok Srengenge di edisi yang sama telah membuat “persoalan jadi terbuka lagi”!)
Sebagai penutup, baiklah saya paparkan beberapa “dusta” saya ini sebagai suplemen “dusta” Chavchay Syaifullah:
• novel Saman Ayu Utami memanipulasi komentar Pramoedya Ananta Toer dalam blurb di sampul belakang novel tsb dengan cara mengutip secara tidak benar apa yang dinyatakan Pramoedya Ananta Toer.
• Ayu Utami menang Prince Claus Award dari Negeri Belanda sebelum terjemahan Belanda novelnya itu selesai. Pertanyaan sederhananya: Bagaimana para juri Prince Claus Award bisa menilai/mengetahui kehebatan Ayu Utami?
• tulisan-tulisan akhir tahun Nirwan Dewanto tentang sastra Indonesia di majalah Tempo adalah fitnah dan penghinaan besar terhadap sastra(wan) Indonesia kontemporer.
• posisi Hasif Amini sebagai redaktur “Sajak-sajak” Kompas Minggu cuma menguntungkan kawan-kawannya belaka, terutama Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto, dan Sitok Srengenge yang sajak-sajaknya selalu muncul satu halaman penuh sementara para penyair lain dimuat beramai-ramai.
• gosip beredar tentang pernyataan Sitok Srengenge bahwa “Sastrawan Indonesia” hanyalah “mereka yang diundang ke acara sastra TUK” saja.
• makanya menjadi “Sastrawan Indonesia”lah orang-orang semacam Laksmi Pamuntjak dan Avi Basuki.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 16 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar