Anton Kurnia
http://www.sinarharapan.co.id/
Belakangan ini terjadi polemik dalam berbagai diskusi serta sejumlah media massa mengenai fenomena munculnya para perempuan penulis muda yang hadir dengan karya-karya bermuatan seks. Banyak pandangan yang pada intinya menyiratkan ”kekhawatiran” atas merebaknya fenomena tersebut. Mengamati polemik itu, saya melihat bahwa yang ”diresahkan” oleh banyak kalangan adalah karena mereka yang giat ”mengeksplorasi tubuh manusia” ini nota bene para perempuan, tepatnya ”perempuan muda”. Begitulah, banyak orang ribut soal seks dalam sastra kita belakangan ini hanya karena yang menuliskannya adalah perempuan!
Kontroversi mengenai seks atau gambaran tentang hal-hal yang erotis dalam karya sastra kita sebenarnya sudah sering terjadi. Pada masa kolonial, terjadi polemik terselubung antara tokoh-tokoh Balai Pustaka dengan orang-orang di luar Balai Pustaka. Dalam Nota Rinkes, misalnya, disebut-sebut mengenai karya-karya sastra yang dianggap melanggar tabu dan ”merusak moral.” Pada akhir masa kolonial, kemunculan Belenggu karya Armijn Pane yang mempersoalkan cinta dan perselingkuhan juga menimbulkan kontroversi. Pada akhir 1960-an terjadi diskusi panjang mengenai novel-novel Motinggo Busye sejak trilogi Bibi Marsiti yang dianggap mengandung banyak unsur pornografi. Selanjutnya, terjadi pula diskusi antara Harry Aveling dengan Goenawan Mohamad sebagaimana yang tampak dalam Seks, Sastra, Kita (ditulis 1969).
Seperti pernah diungkap oleh kritikus sastra Faruk HT melalui sebuah tulisan berjudul Seks dan Politik dalam Sastra Indonesia (2003), dalam Seks, Sastra, Kita, Goenawan Mohamad melihat ada tiga pola sikap dalam karya sastra Indonesia terhadap persoalan seks dan cara penggambaran seks. Pertama, karya-karya yang berusaha mempersoalkan seks tetapi tidak berani menggambarkannya, karya-karya yang dalam istilah Harry Aveling memperlakukan persoalan seks itu sebagai ”mawar berduri.” Kedua, karya-karya yang mempersoalkan seks dan menggambarkannya dengan cara ”meneriakkannya dengan keras-keras.” Karya-karya yang demikianlah yang mungkin digolongkan sebagai karya-karya ”pornografis”, yang menggambarkan peristiwa erotis secara eksplisit. Ketiga, karya-karya yang mempersoalkan seks sebagai bagian dari kehidupan manusia yang wajar dan menggambarkannya secara wajar pula, antara lain seperti yang tersirat dalam cerpen-cerpen awal Umar Kayam dan puisi-puisi Sitor Situmorang.
Pada waktu novel Ayu Utami, Saman (1998), muncul terjadi pula kontroversi. Dalam sejarah sastra Indonesia, sejak Ayu Utami (36) memang terjadi hal yang menakjubkan dalam persoalan seks dalam sastra. Bukan hanya karena keberaniannya dalam menulis seksualitas secara eksplisit dibandingkan dengan karya-karya sastra Indonesia sebelumnya, melainkan juga karena penulis yang mengikuti kecenderungan demikian justru para penulis perempuan seperti Dinar Rahayu (33), Djenar Maesa Ayu (31), lalu Nova Riyanti dan Herlinatiens. Dalam sebuah wawancara, pemenang sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2004, Dewi Sartika (24), dengan terus terang mengakui bahwa novelnya, Dadaisme, dipengaruhi oleh cara penulisan Ayu Utami.
Sastra dan Gerak Zaman
Sejarah mencatat, kontroversi atas terbitnya sebuah karya sastra lebih sering terjadi karena ketidaksiapan masyarakat yang bersangkutan atau penguasa (penguasa politis, spiritual, moral) dalam menghadapi ekspresi individu yang berbeda bahkan bertentangan dengan tata nilai kolektif. Di sini, persoalan bergeser dari wilayah sastra menuju wilayah sosiologi, bahkan politik seperti yang terjadi pada karya-karya Milan Kundera.
Ketika D. H. Lawrence mempublikasikan Lady Chatterley’s Lover di Inggris seabad silam atau saat Gustave Flaubert di Prancis menerbitkan Madame Bovary beberapa tahun sebelumnya, banyak orang merasa tersengat bukan karena muatan seks kedua novel itu, melainkan karena kedua karya sastra itu dengan terbuka menyerang hipokrisi kelakuan seksual kaum elite masyarakatnya. Dalam kedua novel itu, dikisahkan perselingkuhan para isteri lelaki terhormat (Lady Chatterley dan Emma Bovary) yang justru menemukan kebahagiaan di luar perkawinan. Lady Chatterley bahkan dikisahkan berselingkuh dengan tukang kebun suaminya sendiri, seorang bangsawan dan veteran perang yang invalid. Sebuah tamparan bagi sebuah konstruksi sosial yang telah mapan dan tak menghendaki kritik. Itu pula yang terjadi di sini dengan Belenggu karya Armijn Pane di tahun 1930-an.
Ketika pada ujung 1960-an hingga awal 1970-an terjadi revolusi seks di Amerika Serikat sebagai reaksi atas perang yang terus dikobarkan di mana-mana (Korea, Vietnam) oleh generasi tua mereka yang berpandangan patriarkis, di mana keterbukaan seks menjadi tema pemberontakan anak-anak muda dan rasa takut pada maut (fear) dihadapi dengan cinta (love) lewat semboyan yang terkenal itu (”Make love, not war!”), sejumlah nama muncul sebagai ikon, termasuk dalam sastra.
Salah satunya adalah Anaïs Nin (1903-1977) yang kebetulan adalah seorang perempuan. Novelis dan cerpenis Amerika keturunan Prancis yang menulis serangkaian catatan harian bermuatan seksual eksplisit itu di ujung usianya mengukuhkan namanya sebagai ikon feminis dan penulis garda depan di negerinya seiring dengan gerak zaman yang menuntut keterbukaan. Itu semua dikaitkan pula dengan sejumlah affair-nya dalam kehidupan nyata, termasuk dengan penulis terkemuka Amerika lainnya, Henry Miller.
Dalam pengantar untuk kumpulan cerita erotisnya, Delta of Venus: Erotica (1969), Nin yang merupakan pengagum D. H. Lawrence antara lain menulis bahwa yang dilakukannya adalah mencoba menuliskan aspek seksualitas perempuan dari sudut pandang dan penghayatan perempuan sendiri, bukan seksualitas perempuan dari kacamata lelaki seperti yang dilakukan D. H. Lawrence melalui sejumlah karakter perempuan dalam novel-novelnya: Lady Chatterley, Ursula Brangwen.
Perempuan dan Kelamin
Hal serupa tampaknya sedang terjadi di sini sejak enam tahun silam. Memang bukan pertama kali dalam sejarah sastra kita perempuan menuliskan seksualitas secara terbuka dalam karyanya. Nh. Dini telah melakukannya, juga Titis Basino atau Dorothea Rosa Herliany yang oleh seorang penyair dijuluki ”perempuan yang mengacaukan identitasnya dengan diksi laki-laki”. Bedanya, saat ini hal itu terjadi secara bersamaan, seperti wabah, dan melibatkan banyak nama baru yang sesungguhnya sangat potensial.
Momentumnya adalah runtuhnya rezim Orde Baru yang militeristis, patriarkis, puritan, otoriter dan monolitik. Rezim yang tumbang itu menyukai kekerasan, mengagungkan keseragaman dan membenci keberagaman. Mereka berkeras mendikte orang banyak tentang apa yang boleh dan tidak boleh. Ekspresi unik individu direpresi atas nama stabilitas. Mereka memasung banyak hal: perempuan, seksualitas, kebebasan berkreasi, hak berpolitik, serta mencampuri banyak hal yang sesungguhnya berada pada wilayah privat.
Ayu Utami, sang pemula, melalui Saman (ditulis 1997, saat Soeharto masih berkuasa) menggugat banyak hal, bukan sekadar seks, melainkan—bila kita membaca dengan jeli—yang lebih kental dalam novel itu adalah nuansa politisnya, terutama gugatan terhadap kekuasaan Orde Baru yang militeristis dan segala kekuasaan patriarkis. Meminjam terminologi Mikhail Bakhtin, novel itu mengandung hetroglossia, keragaman, layaknya sebuah karnaval. Novel itu berkisah tentang pemogokan buruh, kolusi pengusaha perkebunan dengan militer lokal, penyiksaan aktivis, fenomena gaib, sekaligus mempertanyakan iman katolik, dominasi lelaki atas perempuan, seksualitas dan cinta, dibalut bahasa yang indah dan eksploratif.
Setelah Saman muncul, berbondong-bondong kaum perempuan yang sebelumnya terkekang menyatakan pemberontakan dalam karya-karya mereka, termasuk yang menggarap seksualitas sebagai tema, seperti Dinar Rahayu dan Djenar Maesa Ayu. Masyarakat yang tidak siap menyaksikan ”sesuatu yang baru” gelagapan. Banyak reaksi yang terjadi justru tak lebih dari serangan terhadap kehidupan pribadi penulisnya, bukan diskusi yang bernas dan memperkaya tentang karya mereka. Kalimat-kalimat mereka dipotong dari konteksnya hanya untuk membuktikan betapa para perempuan ini telah mengumbar kecabulan dalam karya mereka.
Dalam acara diskusi buku pertamanya, Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch, yang menyingkap fenomena kelainan seksual dalam masyarakat urban kita, Dinar Rahayu dipojokkan dengan pertanyaan-pertanyaan pribadi yang tak ada sangkut-paut dengan karyanya. Dia dihujat dan dianggap tidak senonoh karena menulis sebuah gugatan melalui novel. Dia kemudian harus membayar publikasi novelnya itu dengan kehilangan pekerjaan sebagai guru kimia di sebuah sekolah swasta terkemuka di Bandung.
Mengapakah kita begitu terganggu ketika para perempuan menulis tentang kelamin dan perkelaminan? Begitu burukkah ketika seorang perempuan menulis dengan jujur tentang seksualitas dari kacamata perempuan sendiri?
Sesungguhnya tak ada pembagian kerja secara seksual dalam sastra. Artinya, tidak relevan mengatakan perempuan harus menulis apa dan lelaki boleh menulis apa. Juga tidak relevan mengaitkan sebuah karya dengan kehidupan pribadi penulisnya. Pada dasarnya, baik buruknya sebuah karya sastra hanya layak diukur dengan parameter yang berkaitan dengan sastra.
Apa yang terjadi belakangan ini sebenarnya merupakan reaksi atas represi terhadap perempuan oleh tata nilai yang serba patriarkis. Karya ”para sastrawati” itu justru menambah semarak khazanah sastra kita dengan keragaman tema dan suara. Ketika para perempuan bangkit dan meneriakkan gugatannya secara terbuka, mengapa kita harus ”takut”?***
*) Penulis adalah cerpenis dan esais.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar