Minggu, 04 Juli 2010

Perempuan, Seks, Sastra

Anton Kurnia
http://www.sinarharapan.co.id/

Belakangan ini terjadi polemik dalam berbagai diskusi serta sejumlah media massa mengenai fenomena munculnya para perempuan penulis muda yang hadir dengan karya-karya bermuatan seks. Banyak pandangan yang pada intinya menyiratkan ”kekhawatiran” atas merebaknya fenomena tersebut. Mengamati polemik itu, saya melihat bahwa yang ”diresahkan” oleh banyak kalangan adalah karena mereka yang giat ”mengeksplorasi tubuh manusia” ini nota bene para perempuan, tepatnya ”perempuan muda”. Begitulah, banyak orang ribut soal seks dalam sastra kita belakangan ini hanya karena yang menuliskannya adalah perempuan!

Kontroversi mengenai seks atau gambaran tentang hal-hal yang erotis dalam karya sastra kita sebenarnya sudah sering terjadi. Pada masa kolonial, terjadi polemik terselubung antara tokoh-tokoh Balai Pustaka dengan orang-orang di luar Balai Pustaka. Dalam Nota Rinkes, misalnya, disebut-sebut mengenai karya-karya sastra yang dianggap melanggar tabu dan ”merusak moral.” Pada akhir masa kolonial, kemunculan Belenggu karya Armijn Pane yang mempersoalkan cinta dan perselingkuhan juga menimbulkan kontroversi. Pada akhir 1960-an terjadi diskusi panjang mengenai novel-novel Motinggo Busye sejak trilogi Bibi Marsiti yang dianggap mengandung banyak unsur pornografi. Selanjutnya, terjadi pula diskusi antara Harry Aveling dengan Goenawan Mohamad sebagaimana yang tampak dalam Seks, Sastra, Kita (ditulis 1969).

Seperti pernah diungkap oleh kritikus sastra Faruk HT melalui sebuah tulisan berjudul Seks dan Politik dalam Sastra Indonesia (2003), dalam Seks, Sastra, Kita, Goenawan Mohamad melihat ada tiga pola sikap dalam karya sastra Indonesia terhadap persoalan seks dan cara penggambaran seks. Pertama, karya-karya yang berusaha mempersoalkan seks tetapi tidak berani menggambarkannya, karya-karya yang dalam istilah Harry Aveling memperlakukan persoalan seks itu sebagai ”mawar berduri.” Kedua, karya-karya yang mempersoalkan seks dan menggambarkannya dengan cara ”meneriakkannya dengan keras-keras.” Karya-karya yang demikianlah yang mungkin digolongkan sebagai karya-karya ”pornografis”, yang menggambarkan peristiwa erotis secara eksplisit. Ketiga, karya-karya yang mempersoalkan seks sebagai bagian dari kehidupan manusia yang wajar dan menggambarkannya secara wajar pula, antara lain seperti yang tersirat dalam cerpen-cerpen awal Umar Kayam dan puisi-puisi Sitor Situmorang.

Pada waktu novel Ayu Utami, Saman (1998), muncul terjadi pula kontroversi. Dalam sejarah sastra Indonesia, sejak Ayu Utami (36) memang terjadi hal yang menakjubkan dalam persoalan seks dalam sastra. Bukan hanya karena keberaniannya dalam menulis seksualitas secara eksplisit dibandingkan dengan karya-karya sastra Indonesia sebelumnya, melainkan juga karena penulis yang mengikuti kecenderungan demikian justru para penulis perempuan seperti Dinar Rahayu (33), Djenar Maesa Ayu (31), lalu Nova Riyanti dan Herlinatiens. Dalam sebuah wawancara, pemenang sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2004, Dewi Sartika (24), dengan terus terang mengakui bahwa novelnya, Dadaisme, dipengaruhi oleh cara penulisan Ayu Utami.

Sastra dan Gerak Zaman

Sejarah mencatat, kontroversi atas terbitnya sebuah karya sastra lebih sering terjadi karena ketidaksiapan masyarakat yang bersangkutan atau penguasa (penguasa politis, spiritual, moral) dalam menghadapi ekspresi individu yang berbeda bahkan bertentangan dengan tata nilai kolektif. Di sini, persoalan bergeser dari wilayah sastra menuju wilayah sosiologi, bahkan politik seperti yang terjadi pada karya-karya Milan Kundera.

Ketika D. H. Lawrence mempublikasikan Lady Chatterley’s Lover di Inggris seabad silam atau saat Gustave Flaubert di Prancis menerbitkan Madame Bovary beberapa tahun sebelumnya, banyak orang merasa tersengat bukan karena muatan seks kedua novel itu, melainkan karena kedua karya sastra itu dengan terbuka menyerang hipokrisi kelakuan seksual kaum elite masyarakatnya. Dalam kedua novel itu, dikisahkan perselingkuhan para isteri lelaki terhormat (Lady Chatterley dan Emma Bovary) yang justru menemukan kebahagiaan di luar perkawinan. Lady Chatterley bahkan dikisahkan berselingkuh dengan tukang kebun suaminya sendiri, seorang bangsawan dan veteran perang yang invalid. Sebuah tamparan bagi sebuah konstruksi sosial yang telah mapan dan tak menghendaki kritik. Itu pula yang terjadi di sini dengan Belenggu karya Armijn Pane di tahun 1930-an.

Ketika pada ujung 1960-an hingga awal 1970-an terjadi revolusi seks di Amerika Serikat sebagai reaksi atas perang yang terus dikobarkan di mana-mana (Korea, Vietnam) oleh generasi tua mereka yang berpandangan patriarkis, di mana keterbukaan seks menjadi tema pemberontakan anak-anak muda dan rasa takut pada maut (fear) dihadapi dengan cinta (love) lewat semboyan yang terkenal itu (”Make love, not war!”), sejumlah nama muncul sebagai ikon, termasuk dalam sastra.

Salah satunya adalah Anaïs Nin (1903-1977) yang kebetulan adalah seorang perempuan. Novelis dan cerpenis Amerika keturunan Prancis yang menulis serangkaian catatan harian bermuatan seksual eksplisit itu di ujung usianya mengukuhkan namanya sebagai ikon feminis dan penulis garda depan di negerinya seiring dengan gerak zaman yang menuntut keterbukaan. Itu semua dikaitkan pula dengan sejumlah affair-nya dalam kehidupan nyata, termasuk dengan penulis terkemuka Amerika lainnya, Henry Miller.

Dalam pengantar untuk kumpulan cerita erotisnya, Delta of Venus: Erotica (1969), Nin yang merupakan pengagum D. H. Lawrence antara lain menulis bahwa yang dilakukannya adalah mencoba menuliskan aspek seksualitas perempuan dari sudut pandang dan penghayatan perempuan sendiri, bukan seksualitas perempuan dari kacamata lelaki seperti yang dilakukan D. H. Lawrence melalui sejumlah karakter perempuan dalam novel-novelnya: Lady Chatterley, Ursula Brangwen.

Perempuan dan Kelamin

Hal serupa tampaknya sedang terjadi di sini sejak enam tahun silam. Memang bukan pertama kali dalam sejarah sastra kita perempuan menuliskan seksualitas secara terbuka dalam karyanya. Nh. Dini telah melakukannya, juga Titis Basino atau Dorothea Rosa Herliany yang oleh seorang penyair dijuluki ”perempuan yang mengacaukan identitasnya dengan diksi laki-laki”. Bedanya, saat ini hal itu terjadi secara bersamaan, seperti wabah, dan melibatkan banyak nama baru yang sesungguhnya sangat potensial.

Momentumnya adalah runtuhnya rezim Orde Baru yang militeristis, patriarkis, puritan, otoriter dan monolitik. Rezim yang tumbang itu menyukai kekerasan, mengagungkan keseragaman dan membenci keberagaman. Mereka berkeras mendikte orang banyak tentang apa yang boleh dan tidak boleh. Ekspresi unik individu direpresi atas nama stabilitas. Mereka memasung banyak hal: perempuan, seksualitas, kebebasan berkreasi, hak berpolitik, serta mencampuri banyak hal yang sesungguhnya berada pada wilayah privat.

Ayu Utami, sang pemula, melalui Saman (ditulis 1997, saat Soeharto masih berkuasa) menggugat banyak hal, bukan sekadar seks, melainkan—bila kita membaca dengan jeli—yang lebih kental dalam novel itu adalah nuansa politisnya, terutama gugatan terhadap kekuasaan Orde Baru yang militeristis dan segala kekuasaan patriarkis. Meminjam terminologi Mikhail Bakhtin, novel itu mengandung hetroglossia, keragaman, layaknya sebuah karnaval. Novel itu berkisah tentang pemogokan buruh, kolusi pengusaha perkebunan dengan militer lokal, penyiksaan aktivis, fenomena gaib, sekaligus mempertanyakan iman katolik, dominasi lelaki atas perempuan, seksualitas dan cinta, dibalut bahasa yang indah dan eksploratif.

Setelah Saman muncul, berbondong-bondong kaum perempuan yang sebelumnya terkekang menyatakan pemberontakan dalam karya-karya mereka, termasuk yang menggarap seksualitas sebagai tema, seperti Dinar Rahayu dan Djenar Maesa Ayu. Masyarakat yang tidak siap menyaksikan ”sesuatu yang baru” gelagapan. Banyak reaksi yang terjadi justru tak lebih dari serangan terhadap kehidupan pribadi penulisnya, bukan diskusi yang bernas dan memperkaya tentang karya mereka. Kalimat-kalimat mereka dipotong dari konteksnya hanya untuk membuktikan betapa para perempuan ini telah mengumbar kecabulan dalam karya mereka.

Dalam acara diskusi buku pertamanya, Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch, yang menyingkap fenomena kelainan seksual dalam masyarakat urban kita, Dinar Rahayu dipojokkan dengan pertanyaan-pertanyaan pribadi yang tak ada sangkut-paut dengan karyanya. Dia dihujat dan dianggap tidak senonoh karena menulis sebuah gugatan melalui novel. Dia kemudian harus membayar publikasi novelnya itu dengan kehilangan pekerjaan sebagai guru kimia di sebuah sekolah swasta terkemuka di Bandung.

Mengapakah kita begitu terganggu ketika para perempuan menulis tentang kelamin dan perkelaminan? Begitu burukkah ketika seorang perempuan menulis dengan jujur tentang seksualitas dari kacamata perempuan sendiri?

Sesungguhnya tak ada pembagian kerja secara seksual dalam sastra. Artinya, tidak relevan mengatakan perempuan harus menulis apa dan lelaki boleh menulis apa. Juga tidak relevan mengaitkan sebuah karya dengan kehidupan pribadi penulisnya. Pada dasarnya, baik buruknya sebuah karya sastra hanya layak diukur dengan parameter yang berkaitan dengan sastra.

Apa yang terjadi belakangan ini sebenarnya merupakan reaksi atas represi terhadap perempuan oleh tata nilai yang serba patriarkis. Karya ”para sastrawati” itu justru menambah semarak khazanah sastra kita dengan keragaman tema dan suara. Ketika para perempuan bangkit dan meneriakkan gugatannya secara terbuka, mengapa kita harus ”takut”?***

*) Penulis adalah cerpenis dan esais.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi