Yosi M Giri*
http://www.kompas.com/
Jika Solzhenitsyn–melalui karya-karyanya–menyuguhkan gambaran perubahan sosial (baca: masyarakat) di bawah cita-cita komunisme di Rusia sebagai sebuah penolakan terhadap gagasan historical optimism, maka seorang Prameodya Ananta Toer (Pendekar Pulau Buru) justru menyajikan historical truth, melalui Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa yang menggambarkan masyarakat dalam kurun sejarah tertentu beserta perubahan-perubahan sosialnya.
Masing-masing pengarang tentu saja memiliki kebebasan dalam memformulasikan masa lampau melalui karyanya untuk menolak atau justru mendukung gambaran sejarah yang telah mapan. Lalu bagaimana dengan pernyataan Kuntowijoyo tentang tidak adanya karya sastra Indonesia yang merupakan kritik sosial yang mampu membentuk public opinion masyarakatnya?
Pernyataan Kuntowijoyo itu dapat dimaklumi, karena pengarang-pengarang yang hidup pascarevolusi, terutama sejak munculnya Orde Baru, mereka mengalami tekanan (untuk tidak menyebut phobia) oleh sebab praktik politik ‘bumi-hangus’ terhadap lawan-lawan atau orang-orang yang berseberangan dengannya, termasuk karya-karya yang berisi kritikan terhadap kepincangan pemerintah.
Berkaitan dengan novel sejarah di Indonesia pernah muncul kasus sastra realis, terutama realisme-sosial yang diusung Pramoedya Ananta Toer. Perdebatan antara para kritikus sastra Indonesia, seperti H.B. Jassin, Arief Budiman, dan Goenawan Mohamad menyuarakan genre realisme-sosial yang mewarnai karya-karya Pram sebagai karya yang tidak memenuhi ketentuan seni dan sastra.
Terlepas dari berbagai polemik yang pernah mengegerkan jagad sastra Indonesia di era 60-an tersebut, agaknya ‘angin segar’ bagi pengarang-pengarang kritis pun muncul pasca reformasi ’98. Barangkali Teguh Winarsho AS adalah salah satu pengarang yang berani menggambarkan sebuah masyarakat serta problematikanya dengan mengambil latar peristiwa seputar ‘Lubang Buaya’.
I
Novel Kantring Genjer-Genjer karya Teguh Winarsho AS setebal 120 halaman dengan label ‘dari kitab kuning sampai komunis’ dapat kita letakkan dalam deretan novel sejarah yang tipikalisasinya dapat dirunut dalam realitas sosial maupun sejarah Indonesia, konflik antar kelompok sosial. Dalam novel tersebut, konflik yang paling dominan adalah konflik agama dan konflik politik. Konflik-konflik tersebut berakar pada perbedaan ideologi kelompok sosial.
Jika Ranggawarsita melalui Serat Kalatidha-nya menggambarkan kondisi masyarakat sebagai akibat dari transformasi sosial-budaya, barangkali Teguh Winarsho AS justru mengungkapkan reaksi masyarakat terhadap transformasi sosial-budaya yang mengakar.
Novel Kantring Genjer-Genjer yang terbagi atas tujuh bab yang dijalin berdasarkan pengalaman tokoh ‘Aku’ dan cerita yang didengarnya dari seorang laki-laki tua pengangkut batu sungai yang dijumpainya sewaktu kembali ke dusun Panjen. Keseluruhan cerita dalam novel tersebut merupakan laporan tokoh ‘Aku’ kepada tokoh Kantring, ibunya yang telah meninggal.
Pada bab I sampai IV ini bercerita tentang pertentangan antara kelompok Sadikin dan Ki Sangir yang secara tipikal merupakan kelompok Abangan sebagai gerakan yang berusaha menyuburkan budaya spiritual di Jawa dengan kelompok Kyai Barwani yang merupakan tipikal dari kelompok Santri.
II
Konflik merupakan fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat. Konflik terjadi karena dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan. Setiap kepentingan tentu saja tidak lepas dari ideologi masing-masing kelompok sebagai pondasinya untuk mencapai sebuah kekuasaan. Dalam upaya merebut kekuasaan, seringkali agama, kepercayaan dan unsur kebudayaan dipergunakan untuk memperkuat ideologi.
Bagi Gramsci1, ideologi atau dunia gagasan berfungsi mengorganisasi massa manusia, menciptakan tanah lapang yang di atasnya manusia bergerak. Dalam pengertian ini, Ideologi sebagai keyakinan yang diperjuangkan, menjadikan penganutnya rela berkorban demi perjuangan ideologinya. Oleh sebab itu ideologi dan konflik tidak akan mati sepanjang sejarah perkembangan masyarakat. Karena hakikatnya sejarah adalah sejarah konflik kepentingan kehidupan riil (kehidupan ekonomi) antara golongan penguasa dengan golongan yang dikuasai, kemudian berkembang menjadi konflik ideologi.
Konflik Ideologi Agama di Jawa: Padepokan Sadikin dan Pesantren Kyai Barnawi
Pertentangan antara kelompok keagamaan yang satu dengan kelompok keagamaan yang lain sering kali terjadi, karena masing-masing berusaha mempertahankan kemurnian ajaran yang diyakininya dan menolak ajaran lain. Pertentangan dalam KGG ini muncul saat kelompok masyarakat yang mencoba mempertahankan unsur-unsur kebudayaan Jawa dalam praktik keagamaan (Kejawen) dengan kelompok masyarakat yang memperjuangkan kemurnian ajaran Islam.
Ciri masyarakat Jawa pra dan pasca ekspansif Hindu-Budha menganut sistem animisme-dinamisme yang merupakan inti kebudayaan dan mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Pandangan masyarakat yang antroposentris juga berpengaruh pada pola hubungan masyarakat, sistem ekonomi, serta politik. Padepokan Ki Sangir, selain untuk mendapatkan kekayaan, juga dalam upaya mensinkretiskan agama lama (kebudayaan Jawa yang dipengaruhi Hindu-Budha) dan agama baru (Islam).
Pendekatan Ki Sangir sebagai pimpinan padepokan yang meyakinkan masyarakat dusun Panjen, bahwa ilmu-ilmu yang diajarkannya itu atas izin Gusti Allah dan semua amalan dimulai dengan kalimat suci Laaillahaillalah (Tiada tuhan selain Allah) ini merupakan praktik politis yang memanfaatkan aspek agama (Islam) sebagai penguat dalam merebut hegemoni. Akan tetapi keyakinan itu tidak selalu berjalan harmonis dan stabil. Pada saat bersamaan dengan dominasinya dapat terjadi perlawanan yang berupa tindakan kolektif dari kelompok subordinat2.
Upaya Ki Sangir ini mendapat perlawanan dari Kyai Barnawi, pemimpin pesantren tua di dusun Panjen. Tokoh Kyai Barnawi sebagai tipikal kepemimpinan moral di dusun Panjen bisa dipastikan mengalami krisis otoritas karena 15 santrinya mengikuti ajaran Ki Sangir. Dengan demikian, hegemoni pesantren Kyai Barnawi atas masyarakat dusun Panjen pecah atas dominasi kelompok Sadikin yang telah berhasil merebut pengaruh masyarakat. Dalam situasi paling politis, Kyai Barnawi mengambil langkah-langkah perlawanan untuk menolak unsur-unsur ideologis yang datang dari kelompok Sadikin melalui doktrin sebagaimana kutipan berikut:
“Ajaran Sadikin dan Ki Sangir sesat! Najis! Gusti Allah pasti mengutuk mereka. Kalian jangan percaya ilmu yang bersumber dari kekuatan iblis dan setan. Hanya Al-qur’an satu-satunya pegangan hidup yang akan menyelamatkan nasib kalian. Mengerti?” ucap Kyai Barnawi tengah malam pada beberapa santrinya yang masih bertahan di surau yang hampir roboh. (Kantring Genjer-Genjer: 14).
Kaum santri ini berusaha untuk mengatur hidup menurut aturan-aturan agama Islam. Gagasan-gagasan pesantren Kyai Barnawi adalah menolak adat-istiadat Jawa dan menggantinya dengan adat-istiadat yang sesuai dengan hukum syariat Islam yang berkiblat pada negara-negara Arab.
Sementara kelompok Ki Sangir sebagai tipikal kaum abangan berusaha untuk tetap mempertahankan tradisi leluhurnya. Keagamaan masyarakat Kejawen ditentukan oleh kepercayaan pada berbagai macam roh yang tidak dapat dilihat, yang dapat menimbulkan kecelakaan dan penyakit apabila mereka dibuat marah atau kurang hati-hati. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat Jawa pada bimbingan adikodrati dan bantuan dari pihak roh-roh nenek moyang yang, seperti Allah atau Tuhan, menimbulkan perasaan keagamaan dan rasa aman3.
Untuk menandingi perlawanan Kyai Barnawi, Sangir menjalankan strategi politik yang tipikal dengan praktik politik raja-raja Jawa dalam mempertahankan sekaligus memperluas kekuasaan. Pada tahapan inilah folklor diciptakan yang meliputi sistem-sistem kepercayaan menyeluruh, tahyul-tahyul, opini-opini, cara-cara melihat tindakan dan segala sesuatu4.
Dengan diciptakannya tokoh mistik ‘Nyi Ratu Krasak’ oleh Ki Sangir secara mitologis, merupakan kekuatan antagonis yang sekaligus berfungsi sebagai kekuatan politis dalam merebut kepercayaan masyarakat terhadap kekuasaan Sangir. Masyarakat dusun Panjen percaya bahwa cerita tentang ‘Nyi Ratu Krasak’ penunggu sungai Krasak terus memakan korban masyarakat dusun Panjen yang sebagian besar merupakan pengangkut batu sungai.
Hal inilah yang oleh Kuntowijoyo, disebut sebagai fase mitos, yaitu pengalaman mistik yang digunakan untuk mengukuhkan kehebatan-kehebatan raja-raja yang sekaligus melegitimasi kekuatan politiknya. Pengaruh Ki Sangir secara politis makin menguat dalam masyarakat dusun Panjen. Dalam usaha memperjuangankan ideologi agama masing-masing, baik kelompok Ki Sangir maupun kelompok Kyai Barnawi melengkapi upayanya tersebut dengan kekuatan material. Padepokan Sadikin sebagai kekuatan lembaga dibangun lebih megah, ini merupakan dimensi ekstra hegemoni, di mana unsur kebudayaan menjadi medan strategis untuk membangun kesepakatan dan menerakan cara-cara yang dengannya bentuk-bentuk ideologis dan kultural secara historis dinegosiasikan.
Kemapanan padepokan Sadikin ini secara material mendapat reaksi balasan dari kelompok Kyai Barnawi dengan membangun pesantren yang lebih megah dari padepokan Sadikin dengan memerintahkan para santrinya untuk mencuri harta benda penduduk dusun Panjen. Perintah untuk mencuri tentu saja ironis dengan ajaran Islam. Agar para santri itu menuruti perintah, Kyai Barnawi menguraikan alasan-alasan yang menguatkan perintahnya itu dengan dasar-dasar kisah para sahabat nabi berkaitan dengan cara-cara yang ditempuh dalam menghadapi permasalahan yang serupa. Sehingga, secara psikologis para santri mengalami penguatan dan menyanggupi perintah kyai untuk menjarah harta benda penduduk Panjen. Di sinilah, betapa kepentingan-kepentingan kekuasaan seringkali memanfaatkan unsur agama untuk memuluskan tujuan politisnya.
Dalam pandangan dunia pesantren, kyai bertindak sebagai pemegang kekuasaan, yakni sebagai patron yang mana dapat memengaruhi pelampiasan emosi dari pengikutnya, dan para pengikut tersebut akan bersedia melakukan aksi apa saja demi menjaga karisma kyai tersebut dalam bentuk pengabdian kolektif yang bersifat mistik5.
Demikianlah, konflik ideologi agama antara kelompok dalam KGG ini tentu saja tidak lepas dari kepentingan politis kaum Kejawen dan kaum Santri. Jika, apa yang diceritakan Teguh Winarsho AS ini merupakan sebuah realitas yang ia potret, maka dapatlah dirujuk kebenaran dari setiap peristiwa yang barangkali kita temukan dalam kehidupan masyarakat, terutama masyarakat tradisional. Sebagaiman sastra sebagai sistem simbol dan sistem sosial yang selalu berdialektik terhadap transformasi nilai-nilai yang hadir dalam suatu masyarakat.
Konflik Ideologi Politik: Kubu Kapitalis atas Kubu Komunis
Pada bab ke V novel KGG, Teguh Winarsho AS dengan berani memunculkan teks ‘Genjer-Genjer’ yang merupakan bagian dari judul novel. Mengapa saya katakan berani, karena kita semua tahu pada saat rezim Orde Baru berkuasa, hanya dengan menyebut kata ‘Genjer-Genjer’ saja orang (siapapun) bisa mati karena dianggap komunis. Pasca G30S/PKI, seiring lahirnya Orde Baru yang melancarkan politik ‘bumi-hangus’ terhadap lawan-lawan politiknya dengan menggunakan berbagai macam strategi (untuk menyebut menghalalkan segala cara), salah satunya dengan pemitosan lagu ‘Genjer-Genjer’. Tentu saja Muhammad Arief si pencipta lagu ‘Genjer-Genjer’ ini tidak memiliki tujuan politis apapun selain jiwa keseniannya dengan mengungkapkan realitas kondisi masyarakat Banyuwangi pada masa pendudukan Jepang. Untuk lebih jelasnya berikut kutipannya: Genjer-genjer mlebu kendil wedange ngemplak/ Setengah mateng dientas yong dienggo iwak/ Sego nong piring sambel jeruk ring ngaben/ Genjer-genjer dipangan musuhe sego/…
Secara historis, sebenarnya lagu tersebut memiliki latar belakang yang berkaitan erat dengan kondisi masyarakat Banyuwangi pada masa penjajahan. Sebelum pendudukan tentara Jepang pada tahun 1942, wilayah Kabupaten Banyuwangi termasuk wilayah yang secara ekonomi berkecukupan. Apalagi ditunjang dengan kondisi alamnya yang subur. Namun saat pendudukan Jepang di Hindia-Belanda pada tahun 1942, kondisi Banyuwangi sebagai wilayah yang surplus makanan berubah sebaliknya. Karena begitu kurangnya bahan makanan, sampai-sampai masyarakat harus mengolah daun genjer (limnocharis flava) di sungai yang sebelumnya oleh masyarakat dianggap sebagai tanaman pengganggu6.
Melihat latar belakang penciptaan lagu Genjer-Genjer sebagai produk budaya, tentu menjadi ironis ketika produk budaya yang tidak terkait dengan ideologi atau agama apapun ini justru menjadi korban dari pertentangan ideologi. Kesangsian inilah yang diungkapkan Teguh Winarsho AS melalui tokoh ‘Aku’ yang terlibat dalam penculikan dan pembunuhan para jenderal. Tokoh ‘Aku’ sebagai seorang prajurit yang setia terhadap atasannya tentu saja mau tidak mau harus melaksanakan tugas, meskipun tugas itu harus membunuh para jenderal, yang ia sendiri tidak tahu-menahu apa kesalahan korban-korbannya. Dalam pengertian, bahwa tokoh ‘aku’ hanya melaksanakan tugas belaka. Demikian yang hendak diceritakan Teguh, yang barangkali merupakan pertanyaan sebagian masyarakat Indonesia saat ini, tentang siapa yang sebenarnya salah pada peristiwa berdarah itu.
Di dunia hingga saat ini hanya ada dua ideologi yaitu kapitalisme dan sosialisme. Dua ideologi itu mengalami konflik antagonisme sepanjang sejarah. Dengan konflik itu melahirkan kemajuan ilmu sosial yang makin berkembang maju dan melahirkan berbagai paradigma baru7. Jika merujuk pemetaan tersebut, cerita KGG pada bab V-VII dapat diposisikan sebagai wacana kritis-analisis terhadap konflik yang muncul akibat perseteruan antara kedua ideologi di atas melalui dialog tokoh Lasmi dengan tokoh ‘Aku’. Berikut kutipannya:
“Ya. Awalnya Seoharto memang masuk dalam kubu Nasution. Tapi akhirnya mendirikan kubu sendiri setelah Amerika tak percaya lagi pada Nasution karena tak berhasil menjalankan misi mereka terhadap pemberontakan Permesta, kampanye pembebasan Irian Barat dan slogan Ganyang Malaysia. Kepentingan Amerika tak berfungsi di tangan Nasution. Di saat itulah Seoharto yang baru menjadi Pangkostrad mendirikan kubu. Ia mengajak Yoga Sugema yang masih menjadi Dubes RI untuk Yugoslavia. Soeharto menyuruh Yoga pulang dan menawari jabatan baru sebagai Kepala Intelijen Kostrad. Sesampai di Jakarta Yoga langsung menemui Soeharto di rumahnya. Mereka berembug. Itulah cikal bakal terbentuknya kubu Soeharto. Jika kutarik dari peristiwa semalam aku mulai mencium kelicikan Soeharto:
1. Yoga kembali ke Indonesia tidak sesuai prosedur karena seharusnya penarikan Yoga dari jabatan Duta Besar RI dilakukan oleh Menpangad, mengingat Yoga adalah perwira AD. Tetapi Yoga ditarik oleh surat panggilan Pangkostrad. Dengan cara itu Soeharto telah melangkahi garis hierarki dan komando.
2. Tujuan Yoga pulang adalah untuk melakukan sabotase terhadap kebijakan-kebijakan politik Presiden.
3. Soeharto ingin menghancurkan PKI karena PKI terlalu dekat dengan Presiden. Tujuan ini sejalan dengan kepentingan Amerika yang tak ingin Indonesia dikuasai komunis. Amerika kemudian mendekati Soeharto untuk menjalankan kepentingannya. (Kantring Genjer-Genjer: 94-95).
Dari dialog tokoh Lasmi kepada tokoh ‘aku’ inilah sebuah konflik politik tidak hanya dianalisis secara ideologis belaka, tapi ada kepentingan individu atas kekosongan kepemimpinan maupun krisis otoritas.
Dalam sejarah Indonesia, Presiden Soekarno yang pada saat itu mengalami krisis otoritas, krisis kepercayaan, bahkan krisis moral ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak asing yang ingin salah satu ideologi terbesar di Indonesia itu dihancurkan. Amerika dengan ideologi Kapitalisme-nya jelas tidak akan membiarkan ideologi komunis sebagai musuhnya dibiarkan berkembang. Dalam tragedi ‘65 itu, sebuah rekayasa politis yang sistematis, di mana kelompok Soeharto yang dibayang-bayangi Amerika, dapat merebut hegemoni masyarakat Indonesia dengan menciptakan karakter komunis sebagai kelompok yang identik dengan antagonis dan atheis.
Meskipun si pencetusnya (Karl Mark) menganggap ‘tuhan itu candu’, tentu tidak bisa diartikan bahwa semua pengikutnya pun tidak percaya tuhan. Karena pendirian ideologis politik sangatlah picik jika disejajarkan dengan ideologi agama. Dalam kasus inilah, sekali lagi agama dijadikan alat untuk menghancurkan kelompok lawan dalam frame kepentingan politis. Padahal, secara sosiologis maupun teologis, agama itu muncul untuk merespon persoalan yang dihadapi umat manusia. Agama apapun pada hakikatnya mengajarkan kebaikan, kedamaian dan kerukunan bagi para pemeluknya.
Dari keseluruhan cerita dalam Kantring Genjer-Genjer dapat dibagi menjadi dua jenis konflik, yang pertama konflik Agama dan kultural, yang kedua konflik ideologi politik dalam suatu masyarakat yang mengalami transformasi budaya. Sebagaimana pengarang pasca reformasi, Teguh tampak memberikan sebuah wacana yang lain atas pandangan mayoritas masyarakat terhadap peristiwa G30S/PKI. Di sisi lain, KGG ini menawarkan suatu analisis sosial-politis melalui dimensi yang berbeda sekaligus imajiner.
ENDNOTE
1 Gramsci via Faruk, Sosiologi Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hal. 62.
2 Ibid., hal. 74
3 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1984), hal. 15.
4 Gramsci via Faruk, Sosiologi Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hal. 70.
5 Sahidin, Kala Demokrasi Melahirkan Anarki (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), hal. 114.
6 Paring Waluyo Utomo, Genjer-Genjer dan Stigmatisasi Komunis, http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2005/0423/bud2.html
7 http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar