Saut Situmorang
Zamakhsyari Abrar - wartaone
http://sautsitumorang.multiply.com/
Jakarta - Saut Situmorang, nama penyair ini, dalam beberapa tahun belakangan mencuat namanya dalam panggung sastra negeri ini. Lewat kritik-kritiknya yang tajam dan keras, ia menyerang Goenawan Mohamad dan kawan-kawan atas apa yang disebutnya sebagai politik sastra Teater Utan Kayu.
Bersama dengan penyair Wowok Hesti Prabowo, sastrawan yang lahir di Tebing Tinggi, Sumatra Utara, pada 29 Juni 1966, ini lalu menerbitkan jurnal Boemipoetra, sebuah jurnal yang terbit dwibulanan, wadah tempat mereka untuk menulis dan mengekspresikan tulisan untuk “menyerang” politik sastra Goenawan cs.
Terkait banyaknya reaksi yang kaget ketika membaca Boemipoetra, Saut menilainya hal itu wajar-wajar saja. Menurut pria berambut gimbal ini, selama pemerintahan Orde Baru, seniman kita memang tidak terbiasa berpolitik dalam kesenian.
Apa dan bagaimana Boemipoetra? Bagaimana tanggapan Saut terhadap pernyataan Goenawan yang beberapa waktu sebelumnya menyebut Boemipoetra tak lebih dari coret-coretan di toilet? Berikut petikan perbincangan WartaOne.com dengan Saut di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (9/7).
WartaOne (WO): Salah satu pemicu berdirinya Boemipoetra adalah karena sakit hati penyair Wowok Hesti Prabowo yang gagal masuk dalam pemilihan anggota Dewan Kesenian Jakarta pada 2006?
Saut Situmorang (SS): Seandainya pun itu benar, tak apa-apa toh. Karena kita tahu Dewan Kesenian Jakarta yang kemudian terbentuk, itu kan Dewan Kesenian Goenawan Mohammad. Mulai dari ketuanya yang namanya Marco K itu (Marco Kusumawijaya), sampai ke dalam bidang-bidang dalam Dewan Kesenian Jakarta. Misalnya sastra, di situ ada Ayu Utami, Nukila Amal, dan di situ juga ada yang kusebut antek-antek Goenawan Mohamad atau TUK, Zen Hae. Dan (kelompok Goenawan) itu juga ada di teater dan film.
Jadi Dewan Kesenian Jakarta yang kemudian terbentuk itu, semua orang bisa melihat bahwa jelas sekali itu Dewan Kesenian Jakarta versi Teater Utan Kayu. Kita tahu permainan Goenawan Mohamad di Akademi Jakarta mempengaruhi anggota-anggota lain supaya mereka itu terpilih. Dan bukan hanya Wowok saja itu yang ketendang keluar dari pemilihan itu, ada juga Ahmadun Y. Herfanda, dan juga Radhar Panca Dahana.
Jadi kalau misalnya itu dibuat semacam ejekan bahwa Wowok akhirnya memulai jurnal Boemipoetra karena sakit hati itu, ya ndak apa-apa. Itu wajar saja, sebab itu sebuah perlawanan terhadap manipulasi yang terjadi pada pemilihan anggota Dewan Kesenian Jakarta pada periode tersebut. Sebuah perlawanan yang konkret karena melahirkan jurnal Boemipoetra, yang kau tahu efeknya ya, sekarang Boemipoetra sudah terbit sekitar dua tahunlah.
WO: Boemipoetra mencoba menandingi wacana kebudayaan Goenawan Mohamad cs. Goenawan cs menurut saya menguasai wacana kebudayaan Indonesia, misalnya sastra, teater dan agama. Boemipoetra apa yang ditawarkan untuk menandingi mereka? Saya kok melihat Boemipoetra tidak menawarkan apa-apa?
SS: Aku sangat tidak setuju dengan pendapat itu bahwa kami tidak menawarkan apa-apa. Sekarang kita bicarakan apa yang kau bilang dominasi wacana kebudayaan Goenawan. Itu buktinya mana? Kalau Goenawan menguasai wacana teater, maksudnya apa? Kalau hanya sekadar mengerti teater, semua orang mengerti teater, mengerti sastra, semua orang mengerti sastra. Tapi kalau kau bilang menguasai wacana, maksudnya apa pernah dia menulis kritik sastra dan teater? Tidak pernah. Banyak orang seperti kau mengenal Goenawan Mohamad karena ia itu menjadi mitos dari catatan pinggirnya di Tempo. Mayoritas hanya mengenalnya dari catatan pinggirnya tadi. Sebagian besar mereka juga adalam pembaca Tempo, majalah kelas menengah ke atas. Bahasa catatan pinggir itu bahasa kelas menengah. Kalau kau benar-benar mau membahas catatan pinggir, itu enggak ada yang dibicarakan oleh Goenawan. Dia itu cuma bermain-main dalam retorika yang berbudi indah. Silahkan kau baca, tidak ada yang dibicarakan. Ia mengelak membicarakan isu yang merupakan judul dari setiap catatan pinggirnya. Ia bermain-main dalam retorika bahasa yang kosong.
Jadi kalau kau bilang Goenawan Mohamad itu menguasai macam-macam itu, begini aja, silahkan saja Goenawan Mohamad itu diskusi dengan Saut Situmorang dari Boemipoetra, topik apa aja, untuk membuktikan (pernyataan) itu. Karena justru mitos besar yang kosong inilah salah satu tujuan (berdirinya) Boemipoetra. Jadi pembaca itu disadarkan. Sebab kalau kalian baca tulisan, apalagi tulisan seperti Goenawan Mohamad, kalian tidak bisa membaca seperti membaca berita di koran. Karena kita berbicara soal politik retorika. Kebanyakan pembaca kita bacaannya paling-paling majalah Tempo, atau Kompas. Itu tidak cukup. Kalau Anda mau bergerak di dunia baca-membaca, apalagi seperti Goenawan yang dengan sadar mempermainkan retorika, enggak cukup. Bacaan harus lebih canggih lagi man.
WO: Wacana agama, misalnya, kelompok Teater Utan Kayu memiliki Ulil Abshar-Abdalla cs dengan JIL-nya?
SS: Kau salah. Kalau kau melihat komposisi redaksi Boemipoetra, itu macam-macam. Wowok itu orang buruh, saya Marxist, Kusprihyanto Namma itu Islam. Anda boleh ngomong macam-macam tentang Islam dengan Kusprihyanto. JIL itu apa? JIL itu labelnya aja yang Islam. Kalau kau mengerti apa yang disebut dengan Islam liberal, kau akan kaget bahwa itu adalah sebuah proyek besar disebut orientalisme, terutama oleh Amerika Serikat untuk mengacaukan Islam. Tokoh-tokohnya seperti Bernard Lewis dan lain-lain, orang yang mengaku Islam tapi menghina Islam. Jadi kalau berbicara JIL, Anda tak bisa melihat apa yang mereka omongkan. Anda harus tahu mereka berasal dari mana. Nah bacalah (buku) Edwar W. Said (Orientalisme), Anda akan tahu apa itu Islam liberal.
WO: Bukankah gejala kelompok seperti ini bukan gejala baru dalam sastra Indonesia. Di luar juga seperti itu?
SS: Ya, makanya. Itulah harus ada counter. Jadi kenapa ada Boemipoetra, seolah-olah dianggap anomali, aneh. Karena orang kita itu selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, selama itu berkuasa Horison-Manikebu. Orang Indonesia itu sudah terlalu biasa untuk tidak berpolitik dalam kesenian. Jadi kalau melihat munculnya fenomena Boemipoetra yang menentang Goenawan Mohamad dengan Teater Utan Kayunya dalam perspektif sastra secara luas, bukan hanya karya ya, baik politik karya, politik kanonisasi sastra, informasi tentang sastra di dalam maupun luar negeri, orang pada kaget karena belum pernah terjadi sebelumnya (dalam sejarah sastra Indonesia). Banyak sekali polemik-polemik STA (Sutan Takdir Alisyahbana) dengan lawan-lawannya termasuk yang terakhir itu perdebatan sastra kontekstual, itu hanya membicarakan karya. Belum membicarakan sebuah isu. Sosiologi sastra, politik sastra, bukan semacam itu.
Nah ini sesuatu hal yang baru yang dibawa oleh jurnal Boemipoetra. Kalau Anda ingin tahu tentang perspektif yang lebih luas tentang perlawanan Boemipoetra terhadap Goenawan Mohamad dan TUKnya, saya baru menerbitkan kumpulan esei saya judulnya Politik Sastra.
Dalam buku itu, jelas sekali yang kami tawarkan, sesuatu yang selama ini dikoar-koarkan oleh GM yaitu pluralisme. Baik pluralisme dalam berpikir, pluralisme dalam berkarya. Mereka kan tidak. Lihat saja seleksi pengarang. Yang mereka undang, yang sama gaya menulisnya dengan mereka. Pernahkah mereka mengundang dalam acara bienale sastra itu pengarang Islam seperti Helvy Tiana Rosa? Atau pengarang yang mewakili suara buruh. Banyak sekali kan. Tidak hanya Wowok. Pernah gak? Kan enggak. Tapi yang diundang hanya pengarang-pengarang yang mengangkat cerita seks, sesuatu yang abstrak yang tidak ada dalam persoalan kehidupan sehari-hari. Berarti mereka itu menyeragamkan topik, menyeragamkan style of writing. Di sisi lain mereka berkoar-koar soal pluralisme dan macam-macam. Mereka tidak plural sama sekali. Mereka antipluralisme. Seperti Jaringan Islam Liberal. Kenapa rupanya kalau ada FPI (Front Pembela Islam), dan kelompok fundamentalis? Anda kan plural, Anda kan liberal, liberal itu kan plural. Siapa aja silahkan, atheis juga silahkan. Tapi kan tidak.
WO: Jadi yang diomongkan tak sesuai dengan perbuatan?
SS: Terbukti kan? Anda yang berseberangan ide, ideologi, style dengan mereka, dikucilkan. Buktinya Boemipoetra tidak setuju dengan mereka. Harus terima dong, kan mereka plural. Kalau mereka hanya menerima orang yang setuju dengan mereka, itu bukan plural. Itu seragam. Itu fasis namanya.
WO: Yang menonjol dari jurnal Boemipoetra adalah bencinya itu?
SS: Ya, kita harus benci waktu kita melawan sesuatu, bukan sayang, karena kalau sayang itu kan munafik. Kita benci dengan segala sesuatu yang mereka presentasikan. Seperti yang saya bilang tadi. Di Islam itu ada JIL, di sastra itu ada TUK, di dunia kesenian mereka itu ada Salihara. Ya, kita benci itu karena (mereka) tidak konsisten. Itulah politik kesenian.
Jadi pretensi orang selama ini bahaslah karya. Coba kita lihat. Selama ada sastra Indonesia, tidak ada kritik sastra. Coba sekarang bahas karya, GM tidak mampu. Apalagi Sitok (Srengenge), Nirwan Dewanto, tidak mampu apa-apa itu. Jadi mereka itu berpolitik sastra. Semuanya itu berpolitik sastra.
WO: Saya pernah mewawancarai Sapardi Djoko Damono terkait tidak adanya kritik sastra seperti yang dikeluhkan oleh Bang Saut. Menurut Sapardi, hal itu tidak benar. Banyak kritik sastra diproduksi dalam bentuk tesis dan disertasi.
SS: Itu tugas kuliah, bukan kritik sastra. Hahaha… Kalau benar kritik sastra, mereka kritikus dong yang menulisnya. Tapi gak kan? Itu tugas supaya dapat gelar sarjana. Beda. Kritik sastra itu sebuah profesi, seperti kau wartawan, tukang becak dan tukang bajaj. Kalau profesi itu ada karir, mulai dari bawah. Kritik sastra itu karir. Dan Sapardi juga bukan kritikus sastra. Dia gak ngerti apa-apa. Sapardi gak bisa bahas karya, baca aja semua kumpulan tulisan dia. Gak ada. (Tulisan) dia itu seperti opini Kompas aja. Opini itu lain, itu bukan kritik. Kritik itu kau menganalisis sesuatu, kau punya sebuah hipotesis, lalu kau buktikan. Kau bahas. Tidak bisa sekadar, oh temanya begini, tokohnya begini, dan mereka berantem. Itu namanya menceritakan kembali. Mengkritik bukan menceritakan kembali, tapi menganalisis cerita yang kau ceritakan kembali.
WO: Jadi problemnya sumber daya manusia?
SS: Sumber daya manusia kita sangat parah. terutama di dunia seni. tidak ada kritikus seni, baik teater, sastra. Tidak ada itu. tapi memang ini berangkat dari pendidikan yang anjlok itu. Kau lihat misalnya. Berani tidak mahasiswa mendebat dosennya di kelas? Pasti habis dia. Ini persoalannya di sini, kita memang diadakan untuk tidak kritis, kalau sistem pendidikan seperti ini di mana debat antara mahasiswa dan dosen, murid dan gurunya tidak diperbolehkan sama sekali, bagaimana akan ada kritik seni atau kritik kebudayaan? Itu awalnya, pendidikan kita diciptakan oleh Soeharto seperti itu untuk menurut. Siswa kerjanya sekolah, sks, lulus, mudah-mudahan dapat kerjaan, kemudian kawin mati.
WO: Saya sepakat dengan hal itu.
SS: Ya, gak akan mungkin ada satu elemen dari kebudayaan yang anjlok aja. Ini semua, struktural. Jadi kalau misal ada kerusakan ekonomi, di dunia politik partai, gak ada di situ aja. Itu gak akan terjadi kalau gak didukung oleh unsur-unsur lain, dalam berpikir, dalam cara orang beragama, bersekolah. Itu mendukung sistem ini.
WO: GM menganggap Boemipoetra cuma coret-coretan di toilet? Tanggapan Anda?
SS: Sama aja. Kami mengggap semua tulisannya juga cuma coret-coretan toilet di terminal bis umum. Gak apa-apa. Tapi persoalannya ketika dia ngomong begitu, apa pernah dia buktikan? Apa pernah dia kasih alasan? Kan gak pernah kan.
WO: Anda pernah menyamakan jurnal Boemipoetra dengan manifesto kaum Dada dan Surealisme Prancis? Apa itu tidak berlebihan?
SS: Lho, sekarang Anda sudah pernah baca manifesto kaum Dada dan Surealisme tersebut? Belum. Kalau belum, sulit saya menjelaskannya. Coba Anda baca manifesto mereka, seperti apa bahasa mereka? Itu majalah kecil juga, mereka juga menyebutnya jurnal. Nanti kalau saya jelaskan, Anda anggap pembelaan lagi.
WO: Jadi konkretnya seperti apa agenda kebudayaan jurnal Boemipoetra?
SS: Pertama pluralisme. Selama ini Utan Kayu mengklaim dirinya pluralis. Nah, kami itu mengkritik itu. Mereka itu sebenarnya antipluralis. Kedua, kita antiideologi Goenawan cs bahwa seks adalah satu-satunya standar estetika kesenian Indonesia. Orang kan bisa menulis tentang Islam, makanan, kan gak apa-apa dong. Mengapa harus seks yang dianggap paling hot? Semua oke, persoalannya bagaimana kau menuliskannya. Dan ketiga, kita antifunding asing. Kalau mereka sudah masuk, kacau dunia kesenian. Contohnya ya Teater Utan Kayu itu. (mak/mak)
Diambil dari situs: http://www.wartaone.com/articles/13125/1/Kegundahan-Sastra-Saut-Situmorang/Halaman1.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar