Minggu, 31 Oktober 2010

Studi (Negara) Postkolonial

RISET PENERBITAN BUKU Akan diterbitkan oleh: KalamNusantara@2010
Adi Prasetyo
http://politik.kompasiana.com/

Prolog

Kemerdekaan menggerakan kita dengan janji yang kurang jelas. Negara (Indonesia) membimbing kita pada ujung yang kabur. Tetapi, kemerdekaan dan negara Indonesia telah menjadi candu. Sebuah candu yang menghasilkan revolusi. Padahal, revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna, demikian tulis Goenawan Mohamad [2008].

Mungkin inilah yang menyebabkan dongeng kita tentang tujuan kemerdekaan (bernegara) tak mendekati kenyataan. Padahal, sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, tujuan merdeka adalah mengadakan pemerintahan negara guna melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, tetapi kenyataannya sebaliknya (kemiskinan, kebodohan, kekacauan dan kekerasan) makin merajalela.

Laporan indeks pembangunan manusia (IPM 2009) menyebut bahwa rangking kita adalah nomor 111 dari 179 negara. Selalu merosot tiap tahun karena kesenjangan melebar, kesehatan menurun, PDB tak berkwalitas dan kartel korup di istana-tangsi tentara dan perpol. Bappenas juga menungkap bahwa tiga agenda dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional [RPJMN 2004-2008] berupa pengentasan kemiskinan, penganguran dan pertumbuhan investasi ”gagal dicapai pemerintah.” Kita baru berhasil menekan tingkat pengangguran per Agustus 2007 sampai 9.11%. Sementara tingkat kemiskinan mencapai mencapai 16.58%. Angka-angka ini menunjukan dengan jelas bahwa problem utama pasca kemerdekaan masih sama dengan pra merdeka.

Mengapa setelah 63 tahun ini masih terjadi? Ada banyak jawaban. Tetapi dari beberapa itu, berdasarkan studi postkolonial, kita dapat merangkumnya menjadi tiga. Pertama, persoalan mental. Setelah sekian tahun kita dijajah secara fisik oleh kolonialis Belanda, yang tersisa adalah mental inlander. Sebuah mental warisan Belanda yang mengembangkan kepatuhan, anti kritis, ikut yang menang, memuja ambtenarisme [pseudo feodalism], menunggu imam mahdi, mempersulit yang mudah, mudah menyerah, bahagia melihat temannya menderita dan sengsara melihat temannya bahagia, membela yang bayar serta birokratis.

Mental ini tumbuh dan berkembang lalu berurat berakar dalam kehidupan kita. Makannya, jiwa wirausaha dan perdagangan kurang berkembang. Yang jadi andalan adalah jiwa pegawai negeri, ambtenar [PNS, pelayan]. Buktinya, berbondong-bondong masyarakat kita melamar jadi PNS tiap tahun. Mereka bahkan rela melakukan KKN demi martabat pegawai yang disandangnya. Setelah menjadi PNS, aparat pegawai kita rela membuat UU yang merugikan bangsa sendiri dengan menyerahkan harta kedaulatannya menjadi milik asing. Produk dan keputusan-keputusan pemerintahan kita pro-asing (pemodal: yang bayar).

Selebihnya—pada wilayah pendidikan—sebagai tempat penempa mental, kita seperti terperangkap pada keinginan menciptakan mesin dan bukan menciptakan manusia bermoral. Sarjana pencari kerja bukan pencipta lapangan pekerjaan. Akibatnya, para sarjana yang kita miliki lebih berorientasi menjadi komprador yang melayani kepentingan-kepentingan pemodal dan majikan asing. Sarjana kita gagal membentuk aliansi strategis dengan mental baja bahwa ’bangsa kami bisa dan mampu.’ Sarjana kita banyak memaki daripada mencari sebab dan memberi solusi. Memang tidak semua, tetapi yang berkuasa dan duduk di pemerintahan hari ini adalah bermayoritas mental demikian.

Atas tradisi di atas itulah, Onghokham [1998] menulis bahwa ’hampir semua kekuasaan kolonial di Indonesia didapat dari kontrak perdagangan yang merugikan, bukan dari invasi dan perang militer yang dahsyat.’ Uang (sogok) dan strategi kuasa atas perdaganganlah yang sering dilakukan oleh kolonial terhadap bangsa ini. Lalu, perilaku kolonial itu dikuatkan oleh elit kita yang bermoral hit-man.

Kedua, tidak terpenuhinya prasyarat kepemimpinan yang ideal. Kepemimpinan di negeri ini jika bukan arena kudeta (militer) maka yang ada adalah pemimpin ritual (keagamaan). Pada pemimpin yang seperti itu, gagasan dan tindakannya tidak mencerminkan kesatuan yang utuh atas visi-misi yang diembannya. Yang menonjol adalah motif-motif kuasa atas kekuasaan, kekayaan dan martabat dilayani.

Kita tidak mendapati pemimpin yang mengharamkan KKN dan anti tahta, harta dan wanita/pria (crank, asketis). Artinya, bagi banyak pemimpin kita, tahta, harta dan wanita/pria adalah tujuan. Makin langgeng tahtanya, makin banyak hartanya, dan makin banyak simpanan wanitanya maka ia merasa makin hebat. Entah hebat buat siapa, selain hebat untuk dirinya. Entah mengapa, pemimpin kita lebih banyak yang berperilaku seperti ini. Entah mengapa pemimpin kita tidak belajar dari keruntuhan kerajaan-kerajaan masa lalu yang pernah hidup di Indonesia. Entah mengapa pemimpin kita suka masuk lubang yang sama dengan para pendahulunya yang mereka kritik sebelum berkuasa. Tentu saja, pemimpin yang seperti ini memiliki arah dan strategi pembangunan yang tidak pas dan memihak kaum miskin. Sebaliknya, arah dan strategi pembangunan mereka hanya ’memuaskan segelintir orang’ dengan mematikan banyak orang. Singkatnya, arah kebijakan kita tak berarah rakyat, strategi kita tanpa strategi yang dahsyat.

Ketiga, negara kita terlalu makmur dan kaya SDA. Dengan luas dan panjang yang sangat besar plus terdiri dari pulau-pulau yang berjuta maka kekayaan SDA kita makin melelapkan penghuninya. Kita memiliki semua SDA yang ada di dunia. Bahwa faktanya sekarang kita tidak memiliki apa-apa, itu soal lain. Tetapi sindrom orang kaya tetap menjadi ’problem utama’ bagi seseorang untuk merdeka. Karena itu negeri ini menjadi miskin di tengah kekayaan yang melimpah. Banyak orang mati di lumbung padi. Banyak orang kecelakaan di jalan beraspal-berlobang di tengah kita sebagai penghasil aspal terbanyak di dunia.

Inilah unholly trinity yang sedang kita jalani. Mental buruk, pemimpin jelek dan kekayaan tak terkelola. Mereka tidak suci tetapi diimani oleh sebagian rakyat kita. Meraka merusak tetapi dipelihara oleh banyak rakyat kita. Mereka menipu rakyat tetapi dipilih saat pemilu dilakukan (kadang berulang). Mereka tak bekerja maksimal tetapi menjadi penguasa. Mereka menjauhkan ucapan dari tindakan tetapi Tuhan menganugerahinya garis tangan yang menentukan.

Karena itu, riwayat kemerdekaan kita tidak pernah lepas dari riwayat kelakuan busuk elitnya. Tetapi ingat bahwa, riwayat kelakuan busuk elitnya tak pernah lepas dari riwayat kelakuan pragmatis rakyat yang memilihnya. Riwayat kelakukan pragmatisme rakyatnya, tak pernah lepas dari riwayat warisan kolonial yang merusak. Riwayat kolonial yang merusak, tak pernah lepas dari riwayat elite kita yang menghamba dan menjadi ’komprador asing.’ Riwayat komprador asing, tak pernah lepas dari riwayat KKN diri dan keluarganya. Meraka menjadi sejarah yang secara geneologis bersumber dari Ken Arok dan Malin Kundang. Pada Ken Arok kita mendapati geneologi kisah menghalalkan segala cara, sedang pada Malin Kundang kita mewarisi sikap amoral.

Singkatnya, kita tak memiliki satu alat pun di tangan untuk mengelola negara (bekas) terjajah menjadi merdeka, mandiri dan modern. Selebihnya, kemerdekaan kita masih dihuni oleh partai politik yang tak terorganisasi dengan baik, diisi dengan birokrasi yang buruk, dijiwai agama pengemis, dilengkapi dengan angkatan bersenjata yang korup dan beraninya melawan warganya sendiri. Dengan kondisi begini, yang subur hanya daya pukau [poetics of power], iklan bualan dan KKN berjamaah.

Jadi, kemerdekaan ini milik siapa? Entah. Jika revolusi ingin seindah dongeng, mestinya menghasilkan kemerdekaan yang diisi oleh jiwa yang punggungnya keras untuk membungkuk, hatinya tangguh untuk melawan (tidak kompromi). Jiwa yang berhidup dalam satunya kata dan perbuatan, serta mengharamkan segalanya kecuali menyejahterakan rakyat dengan seadilnya.

Indonesia: Diskursus Negara Postkolonial

Kita tahu, pada awalnya, terminologi postcolonial mengarah pada indikasi waktu, tempat dan suatu keadaan dari sebuah bangsa yang pernah dijajah. Secara tegas, Oxford English Dictionary [2001] menyatakan bahwa term colony adalah istilah untuk mengidentifikasi negara-negara jajahan Romawi sampai pertengahan abad ke-14. Dalam perkembangan teori-teori kritik, kolonialisme merupakan idiom yang berkonotasi pejoratif. Kolonialisme dipahami sebagai bentuk eksploitasi dan peminggiran oleh kuasa politik dunia Barat terhadap keberadaan identitas kultural (cultural identity) lokal yang heterogen. Yang di maksud cultural identity dalam konteks ini ialah identitas keagamaan, nasionalitas, etnis, ras dan jender.

Selanjutnya, diskursus postkolonial memayungi kemunculan wacana-wacana tanding di kawasan-kawasan yang pernah mengalami kolonialisasi negara-negara Eropa. Perspektif postkolonial menyajikan eksplorasi kritis wacana dalam relasinya dengan isu-isu ras, nasionalitas, subjektivitas, power, subalterns. Pemetaan isu postkolonial ini menggiring wacana kritik postkolonial ke dalam pergulatan identitas kultural lokal yang bersifat politis.

Secara historis-geneologis, ketergantungan rakyat pada negara dapat dilacak pada masa kolonialisme negara-negara kolonialis Eropa terhadap kawasan-kawasan Timur. Kolonialisme berperan besar dalam membentuk mental dan kognisi publik masyarakat kolonial. Sejarah kolonial mencatat bahwa hampir dua pertiga kawasan-kawasan Timur mengalami kolonialisme. Namun pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 negara-negara Timur bangkit melakukan gerakan-gerakan pembebasan. Sayangnya, di awal abad ke-21 negeri-negeri Timur kembali masuk dalam perangkap hegemoni globalisasi dan dominasi kebijakan politik internasional Barat yang menjajah.

Nah, serangkaian penjajajahan ini menghasilkan diskursus postkolonial. Sebuah diskursus yang menghasilkan tengarai problem utama negara postkolonial (pernah dijajah). Pertama, problema kepemimpinan. Dalam konteks Indonesia misalnya, kita mendapati pemimpin yang tidak autentik. Sebab, Presiden Soekarno suka menyelesaikan problem bangsa dengan berpidato yang retoris, lalu Presiden Soeharto dengan senyum yang enigmatis, Presiden Habibi dengan kalimat berapi-api yang taktis, Presiden Abdurahman Wahid dengan guyon dan satiris, Presiden Megawati dengan diam tak berencana maka Presiden SBY hanya dengan pidato dan tebar pesona. Praktis kepemimpinan mereka tanpa team work yang kuat dan tidak berpaku pada UUD-45.[1] Tentu saja, jika masih percaya pada model presiden yang pernah kita punya, niscaya problem bangsa ini tak akan berakhir secepatnya. Karena itu, mari selamatkan bangsa ini dari pesona-pesona presiden di masa lalu dan sekarang yang jelas tak menghasilkan capaian cita-cita bangsa sebagaimana amanat Pancasila dan UUD-45.[2]

Dalam sebuah wawancara serius, Indonesianis terkemuka Benedict ROG Anderson [15/8/07] mengungkapkan bahwa, “yang menghancurkan demokrasi [liberal] bukanlah masyarakat luas, tetapi ambisi dan kerakusan kuasa dari tentara [ABRI], Bung Karno dan sebagian elit politik lainnya.” Tentara dan Bung Karno tidak melihat demokrasi sebagai tantangan dan peluang, sebaliknya sebagai ancaman yang menakutkan kekuasaan mereka. Demokrasi menjadi musuh yang menghambat dan menakut-nakuti kekuasaan mereka.

Makna hipotesa Ben Anderson ada dua. Pertama, tentara dan Bung Karno merupakan aktor utama kehancuran demokrasi. Kedua, tentara dan Bung Karno melihat ”kekuasaan” sebagai sumber utama kehidupan yang tak boleh dibagi apalagi dilepaskan. Bagi keduanya lebih baik menghancurkan demokrasi daripada menghancurkan diri sendiri. Diri di atas negara, diri di atas demokrasi. Negara dan kekuasaan untuk dirinya, bukan dirinya untuk negara.

Bagi keduanya, demokrasi dan kekuasaan bukan sebagi dua hal yang berhubungan. Sebaliknya berhadapan secara diametral. Cara penghadapan ini dapat dipahami karena tentara dan Bung Karno mengidap kepribadian yang disebut inferiority complex. Ini adalah sejenis kepribadian yang tumbuh karena mereka tidak memiliki kekuatan di dalam diri mereka sendiri dikarenakan tekanan dan problem masa lalu. Ketika mereka tidak memiliki kekuatan yang ada dalam dirinya, mereka akan mengontrol segala sesuatu di luar diri mereka. Karena itu, demokrasi yang sesungguhnya bermakna ”teori politik” untuk membagi kekuasaan agar tidak berpusat pada seseorang dianggap sebagai ancaman yang menakutkan sehingga harus dikontrol bahkan dibuang. Oleh tentara diganti dengan ”kudeta merangkak” yang dipimpin Bung Harto, sementara oleh Bung Karno didekrit dengan kembali ke demokrasi terpimpin [Soekarno].

Kedua, munculnya budaya dan pengetahuan mimikri,[3] kebudayaan hibrida dan politik limbo yang melupakan cita-cita besar sebagai hasil galian dari kearifan lokal (keadilan dan kesejahteraan). Padahal, cita-cita ke arah keadilan dan kesejahteraan dapat dimulai dengan pengetahuan tentang cengkraman warisan kolonial yang terus membelenggu [colonial aftermath]. Dengan pendekatan-pendekatan studi postkolonial, kita diharapkan mulai membangkitkan nasionalisme baru, kebangkitan kembali bangsa Indonesia serta penumbuhan harkat dan martabat bangsa. Sambil menyadari bahwa langkah ini adalah langkah tak lazim karena kesadaran kolonial memang tidak dimiliki banyak orang bahkan sering ditindas oleh negaranya sendiri.[4]

Ketiga, membiaknya komprador, pengkhianat dan external patron-client. Sartono Kartodirjo [1997:74] menulis bahwa, ”musuh yang paling ditakuti dan sangat keras pada Belanda saat penjajahan adalah mereka yang [justru] dididik oleh Belanda.” Ini yang membedakannya dengan hasil didikan USA yang sering menjadi ekonom-politisi hit-man. Jika lulusan Belanda masa perjuangan menghasilkan ”anak durhaka” karena perlawanannya pada orang tua angkatnya, sebaliknya lulusan USA lebih memilih bekerjasama bahkan berucap, Amerika adalah tanah air saya yang kedua.

Keempat, mencari solusi bukan mencari sebab. Akar-akar persoalan di negara-negara postkolonial berhasil diidentifikasi dan ditemukan solusinya tetapi tidak dengan menemukan penyebabnya. Hal ini karena mereka menumbuhkan keinginan instan, darwinian dan “dendam.”

Keempat ciri utama problema postkolonial ini menghasilkan: pemerintahan tanpa pembelaan pada rakyat miskin [birokratis], kekayaan tanpa kerja keras [korupsi], perdagangan tanpa moralitas [kolusi], kekuasaan tanpa nurani [nepotisme], pendidikan tanpa karakter [instan], tekhnologi tanpa humanitas [dehumanisasi], peribadatan tanpa pengorbanan [ritualisme], dan agama tanpa subtansi [iklan dan pidato].

Di atas segalanya, diskursus postkolonial kemudian merekomendasikan apa yang disebut dengan pendefinisian kembali boundary (batas) and [common] enemy (musuh bersama). Artinya, jika bangsa Indonesia ingin lepas dari negeri postkolonial maka kita harus melenyapkan Indonesia lama (enemy) dengan membangun Indonesia baru yang lebih bernas dan cerdas serta “berbeda” (boundary) agar cita-cita kita ke arah kemanusiaan dan kesejahteraan yang adil dan beradab segera terwujud. Anda semua berani?[]

Rumusan Masalah

Dari pengantar di atas, kajian Postkolonial di Indonesia ini akan ditinjau dari beberapa bidang seperti aspek kepemimpinan, psikologi, pendidikan, pertahanan dan keamanan, agama, hukum dan kajian sastra. Bidang-bidang ini dipilih untuk menyingkap tabir Postkolonial telah meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan warga negara bekas jajahan (Postkolonial). Pokok masalah dalam kajian ini mengacu pada tesis-tesis sebagai berikut:

1. Apa penyebab lekatnya nilai-nilai yang ditinggalkan oleh penjajah terhadap bangsa yang dijajahnya?
2. Bagaimana proses doktrinasi (hegemoni) nilai itu berlangsung?
3. Dengan cara apa nilai-nilai Postkolonial itu dilanggengkan?
4. Bagaimana strategi pembebasan/pemerdekaan dari pengaruh hegemoni Postkolonial (isme)?

Tema-Tema Pembahasan

Guna melahirkan kajian yang mendalam tentang Postkolonialisme, akan dibahas dengan gambaran tema dan penulis sebagai berikut:

1. Kepemimpinan Negara Postkolonial
Yudhie Haryono

1. Psikologi Bangsa Postkolonial
Evie Hafiyah

1. Telaah Konflik di Negara Postkolonial
Bambang W. Soeharto

1. Praktik Ekonomi Negara Postkolonial
Sumantri Suwarno

1. Demokrasi dan Praktik Politik Negara Postkolonial
Prasetyo

1. Reformasi Pendidikan Negara Postkolonial
Edhi Subkhan

1. Pembangunan Bidang Pertahanan dan Keamanan Negara Postkolonial
Andi Muawiayah Ramly

1. Agama dan Kolonialisme
Syaiful Arif

1. Manajemen Pemerintahan Postkolonial
Bahrullah Akbar

1. Sastra dan Dekonstruksi terhadap Postkolonialisme
Azmi faiqoh

1. Pembangunan Hukum Negara Postkolonial
Eggy Sudjana

Manfaat
1. Bagi para mahasiswa dan akademisi buku hasil riset ini berguna sebagai buku induk untuk mendalami kajian postkolonialisme. Selain itu, riset yang bersifat dekonstruktif dan konstruktif ini sangat berguna untuk menginjeksi kesadaran kolektif (sejarah) kaum muda dalam perannya sebagai penerus kepemimpinan Indonesia.
2. Bagi pemerintah, buku ini berguna sebagai kaca benggala dan panduan untuk menyusun kerangka kebijakan negara yang lebih mengutamakan kepentingan warga negara daripada kepentingan asing (neokolonialisme).
3. Bagi para jurnalis, buku ini berguna sebagai data/referensi dalam menyajikan berita tentang penulisan sejarah dan masa depan bangsa.
4. Bagi masyarakat luas, buku ini sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran diri, kesadaran sejarah dan kesadaran terhadap cita-cita dan masa depan rakyat secara luas.

Waktu Penulisan
Riset ini akan dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai Agustus 2010.

Metode
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah riset kepustakaan dan wawancara narasumber.

Pembiayaan
Pembiayaan riset ini dilakukan secara swadaya, baik oleh lembaga maupun oleh para penulis.

Penutup
Demikian draf ini kami susun sebagai panduan penulisan buku. Besar harapan kami, riset ini mendapat dukungan dari awal hingga akhir. Sebab, riset ini merupakan bagian dari ikhtiar untuk memajukan negara Indonesia tercinta. Salam hormat.

[1]Laporan, “Langkah Kuda SBY-Kalla,” Majalah Gatra, No. 50/thnX/30/10/2004

[2]Lihat, “Seribu Sangsi Untuk SBY,” Tempo, Edisi 1-7 November 2007, hal. 10

[3]Menurut Homi K. Bhabha (1949), ilmuwan dan penggangas studi postkolonial India, konsep mimikri diambil dari perilaku binatang yang bermakna kesukaan melindungi dengan merubah diri atau meniru “lainnya.”Mimikri merupakan salah satu bentuk perilaku atau rupa yang pertama kali tumbuh pada sejumlah hewan, khususnya serangga, di mana spesies tersebut menyerupai spesies lain dalam hal perilaku maupun rupa. Biasanya mimikri adalah usaha menyerupai suatu spesies sebagai cara menghindari bahaya, misalnya bila berhadapan dengan predator. Salah satu contohnya adalah lalat bunga, yang banyak dari spesiesnya menyerupai tawon. Istilah ini jangan dikelirukan dengan kamuflase, di mana seseorang bertindak terhadap bahaya dari spesies hewan lain yang mencari mangsa di lingkungan sekitarnya. Pada masyarakat postkolonial, sikap mimikri ditujukan dengan tingginya perasaan iri terhadap penjajah, meniru dan menjiplak dan melanggengkan warisan mereka. Dengan mimikri ini, mereka berharap dapat sederajat dengan mereka, semaju mereka dan seperadaban (civilian) dengan pergaulan mereka.

[4]Ariel Heryanto, State Terrorism and Political Identity in Indonesia, Routledge, London, 2006

*) Seorang pemuda desa. Nekad kuliah di Jakarta dan mengadu nasib untuk memperbaiki bangsa melalui tulisan dan gerakan.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi