RISET PENERBITAN BUKU Akan diterbitkan oleh: KalamNusantara@2010
Adi Prasetyo
http://politik.kompasiana.com/
Prolog
Kemerdekaan menggerakan kita dengan janji yang kurang jelas. Negara (Indonesia) membimbing kita pada ujung yang kabur. Tetapi, kemerdekaan dan negara Indonesia telah menjadi candu. Sebuah candu yang menghasilkan revolusi. Padahal, revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna, demikian tulis Goenawan Mohamad [2008].
Mungkin inilah yang menyebabkan dongeng kita tentang tujuan kemerdekaan (bernegara) tak mendekati kenyataan. Padahal, sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, tujuan merdeka adalah mengadakan pemerintahan negara guna melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, tetapi kenyataannya sebaliknya (kemiskinan, kebodohan, kekacauan dan kekerasan) makin merajalela.
Laporan indeks pembangunan manusia (IPM 2009) menyebut bahwa rangking kita adalah nomor 111 dari 179 negara. Selalu merosot tiap tahun karena kesenjangan melebar, kesehatan menurun, PDB tak berkwalitas dan kartel korup di istana-tangsi tentara dan perpol. Bappenas juga menungkap bahwa tiga agenda dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional [RPJMN 2004-2008] berupa pengentasan kemiskinan, penganguran dan pertumbuhan investasi ”gagal dicapai pemerintah.” Kita baru berhasil menekan tingkat pengangguran per Agustus 2007 sampai 9.11%. Sementara tingkat kemiskinan mencapai mencapai 16.58%. Angka-angka ini menunjukan dengan jelas bahwa problem utama pasca kemerdekaan masih sama dengan pra merdeka.
Mengapa setelah 63 tahun ini masih terjadi? Ada banyak jawaban. Tetapi dari beberapa itu, berdasarkan studi postkolonial, kita dapat merangkumnya menjadi tiga. Pertama, persoalan mental. Setelah sekian tahun kita dijajah secara fisik oleh kolonialis Belanda, yang tersisa adalah mental inlander. Sebuah mental warisan Belanda yang mengembangkan kepatuhan, anti kritis, ikut yang menang, memuja ambtenarisme [pseudo feodalism], menunggu imam mahdi, mempersulit yang mudah, mudah menyerah, bahagia melihat temannya menderita dan sengsara melihat temannya bahagia, membela yang bayar serta birokratis.
Mental ini tumbuh dan berkembang lalu berurat berakar dalam kehidupan kita. Makannya, jiwa wirausaha dan perdagangan kurang berkembang. Yang jadi andalan adalah jiwa pegawai negeri, ambtenar [PNS, pelayan]. Buktinya, berbondong-bondong masyarakat kita melamar jadi PNS tiap tahun. Mereka bahkan rela melakukan KKN demi martabat pegawai yang disandangnya. Setelah menjadi PNS, aparat pegawai kita rela membuat UU yang merugikan bangsa sendiri dengan menyerahkan harta kedaulatannya menjadi milik asing. Produk dan keputusan-keputusan pemerintahan kita pro-asing (pemodal: yang bayar).
Selebihnya—pada wilayah pendidikan—sebagai tempat penempa mental, kita seperti terperangkap pada keinginan menciptakan mesin dan bukan menciptakan manusia bermoral. Sarjana pencari kerja bukan pencipta lapangan pekerjaan. Akibatnya, para sarjana yang kita miliki lebih berorientasi menjadi komprador yang melayani kepentingan-kepentingan pemodal dan majikan asing. Sarjana kita gagal membentuk aliansi strategis dengan mental baja bahwa ’bangsa kami bisa dan mampu.’ Sarjana kita banyak memaki daripada mencari sebab dan memberi solusi. Memang tidak semua, tetapi yang berkuasa dan duduk di pemerintahan hari ini adalah bermayoritas mental demikian.
Atas tradisi di atas itulah, Onghokham [1998] menulis bahwa ’hampir semua kekuasaan kolonial di Indonesia didapat dari kontrak perdagangan yang merugikan, bukan dari invasi dan perang militer yang dahsyat.’ Uang (sogok) dan strategi kuasa atas perdaganganlah yang sering dilakukan oleh kolonial terhadap bangsa ini. Lalu, perilaku kolonial itu dikuatkan oleh elit kita yang bermoral hit-man.
Kedua, tidak terpenuhinya prasyarat kepemimpinan yang ideal. Kepemimpinan di negeri ini jika bukan arena kudeta (militer) maka yang ada adalah pemimpin ritual (keagamaan). Pada pemimpin yang seperti itu, gagasan dan tindakannya tidak mencerminkan kesatuan yang utuh atas visi-misi yang diembannya. Yang menonjol adalah motif-motif kuasa atas kekuasaan, kekayaan dan martabat dilayani.
Kita tidak mendapati pemimpin yang mengharamkan KKN dan anti tahta, harta dan wanita/pria (crank, asketis). Artinya, bagi banyak pemimpin kita, tahta, harta dan wanita/pria adalah tujuan. Makin langgeng tahtanya, makin banyak hartanya, dan makin banyak simpanan wanitanya maka ia merasa makin hebat. Entah hebat buat siapa, selain hebat untuk dirinya. Entah mengapa, pemimpin kita lebih banyak yang berperilaku seperti ini. Entah mengapa pemimpin kita tidak belajar dari keruntuhan kerajaan-kerajaan masa lalu yang pernah hidup di Indonesia. Entah mengapa pemimpin kita suka masuk lubang yang sama dengan para pendahulunya yang mereka kritik sebelum berkuasa. Tentu saja, pemimpin yang seperti ini memiliki arah dan strategi pembangunan yang tidak pas dan memihak kaum miskin. Sebaliknya, arah dan strategi pembangunan mereka hanya ’memuaskan segelintir orang’ dengan mematikan banyak orang. Singkatnya, arah kebijakan kita tak berarah rakyat, strategi kita tanpa strategi yang dahsyat.
Ketiga, negara kita terlalu makmur dan kaya SDA. Dengan luas dan panjang yang sangat besar plus terdiri dari pulau-pulau yang berjuta maka kekayaan SDA kita makin melelapkan penghuninya. Kita memiliki semua SDA yang ada di dunia. Bahwa faktanya sekarang kita tidak memiliki apa-apa, itu soal lain. Tetapi sindrom orang kaya tetap menjadi ’problem utama’ bagi seseorang untuk merdeka. Karena itu negeri ini menjadi miskin di tengah kekayaan yang melimpah. Banyak orang mati di lumbung padi. Banyak orang kecelakaan di jalan beraspal-berlobang di tengah kita sebagai penghasil aspal terbanyak di dunia.
Inilah unholly trinity yang sedang kita jalani. Mental buruk, pemimpin jelek dan kekayaan tak terkelola. Mereka tidak suci tetapi diimani oleh sebagian rakyat kita. Meraka merusak tetapi dipelihara oleh banyak rakyat kita. Mereka menipu rakyat tetapi dipilih saat pemilu dilakukan (kadang berulang). Mereka tak bekerja maksimal tetapi menjadi penguasa. Mereka menjauhkan ucapan dari tindakan tetapi Tuhan menganugerahinya garis tangan yang menentukan.
Karena itu, riwayat kemerdekaan kita tidak pernah lepas dari riwayat kelakuan busuk elitnya. Tetapi ingat bahwa, riwayat kelakuan busuk elitnya tak pernah lepas dari riwayat kelakuan pragmatis rakyat yang memilihnya. Riwayat kelakukan pragmatisme rakyatnya, tak pernah lepas dari riwayat warisan kolonial yang merusak. Riwayat kolonial yang merusak, tak pernah lepas dari riwayat elite kita yang menghamba dan menjadi ’komprador asing.’ Riwayat komprador asing, tak pernah lepas dari riwayat KKN diri dan keluarganya. Meraka menjadi sejarah yang secara geneologis bersumber dari Ken Arok dan Malin Kundang. Pada Ken Arok kita mendapati geneologi kisah menghalalkan segala cara, sedang pada Malin Kundang kita mewarisi sikap amoral.
Singkatnya, kita tak memiliki satu alat pun di tangan untuk mengelola negara (bekas) terjajah menjadi merdeka, mandiri dan modern. Selebihnya, kemerdekaan kita masih dihuni oleh partai politik yang tak terorganisasi dengan baik, diisi dengan birokrasi yang buruk, dijiwai agama pengemis, dilengkapi dengan angkatan bersenjata yang korup dan beraninya melawan warganya sendiri. Dengan kondisi begini, yang subur hanya daya pukau [poetics of power], iklan bualan dan KKN berjamaah.
Jadi, kemerdekaan ini milik siapa? Entah. Jika revolusi ingin seindah dongeng, mestinya menghasilkan kemerdekaan yang diisi oleh jiwa yang punggungnya keras untuk membungkuk, hatinya tangguh untuk melawan (tidak kompromi). Jiwa yang berhidup dalam satunya kata dan perbuatan, serta mengharamkan segalanya kecuali menyejahterakan rakyat dengan seadilnya.
Indonesia: Diskursus Negara Postkolonial
Kita tahu, pada awalnya, terminologi postcolonial mengarah pada indikasi waktu, tempat dan suatu keadaan dari sebuah bangsa yang pernah dijajah. Secara tegas, Oxford English Dictionary [2001] menyatakan bahwa term colony adalah istilah untuk mengidentifikasi negara-negara jajahan Romawi sampai pertengahan abad ke-14. Dalam perkembangan teori-teori kritik, kolonialisme merupakan idiom yang berkonotasi pejoratif. Kolonialisme dipahami sebagai bentuk eksploitasi dan peminggiran oleh kuasa politik dunia Barat terhadap keberadaan identitas kultural (cultural identity) lokal yang heterogen. Yang di maksud cultural identity dalam konteks ini ialah identitas keagamaan, nasionalitas, etnis, ras dan jender.
Selanjutnya, diskursus postkolonial memayungi kemunculan wacana-wacana tanding di kawasan-kawasan yang pernah mengalami kolonialisasi negara-negara Eropa. Perspektif postkolonial menyajikan eksplorasi kritis wacana dalam relasinya dengan isu-isu ras, nasionalitas, subjektivitas, power, subalterns. Pemetaan isu postkolonial ini menggiring wacana kritik postkolonial ke dalam pergulatan identitas kultural lokal yang bersifat politis.
Secara historis-geneologis, ketergantungan rakyat pada negara dapat dilacak pada masa kolonialisme negara-negara kolonialis Eropa terhadap kawasan-kawasan Timur. Kolonialisme berperan besar dalam membentuk mental dan kognisi publik masyarakat kolonial. Sejarah kolonial mencatat bahwa hampir dua pertiga kawasan-kawasan Timur mengalami kolonialisme. Namun pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 negara-negara Timur bangkit melakukan gerakan-gerakan pembebasan. Sayangnya, di awal abad ke-21 negeri-negeri Timur kembali masuk dalam perangkap hegemoni globalisasi dan dominasi kebijakan politik internasional Barat yang menjajah.
Nah, serangkaian penjajajahan ini menghasilkan diskursus postkolonial. Sebuah diskursus yang menghasilkan tengarai problem utama negara postkolonial (pernah dijajah). Pertama, problema kepemimpinan. Dalam konteks Indonesia misalnya, kita mendapati pemimpin yang tidak autentik. Sebab, Presiden Soekarno suka menyelesaikan problem bangsa dengan berpidato yang retoris, lalu Presiden Soeharto dengan senyum yang enigmatis, Presiden Habibi dengan kalimat berapi-api yang taktis, Presiden Abdurahman Wahid dengan guyon dan satiris, Presiden Megawati dengan diam tak berencana maka Presiden SBY hanya dengan pidato dan tebar pesona. Praktis kepemimpinan mereka tanpa team work yang kuat dan tidak berpaku pada UUD-45.[1] Tentu saja, jika masih percaya pada model presiden yang pernah kita punya, niscaya problem bangsa ini tak akan berakhir secepatnya. Karena itu, mari selamatkan bangsa ini dari pesona-pesona presiden di masa lalu dan sekarang yang jelas tak menghasilkan capaian cita-cita bangsa sebagaimana amanat Pancasila dan UUD-45.[2]
Dalam sebuah wawancara serius, Indonesianis terkemuka Benedict ROG Anderson [15/8/07] mengungkapkan bahwa, “yang menghancurkan demokrasi [liberal] bukanlah masyarakat luas, tetapi ambisi dan kerakusan kuasa dari tentara [ABRI], Bung Karno dan sebagian elit politik lainnya.” Tentara dan Bung Karno tidak melihat demokrasi sebagai tantangan dan peluang, sebaliknya sebagai ancaman yang menakutkan kekuasaan mereka. Demokrasi menjadi musuh yang menghambat dan menakut-nakuti kekuasaan mereka.
Makna hipotesa Ben Anderson ada dua. Pertama, tentara dan Bung Karno merupakan aktor utama kehancuran demokrasi. Kedua, tentara dan Bung Karno melihat ”kekuasaan” sebagai sumber utama kehidupan yang tak boleh dibagi apalagi dilepaskan. Bagi keduanya lebih baik menghancurkan demokrasi daripada menghancurkan diri sendiri. Diri di atas negara, diri di atas demokrasi. Negara dan kekuasaan untuk dirinya, bukan dirinya untuk negara.
Bagi keduanya, demokrasi dan kekuasaan bukan sebagi dua hal yang berhubungan. Sebaliknya berhadapan secara diametral. Cara penghadapan ini dapat dipahami karena tentara dan Bung Karno mengidap kepribadian yang disebut inferiority complex. Ini adalah sejenis kepribadian yang tumbuh karena mereka tidak memiliki kekuatan di dalam diri mereka sendiri dikarenakan tekanan dan problem masa lalu. Ketika mereka tidak memiliki kekuatan yang ada dalam dirinya, mereka akan mengontrol segala sesuatu di luar diri mereka. Karena itu, demokrasi yang sesungguhnya bermakna ”teori politik” untuk membagi kekuasaan agar tidak berpusat pada seseorang dianggap sebagai ancaman yang menakutkan sehingga harus dikontrol bahkan dibuang. Oleh tentara diganti dengan ”kudeta merangkak” yang dipimpin Bung Harto, sementara oleh Bung Karno didekrit dengan kembali ke demokrasi terpimpin [Soekarno].
Kedua, munculnya budaya dan pengetahuan mimikri,[3] kebudayaan hibrida dan politik limbo yang melupakan cita-cita besar sebagai hasil galian dari kearifan lokal (keadilan dan kesejahteraan). Padahal, cita-cita ke arah keadilan dan kesejahteraan dapat dimulai dengan pengetahuan tentang cengkraman warisan kolonial yang terus membelenggu [colonial aftermath]. Dengan pendekatan-pendekatan studi postkolonial, kita diharapkan mulai membangkitkan nasionalisme baru, kebangkitan kembali bangsa Indonesia serta penumbuhan harkat dan martabat bangsa. Sambil menyadari bahwa langkah ini adalah langkah tak lazim karena kesadaran kolonial memang tidak dimiliki banyak orang bahkan sering ditindas oleh negaranya sendiri.[4]
Ketiga, membiaknya komprador, pengkhianat dan external patron-client. Sartono Kartodirjo [1997:74] menulis bahwa, ”musuh yang paling ditakuti dan sangat keras pada Belanda saat penjajahan adalah mereka yang [justru] dididik oleh Belanda.” Ini yang membedakannya dengan hasil didikan USA yang sering menjadi ekonom-politisi hit-man. Jika lulusan Belanda masa perjuangan menghasilkan ”anak durhaka” karena perlawanannya pada orang tua angkatnya, sebaliknya lulusan USA lebih memilih bekerjasama bahkan berucap, Amerika adalah tanah air saya yang kedua.
Keempat, mencari solusi bukan mencari sebab. Akar-akar persoalan di negara-negara postkolonial berhasil diidentifikasi dan ditemukan solusinya tetapi tidak dengan menemukan penyebabnya. Hal ini karena mereka menumbuhkan keinginan instan, darwinian dan “dendam.”
Keempat ciri utama problema postkolonial ini menghasilkan: pemerintahan tanpa pembelaan pada rakyat miskin [birokratis], kekayaan tanpa kerja keras [korupsi], perdagangan tanpa moralitas [kolusi], kekuasaan tanpa nurani [nepotisme], pendidikan tanpa karakter [instan], tekhnologi tanpa humanitas [dehumanisasi], peribadatan tanpa pengorbanan [ritualisme], dan agama tanpa subtansi [iklan dan pidato].
Di atas segalanya, diskursus postkolonial kemudian merekomendasikan apa yang disebut dengan pendefinisian kembali boundary (batas) and [common] enemy (musuh bersama). Artinya, jika bangsa Indonesia ingin lepas dari negeri postkolonial maka kita harus melenyapkan Indonesia lama (enemy) dengan membangun Indonesia baru yang lebih bernas dan cerdas serta “berbeda” (boundary) agar cita-cita kita ke arah kemanusiaan dan kesejahteraan yang adil dan beradab segera terwujud. Anda semua berani?[]
Rumusan Masalah
Dari pengantar di atas, kajian Postkolonial di Indonesia ini akan ditinjau dari beberapa bidang seperti aspek kepemimpinan, psikologi, pendidikan, pertahanan dan keamanan, agama, hukum dan kajian sastra. Bidang-bidang ini dipilih untuk menyingkap tabir Postkolonial telah meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan warga negara bekas jajahan (Postkolonial). Pokok masalah dalam kajian ini mengacu pada tesis-tesis sebagai berikut:
1. Apa penyebab lekatnya nilai-nilai yang ditinggalkan oleh penjajah terhadap bangsa yang dijajahnya?
2. Bagaimana proses doktrinasi (hegemoni) nilai itu berlangsung?
3. Dengan cara apa nilai-nilai Postkolonial itu dilanggengkan?
4. Bagaimana strategi pembebasan/pemerdekaan dari pengaruh hegemoni Postkolonial (isme)?
Tema-Tema Pembahasan
Guna melahirkan kajian yang mendalam tentang Postkolonialisme, akan dibahas dengan gambaran tema dan penulis sebagai berikut:
1. Kepemimpinan Negara Postkolonial
Yudhie Haryono
1. Psikologi Bangsa Postkolonial
Evie Hafiyah
1. Telaah Konflik di Negara Postkolonial
Bambang W. Soeharto
1. Praktik Ekonomi Negara Postkolonial
Sumantri Suwarno
1. Demokrasi dan Praktik Politik Negara Postkolonial
Prasetyo
1. Reformasi Pendidikan Negara Postkolonial
Edhi Subkhan
1. Pembangunan Bidang Pertahanan dan Keamanan Negara Postkolonial
Andi Muawiayah Ramly
1. Agama dan Kolonialisme
Syaiful Arif
1. Manajemen Pemerintahan Postkolonial
Bahrullah Akbar
1. Sastra dan Dekonstruksi terhadap Postkolonialisme
Azmi faiqoh
1. Pembangunan Hukum Negara Postkolonial
Eggy Sudjana
Manfaat
1. Bagi para mahasiswa dan akademisi buku hasil riset ini berguna sebagai buku induk untuk mendalami kajian postkolonialisme. Selain itu, riset yang bersifat dekonstruktif dan konstruktif ini sangat berguna untuk menginjeksi kesadaran kolektif (sejarah) kaum muda dalam perannya sebagai penerus kepemimpinan Indonesia.
2. Bagi pemerintah, buku ini berguna sebagai kaca benggala dan panduan untuk menyusun kerangka kebijakan negara yang lebih mengutamakan kepentingan warga negara daripada kepentingan asing (neokolonialisme).
3. Bagi para jurnalis, buku ini berguna sebagai data/referensi dalam menyajikan berita tentang penulisan sejarah dan masa depan bangsa.
4. Bagi masyarakat luas, buku ini sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran diri, kesadaran sejarah dan kesadaran terhadap cita-cita dan masa depan rakyat secara luas.
Waktu Penulisan
Riset ini akan dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai Agustus 2010.
Metode
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah riset kepustakaan dan wawancara narasumber.
Pembiayaan
Pembiayaan riset ini dilakukan secara swadaya, baik oleh lembaga maupun oleh para penulis.
Penutup
Demikian draf ini kami susun sebagai panduan penulisan buku. Besar harapan kami, riset ini mendapat dukungan dari awal hingga akhir. Sebab, riset ini merupakan bagian dari ikhtiar untuk memajukan negara Indonesia tercinta. Salam hormat.
[1]Laporan, “Langkah Kuda SBY-Kalla,” Majalah Gatra, No. 50/thnX/30/10/2004
[2]Lihat, “Seribu Sangsi Untuk SBY,” Tempo, Edisi 1-7 November 2007, hal. 10
[3]Menurut Homi K. Bhabha (1949), ilmuwan dan penggangas studi postkolonial India, konsep mimikri diambil dari perilaku binatang yang bermakna kesukaan melindungi dengan merubah diri atau meniru “lainnya.”Mimikri merupakan salah satu bentuk perilaku atau rupa yang pertama kali tumbuh pada sejumlah hewan, khususnya serangga, di mana spesies tersebut menyerupai spesies lain dalam hal perilaku maupun rupa. Biasanya mimikri adalah usaha menyerupai suatu spesies sebagai cara menghindari bahaya, misalnya bila berhadapan dengan predator. Salah satu contohnya adalah lalat bunga, yang banyak dari spesiesnya menyerupai tawon. Istilah ini jangan dikelirukan dengan kamuflase, di mana seseorang bertindak terhadap bahaya dari spesies hewan lain yang mencari mangsa di lingkungan sekitarnya. Pada masyarakat postkolonial, sikap mimikri ditujukan dengan tingginya perasaan iri terhadap penjajah, meniru dan menjiplak dan melanggengkan warisan mereka. Dengan mimikri ini, mereka berharap dapat sederajat dengan mereka, semaju mereka dan seperadaban (civilian) dengan pergaulan mereka.
[4]Ariel Heryanto, State Terrorism and Political Identity in Indonesia, Routledge, London, 2006
*) Seorang pemuda desa. Nekad kuliah di Jakarta dan mengadu nasib untuk memperbaiki bangsa melalui tulisan dan gerakan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar