Nur Syam
http://sosbud.kompasiana.com/
Saminisme sebagai sikap agamis memang tidak banyak memberikan peluang kemungkinan pertumbuhan dalam arti kelembagaannya, yaitu ajaran, pengikut dan organisasi. Seperti agama alam lainnya atau semacam agama kesuburan, maka kemungkinan untuk mengembangkan sistem ajaran dan sistem organisasi yang terkait serta pemeliharaan kesetiaan umat tidak dapat dijalankan secara berkelanjutan. Samin merupakan sebutan yang diberikan oleh mereka sendiri untuk menandai adat-istiadat dan tindakan yang mereka nyatakan sebagai berbeda dengan masyarakat di sekitarnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari tradisi, seperti upacara perkawinan, yang mereka sebut sebagai adang akeh.
Pada masa lalu, masyarakat Samin dapat diidentifikasi sebagai masyarakat yang ingin membebaskan dirinya dari ikatan tradisi besar yang dikuasai oleh elite penguasa dan kemudian membentuk persekutuan untuk melawan secara damai dengan menggunakan tradisi rakyat jelata. Tradisi rakyat jelata yang berbeda dengan tradisi besar kebudayaan Jawa tersebut, di dalam tulisan ini dinyatakn sebagai tradisi kecil. Penggunaan bahasa Jawa Ngoko, pemaknaan konsep-konsep agama yang berbeda dengan penafsiran pada umumnya dan juga penolakannya terhadap pejabat agama yang tidak diperlukannya merupakan suatu bentuk protes yang menandai kehadiran tradisi kecil tersebut.
Seirama dengan perkembangan zaman, tradisi kecil Saminisme tersebut secara lambat tetapi pasti bergerak ke tradisi besar, yang sekarang disebut dengan Tradisi Islam Jawa, yaitu Islam yang dalam tataran pemahaman, sikap dan tindakan penganutnya berbeda dengan Islam di tempat lain, atau dengan kata lain, Islam yang bernuansa lokal.
Komunitas Samin
Komunitas Samin ialah sekelompok orang yang mengikuti dan mempertahankan ajaran Samin Surosentiko yang muncul pada masa kolonial Belanda, yakni sekitar tahun 1890. Pada masa tersebut, masyarakat merasakan tekanan-tekanan dari pihak penjajah sebagai suatu siksaan kehidupan. Kemudian, mereka mencari cara untuk membebaskan diri dari tekanan tersebut. Ajaran Samin memberikan angin baru bagi masyarakat untuk keluar dari siksaan dan tekanan penjajah. Pada mulanya, komunitas Samin hanyalah merupakan perkumpulan (sami-sami) orang yang merasa senasib-seperjuangan serta sama rata dan sama rasa. Kemudian, perkumpulan ini berkembang luas, di mana pengikutnya tersebar di sekitar Blora, Pati, Kudus, Rembang dan perbatasan wilayah barat Bojonegoro.
Daerah kelompok (komunitas) Samin sangat lokal, sehingga daerah satu dengan lainnya tampak ada perbedaan dalam pemahaman aturan-aturan yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Di desanya, orang Samin merupakan sekelompok orang yang tidak suka bergaul dengan yang lainnya kecuali dengan orang Samin sendiri. Mereka memiliki bahasa sendiri untuk berkomuniaksi, tata cara kehidupan sendiri dan bahkan tradisi sendiri. Jika ingin berkomunikasi dengan orang luar, mereka memanfaatkan jasa kepala desa sebagai perantara. Dalam rangka pelestarian ajaran Samin sebagai pedoman tingkah laku, maka dilakukanlah pewarisan nilai-nilai (inkulturasi) pada ank-anak kecil, bahkan kepada orang dewasa.
Namun demikian, tradisi tersebut semakin luntur disebabkan oleh faktor internal yang berupa ketiadaan sarana pelestarian seperti ketiadaan teks-teks ajaran Samin, semakin melemahnya proses pengorganisasian kelompok dan ketiadaan tokoh kharismatik yang dapat menjaga wibawa Saminisme, disamping penetrasi faktor luar seperti semakin intensifnya penyiaran dakwah, bahkan melalui orang Samin sendiri. Strategi Departemen Agama Kabupaten Bojonegoro, misalnya, dengan membiayai kelanjutan pendidikan anak Samin yang cerdas (Mohamad Miran) di pesantreen Pabelan, Jawa Tengah, ternyata cukup jitu. Dari situ kemudian berdirilah musholla Al-Huda yang menjadi sentra kegiatan keislaman.
Kehadiran Islam yang demikian itu, tentu saja menggusarkan hati orang-orang tua yang masih setia dengan ajaran Samin. Memang, masih terdapat generasi tua yang sangat menghormati ajaran Samin yang dipelopori oleh Hardjokardi, seorang penerus keturunan Samin Surosentiko. Anehnya, meskipun mereka menolak terhadap kehadiran ajaran Islam, akan tetapi mereka tetap terlibat dalam proses pembangunan musholla dan bahkan membiarkan anak-anak mereka untuk belajar agama Islam.
Dalam bidang pergaulan, mereka juga telah berubah. Dalam kesehariannya, mereka telah menggunakan bahasa pergaulan yang berbeda dengan bahasa ngoko (bahasa Jawa kasar) yang menandai bahasa rakyat jelata. Mereka juga sudah melakukan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA), yang dahulunya dianggap tidak penting. Demikian pula penolakannya terhadap pembayaran pajak kepada negara juga sudah berubah. Jadi, penolakan terhadap pemuka agama dan negara telah mengalami perubahan-perubahan penting.
Gerakan Samin: Perlawanan Terhadap Pemuka Agama dan Negara
Gerakan Samin sebenarnya ialah gerakan perlawanan terhadap pemerintah dan agama. Benda dan Castle dalam bukunya The Samin Movement yang dikutip oleh James C. Scott, menyatakan bahwa Gerakan Samin yang muncul di daerah Rembang merupakan sekte yang menolak Islam, negara dan hirarki sosial itu sendiri. Mereka tidak mau mengundang pejabat-pejabat agama Islam untuk meresmikan perkawinan atau upacara-upacara penguburan di kalangan mereka yang sering disertai dengan pungutan-pungutan, mereka tidak mau membayar pajak (meskipun mereka mendapat hadiah) dan mereka membuang segala tata cara dan sopan santun yang berdasarkan perbedaan status. Sebagai gantinya, mereka menggunakan bahasa Jawa kasar (ngoko) dan memanggil satu sama lainnya dengan sebutan sedulur. Dalam pertentangannya dengan negara kolonial yang mau mengatur segala-galanya, orang Samin mengambil unsur-unsur yang terdapat dalam kebudayaan rakyat jelata untuk membentuk suatu agama yang terpadu dengan peraturan-peraturan sosialnya, yang secara sadar menolak nilai-nilai elite dan hak-hak mereka atas masyarakat petani. Dengan demikian, yang menjadi daya tarik sekte, seperti halnya Samin, ialah sikap yang berupa ketidakadilan agraris, negara dan pemerintah yang secara resmi memungut uang.
Menyusul penolakan Gerakan Samin terhadap hal-hal di atas dan diikuti dengan penolakannya terhadap keyakinan-keyakinan agama, mereka juga menciptakan suatu tradisi keyakinan yang sangat berbeda dengan keyakinan agama lainnya. Bahkan kemudian, mereka menafsirkan ajaran Islam dalam konteks kebahasaan mereka sendiri. Yang terjadi kemudian ialah penghujatan terhadap ajaran Islam. Mereka menolak kebenaran Allah, sebagai Tuhan orang Islam yang dianggapnya sebagai rekayasa manusia atau timbul dari pemikiran manusia. Mereka kemudian mengganti konsep Allah tersebut dengan simbol orang tua mereka sendiri (Mak-Yung). James C. Scott, menyimpulkan bahwa tidak mengherankan jika di kemudian hari pusat kaum Samin dengan mudah dipengaruhi oleh partai komunis, mengingat praktek-prektek keyakinannya begitu banyak persamaannya dengan partai itu.
Dalam hal bertingkah laku, mereka menekankan pada dua konsep: kejujuran dan kebenaran. Untuk melakukan keduanya, mereka memiliki ajaran yang disebut Pandom Urip, yaitu ojo nganti srei, dengki, dahwen, open, kemeren, panasten, rio sapodo-podo, mbedak, nyolong playu, kutil jumput, nemok wae emoh, (sikap sombong, iri hati, bertengkar, membuat marah terhadap orang lain, menginginkan hak milik orang lain, bersifat cemburu, bermain judi dan mengambil barang orang lain yang tercecer di jalan).
Kontrol sosial diberlakukan bagi komunitas ini untuk menjaga ketertiban sosial. Untuk itu, diberlakukan pengawasan yang berupa hukuman batin, yakni orang yang melakukan penyelewengan terhadap kaidah sosialnya akan diperolok-olok oleh penganut Samin lainnya dan kemudian dipanggil oleh sesepuh Samin. Jadi, peran sesepuh Samin sangat besar dalam pengawasan tingkah laku sosial komunitasnya. Oleh karena itu, jika kharisma sesepuh Samin merosot, maka peran kontrol sosialnya pun akan berkurang dan memungkinkan terjadinya pergeseran-pergeseran.
D. Pergeseran dari Tradisi Kecil ke Tradisi Besar
Teori tradisi kecil dan tradisi besar diformulasikan oleh Robert Redfield dalam tulisannya Peasant Society and Culture. Kemudian, Scott menekankan bahwa tujuan tipologi itu ialah untuk membedakan kepercayaan dan praktek-praktek strata rakyat pada peradaban agraris dari kaum elitenya. Tradisi kecil merupakan pola khas kepercayaan dan perilaku yang dihargai oleh kaum petani dari masyarakat agraris, sedangkan tradisi besar ialah pola yang sesuai dengan kaum elite dari masyarakat tersebut.
Jika di dalam tulisannya, Redfield lebih memfokuskan kajiannya pada agama, upacara dan mitos, di mana ketiganya dapat membedakan mana yang dianggap sebagai bertradisi kecil dan mana yang bertadisi besar, maka di dalam tulisan ini yang dianggap sebagai bertradisi kecil ialah komunitas Samin dengan segala kehidupan agrarisnya, dan yang betradisi besar adalah Islam dan komunitas Jawa yang berada di luar lingkungannya. Konsekuensinya, perubahan yang terlihat pun juga menyangkut agama dan upacara ritualnya disamping pola kehidupan lainnya seperti interaksi dengan dunia luar dan perilaku sosial lainnya. Dengan demikian, terdapat perluasan konsep tradisi kecil dan besar yang tidak hanya beraksentuasi pada agama, ritual dan mitos, akan tetapi lebih luas, mencakup tampilan perilaku sosial lainnya.
Memang, di dunia tidak ada sesuatu yang tidak mengalami perubahan. Perubahan meruapakan keniscayaan bagi kehidupan manusia. Perubahan dapat terjadi, baik karena faktor luar maupun faktor dari dalam masyarakat itu sendiri. Seirama dengan perubahan yang terus terjadi, masyarakat Samin ternyata juga tak dapat bertahan untuk mengisolasi diri sedemikian kuat, terutama dalam menghadapi penetrasi ajaran Islam yang terus dikumandangkan. Secara penetratif, ajaran Islam telah membawa perubahan dalam sistem nilai, pola tingkah laku dan aturan-aturan di kalangan komunitas Samin.
Perubahan tradisi pada suatu komunitas dapat dilihat dari perspektrif perubahan kebudayaan. Secara teoritis, perubahan kebudayaan mencakup lima hal pokok, yakni: Pertama, perubahan sistem nilai yang prosesnya mulai dari penerimaan nilai baru dengan proses integrasi ke disintegrasi untuk selanjutnya menuju reintegrasi; Kedua, perubahan sistem makna dan sistem pengetahuan, yang berupa penerimaan suatu kerangka makna (kerangka pengetahuan), penolakan dan penerimaan makna baru dengan proses orientasi ke disorientasi untuk selanjutnya menuju reorientasi sistem kognitifnya; Ketiga, perubahan sistem tingkah laku yang berproses dari penerimaan tingkah laku, penolakan dan penerimaan tingkah laku baru; Keempat, perubahan sistem interaksi, di mana akan muncul gerak sosialisasi melalui disosialisasi menuju resosialisasi; Kelima, perubahan sistem kelembagaan/pemantapan interaksi, yakni pergeseran dari tahapan organisasi ke disorganisasi untuk selanjutnya menuju reorganisasi.
Pandangan hidup orang Samin tentunya tidak dapat dilepaskan dari tradisi besar kebudayaan Jawa yang melingkupinya, yaitu tiga konsep dasar dalam pola hidup rukun, harmoni dan selamet. Komunitas Samin mengutamakan kerukunan dalam kehidupan berkelompok dengan sesamanya. Dalam penerapan keselarasan hidup, mereka mementingkan keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos serta keselarasan antara manusia dan manusia. Selamet artinya bahwa mereka bertujuan hidup untuk mencari keselamatan. Ajaran Pandom Urip adalah contoh bagaimana keinginan orang Samin untuk menjaga kerukunan, harmoni dan selamet tersebut. Tradisi Saminisme sekarang sudah berubah, artinya Saminisme sudah bukan lagi menjadi kebanggaan di dalam struktur sosial di mana mereka hidup. Ditinjau dari sistem nilai, Saminisme sudah tidak lagi menjadi aturan dalam pluralitas nilai yang berada di tengah-tengah kehidupan mereka. Penerimaan nilai Saminisme di kalangan mereka dahulu disebabkan adanya represi kelompok lain yang dominan. Dalam proses selanjutnya, tokoh Samin yang representatif juga tidak dijumpai lagi, sehingga komunitas Samin sudah tidak lagi sesolid masa lalu. Akibatnya, peran kontrol sosial Saminisme juga menjadi melemah. Jadi, unsur-unsur dasar Saminisme telah tenggelam di dalam kompleksitas budaya sekitarnya. Generasi berikutnya lambat laun menganggap tradisi Samin yang dijiwai Saminisme tidak lagi dapat dipergunakan untuk menjawab tantangan nilai-nilai baru yang lebih relevan dan rasional. Nilai-nilai Saminisme telah kehilangan elan vitalnya.
Ditinjau dari kerangka makna, kerangka pengetahuan tentang Saminisme telah semakin berkurang. Ketiadaan media yang berupa teks-teks ajaran Samin yang dapat menjadi perantara generasi masa lalu dan sekarang menjadi faktor semakin kaburnya ajaran Samin bagi penganutnya. Akibatnya, ajaran Samin tak lagi menjadi kerangka referensi makna. Melalui proses disorientasi tersebut, lahirlah pengetahuan baru yang bersumber dari ajaran Islam yang disebarkan oleh kalangan mereka sendiri, sehingga menyebabkan tumbuhnya pola bagi pengetahuan baru atau reorientasi makna.
Ditinjau dari tingkah laku, perubahan tradisi tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa mereka terutama generasi muda telah berlaku berbeda dengan generasi tuanya. Saminisme sudah tidak lagi menjadi pola bagi tindakan (pattern from behavior). Hal ini terjadi akibat adanya interaksi dengan dunia luar yang menggunakan kerangka dan pedoman tindakan yang lebih relevan. Kehadiran pendidikan formal dan nonformal maupun media massa di kalangan mereka dengan menawarkan pola baru kehidupan menjadikan mereka semakin terbuka dalam menerima berbagai hal. Dilihat dari perspektif kelembagaan, tampaknya gerakan Samin telah kehilangan orientasi tujuannya. Jika pada masa lalu gerakan ini bersifat kerakyatan, yakni memperjuangkan ketidakadilan, maka sekarang telah kehilangan relevansi perjuangan dalam menghadapi tuntutan perubahan.
Implikasi
Berdasarkan atas uraian di atas, kiranya, kajian tentang kontribusi faktor-faktor eksternal terhadap perubahan tradisi nyamin masih relevan untuk dilakukan. Demikian pula halnya dengan kajian tentang faktor internal yang memang berfungsi dominan bagi perubahan tradisi. Masih ada banyak hal yang belum diungkap. Wallahu A’lam.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar