Selasa, 12 Oktober 2010

Nyanyian Seribu Bulan

Abidah El Khalieqy*
http://www.jawapos.com/

Mungkin Hawa namanya. Tak penting! Ia datang setiap malam tanpa salam. Mencari lubang da­lam pori-pori kulit ini. Berumah da­lam tulang dan menjadi ombak di samudera hati. Ada Ken De­des di betis mulusnya. Ada Roro Jonggrang di mata beloknya. Ada De­wi Yunani di senyum bibirnya. Ada Fatimah ber­bunga-bunga di rambutnya. Ia tegak berdiri dan mencera­cau dalam kepalaku. Selalu. Tak kuasa aku menampiknya. Berminggu malam sudah. Berbulan dan tahun mengabadi dalam is­tana kesendirianku.

”Maaf, karena telah kerasan!” Ia girang menyapa.

Aku hidup dari sunyi dan Hawa membawaku ter­bang melayang-la­yang. Katanya kami bakal meng­gapai surga. Matanya yang pur­nama menulariku mengeja matahari. Ia buka mataku dan me­nun­tunku memasuki lorong-lorong bumi. Alam ini indah bagi pa­ra ilmuwan keindahan, bi­siknya. Tapi mataku? Hanya retina dan optik yang perih dan luka. Mungkin silau oleh gempuran cahaya ke­indahan yang tiba-tiba.

Begitulah awalnya. Sejak entah aku berdiam di re­lung hampa. Pu­tus jalinan hati antaraku dan hu­bungan darah para handai taulan. Sejak bumi mengafani Ayah dan Ibundaku, mataku kehila­ngan matahari. Dan tubuhku kecurian planet. Aku su­wung! Berja­lan ngelangut sesiang semalam tanpa gigi tanpa kepala. Ruhku, ba­rangkali ruhku saja nyelinap di antara halaman buku sejarah yang ber­debu di toko loak.

Sesosok jemari halus memungutnya. Memberi­nya sentuhan cin­ta. Tergeragap bangun kaget dan bingung. Aku menjurai bayangan liar dan satin. Seperti orang lain, perempuan lain, tak penting sia­pa nama, menjebol pintu belakang rumah ber­sama angin.

Mata lelah dan sengsara, rambut gimbal baju mo­yak, serasa pe­ngemis yang datang dari dunia jelaga. Berjalan ia meremas hari tak pasti. Banyak lo­rong dan ceruk dari batu-batu dan luka yang mes­­ti dilewati. Kadang ia menawar senja. Pabila bu­rung-burung ber­baris syahdu merindu sangkar­nya, ia tengadah membuka sebaris gigi keropos yang telah habis dipalu masa. Ia jalan terus mencari ti­mur di barat, mengejar utara di selatan.

”Aduhai hari-hariku,” ia cerita apa adanya.

Menerawang. Perempuan itu menjumpa api da­lam gedung ting­gi. Api yang disentuhnya de­ngan sepuluh jari bersama degup jan­tung yang pas­­ti. Stabil. Matanya berubah menyala. Bibirnya me­rekah pink. Berayun-ayun tangannya gemulai me­narikan sebuah melodi.

”Di sini hari masih pagi. Dan selalu pagi.”

Lalu ia tinggal di gedung itu mengeja pagi. Mem­baca banyak ma­ta dan bau mulut beraneka aroma. Dilihatnya juga banyak ta­ngan teracung ke udara. Atau mengepal tinju ke angkasa. Suatu ka­li ia kebagian jatah menepukkan dua telapak tangan dalam so­rak gembira. Karena tangannya hitam dan berdaki, bertumpuk daki, soraknya terdengar paling kuat. Cukup kuat untuk memutar se­kian ratus kepala dari wajah-wajah yang ber­minyak pagi.

Tak percaya. Ia kembali bersorak menepuk ­riang, membahasakan matahari pagi. Tak dinyana pula, ratusan kepala itu menjadi ribuan, me­mutar wajahnya menatap tajam kagum dan se­nang, ke arah matanya.

”Ke arah mataku mereka memandang,” keluhnya bahagia.

Mata-mata itu lalu berubah jadi api yang membakar dadanya. Pe­­rempuan itu naik ke podium dan merebut separo simpati dari audiens. Dikunyahnya jam bersama menit dan detik-detiknya. Ter­nyata ia lebih canggih dari sekadar mitos dan le­genda yang pernah tergantung di pundaknya. Ter­­senyum ia menikmati karunia yang pernah hi­­lang itu. Kembali dalam ayunan ibu.

Matahari menyorot dari balik matanya. Seakan tokoh politik yang turun dari podium, perempuan itu lahir kembali jadi beraneka rupa. Berdesakan dalam pasar ikan bau. Suatu kali terlihat tengah sibuk menata menu dalam perjamuan makan ma­lam bersama orang-orang penting. Para pah­­la­wan dan penjahat dari berbagai negeri. Kala lain ia tampil dalam fashion show melenggokkan ma­ta-mata narsis, dan ratusan mulut buaya yang mendesis. Saat lain pula ia akan bertarung memperebutkan kejua­raan dalam arena lomba. Mengalahkan lawan main dengan cara yang muskil.

”Karena hidup, kau mesti terus mengalir,” bi­siknya padaku.

Kakinya memanjang berkilometer, beratus ber­ibu-ribu, sejauh ja­lan membentang. Sampai api yang pernah menyentuhnya jadi hilang, tak sega­rang dulu. Maka hilang juga matahari dalam ru­mahnya. Sebab rumah tinggal pilu dan luka. Tak ada yang mesti di­pertahankan dari kampung dan kota yang disesak kebodohan. Jiwa butuh re­fre­shing. Otak perlu kanal yang mengalir nuju sa­mu­de­ra, melarung hari-hari berkerudung takziah.

”Di mana kau kini, Hawa!?” Aku bertanya.

”Inilah perjalanan pertama dari seribu episode pe­tualangan. Ka­rena seluruh bumi adalah asing. Wi­layah baru beserta segala yang runtuh. Usai om­bak hitam yang bangkit dari tidur lautnya. Te­gak tiga tombak. Laju gulung keruk. Satu kilo­meter per menit. Sambar apa saja dilalui. Meng­ge­ram mendesis bak kobra lapar berabad me­lahap ma­nusia berikut peradabannya. Maka, lihat itu Adam, be­tapa bi­ngungnya ia tanpa peta. Betapa pusingnya ia terlipat om­bak dalam da­danya, hing­ga peta itu dipinjam laut tak kembali.”

”Tapi aku tahu. Aku mesti jalan ke depan,” te­riakku.

”Banyak daerah yang tak dikenal di masa depan. Kau akan kesasar!” jawabnya.

Lalu pergi begitu saja. Lenyap dalam nyanyian se­ribu bulan. Pua­sa tak henti-henti. Lapar haus meng­geleparkan diri. Gerimis mengundang. Petir dan kabut bergulung meninggalkan jalan be­cek ber­lumpur. Kampung ramai dikepung pe­nyakit dan air comberan. Aspal rekah berbuih. Ma­tahari merah saga membawa pergi semua yang telah diberi nama. Gunung, laut, sungai, batu, pa­sir, debu, ber­gema di ruang kepalaku. Sampai Adam tiba-tiba datang di si­siku, menatap ca­­kra­wala. Mengurai kemegahan hidup yang meng­­­hampar di tepi pantai. Ia resap anginnya. Ia hirup napas semesta. Lalu karam hatinya da­lam tum­pu­kan tanda tanya.

”Di mana kau sem­bu­nyikan ke­kasihmu, sobat?” Aku mem­­bi­sik gelisah telinga­nya bersa­ma ombak yang kemarin sa­pa la­ngit dan menjamah da­­rat dengan kuku Izrail.

”Kau bawa semua, bu­kan. Dan kau tinggal­kan aku sendiri, ngungun di gigir sepi!”

”Dan pilu,” kataku.

”Hah! Siapa kau?” Ia tergagap, menatapku ba­gai kilat.

”Sahabat Izrail. Sang Mikail!”

”Dan urusanmu datang kemari?”

”Urusan kemalaikatan!”

”Haaa!!” Ia tergagap lagi dan pikun.

Batin Adam alzheimer! Benda-benda lenyap da­ri batok kepalanya. Puluhan triliun dikira ha­nya beberapa puluh miliar. Dolar datang membanjir dari langit hujan persaudaraan, berpuluh kontainer minyak tanah berubah jadi air mata, dari bu­mi kembali ke bumi. Di atas derita sebuah ne­geri, di atas tindih luka lara, masih juga ada tangan yang mengambil bukan haknya. Begitu mungkin ia berpikir. Seperti Karun sibuk menge­lu­pasi mangsa. Mencucup darah sesama sampai sekarat dan koma dalam tiga puluh dua kali dua belas purnama.

”Nyanyian seribu bulan, maksudmu?”

”Bukan.”

”Lalu apa?”

”Kau memang pelupa kelas kakap.”

”Bukan Adam jika tak pelupa.”

Nihil benar jawabnya. Pengungsi akhirat tamu-ta­mu dunia. Alangkah aneh dan ajaibnya. Tak me­rasa terlempar ke planet asing tak berkampung Tak berkota. Diri tanpa kepala. Burung-burung kembali ke sarang namun kami tak ada rumah tak ada halaman ke mana pulang. Pelancong be­nar dunia tanpa halte, bisikku. Dan barak-barak ada­lah rombongan mudik ke negeri tanpa istana. Tak ada desir angin. Malam ngungun. Burung-bu­rung hilang kicauan. Rumputan diam. Gunung-gu­nung menangis. Kami berlelehan air mata.

”Mengapa tanganmu meminjam tangannya, sobat?”

Sendu menyulap sunyi di mata Adam. Dan su­nyi menjelma belati. Siap menghunjam meremuk w­ajah kuasa yang bertengger di pucuk sana. Ka­rena romantikus pemberontak adalah tanah yang di­urap bening air mata. Narsistik! Ia jarang man­di karena setia bau tubuhnya. Tak ngaruh nasionalisme semu. Haram laundry karena menghalang upa­ya pencarian diri. Ia melihat dunia bagaimana harusnya. Bukan begitu adanya.

”Mengapa, Adam? Nadamu hujatan berseru?”

”Karena amanah yang dikotori. Karena bening langit dicemar lumpur bumi. Hati yang busuk dan sakit!”

”To the point aja,” kataku.

”Semua semu. Harta rakyat diguna tutup hutang ne­gara. Tapi orang masih bisa bangga selamatkan negara dalam duka. Hihi, fabiayyi ‘ala irabbikuma tukadzdziban?”

”Ah! Yang benar?”

”Religius bukan?”

”Bukan?!” jawabku keras.

”Bukan! Haha… dari zaman lama sampai yang ba­ru, mungkin juga kini, rakyat kita sudah ditabal sebagai modal para kuasa. Bendera hampir hilang warnanya, tinggal tanah menyala api zamrut ka­tulistiwa.”

”Gombal, ah!”

”Tak boleh merdeka! Ahistorik namanya. Itu ba­ru gombal.”

”Tapi negeri ini tak mau gila. Entar diprovo­kasi separatis lagi. Maka itu aku suka seribu bulan di atas danau!” Aku berkata semau-mau.

”Dasar!”

”Emang dasar! Di sini piutang, di sana tumpukan uang! Bikin ekonomi putaran luka. Wal ba­la wal laba…”

”Masa iya sih?”

”Kalau mau cari uang tak perlu ke mana-mana. Se­perti sepotong hati yang dipaksa mati!”

”Ah! Yang benar?”

Adam alzheimer lagi mengingat semuanya. Pa­ra relawan yang berbondong datang mengu­sung janji dan pamflet dan panji dan bendera dan partai-partai. Legislatif jadi intip di dasar ketel ibu pertiwi. Tong kosong semua. Ada yang datang dengan truk berisi uang, katanya. Lalu mereka per­gi dengan truk tetap penuh. Di hari lain datang lagi hingga purnama jadi gulita. Yang berdiri ha­nya kerangka, daging hilang entah ke mana.

”Pilihan raja itu seperti gempa. Bumi diayu­n-ge­rakkan. Lalu kampung-kampung jadi puing. Ja­lanan rekah, gedung-gedung nukik ke bawah. Kemanusiaan hanyalah listrik padam. Hati pecah di kegelapan.”

”Bukan! Tapi bumi sedang ditata ulang. Kam­pung-kampung sekarat mesti diremajakan. Aspal usang penuh sejarah korupsi dan pungli perlu diganti. Listrik padam memberi jeda bagi manusia untuk menyepi, berjuang keluar dari pengap du­nia penuh tipu dan sesak kotoran.”

”Ini bulan lapar dan dahaga. Kau mesti menang,” kataku.

”Kau sedang mengigau diterjang gempa,” ka­tanya.

Aku bergidik. Lalu tergetar. Suasana jiwa timbul tenggelam, mengombak terus tak kuasa diam. Ku­rangkum segala pikiran tentang takdir, tak ke­temu juga larik puisi, sajak cinta, dan kesimpulan. Ayat suci jadi keranda di televisi. Sorban dan peci haji bergambar ular. Pulau-pulau kepulkan asap naga hitam.

”Bangsa-bangsa yang dihancurkan biasanya akan bangkit lebih cerdas dan gemilang,” katanya lagi.

”Tak usah menghiburku dengan pelajaran sejarah.”

”Setuju, sebab aku butuh sepiring nasi.”

”Sepiring nasi telah raib dari tanganmu, kawan!”

”Bukankah si pencuri paling suka hati?”

”Hati mati di sayap garuda.”

Ingatan mengembara pada baju-baju dan kenda­raan. Juga kampung mati, para janda dan piatu. Begitu banyak yang sudah dikorbankan untuk membangun semuanya. Bertahun-tahun. Ber­puluh-tahun. Tetapi rupanya, bukan wajahnya, negeri ini selalu ingin digempa dari tidur pan­jang. Sementara yang tidur dalam kondisi le­bam sakit mules dan diare. Dehidrasi. Deaqua. Demoral. Sesak napas di ranjang yang kotor dan pengap. Rakyat pilu dan megap-megap.

Aku berlari nuju sungai baru. Kotor juga airnya se­perti rumah sakit gratisan. Tengok kiri kanan dan mendapati semesta berwajah pasi. Meregang nya­wa. Ini sakit akbar tempat berpuluh juta jiwa se­karat dan koma. Menunggu sang penyembuh yang kabarnya tengah lelap di atas kursi goyang istana.

Aku tergagap. Merinding bulu kuduk saat bersitatap dengan tampangnya. Ini Adam atau lelaki kuntilanak? Pasti ini salah alamat. Sebab ia ha­nya mengikik sebelum kutanya. Sampai aku terkesima. Memandangi guratan tokek di sekujur tubuhnya. Aku tak yakin sedang berhadapan dengan manusia ataukah komodo. Demi sebuah jawaban, nyali kupompa habis.

Dupp! Aku meringis. Revolver itu meletup di ka­ki kirinya. Menggesek tulang menembus kulit dan melolonglah ia, jatuh dan mengaduh tak ka­ruan. Beberapa orang sibuk dengan niat kebaikan. Tapi lolong itu terus meninggi menembus berjuta daun telinga dan terpana. Bisik-bisik dan takut merajalela. Saling bertanya. Diri ini Adam atau Hawa. Yang ketemu jawabnya malah manusia merana.

Aku tahu bahwa nasib manusia memang ada di tangan Sang Pencipta. Maka itu tak boleh kuasa sesukanya menentukan segala sesuai keinginan. Tapi di balik tangan sang kuasa itu, ada anugerah otak dan pikiran untuk menimbang baik dan buruk, memilih yang mulia dan nista, serta berusaha mencari yang terbaik bagi hidupnya. Itulah pen­carian yang kini terus menggema mengumandang di balik kesadaran orang-orang gempa. Ingin mendengar nyanyian seribu bulan dari lidah langit. Seperti ditakdir hidupku dalam sunyi dan Ha­wa membawaku terbang melayang-layang, meng­hirup aroma surga yang berhembus dari ku­bah miring diterjang gempa.

Dan aroma itu selalu datang setiap malam tan­pa salam. Mencari lubang dalam pori-pori kulit ini. Berumah dalam tulang dan menjadi ombak di samudera hati. Tapi kini hanya Fatimah berbu­nga-bunga di rambutnya. Ia tegak berdiri dan me­nyanyi dalam kepalaku. Selalu. Berminggu malam sudah. Berbulan dan tahun mengabadi dalam istana kesendirianku. Pilu negeri ini mendayung ulu hati. Manusia kelimpungan tanpa bin­tang gemerlapan. Redup cahaya di dada. Alam bergolak dan bencana jadi upacara. Bersih bumi ber­kali-kali. ***

*) Pengarang novel Perempuan Berkalung Sorban. Tinggal di Jogja

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi