Abidah El Khalieqy*
http://www.jawapos.com/
Mungkin Hawa namanya. Tak penting! Ia datang setiap malam tanpa salam. Mencari lubang dalam pori-pori kulit ini. Berumah dalam tulang dan menjadi ombak di samudera hati. Ada Ken Dedes di betis mulusnya. Ada Roro Jonggrang di mata beloknya. Ada Dewi Yunani di senyum bibirnya. Ada Fatimah berbunga-bunga di rambutnya. Ia tegak berdiri dan menceracau dalam kepalaku. Selalu. Tak kuasa aku menampiknya. Berminggu malam sudah. Berbulan dan tahun mengabadi dalam istana kesendirianku.
”Maaf, karena telah kerasan!” Ia girang menyapa.
Aku hidup dari sunyi dan Hawa membawaku terbang melayang-layang. Katanya kami bakal menggapai surga. Matanya yang purnama menulariku mengeja matahari. Ia buka mataku dan menuntunku memasuki lorong-lorong bumi. Alam ini indah bagi para ilmuwan keindahan, bisiknya. Tapi mataku? Hanya retina dan optik yang perih dan luka. Mungkin silau oleh gempuran cahaya keindahan yang tiba-tiba.
Begitulah awalnya. Sejak entah aku berdiam di relung hampa. Putus jalinan hati antaraku dan hubungan darah para handai taulan. Sejak bumi mengafani Ayah dan Ibundaku, mataku kehilangan matahari. Dan tubuhku kecurian planet. Aku suwung! Berjalan ngelangut sesiang semalam tanpa gigi tanpa kepala. Ruhku, barangkali ruhku saja nyelinap di antara halaman buku sejarah yang berdebu di toko loak.
Sesosok jemari halus memungutnya. Memberinya sentuhan cinta. Tergeragap bangun kaget dan bingung. Aku menjurai bayangan liar dan satin. Seperti orang lain, perempuan lain, tak penting siapa nama, menjebol pintu belakang rumah bersama angin.
Mata lelah dan sengsara, rambut gimbal baju moyak, serasa pengemis yang datang dari dunia jelaga. Berjalan ia meremas hari tak pasti. Banyak lorong dan ceruk dari batu-batu dan luka yang mesti dilewati. Kadang ia menawar senja. Pabila burung-burung berbaris syahdu merindu sangkarnya, ia tengadah membuka sebaris gigi keropos yang telah habis dipalu masa. Ia jalan terus mencari timur di barat, mengejar utara di selatan.
”Aduhai hari-hariku,” ia cerita apa adanya.
Menerawang. Perempuan itu menjumpa api dalam gedung tinggi. Api yang disentuhnya dengan sepuluh jari bersama degup jantung yang pasti. Stabil. Matanya berubah menyala. Bibirnya merekah pink. Berayun-ayun tangannya gemulai menarikan sebuah melodi.
”Di sini hari masih pagi. Dan selalu pagi.”
Lalu ia tinggal di gedung itu mengeja pagi. Membaca banyak mata dan bau mulut beraneka aroma. Dilihatnya juga banyak tangan teracung ke udara. Atau mengepal tinju ke angkasa. Suatu kali ia kebagian jatah menepukkan dua telapak tangan dalam sorak gembira. Karena tangannya hitam dan berdaki, bertumpuk daki, soraknya terdengar paling kuat. Cukup kuat untuk memutar sekian ratus kepala dari wajah-wajah yang berminyak pagi.
Tak percaya. Ia kembali bersorak menepuk riang, membahasakan matahari pagi. Tak dinyana pula, ratusan kepala itu menjadi ribuan, memutar wajahnya menatap tajam kagum dan senang, ke arah matanya.
”Ke arah mataku mereka memandang,” keluhnya bahagia.
Mata-mata itu lalu berubah jadi api yang membakar dadanya. Perempuan itu naik ke podium dan merebut separo simpati dari audiens. Dikunyahnya jam bersama menit dan detik-detiknya. Ternyata ia lebih canggih dari sekadar mitos dan legenda yang pernah tergantung di pundaknya. Tersenyum ia menikmati karunia yang pernah hilang itu. Kembali dalam ayunan ibu.
Matahari menyorot dari balik matanya. Seakan tokoh politik yang turun dari podium, perempuan itu lahir kembali jadi beraneka rupa. Berdesakan dalam pasar ikan bau. Suatu kali terlihat tengah sibuk menata menu dalam perjamuan makan malam bersama orang-orang penting. Para pahlawan dan penjahat dari berbagai negeri. Kala lain ia tampil dalam fashion show melenggokkan mata-mata narsis, dan ratusan mulut buaya yang mendesis. Saat lain pula ia akan bertarung memperebutkan kejuaraan dalam arena lomba. Mengalahkan lawan main dengan cara yang muskil.
”Karena hidup, kau mesti terus mengalir,” bisiknya padaku.
Kakinya memanjang berkilometer, beratus beribu-ribu, sejauh jalan membentang. Sampai api yang pernah menyentuhnya jadi hilang, tak segarang dulu. Maka hilang juga matahari dalam rumahnya. Sebab rumah tinggal pilu dan luka. Tak ada yang mesti dipertahankan dari kampung dan kota yang disesak kebodohan. Jiwa butuh refreshing. Otak perlu kanal yang mengalir nuju samudera, melarung hari-hari berkerudung takziah.
”Di mana kau kini, Hawa!?” Aku bertanya.
”Inilah perjalanan pertama dari seribu episode petualangan. Karena seluruh bumi adalah asing. Wilayah baru beserta segala yang runtuh. Usai ombak hitam yang bangkit dari tidur lautnya. Tegak tiga tombak. Laju gulung keruk. Satu kilometer per menit. Sambar apa saja dilalui. Menggeram mendesis bak kobra lapar berabad melahap manusia berikut peradabannya. Maka, lihat itu Adam, betapa bingungnya ia tanpa peta. Betapa pusingnya ia terlipat ombak dalam dadanya, hingga peta itu dipinjam laut tak kembali.”
”Tapi aku tahu. Aku mesti jalan ke depan,” teriakku.
”Banyak daerah yang tak dikenal di masa depan. Kau akan kesasar!” jawabnya.
Lalu pergi begitu saja. Lenyap dalam nyanyian seribu bulan. Puasa tak henti-henti. Lapar haus menggeleparkan diri. Gerimis mengundang. Petir dan kabut bergulung meninggalkan jalan becek berlumpur. Kampung ramai dikepung penyakit dan air comberan. Aspal rekah berbuih. Matahari merah saga membawa pergi semua yang telah diberi nama. Gunung, laut, sungai, batu, pasir, debu, bergema di ruang kepalaku. Sampai Adam tiba-tiba datang di sisiku, menatap cakrawala. Mengurai kemegahan hidup yang menghampar di tepi pantai. Ia resap anginnya. Ia hirup napas semesta. Lalu karam hatinya dalam tumpukan tanda tanya.
”Di mana kau sembunyikan kekasihmu, sobat?” Aku membisik gelisah telinganya bersama ombak yang kemarin sapa langit dan menjamah darat dengan kuku Izrail.
”Kau bawa semua, bukan. Dan kau tinggalkan aku sendiri, ngungun di gigir sepi!”
”Dan pilu,” kataku.
”Hah! Siapa kau?” Ia tergagap, menatapku bagai kilat.
”Sahabat Izrail. Sang Mikail!”
”Dan urusanmu datang kemari?”
”Urusan kemalaikatan!”
”Haaa!!” Ia tergagap lagi dan pikun.
Batin Adam alzheimer! Benda-benda lenyap dari batok kepalanya. Puluhan triliun dikira hanya beberapa puluh miliar. Dolar datang membanjir dari langit hujan persaudaraan, berpuluh kontainer minyak tanah berubah jadi air mata, dari bumi kembali ke bumi. Di atas derita sebuah negeri, di atas tindih luka lara, masih juga ada tangan yang mengambil bukan haknya. Begitu mungkin ia berpikir. Seperti Karun sibuk mengelupasi mangsa. Mencucup darah sesama sampai sekarat dan koma dalam tiga puluh dua kali dua belas purnama.
”Nyanyian seribu bulan, maksudmu?”
”Bukan.”
”Lalu apa?”
”Kau memang pelupa kelas kakap.”
”Bukan Adam jika tak pelupa.”
Nihil benar jawabnya. Pengungsi akhirat tamu-tamu dunia. Alangkah aneh dan ajaibnya. Tak merasa terlempar ke planet asing tak berkampung Tak berkota. Diri tanpa kepala. Burung-burung kembali ke sarang namun kami tak ada rumah tak ada halaman ke mana pulang. Pelancong benar dunia tanpa halte, bisikku. Dan barak-barak adalah rombongan mudik ke negeri tanpa istana. Tak ada desir angin. Malam ngungun. Burung-burung hilang kicauan. Rumputan diam. Gunung-gunung menangis. Kami berlelehan air mata.
”Mengapa tanganmu meminjam tangannya, sobat?”
Sendu menyulap sunyi di mata Adam. Dan sunyi menjelma belati. Siap menghunjam meremuk wajah kuasa yang bertengger di pucuk sana. Karena romantikus pemberontak adalah tanah yang diurap bening air mata. Narsistik! Ia jarang mandi karena setia bau tubuhnya. Tak ngaruh nasionalisme semu. Haram laundry karena menghalang upaya pencarian diri. Ia melihat dunia bagaimana harusnya. Bukan begitu adanya.
”Mengapa, Adam? Nadamu hujatan berseru?”
”Karena amanah yang dikotori. Karena bening langit dicemar lumpur bumi. Hati yang busuk dan sakit!”
”To the point aja,” kataku.
”Semua semu. Harta rakyat diguna tutup hutang negara. Tapi orang masih bisa bangga selamatkan negara dalam duka. Hihi, fabiayyi ‘ala irabbikuma tukadzdziban?”
”Ah! Yang benar?”
”Religius bukan?”
”Bukan?!” jawabku keras.
”Bukan! Haha… dari zaman lama sampai yang baru, mungkin juga kini, rakyat kita sudah ditabal sebagai modal para kuasa. Bendera hampir hilang warnanya, tinggal tanah menyala api zamrut katulistiwa.”
”Gombal, ah!”
”Tak boleh merdeka! Ahistorik namanya. Itu baru gombal.”
”Tapi negeri ini tak mau gila. Entar diprovokasi separatis lagi. Maka itu aku suka seribu bulan di atas danau!” Aku berkata semau-mau.
”Dasar!”
”Emang dasar! Di sini piutang, di sana tumpukan uang! Bikin ekonomi putaran luka. Wal bala wal laba…”
”Masa iya sih?”
”Kalau mau cari uang tak perlu ke mana-mana. Seperti sepotong hati yang dipaksa mati!”
”Ah! Yang benar?”
Adam alzheimer lagi mengingat semuanya. Para relawan yang berbondong datang mengusung janji dan pamflet dan panji dan bendera dan partai-partai. Legislatif jadi intip di dasar ketel ibu pertiwi. Tong kosong semua. Ada yang datang dengan truk berisi uang, katanya. Lalu mereka pergi dengan truk tetap penuh. Di hari lain datang lagi hingga purnama jadi gulita. Yang berdiri hanya kerangka, daging hilang entah ke mana.
”Pilihan raja itu seperti gempa. Bumi diayun-gerakkan. Lalu kampung-kampung jadi puing. Jalanan rekah, gedung-gedung nukik ke bawah. Kemanusiaan hanyalah listrik padam. Hati pecah di kegelapan.”
”Bukan! Tapi bumi sedang ditata ulang. Kampung-kampung sekarat mesti diremajakan. Aspal usang penuh sejarah korupsi dan pungli perlu diganti. Listrik padam memberi jeda bagi manusia untuk menyepi, berjuang keluar dari pengap dunia penuh tipu dan sesak kotoran.”
”Ini bulan lapar dan dahaga. Kau mesti menang,” kataku.
”Kau sedang mengigau diterjang gempa,” katanya.
Aku bergidik. Lalu tergetar. Suasana jiwa timbul tenggelam, mengombak terus tak kuasa diam. Kurangkum segala pikiran tentang takdir, tak ketemu juga larik puisi, sajak cinta, dan kesimpulan. Ayat suci jadi keranda di televisi. Sorban dan peci haji bergambar ular. Pulau-pulau kepulkan asap naga hitam.
”Bangsa-bangsa yang dihancurkan biasanya akan bangkit lebih cerdas dan gemilang,” katanya lagi.
”Tak usah menghiburku dengan pelajaran sejarah.”
”Setuju, sebab aku butuh sepiring nasi.”
”Sepiring nasi telah raib dari tanganmu, kawan!”
”Bukankah si pencuri paling suka hati?”
”Hati mati di sayap garuda.”
Ingatan mengembara pada baju-baju dan kendaraan. Juga kampung mati, para janda dan piatu. Begitu banyak yang sudah dikorbankan untuk membangun semuanya. Bertahun-tahun. Berpuluh-tahun. Tetapi rupanya, bukan wajahnya, negeri ini selalu ingin digempa dari tidur panjang. Sementara yang tidur dalam kondisi lebam sakit mules dan diare. Dehidrasi. Deaqua. Demoral. Sesak napas di ranjang yang kotor dan pengap. Rakyat pilu dan megap-megap.
Aku berlari nuju sungai baru. Kotor juga airnya seperti rumah sakit gratisan. Tengok kiri kanan dan mendapati semesta berwajah pasi. Meregang nyawa. Ini sakit akbar tempat berpuluh juta jiwa sekarat dan koma. Menunggu sang penyembuh yang kabarnya tengah lelap di atas kursi goyang istana.
Aku tergagap. Merinding bulu kuduk saat bersitatap dengan tampangnya. Ini Adam atau lelaki kuntilanak? Pasti ini salah alamat. Sebab ia hanya mengikik sebelum kutanya. Sampai aku terkesima. Memandangi guratan tokek di sekujur tubuhnya. Aku tak yakin sedang berhadapan dengan manusia ataukah komodo. Demi sebuah jawaban, nyali kupompa habis.
Dupp! Aku meringis. Revolver itu meletup di kaki kirinya. Menggesek tulang menembus kulit dan melolonglah ia, jatuh dan mengaduh tak karuan. Beberapa orang sibuk dengan niat kebaikan. Tapi lolong itu terus meninggi menembus berjuta daun telinga dan terpana. Bisik-bisik dan takut merajalela. Saling bertanya. Diri ini Adam atau Hawa. Yang ketemu jawabnya malah manusia merana.
Aku tahu bahwa nasib manusia memang ada di tangan Sang Pencipta. Maka itu tak boleh kuasa sesukanya menentukan segala sesuai keinginan. Tapi di balik tangan sang kuasa itu, ada anugerah otak dan pikiran untuk menimbang baik dan buruk, memilih yang mulia dan nista, serta berusaha mencari yang terbaik bagi hidupnya. Itulah pencarian yang kini terus menggema mengumandang di balik kesadaran orang-orang gempa. Ingin mendengar nyanyian seribu bulan dari lidah langit. Seperti ditakdir hidupku dalam sunyi dan Hawa membawaku terbang melayang-layang, menghirup aroma surga yang berhembus dari kubah miring diterjang gempa.
Dan aroma itu selalu datang setiap malam tanpa salam. Mencari lubang dalam pori-pori kulit ini. Berumah dalam tulang dan menjadi ombak di samudera hati. Tapi kini hanya Fatimah berbunga-bunga di rambutnya. Ia tegak berdiri dan menyanyi dalam kepalaku. Selalu. Berminggu malam sudah. Berbulan dan tahun mengabadi dalam istana kesendirianku. Pilu negeri ini mendayung ulu hati. Manusia kelimpungan tanpa bintang gemerlapan. Redup cahaya di dada. Alam bergolak dan bencana jadi upacara. Bersih bumi berkali-kali. ***
*) Pengarang novel Perempuan Berkalung Sorban. Tinggal di Jogja
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar