Petrik Matanasi *
http://sosbud.kompasiana.com/
Tanah kering di Blora yang kaya hutan jati itu ternyata memiliki sosok Mahatma Gandhi yang telah membentuk masyarakat komunalnya seperti Utopia-nya Thomas Robert More. Sejarah Indonesia telah mencatat perlawanan Samin Surantiko, walau hanya sedikit.
Sebenarnya orang-orang Samin setelah kematian sang pemimpinnya yang bernama Samin Surontiko, tidak suka dijuluki Samin. Kata Samin memiliki konotasi bodoh, tapi bukan kebodohan karena tidak atau kurang cerdas, tetapi bodoh yang keras kepala dalam mengukuhkan pendirian mereka. [1] Orang-orang Samin lebih suka dijuluki Wong Sikep (orang yang bertanggungjawab dalam konotasi baik dan jujur). [2]
Samin yang awalnya nama seorang pernah melawan kekuasaan dengan cara yang unik itu, kini menjadi kata juga cemoohan. Kata samin yang menjadi bahan ejekan bisa jadi bersifat politis. Hal ini diciptkan oleh penguasa yang telah menghancurkan perlawanan tanpa kekerasan ditambah sebuah ejekan. Samin yang semula adalah berusaha memanusiakan manusia, telah dijadikan ejekan yang tidak manusiawi. [3]
Samin yang kadang diartikan bodoh ini telah menutupi keharuman nama samin dalam sejarah perlawanan sosial di Indonesia. Samin adalah sosok gerakan sosial yang nyaris dilupakan dalam sejarah. Samin bisa disejajarkan dengan Pitung Robinhood Betawi yang juga dikecilkan dan nyaris tidak disebut dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Samin telah meninggalkan masyarakat Samin yang telah dibentuknya lebih dari seabad lalu. Masyarakat Samin adalah masyarakat eksklusif yang hidup komunial dibeberapa kabupaten diutara perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur. Mereka memulai perlawannya dari sebuah protes atas program perluasan hujan jati oleh pemrintah kolonial dan pendukung pribuminya. Lama-kelamaan gerakan ini berkembang menjadi gerakan kebatinan yang menentang segala bentuk formalitas. Seperti administrasi negara dan lembaga sekolah. Hal menarik dari Samin adalah mereka menolak membayar pajak. [4]
Perlawanan Tanpa Kekerasan dan Masyarakat komunal gaya Samin
Mereka tidak mau membayar pajak kepada pemerintah manapun di zaman kemunculannya; kepada penguasa lokal pribumi; juga pada pemerintah kolonial Belanda. Ini juga salah satu ajaran politik Samin Surontiko yang membuat pemerintah kolonial berang dan menindaknya. Dalam ajaran Samin ada tradisi lisan:
“Dhék jaman Landa niku njaluk pajeg boten trima sak legané nggih boten diwéhi. Bebas boten seneng. Ndandani ratan nggih bebas. Gak gelem wis dibébaské. Kenék jaga ya ora nyang. Jaga omahé dhéwé. Nyengkah ing negara telung taun dikenék kerja paksa.” (Di zaman Belanda dulu orang-orang membayar pajak bukan berdasar sukarela, tetapi atas paksaan (ditentukan besarnya) hingga orang-orang (Samin) tidak mau membayarnya. Mereka tidak senang. Memperbaiki jalan tidak mau. Dikenai ronda mereka juga tidak senang; lebih baik menjaga rumah. Bila berselisih dengan pemerintah mereka akan dikenakan hukuman kerja paksa.) [5]
Keengganan orang Samin untuk membayar pajak juga pernah disaksikan oleh sorang wartawan yang berkunjung ke Rembang. Seorang Samin diperiksa seorang patih karena tidak mau membayar pajak. Patih bertanya: “Kamu masih hutang 90 sen kepada negara.” Orang Samin itu bilang: ” Saya tak hutang kepada negara.” Patih naik darah lalu bicara dengan nada memaksa: “tapi kamu harus bayar pajak.” Orang Samin itu menjawab lagi: “Wong Sikep (orang Samin) tak kenal pajak.” Jawaban tadi terlalu berani menurut patih. Seorang polisi yang duduk disebelah orang Samin tadi lalu disuruh menampar muka orang Samin itu. Reaksi orang Samin yang tenang-tenang saja atas pemukulan itu semakin membuat patih marah. Lebih lanjut sang patih bertanya lagi: “Apa kamu gila tau pura-pura gila?” Orang Samin menjawab: “saya tidak gila atau pura-pura gila.” Patih lalu bilang lagi: “Kamu biasanya bayar pajak, kenapa sekarang tidak?” Orang Samin menjawab sambil balik bertanya: “Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang, kenapa negara tak habis-habisnya minta uang?” Dengan lagak birokratnya patih bilang: “negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi. Kalau negara tak mempunyai cukup uang, tak mungkin merawat jalan dengan baik.” Orang Samin berargumen lagi: “Kalau menurut kami keadaan jalan-jalan itu tidak mengganggu kaki, kami akan membetulkan sendiri.” Patih lalu membentak: “jadi kamu tak mau bayar pajak.” Sekali lagi orang Samin menjawab dengan mantap: “Wong Sikep tak kenal pajak.” Berargumen sepeti orang Samin tadi tentu saja membutuhkan keberanian luar biasa. Dizaman itu priyayi rendahan masih ditakuti; karena dianggap perpanjangan tangan dari raja Jawa, kadang tiap katanya kadang harus diikuti. [6]
Apa yang dipegang oleh orang Samin dalam kutipan diatas adalah salah satu bentuk perlawanan tanpa kekerasan. Ciri pemberontakan Samin memang tanpa kekerasan. Cara perlawanan mereka yang individual adalah umum. Dunia luar hanya mengenal Mahatma Gandhi dari India, nama Samin tidak dikenal sama sekali. Ketika gerakan Samin sedang berkembang, Gandhi sedang di Afrika Selatan; sebagai pengacara dan masih mencari jati dirinya sebagai seorang Mahatma (jiwa yang agung). Kesamaan antara Gandhi dengan Samin adalah perlawanan mereka terhadap kolonialisme kulit putih yang merengut kemanusian kulit berwarna diluar benua kulit pucat, Eropa. Gandhi sendiri mengakui bahwa perlawanan tanpa kekerasan bukan hal baru. Sebelum dia mejalankannya, memang sudah ada perlawanan tanpa kekerasan, namun tanpa nama. [7]
Orang-orang Samin bukan orang berpendidikan Modern. Cara perlawanan mereka kepada penguasa sangat unik. Ketika mereka diperintah oleh penguasa memindahkan onggokan batu, mereka hanya memindahkannya satu saja dan membiarkan batu-batu yang lainnya. Ketika mereka disuruh mengangkat kayu untuk dipindahkan, mereka akan mengangkat tadi lalu meletakannya ditempat semula tanpa membawanya kemana-saja. Ketika dimintai cap oleh petugas pemerintah untuk melengkapi sebuah surat, mereka menjawab: sudah ada yang mereka harus cap sendiri, yaitu istrinya. [8]
Orang-orang Samin hidup secara komunal besama kaumnya. Mirip warga Utopia, sebuah negeri imajiner dalam buku Thomas Robert More sahabat Desiderius yang kesohor itu. Utopia, buku More itu mengilhami kaum komunis dan sosialis yang sebagian besar dicap atheis.
Sebagai “wong deso sing ndeso” Samin tidak nyaris tidak mengenal peradaban barat. Bagaimana mungkin seorang buta huruf seperti Samin membacanya. Tidak ada catatan yang menyebutkan Samin pernah berhubungan dengan dunia pendidikan barat sekuler. Di zamannya ketika muda saja sekolah sekuler Belanda macam Hollandsche Inlands School belum tersebar.
Orang-orang Samin yang layak disebut komunis dengan sistem masyarakat komunalnya, tidaklah atheis. Mereka bukan Islam mereka menganut agama Adam. [9] Seperti ungkap Samin dalam tradisi lisan desa Tepalan:
“Agama iku gaman, Adam pangucapé, man gaman lanang.” [10]Maksudnya adalah Agama Adam adalah senjata. Agama Adam-lah yang mereka imani. Mereka merasa mereka semuanya adalah budak Tuhan; semua yang terjadi didunia bagi mereka adalah takdir Tuhan. Manusia adalah utusan Tuhan. Mereka juga percaya pada pembalasan Tuhan. Samin pernah meyabdakan hal ini pada pengikutnya:
………Janjining manungsa gesang wonten ing dunya punika dados ‘utusaning pangeran,’ sageda amewahi asrining jagad, namung Sudarmi nglapahi. Dados dhumanwahing lalampahan begja tuwin cilaka, bingah tuwin susah, saras tuwin sakit, sadaya wau sampun ngantos angresula sanget, amergi sampun sagah déné prajanjining manusa. Gesang wonten ing dunya punika sageda angestokaken angger-anggering Allah, dateng aselipun piyambak-piyambak…….
Maksudnya:….Menurut perjanjian, manusia adalah pesuruh Tuhan didunia untuk menambah keindahan dunia jagat raya. Dalam hubungan ini manusia harus menyadari bahwa mereka hanyalah sekedar melaksanakan perintah. Oleh karena itu apabila amnusia mengalami kebahagiaan dan kecelakaan, sedih dan gembira, sehat dan sakit, semuanya harus diterima tanpa keluhan, sebab manusia sudah terikat pada perjanjiannya. Yang terpenting adalah manusia hidup di dunia ini harus mematuhi hukum Tuhan yaitu memahami pada asal-usulnya masing-masing.
Orang Samin menganggap hidup hanya sekali. Tidak ada orang Samin yang percaya pada penitisan atau reinkarnasi. Ajaran lisan Samin Surontiko kepada pengikutnya tentang hidup adalah:
“Wong urip kudu ngerti uripé, sebab urip siji digawa salawasé” ( setiap orang hidup harus mengerti hidupnya karena hidup hanya sekali dan akan ditanggung selamanya). [11]
Orang-orang Samin adalah orang yang menghargai hidup dengan caranya. Hidup mereka dijaga dari pengaruh luar yang membelenggu. Tidak heran jika mereka begitu berani menentang pemerintah kolonial yang siap memuntah amunisinya untuk menghancurkan penetangnya, termasuk juga orang-orang Samin.
Riwayat Samin Sang Ratu Adil
Seorang priyayi rendahan bernama Raden Surowijoyo di desa Ploso Khediren pada tahun 1859 menerima kehadiran putra keempatnya.
Bayi itu diberi nama Kohar. Didepan namanya dia berhak memakai gelar Raden. Dalam tradisi lisan di desa Tapelan, Samin adalah putra dari Raden Surowijoyo dari Bojonegoro. Priyayi yang menjadi bromocorah dan bekerja untuk kepentingan orang-orang desa yang miskin. Raden Surowijoyo dikenal sebagai Samin Sepuh. Raden Kohar sendiri memiliki pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro; juga dengan Pangeran Kusumaningayu (Dalam tradisi Jawa Timur disebut Pangeran Kusumawinahyu). Pangeran Kusumaningayu adalah nama lain dari Raden Mas Adipati Brotoningrat yang sejak 1802-1826 memerintah Kabupaten Sumoroto (sebuah daerah di Tulungagung) [12]
Ketika dewasa, Raden Kohar menjadi petani dengan sawahnya yang tiga bau dan ladang satu bau. Enam ekor sapi juga dimilikinya. Raden Kohar menganti namanya menjadi Samin. Sebuah nama yang merakyat, kendati dirinya adalah turunan priyayi rendahan. Samin mulai menyiarkan ajarannya sejak tahun 1890 di desa Klopodhuwur. Banyak orang dari desa itu, juga desa (sebelahnya) Tapelan kemudian berguru padanya. Awalnya pemerintah kolonial tidak peduli pada ajaran ini. Waktu itu ajaran ini tidak mengganggu keamanan dimata pemerintah. Samin hanya dianggap ajaran kebatinan. Lebih ekstrim lagi hanya dianggap agama baru saja. Laporan Residen Rembang ada sekitar 772 orang Samin yang tersebar di 34 desa dalam lingkup Kabupaten Blora di bulan Januari 1903. Ajaran ini kian lama kian berkembang. Orang-orang Samin mulai terlihat mengubah tatacara hidupnya dalam kehidupan sehari-hari di tahun 1905 oleh Pemerintah. Mereka tidak mau lagi menyetor pajak kepada pemerintah. Mereka juga tidak mau lagi mengandangkan sapi-sapinya bersama sapi-sapi milik orang bukan Samin. Mereka telah menganut agama Adam. Hal ini tidak lain dirunut dari sikap Samin yang memang enggan untuk membayar pajak. [13]
Awal tahun 1907 jumlah pengikut Samin semakin meningkat. Angka pengikut Samin yang mencapai 5000 orang itu mengejutkan pemerintah kolonial. Ketakutan pemerintah muncul setelah ada kabar: Maret 1907 akan ada pemberontakan orang Samin. Orang-orang Samin yang hadir dalam selamatan di desa Kedhung Tuban lalu ditangkapi dengan alasan sedang mempersiapkan sebuah pemberontakan.
Oleh pengikutnya, 8 November 1907, Samin diangkat menjadi Ratu Adil dengan gelar Prabu Pangeran Suryangalam. Raden Pragola, Asisten Wedana di Randublatung di Blora bertindak atas nama pemerintah dengan menangkap sang Ratu Adil pada hari ke 40 setelah pengangkatan itu. Sang Ratu Adil-pun dikurung di bekas tobong pembaran batu gamping, sebelum akhirnya dibawa ke Rembang untuk diintrogasi. Bersama pengikutnya Sang Ratu dengan pengikutnya dibuang keluar Jawa. [14]
Pemerintah merasa bahaya geger Samin harus diatasi dengan pembuangan Samin dan pengikutnya keluar Jawa. Sepeninggal Samin, gerakannya masih terus berkembang. Wongsorejo, seorang pengkut Samin ditahun 1908 giat mengembangkan ajaran Samin di distrik Djiwan, Madiun. Orang-orang desa disana dianjurkan untuk tidak membayar pajak kepada pemerintah. Nasib Wongsorejo-pun dibuat sama dengan panutannya oleh pemerintah. Bersama dua kawannya, Wongsojuga dibuang. [15]
Surohidin, menantu Sang Ratu dan Engkrak, murid sang Ratu ditahun 1911 menyebarkan ajaran Samin ke Grobogan (Purwodadi). Karsiyah, pengikut Sang Ratu lainnya mengembangkannya di Kajen, Pati. Penyebaran ajaran Samin di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban pada tahun 1912 mengalami kegagalan.
Pemerintah kolonial ditahun 1914 menaikan pajak. Hal ini semakin memperhebat gerakan Samin. Di Grobogan, orang-orang Samin tidak lagi menghormati para pamong desa dan pemerintah kolonial. Orang-orang Samin di distrik Balerejo, Madiun membohongi pegawai pemerintah untuk menghindari pajak. Di Kajen, misi Karsiyah sukses dengan himbauannya pada orang-orang desa untuk tidak membayarmpajak kepada pemerintah. Di Larangan, Pati orang-orang Samin menyerang lurah dan polisi. Di Tepalan, Bojonegoro orang-orang Samin yang tidak mau membayar pajak juga mengancam Asisten Wedana. Mereka lalu ditangkap dan penjarakan.
Perlawanan ditahun 1917 semakin meningkatkan pergerakannya terhadap pemerintah. Perlawanannya masih dalam bentuk perlawanan pasif. Tidak dengan kekerasan. Pemerintah yang semakin gerah kemudian menindas perlawanan pasif ini. Gerakan Samin sejak 1930 perlahan memudar dengan tidak adanya pemimpin tangguh bagi gerakan. Samin Surontiko alias Sang Ratu meninggal dalam pembuangannya tahun 1914, di Padang. [16]
“Wajah pucat, tangan diikat, rambut digundul, celana kolor hitam, dan lemah lunglai tubuhnya.” Begitulah ungkap seorang warga Samin dari desa Tapelan melihat pemimpinnya diseret oleh pemerintah kolonial menuju tempat pembuangannya. [17]
Semasa menjadi dokter pada sebuah rumah sakit Zending di Blora, dr Soetomo sejak tahun 1913-1918, sang pendiri Budi Utomo ini pernah melakukan penelitian mengenai masalah gerakan sosial, termasuk gerakan Samin. Samin yang menjadi bahan ejekan para priyayi yang merasa prestise mereka diacuhkan oleh orang-orang Samin, tapi tidak oleh priyayi bernama Soetomo ini. Soetomo malah menjadikannya sebagai bahan agitasinya dalam pergerakan nasional. Setidaknya Soetomo bahkan menyanjung semangat demokratis mereka (orang-orang Samin). [18]
Bicara tentang Ratu Adil, ketika ditanya apakah dirinya Raja atau Ratu? Samin menjawab “tidak.” Ketika ditanya: “apakah Samin tahu akan datangnya Ratu Adil atau Herucakra?” Samin juga menjawab tidak tahu. [19] Samin Surontiko mungkin ingin menunjukan sikap bodoh khas Samin-nya.
Setidaknya, dengan sikap bodoh-nya orang-orang Samin telah menunjukan pada kita: bodoh ala Samin juga perlawanan yang cukup menggeramkan penguasa lokal dan pemerintah kolonial Belanda ketika. Ketika di Aceh, Tanah Batak dan Bali bergiat untuk melawan pasukan KNIL [20] demi kedaulatan raja-raja feodal, maka orang-orang Samin melawan demi dirinya sendiri.
[1] Paulus Widiyanto, Samin Surantiko dan Konteksnya, Majalah Jurnal Prisma edisi 8 Agustus 1983. h. 59.
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin. (10 April 2007. pukul. 16.16)
[3] Paulus Widiyanto, Samin Surantiko dan Konteksnya, Majalah Jurnal Prisma edisi 8 Agustus 1983. h.60.
[4] http://www.suarapembaruan.com/News/2007/04/03/Hiburan/hibo1.htm
(10 April 2007 pukul; 16.20)
[5] Saripan Sadi Hutomo, Samin Surontiko dan Ajaran-ajarannya, Majalah Basis edisi Januari 1985. h. 7-8.
[6] Paulus Widiyanto, Samin Surantiko dan Konteksnya, Majalah Jurnal Prisma edisi 8 Agustus 1983. h. 65
[7] Ibid., h. 65.
[8] Ibid.
[9] Marwati Djuned dkk, Sejarah Nasional Indonesia jilid IV, Jakarta, Balai Pustaka, 1993. h.327.
[10] Saripan Sadi Hutomo, Samin Surontiko dan Ajaran-ajarannya, Majalah Basis edisi Januari 1985. h.7.
[11]Ibid., h. 7.
[12] Ibid., h.4.
[13] Ibid.
[14] Ibid., h.5
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid., h. 2.
[18]Paulus Widiyanto, Samin Surantiko dan Konteksnya, Majalah Jurnal Prisma edisi 8 Agustus 1983. h. 65
[19] Marwati Djuned dkk, Sejarah Nasional Indonesia jilid IV, h. 326-327.
[20] KNIL: Koninklijk Nederlandsche Indische Lager (Tentara Hindia Belanda)
*) Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan, tinggal di Jogja. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar