Arie MP Tamba
http://www.sinarharapan.co.id/
Buruh menginginkan perbaikan upah minimum dan tunjangan lembur. Para mahasiswa menginginkan pergantian penguasa. Para aktivis lingkungan menginginkan pergantian menteri lingkungan hidup yang memiliki visi lingkungan sehat. Para pekerja profesional yang menggelar demonstrasinya di depan Bursa Efek mengharapkan adanya ketegasan pemerintah tentang arah kebijakan ekonomi, tegaknya supremasi hukum, dan ”pembersihan” para politikus dari rezim lama….
”Gawat! Seluruh penjuru kota kini tercekam oleh demo, demo, dan demo!”
”Dan jangan lupa. Ada puluhan ribu massa yang mulai mendekat ke arah perkantoran kita… Hallo? Hallo?!”
”Iya, apa lagi? Sudah menemukan narasumber?”
”Narasumber banyak, Pak. Beberapa sudah saya wawancarai, termasuk para mahasiswa dan wartawan yang terkena peluru nyasar. Saya nanti akan mengerjakannya di rumah. Tapi sekarang saya dan teman-teman wartawan lainnya sedang membentuk lingkaran pertahanan…. Dengar-dengar banyak sniper yang sengaja mengincar para demonstran…. Entah dari pihak mana. Kami para wartawan yang selamat akan melingkari para mahasiswa yang sedang terjepit. Kami akan mengarahkan mereka ke tempat terbuka, agar dapat disaksikan orang banyak dari gedung-gedung dan jembatan di daerah sini!”
”Hati-hati! Tapi, bukannya semakin berbahaya kalau di tempat terbuka?”
”Yah…adduhh! Saya kena lemparan batu! Duuh!”
”Hallo? Hallo?!” Bonang sontak berdiri gemetar, dengan tangan yang juga gemetar mencekal gagang telepon. ”Hallo…? Halllo…Rifi? Rifi, ada apa?”
Bonang memusatkan pendengarannya. Tak ada sahutan dari Rifi kecuali suara-suara galau, dan lamat-lamat terdengar juga teriakan-teriakan yang berbaur dengan suara tembakan. Lalu, trak, traak! Hening menyekap!
Bonang terduduk dengan pikiran kalut. Cemas. Pikirannya menerka-nerka apa yang sedang terjadi di seberang sana. Dan serentak, ia pun benar-benar merasa sendirian di ruangan redaksi yang terhampar luas itu.
Para wartawan telah lama pulang, dan sebagian sengaja bertugas di lapangan untuk melengkapi berita utama dengan perkembangan politik terbaru. Lalu sebagai redaktur yang bertanggung jawab untuk penyusunan berita utama kali ini, Bonang harus bertugas menjaga kantor. Menunggu setiap berita terbaru yang bisa saja langsung dikirimkan oleh teman-teman wartawannya melalui internet atau fax.
Sejak pagi segalanya berjalan lancar. Bayangan akan memperoleh berita hangat menyemangati para wartawan untuk meliput beberapa demonstrasi yang serentak menggoncang Jakarta. Dan Rifi, salah seorang wartawan mereka yang paling ”nekat”, telah berjanji secepat mungkin akan menyetor berita-berita ”khas” yang tak akan diperoleh media lain.
Dan kabar dari Rifi sejak sore hari adalah, ia dan beberapa wartawan dari media lain tanpa sengaja ikut terkepung petugas keamanan dan massa, di dekat sebuah jembatan besar yang diapit oleh jajaran gedung-gedung perkantoran. Pembakaran kendaraan umum dan pribadi, perusakan gedung-gedung perkantoran dan toko-toko, saling lempar antara demonstran dan petugas keamanan, dan juga massa yang semakin banyak jumlahnya, telah berlangsung sejak sore.
Dan sekarang sudah hampir tengah malam. Sementara hubungan dengan Rifi baru saja terputus!
Maka, setelah mengembalikan gagang telepon ke pesawatnya, lamat-lamat Bonang pun mulai mendengar suara-suara ”massa” yang semakin mendekat dan menggelegar ke arah gedung perkantoran mereka itu. Suara-suara itu agaknya sudah muncul sejak beberapa menit lewat. Cuma, karena Bonang sempat termenung memikirkan Rifi, ia terlambat mendengar suara-suara itu.
”Bakar! Bakar! Bakar majalah kapitalis! Bakar!”
Dari ruang kerjanya di lantai dua, sambil merapatkan wajah ke dinding kaca yang menjadi pembatas dengan teras kecil di beranda lantai dua itu, Bonang memandang jauh ke bawah, ke halaman dan ke luar pagar, memperhatikan betapa sibuknya para satpam yang kali ini tampak ”siap dan tegang”, mondar-mandir mengantisipasi setiap kemungkinan. Lalu terlihat juga sebuah truk penuh petugas keamanan datang menghampiri dan tampak berkoordinasi dengan para satpam. Mereka telah siap dengan berbagai peralatan. Para satpam bersiaga dengan pentungan, linggis, dan tentu saja dengan beberapa ekor anjing-anjing herder yang tegap-tegap dengan moncong-moncong yang sesekali menggeram dan menengadah membaui udara malam. Sementara para petugas keamanan telah berjaga dengan alat-alat pelindung antihuru-hara dan juga pentungan!
Bonang tercekat oleh semua itu. Ia tak menyangka akan ada semacam pengamanan darurat yang menyertakan petugas keamanan untuk gedung perkantoran mereka. Kalau ia mengetahui akan ada penjagaan ketat seperti itu, ia akan mengusulkan agar para Satpam tidak menggunakan anjing-anjing herder.
Gagasan siapa itu? Usul para satpam atau ketetapan si Bos? Sungguh ceroboh! Hal demikian akan menimbulkan antipati massa. Sementara itu, gelombang massa sudah mulai terlihat memasuki mulut jalan besar sana. Suara-suara mereka semakin terdengar utuh. Mereka bergerombol dan juga tampak membawa peralatan ”perang” masing-masing. Kelompok mana mereka? Mengapa mereka mengibar-ngibarkan slogan ”antimajalah kapitalis?”
Gedung besar itu kini seakan terjepit dalam situasi ”medan perang”. Bonang tak mampu berbuat apa pun kecuali sesekali menggerutu dan menyesali nasibnya! Sebagai seorang redaktur mestinya ia bisa melengkapi berita utama kali ini dengan tulisan sendiri. Dan itu dapat dikerjakannya di rumah. Tapi segalanya sudah terlambat. Ia kini hanya menjadi seorang pegawai yang harus menerima konsekuensi dari sebuah pekerjaan ”24 jam”. Bukankah tak ada libur bagi seorang wartawan? Sekalipun ia terancam akan kehilangan segalanya malam ini? Kehilangan keluarga? Kehilangan teman-teman? Karena serbuan massa yang membenci koran kapitalis?
Hanya beberapa menit Bonang termangu memandangi halaman kantor yang dijaga ketat oleh para satpam dan petugas keamanan itu, ketika telepon berdering nyaring. Untuk sesaat Bonang kaget juga. Pasti Rifi! Kalau memang Rifi, ia akan menyuruhnya segera pulang saja ke rumah. Nanti mereka akan saling mengontak dari rumah masing-masing. Biarkan Rifi mengerjakan apa yang sudah diperolehnya di rumah dan Bonang akan melengkapi kekurangannya dengan opini. Daripada mempertaruhkan nyawa di bawah udara malam dan ancaman sniper dan massa yang kalap!
”Hallo Rifi…!” Bonang menyapa.
Untuk sesaat tidak ada sahutan dari seberang. Hampir saja Bonang menutup gagang telepon, karena mengira seseorang baru saja salah sambung. Hingga tiba-tiba sebuah suara yang sangat dikenalnya, terdengar jelas di telinganya.
”Hallo…Mas Bonang!”
”Heh! Bung Lukman?!” teriak Bonang. Sementara, di seberang sana Lukman pastilah agak menjauhkan telinganya dari gagang telepon genggamnya untuk menghindari ”seruan” Bonang.
”Tak usah teriak-teriak, Mas! Gugup sih gugup, tapi jangan membentak orang lain dong!”
Bonang dongkol dan agak tersinggung atas gerutuan Lukman itu. Tapi secara aneh, semacam keingintahuan menggerakkan kesadarannya untuk menahan diri dan menunggu. Tidak seperti biasanya, setiap kali berdialog dengan Lukman melalui telepon, Bonang cenderung ”menyalahkan”.
”Kamu di mana, Bung Lukman? Tumben menelepon malam-malam begini. Dan kok tahu saya masih di kantor?” Bonang melanjutkan pembicaraan, sekali lagi, dengan pikiran dan perasaan harus mampu menahan diri. Kali ini Bonang memang membutuhkan teman bicara untuk menetralisir kegugupannya.
Tapi, bagaimana Lukman mengetahui kegugupannya?
Dengan keakraban yang jelas sekali dibuat-buat, Lukman kemudian menjawab kaku, ”Barusan saya menelepon ke rumah. Kata istrimu Mas jaga malam, dapat giliran menyiapkan berita utama. Dan kuharap Mas tidak terkejut. Saat ini saya dekat sekali dengan kantormu. Saya berada di antara massa yang sekarang menuju kantormu! Biasalah, Mas, kami ingin membereskan masalah-masalah lama!”
”Sial kau! Jadi mereka itu kelompokmu ya?” sergah Bonang tak sabar. Lalu segera memperbaiki nada bicaranya. ”Maksudku, Bung terlibat ya?”
”Bukan kelompokku saja, Mas. Tapi gabungan dari beberapa gerakan perlawanan untuk menumbangkan media-media kapitalis…hahaha!” sahut Lukman dengan tawa mengejek.
Kalau tidak sedang membutuhkan teman bicara, dan sekaligus ingin ”menggali” berita dari Lukman, Bonang sebenarnya sudah ingin meletakkan gagang telepon dan melupakan saja sosok Lukman; sekalipun Lukman saat itu sudah mendekat ke arah kantornya.
Hutang lama! Itulah ungkapan Lukman. Ya. Karena Lukman dan kelompoknya pernah mendapatkan pemberitaan ”miring” di majalah mereka. Padahal, pemberitaan ”miring” tersebut, tentu saja menurut sisi pandang Lukman dan kelompoknya. Sementara majalah Bonang ketika itu, berbulan-bulan lewat, secara kebetulan menjadikan petugas kemanan sebagai narasumber utama. Dan masa itu, secara kebetulan semua petugas keamanan masih berseberangan dengan kelompok perlawanan yang dipimpin Lukman. Dan kini, apakah kelompok Lukman telah seiring sejalan dengan sebagian petugas keamanan? Bonang tak tahu pasti. Yang jelas, isu semakin santer, bahwa kali ini gerakan-gerakan perlawanan justru didukung oleh sebagian petugas keamanan. Untuk apa? Kenapa? Inilah berita yang harus digali dan dibeberkan untuk publik. Ya. Publik, atau masyarakat luas, harus mengetahui secara jelas apa yang sedang bergejolak di tengah-tengah kehidupan mereka!
Bonang melepaskan napas kesal. Untuk sesaat suara yang terdengar hanya dengus dan sisa tawa mengejek Lukman di ujung sana. Bonang mencoba membaca situasi. ”Oke, oke, Bung Lukman menang. Tapi mengapa harus malam-malam begini? Dan kalau hanya kelompokmu yang menuntut hutang lama, mengapa harus bersama kelompok-kelompok lain? Dan, Bung sendiri kan tahu, semua media massa kan memang miliknya para kapitalis. Apa kalian mau menutup semua media?”
”Persis! Kita buka-bukaan saja. Semua media memang milik kapitalis. Tapi di antara para kapitalis itu, media tempat Mas bekerjalah paling kapitalis. Seenaknya membuat berita-berita yang merugikan gerakan perlawanan, agar laku di pasar. Bosmu itu biangnya KKN dengan modal asing dan penguasa korup. Mau nggak mau, ya Mas juga bagian dari mereka!” ujar Lukman berapi-api. Kalau sudah kalap, Lukman memang akan ceplas-ceplos tentang apa saja.
Bonang jadi teringat peristiwa tiga tahun lewat, ketika ia memperkenalkan Lukman si tokoh mahasiswa yang getol meneriakkan yel-yel reformasi dan anti KKN itu, kepada si Bos pemilik majalah mereka. Lukman datang dengan proposal permintaan sumbangan dana untuk sebuah proyek penelitian. Tentu saja Lukman diterima baik dan dipersilakan mempresentasikan proyek penelitian yang akan dilakukannya bersama kelompoknya.
Tadinya presentasi berjalan lancar. Angka-angka bantuan dan kerja sama mulai didiskusikan. Termasuk kesiapan majalah Bonang untuk ikut menerbitkan buku hasil penelitian yang akan dilakukan Lukman dan teman-temannya. Lalu acara presentasi tiba-tiba saja sungsang, ketika tanpa sengaja, entah siapa yang memulai, si Bos mulai berdebat tentang politik dengan Lukman. Puncaknya, si Bos secara halus menarik semua dukungan yang beberapa menit sebelumnya sempat disanggupi. Dan untuk itu, Bonang sendiri memperoleh teguran, agar lain kali tidak sembarang membawa tokoh mahasiswa mana pun untuk meminta bantuan dari majalah mereka.
”Saya mengerti, Bung Lukman. Tapi, bagaimanapun kita hanyalah manusia biasa yang sama-sama memperjuangkan agar hidup kita menjadi lebih baik…”
”Hmkh! Kita tidak sama, Mas!” Lukman memotong.
Tapi Bonang meneruskan. ”Dan perlu Bung ketahui, kalian sudah ditunggu oleh para satpam dengan anjing-anjing herdernya. Petugas keamanan juga sudah berdatangan. Bukan saya mau menakut-nakuti. Maksudku, cobalah pikirkan para satpam yang akan menghadapi kalian. Mereka juga orang-orang kecil seperti kita, yang sedang berusaha meningkatkan kehidupan mereka…. Apa tidak ada jalan lain kecuali penyerbuan yang akan kalian lakukan?”
Seakan menyadari adanya semacam kontradiksi, Lukman terdengar menarik napas panjang dan mengganti topik pembicaraan. ”Sudahlah, Mas tidak akan mengerti bagaimana posisi kami. Mas tahu apa yang kami lakukan kemarin? Kami berhasil mengumpulkan sumbangan dari sebuah kampung di Jawa Barat, untuk perjuangan kami. Kau tahu apa kata mereka? Kalahkan orang-orang kota itu! Mereka telah mengeruk semuanya, sementara kita di kampung-kampung sini hanya kebagian yang kecil-kecil saja…. Jadi, jangan katakan kami memusuhi orang kecil. Kami hanya memusuhi orang-orang kapitalis dan kelompoknya. Artinya, yah, Mas dan para satpammu tetap saja kapitalis, meskipun kapitalis kecil…hahahah!” Lagi-lagi, terdengar tawa Lukman yang mengejek panjang.
Kali ini, Bonang tak tahu lagi mau bicara apa. Mau diteruskan berdebat, pasti ujung-ujungnya adalah kebuntuan. Dan lagi, di tengah malam yang serba panik saat itu, Bonang tak memiliki keinginan untuk berdebat panjang lebar tentang orang-orang kecil dan kapitalisme!
Jadi Bonang hanya dapat mendesah perlahan. Apa lagi yang dapat diperbuatnya?
Untuk sesaat mereka berdua terdiam, seakan saling termenung dalam arus pemikiran masing-masing, di tempat masing-masing yang semakin dekat jaraknya. Lukman mulai terdengar gelisah seakan ingin mengakhiri pembicaraan. Bonang sendiri sudah mulai enggan menggenggam pesawat teleponnya lebih lama lagi.
Akhirnya keheningan terpecah. ”Sudahlah, Mas Bonang. Sampai jumpa di tempatmu. Kalau mau dialog, kuharap Mas mau keluar menemui kami. Saya akan menahan teman-temanku, asal Mas mampu memberikan pernyataan-pernyataan yang memuaskan.”
”Tentang apa?” tanya Bonang.
”Yah apa saja! Mungkin semacam jaminan bahwa selanjutnya majalahmu akan berpihak dan menyuarakan tuntutan kami. Dan tentu saja…kalian juga harus minta maaf!” desak Lukman.
”Itu yang saya tak bisa, Bung Lukman. Wewenang saya malam ini hanya menanggung-jawabi berita utama…demonstrasi mahasiswa!” jawab Bonang.
”Kalau begitu, jadikan kami berita utama! Sampai jumpa di tempatmu!” Trak! Lukman memutuskan hubungan telepon.
Bonang tercenung dan meletakkan gagang telepon. Ia tak menyangka kalau Lukman akhirnya berhasil menekannya.
Dan baru saja Bonang meletakkan gagang telepon, Om Joko kepala satpam, yang biasanya sering melontarkan obrolan ringan dan guyonan ala Madura itu, sudah menerobos masuk ke ruangan redaksi dengan wajah tegang.
Dengan tersengal-sengal Om Joko berbicara, ”Cepat, Pak Bonang. Pak Bonang disuruh pulang oleh Bos. Lewat pintu belakang. Mobil bos sudah menunggu!” Om Joko menarik napas panjang, ”Harus cepat! Karena Bos akan langsung terbang dengan helikopter bersama keluarganya ke pulau!”
Bonang gelagapan. ”Bos masih ngantor?” tanyanya bingung.
Om Joko menjawab tak sabar. ”Bukan. Bukan begitu. Sejak siang Bos sudah pulang. Tapi bos terus memantau keadaan di sini, termasuk meminta bantuan para petugas keamanan. Dan barusan, karena tahu Pak Bonang masih ada di sini, ia sengaja mampir mau menjemput. Pak Bonang akan diantarkan pulang!”
Bonang segera mengerti situasinya. Rasa terima kasih membias di benaknya karena si Bos ternyata masih menyempatkan diri ”menyelamatkannya”. Tapi, bagaimana dengan Rifi dan wartawan lainnya. Bagaimana kalau mereka menghubungi lagi? Siapa yang akan menampung ”berita” dari mereka?
Bonang kembali gelagapan setelah telinganya menangkap suara alarm menjerit-jerit membahana ke seluruh ruangan dan areal gedung. Bahkan beberapa lampu sorot berkekuatan ratusan watt di halaman telah dinyalakan, menjadi penerang bagi para satpam dan para petugas keamanan yang kini tampak bersiaga penuh seraya mencari-cari penyebab aktifnya alarm itu. Sementara, anjing-anjing herder mulai menggeram-geram dan menyalak menusuk-nusuk udara malam, sekalipun leher mereka terikat rantai yang dipegang kencang oleh para satpam.
”Cepat, Pak Bonang!” ujar Om Joko khawatir.
Dari arah halaman mulai terdengar bunyi pecahan kaca dan lemparan-lemparan batu. Lalu beberapa botol molotov telah meledak dan mengeluarkan asap tebal di beberapa bagian halaman dan luar pagar yang luas itu. Bonang berpikir cepat, menyadari bahwa gedung perkantoran itu pasti telah terkepung rapat oleh massa yang sedang mengamuk dan dapat membahayakan jiwanya. Tanpa pikir panjang diambilnya rangsel dan laptopnya, dan segera bergegas mengikuti langkah Om Joko menuju pintu belakang yang selama ini belum pernah dilewatinya.
Berdua mereka keluar menyusuri lorong-lorong di sisi gedung percetakan, dan keluar menuju pintu gerbang kecil di halaman belakang yang selama ini sumpek oleh barang-barang tak terpakai atau sisa-sisa majalah yang salah cetak atau tidak laku di pasar.
Om Joko menolak ajakan Bonang untuk ikut menyelamatkan diri dari amukan massa. Om Joko dan teman-temannya diharuskan tinggal bersama para petugas keamanan untuk melindungi gedung perkantoran dan isinya sedapat mungkin. Pikir Bonang, mau menyelamatkan apa lagi dari amukan massa yang benar-benar datang penuh kemarahan?
Si Bos mengangguk kecil ketika melihat Bonang memasuki mobil. Begitu mobil bergerak belasan meter menyusuri jalanan gelap di belakang areal gedung perkantoran itu, telepon genggam Bonang menyala. Rifi!
”Hallo Rifi…? Bagaimana…?” belum habis Bonang bertanya, Rifi sudah memotong ringkas.”Saya sedang menuju kantor, Pak. Sampai jumpa! HP saya terinjak massa. Ini HP teman!” Trak! Rifi memutuskan hubungan.
Bonang panik. Ia semakin panik lagi ketika melihat si Bos menoleh ingin tahu. ”Wartawan kita?” tanya Bos.
”Iya, Pak. Rifi!” jawab Bonang.
”Oh si nekat itu?”
Bonang mengangguk. Dan segera memanggil ulang HP temannya Rifi.
”Hallo?” terdengar suara seorang gadis menyahuti.
”Hallo, tolong sambungkan dengan Rifi!” kata Bonang.
Lamat-lamat terdengar suara memanggil-manggil nama Rifi. Lalu kembali terdengar suara si gadis. ”Maaf, Pak. Rifi baru saja berangkat dengan teman lainnya. Katanya mau meliput gerakan massa di kantornya, dan langsung menuliskannya malam ini…. Sudah, Pak, kami juga mau bergerak ke istana! Di sana masih banyak demonstran!” Trak! Hubungan diputuskan.
”Hallo! Hallloo!” Bonang memanggil-manggil. Tak ada sahutan. Dan di wajahnya segera membayang wajah Lukman yang saat ini pastilah kecewa karena tak menemukan Bonang di kantornya. Tapi, tak lama lagi Lukman dan kelompoknya akan ”bersua” dengan Rifi!
Ah, Rifi, si wartawan nekat itu. Mudah-mudahan ia lolos melewati demo kali ini! Bonang memandang kegelapan jalan di depan sana dengan bimbang. ***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 28 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar