Mahdi Idris *
http://blog.harian-aceh.com/
DI daerah perang, kebenaran selalu tersembunyi di balik kabut. Tak ada yang dapat terungkap secara jelas mengenai berbagai hal yang terjadi di sana. Masing-masing pihak membenarkan diri sendiri, seolah merekalah yang terbaik di antara lawannya. Bahkan di antara para korban yang tak bersalah, selama peperangan itu terjadi.
Begitu pula halnya yang digambarkan oleh Ayi Jufridar dalam novel ini, seorang jurnalis dan penulis Aceh (Lhokseumawe) yang telah sukses dengan novelnya yang pertama, “Alon Buluek (Gelombang Laut Yang Dahsyat),” mendapat juara III pada sayembara menulis novel remaja kerjasama penerbit Grasindo dan Radio Naderland Seksi Indonesia pada 2005 lalu.
Dengan gaya berceritanya yang memikat, ia mampu mengungkapkan kondisi perang dan sesuatu yang melatarbelakangi terjadinya konflik bersenjata tersebut. Walaupun ia tidak sekali-kali menyebutkan bahwa setting novelnya ini di Aceh, namun, begitu pembaca memerhatikan dengan saksama, akhirnya mengetahui di mana rentetan peristiwa itu terjadi.
Tokoh utama dalam novel ini adalah Tasrif, yang terlibat dalam gerakan gerilyawan karena sebuah bom rakitan yang meledak di depan rumah dan menewaskan dua anggota polisi dari brigadier mobile. Karena kematian dua rekan mereka, polisi dan tentara melampiaskan kemarahannya kepada masyarakat sekitar. Rumah-rumah penduduk dibakar, dan mereka melepaskan tembakan membabi-buta. Ummi Tasrif, kakak, dan abangnya tewas tertembak.
Terlibatnya Tasrif dalam gerakan anti pemerintah ini, mengundang kegembiraan luarbiasa bagi anggota gerakan lainnya, terutama sang “Pemimpin” yang bernama asli Zulfikar Rasyid, sebagai Juru bicara militer gerilyawan, sekaligus yang mengkordinir, di mana, kelompok Tasrif berada.
Tugas utama yang diemban Tasrif adalah merekrut anggota baru yang berasal dari korban operasi militer. Namun kerjanya yang perdana itu pun menemui kegagalan. Hari, seorang pemuda, yang ayahnya diculik pada masa operasi militer, belum siap menjadi anggota gerilyawan dengan alasan dialah tulang punggung keluarga. Begitu pula dengan Vivi, seorang gadis yang ayahnya juga diculik, kata sebuah media oleh orang berseragam loreng, juga menolaknya dengan halus. Kemudian Tasrif tahu bahwa gadis itu menikah dengan seorang tentara pemerintah.
Karena Tasrif belum dikenal tentara, lagi pula ia memiliki KTP yang tercantum pekerjaannya sebagai siswa, ia bebas pergi ke mana saja. Bahkan ia mendapat tugas baru dari komandannya; Zulfikar Rasyid, yang kemudian disebut dengan “Pemimpin”, untuk membeli senjata di ibu kota propinsi di luar Aceh. Ia tak menyangka bahwa semua itu berjalan mulus. Beberapa pucuk senjata buatan dalam negeri itu dimasukkan dalam peti mayat dan diangkut dengan mobil Ambulance.
Kegalauan-kegalauan semakin menerjang batinnya. Ia mulai memikirkan akan berbagai peristiwa; kontak senjata, pemberondongan mobil aparat, penculikan, dan kehadiran para Petrus (penembak misterius) yang tidak pernah mempertimbangkan siapa korbannya. Namun yang paling menyakitkan adalah penembakan seorang intelektual yang juga dosen kharismatik di daerahnya.
Semua itu mengatasnamakan kebenaran masing-masing pihak bertikai. Jumlah jiwa yang mati saban hari tak lagi terhitung jumlahnya. Namun yang banyak jatuh korban adalah masyarakat biasa, yang tak tahu perkara apa yang sedang diperebutkan itu. Sementara hasilnya semakin tak menentu, terbalut kabut yang tebal dan menggelapkan nilai-nilai kemanusiaan.
Masing-masing pihak mengambil keuntungan yang amat besar di balik perang itu. Para gerilyawan yang tujuan utamanya masuk ke dalam barisan perjuangan untuk melepaskan diri dari permasalahan sosial. Seperti Ali Bopeng yang masuk gerilyawan karena banyak hutang dan setelah ia menjadi bagian penting di tubuh organisasi kombatan itu tak ada lagi yang berani menagihnya. Begitu pula dengan Pak Kus, seorang jenderal berbintang satu dari pulau seberang, mengeruk keuntungan dari perang itu dengan menjual senjata kepada kaum gerilyawan. Yang memang, saat mereka bertemu, ia selalu mengatakan membela gerilyawan karena mempertahankan tanah kelahirannya dari penjarahan.
Waktu terus berlanjut. Namun peperangan belum juga reda. Berbagai isu dan kabar penambahan dan penggrebekan rumah masyarakat yang tak berdosa itu, dengan sendirinya menyulut hati mereka untuk melakukan perlawanan terhadap tentara. Namun, inilah daerah perang, semua tindakan aparat keamanan dianggap sebagai pembelaan. Sehingga, tragedi berdarah yang amat memilukan itu menimpa empat puluh lebih masyarakat yang berunjuk di simpang pabrik kertas.
Mereka ditembak secara brutal oleh tentara yang mengatasnamakan beladiri akibat serangan warga, sebut sebuah media yang dibaca oleh Tasrif setelah peristiwa itu terjadi. Tapi entahlah, Tasrif tidak tahu bagaimanakah kebenaran peristiwa itu bisa terjadi, yang juga terselimuti kabut dalam pikirannya.
Pengiriman tentara dari pusat bertambah banyak. Pendirian pos dan markas mereka bertebaran seluruh pelosok kampung, yang tidak hanya terdiri dari Angkatan Darat, tapi Angkatan Laut dan Udara. Sehingga, pihak yang menyatakan dirinya sebagai pembela masyarakat, mengintruksikan agar semua warga harus mengungsi ke tempat yang lebih aman. Baik itu di mesjid, rumah sakit umum daerah, atau di di ruang serba guna kampus Politeknik. Yang penting mereka tidak lagi berada di kampungnya yang sedang diduduki tentara.
Ada pula pemicu ide itu menyebut dirinya Panglima Pengungsi. Dengan bebas dan pidato politik yang berkoar-koar di hadapan para khalayak itu mereka mengatakan bahwa hal ini dilakukan untuk mengundang perhatian dunia luar terhadap nasib rakyat yang sedang mendapat penindasan, akibat konflik bersenjata. Namun mereka pun tak lupa meminta belas kasih dari para pengendara kendaraan berbagai jenis yang melewati tempat pengungsian tersebut dan kepada pemerintah. Tapi sang Panglima Pengungsi dan para konconya, jelas, tidak mau menerima bantuan berbentuk barang, alasannya karena para pengungsi kekurangan uang untuk membeli kebutuhan yang tidak disediakan di tempat pengungsian itu.
Hal ini semakin jelas diketahui oleh Tasrif, karena ia dengan bebas keluar-masuk kota, membaca yang diberitakan oleh berbagai media. Setelah itu ia mengkhabarkan pada Pemimpin. Sikapnya yang selalu antusias terhadap berbagai informasi penting tersebut, menambah kepercayaan Pemimpin untuk menjadikannya sebagai informan, yang selalu mendapat izin untuk menemani para wartawan lokal dan asing. Bahkan ia mendapat izin pula untuk menemani Yoshimi; seorang wartawati dari Jepang.
Dengan modal kamera di tangannya milik para wartawan itu, yang telah mengetahui bahwa ia seorang gerilyawan, ia bebas bergerak ke mana saja. Namun tetap saja berhati-hati terhadap berbagai kemungkinan yang bakal terjadi di hadapannya.
Walaupun demikian, ia tetap aktif bergabung dengan para gerilyawan dalam berbagai aksi penyerangan tentara pemerintah. Bahkan itu menjadi harapannya yang sangat besar untuk memuntahkan peluru dari senjata laras panjangnya yang bermerek SS-2. Tapi, walaupun nasib baik seringkali berpihak padanya di masa sebelumnya, tidak kali ini, ketika ia dan rekan-rekannya menyerang iring-iringan mobil tentara dari atas sebuah bukit. Salah satu butir peluru yang ia lepaskan dari senjatanya mengenai seorang anak perempuan pelajar SD, yang sedang berada dalam mobil bersama ayahnya yang berada di belakang mobil tentara dan tidak tahu bahwa sedang terjadi bentrokan senjata.
Sejak itu pikirannya semakin kalut. Kian hari perasaannya semakin bersalah. Bahkan ingin keluar dari anggota gerilyawan, yang katanya perjuangan suci itu. Tapi apa lacur, sekali maju tak mungkin lagi mundur. Bahkan bagaimanapun, Fauzi; seorang temannya yang paling dekat, Apa Lah; yang memimpin penyerangan itu, menasehatinya dengan berbagai alasan, semua itu tetap tak membuatnya tentaram. Kegelisahan-kegelisahan membuat tubuhnya demam, dan semakin parah. Akhirnya ia diantar ke rumah seorang simpatisan. Kemudian ia dirawat di sana selama beberapa hari. Setelah ia sembuh, Pemimpin dan Ali Bopeng memintanya agar tinggal di losmen di kota untuk sementara waktu. Ia menyetujuinya, untuk menenangkan pikiran, pikirnya.
Namun tak mudah ditebak apa yang selanjutnya terjadi, bahkan untuk sebuah rekaan dari sebuah situasi yang saling bersangkutan, Pemimpin tertembak pada pahanya, Ali Bopeng sedang berbulan madu dengan istrinya ke-empat di luar daerah, operasi tentara semakin ketat, para gerilyawan hampir sekarat karena kekurangan logistik di markas di belantara.
Kondisi inilah yang membuat Tasrif harus mengantar bahan-bahan makanan itu, setelah beberapa lama kedatangan Ali Bopeng untuk membelinya. Namun Ali Bopeng, ia tidak mau mengantar langsung logistik itu sampai ke tempat yang dituju dengan alasan ia bisa tertangkap tentara. Ia menyuruh Tasrif agar menaikkannya ke mobil angkot yang berdesak-desakan dengan para penumpang lainnya. Ketika mobil angkot itu melewati pos Marinir, harus berhenti karena ada razia KTP, sebuah razia yang tak bosan-bosannya dilakukan oleh alat negara di masa konflik.
Saat itulah nasib buruk menimpanya. Seorang tentara tak memakai seragam, pemakai shebu dan penutup kepala, menjeratnya hanya dengan sekali anggukan terhadap pertanyaan tentara yang sedang memeriksa Tasrif. Dengan anggukan itu pula, tentara itu membawa Tasrif ke dalam ruang pengap di pos mereka. Semula ia tak bisa memastikan siapa tentara bershebu itu, karena tubuhnya gemuk dan pendek. Bahkan, jika tentara bershebu itu tidak berada dalam kawanan tentara, ia hanya bisa dianggap seorang kuli atau pekerja bangunan yang memiliki otot kekar.
Namun, karena gayanya berjalan, yang seolah pernah dekat dengan orang itu, Tasrif mulai bisa menebak dalam batinnya. Bahkan ia tahu pasti dan sangat jelas identitasnya, saat ia sudah berada di ruang pengap itu, saat tentara bertubuh pendek dan berwarna kulit gelap mengeluarkan suara, “Hmm…Iya!” Yang ternyata itu adalah Azhar, seorang rekan gerilyawannya yang dikahabarkan telah mati saat menembak Helikopter di bandara perusahaan Gas. Berarti dia pengkhianat, batin Tasrif. Azhar begitu tega melakukan hal itu kepadanya. Semua ideologi perjuangan telah musnah di dada laki-laki gemuk dan bertubuh pendek itu.
Tasrif berkesimpulan, bahwa ia tak mungkin mampu melepaskan diri, tangan dan tubuhnya sudah diikat pada kursi yang ia duduki. Kini ia hanya menanti, siksaan apa yang ia terima menjelang ajalnya. Dengan teriakan seorang tentara, ia memerintahkan anak buahnya untuk pergi shalat Jum’at, Tasrif sadar, bahwa hari ini Jum’at. Hari kematiannya. Sebab ia memeracayai sebuah mitos, bahwa seseorang mati pada hari kelahirannya.
Dengan keunikan dan kekayaan imajinasi sang penulisnya, novel ini begitu mudah menyisir jalan ceritanya. Namun, tentunya, tak diharapkan bahwa novel ini hanya menjadi bacaan belaka. Tapi, yang teramat penting, mengambil hikmah dan ibrah yang bermanfaat bagi masa depan Aceh kelak. Kita bisa bercermin dari apa yang telah dipaparkan di sini oleh Ayi Jufridar, di mana, kabut telah menyelimuti roda kehidupan orang Aceh sekian waktu lamanya.
Kebenaran hanya sebuah impian bagi seluruh masyarakat Aceh saat itu. Namun, kabut perang telah menyelimutinya. Oleh karena itu, sekali lagi, marilah kita bercermin pada rentetan kisah dalam novel ini atau bersikap, “Buruk rupa cermin dibelah.”[]
Judul buku : Kabut Perang
Penulis : Ayi Jufridar
Penerbit : Universal Nikko
Tebal : 358 halaman
ISBN : 976-602-95476-2-7
Cetakan : I, Juni 2010
*) Mahdi Idris, Sekretaris FLP Lhokseumawe. Menetap di Dayah Terpadu Ruhul Islam Tanah Luas, Aceh Utara.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar