Minggu, 14 November 2010

RUNTUHNYA KERAJAAN DAHA ATAS CIKAL BAKAL DINASTI MAJAPAHIT

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=644

(menujum sedari tahun 1144 Saka, atas sepenggal Serat Pararaton Ken Arok, yang diguratkan Dokter J. Brandes, Mangkudimedja)

Saya dengar di Daha sebentar lagi diselenggarakan pesta?. Seorang jangga muda bertanya pada resi. Ya, sang Prabu Dandanggendis akan menggelar hajatan. Beliau mengundang seluruh pandeta, resi dan pujangga dari pelosok negri jajahannya. Daha (Ndoho, kini sebuah wilayah kecil saja di kabupaten Kediri).

Di atas lembaran lontar tertuliskan, sang Prabu mengharap kehadirian mereka pada upacara tersebut. Wakil-wakil kalangan bawah pun didatangkan. Dalam benak para resi, pandita dan jangga membawa misteri berbeda-beda. Ada apa gerangan sang Prabu tiba-tiba menyebarkan undangan bertintakan emas (?).

Ada menyangka ini jelas perintah maha penting dan dirahasiakan. Pun pula ada mengira sang Prabu sedang sakit. Kepura-puraan mengundang agar tak diketahui halayak masyarakat, dan diharap para pandita sudi menyalurkan dayadinaya demi kepulihannya. Juga ada beranggapan, jangan-jangan sang Raja sedang bercanda saja kali ini, tapi tak.

Undangan telah disebar, tanggal waktu sudah ditetapkan. Tak pelak takdir tergariskan. Seakan ketentuan tuhan bisa dikompromi, diajak merembuk yang kan terjadi. Seluruh lapisan kalbu terpancang. Seorang pemimpin menggenggam sukma rakyatnya, dan setiap jengkal krentek menentukan nasib bangsa.

Para pandeta, resi, pujangga datang menghadap Raja. Ada membawa pengawal bertubuh tegap nan kekar, pula bersama para abdi kepercayaan. Dan tak ketinggalan juru tulis dihadirkan demi kekalkan berita yang kan terjadi. Ada juga kedatangannya menyamar sebagai pengemis atau petani. Sehingga banyak rakyat jelata tiada tahu, yang tengah berjalan menuju ibukota Daha ialah pandita.

Para undangan sudah berkumpul di bawah kaki kuasa Raja. Dengan sigap Prabu Dandanggendis memberi sambutan singkat nan padat. Intinya merasa jaya nan dikjaya. Segala kelebihan ilmunya dipamerkan kepada hadirin. Mereka melongo menyaksikan linuwihnya. Lantas beliau berkata: aku telah memerintah kerajaan ini cukup lama tak tergoyahkan. Adakah di antaramu tak tunduk menyembah kepadaku. Rajamu yang baik serta bijak mulia ini. Wahai para pandita, resi, pujangga dan para hadirin kepercayaanku. Dalam ajaran kita, apakah sebab kalian tak mau menyembah kepadaku. Padahal aku tiada bedanya dengan Bathara Guru. Anggapan berlebih kepada diri sendiri, sering kali mencipta bumerang.

Para hadirin semuanya gusar, mau menentang takut kuku-kuku kuasa Raja. Jika menyetujui berarti membohongi bathin sendiri. Lantas salah seorang pandita berkata: “duh baginda Raja, selamanya belum pernah ada pandita menyembah raja.” “dulu memang belum pernah ada, sekarang kalian harus menyembah kepadaku.” tegar ucapan sang Raja.

Para hadirin terdiam. Sang Prabu mencium gelagat hal itu sambil menantang bersuara lantang: kalau kalian ragu yang saya maksud, cobalah semua maju melawan diriku? Seakan serentak, ruang pendapa itu makin lama kian hening tak bergeming, seolah tiada makluk hidup. Seekor semut pun tak berani beranjak dari tempatnya, nyamuk-nyamuk jua tiada yang beterbangan, apalagi menggigit, tak. Prabu Dandanggendis merupakan raja disegani kala itu, bala tentaranya gagah pemberani, para prajuritnya patuh menjunjung tinggi titah Raja.

Entah bagaimana, Dandanggendis disebut dalam literatur sekarang Dandanggula. Ini kecerobohan para sejarawan, merubah nama seenak udelnya. Meski kata gendis (:jawa) bermakna gula. Ini kerugian fatal seperti kebangkrutan nama Gunung Krakatao berubah menjelma Krakatoa, saat pihak asing menfilemkannya. Lebih ambruknya dianggap lumrah sebagai keseleonya bahasa. Jika terkilirnya mempengaruhi ruh daripada makna bagaimana? Saya fikir ini perlu diperjelas, tidak dianggap sepeleh. Jika citraan budaya kita tak ingin hilang ditelan bumi pertiwi, oleh kurangnya perhatian kita mengenai penampilan yang hambar.

Kisah Dandanggendis ini menyerupai Firaun dan lebih, sebab dirinya secara sadar menganggap tuhan tanpa kemabukan kuasa berlebihan. Ingin mendapati kepala-kepala orang bersujud di hadapannya. Ingatan saya digiring oleh film berlabel 300 (pasukan Sparta) yang memperhanguskan tentara Persia, Raja Xerxes, berlagak tuhan atau nasib manusia berada dalam genggaman jemarinya. Kesombongan pastilah terjungkal dengan keangkuhan lain, dan berhenti jikalau tuntas laknat bathin tak menghamba.

Suara pendapa kedaton Daha hening suwong. Sang Raja bolak-balik mengelilingi para hadirin yang dipercayakan dapat mendaulat dirinya menjelma Bathara Guru. Langkah-langkah berwibawanya menyiutkan nyali pendengaran. Penulis jadi teringat dehemnya seorang spekulan di negeri adidaya Amerika, yang sanggup meruntuhkan nilai-nilai saham. Dan dehem sang Prabu Dandanggendis tak kalah kuat merontokkan mental-mental tiada pernah diasah kata berontak.

Tiada bisik-bisik kesepakatan di antara pandita, resi dan jangga. Serentak sukma mereka disentakkan kuasa dinaya tenaga sang Prabu dengan sangat kuat. Jebollah meski sebagian besar hanya fisiknya mengangguk takluk, bertekuk nyali. Setelah ruangan berhasil dikuasa sang Prabu. Ia tersenyum lebar, tawanya menggema, meruntuhkan kembali mental-mental tak pernah diasah keberanian. Sangat puas hati Raja, lantas meminta para hadirin benar-benar bersujud dihadapan kakinya. Lantai marmer pendapa bergetaran, atas jiwa Raja tak tertandingi sebab niatannya manunggal tak tergoyahkan.

Setelah dirasa cukup, para hadirin diperkenankan pulang ke negri masing-masing. Mengabarkan sang Raja sudah menjelma tuhan alam semesta. Namun tak demikian bathin semua undangan, sepulang dari gardu istana. Langkah demi langkah hati mereka berhianat, jujur kepada kalbunya bahwa seorang pandita, resi dan jangga taklah bersujud kepada seorang Raja.

Sejak lama para pandita, resi dan pujangga Daha telah mendengar kabar. Bahwa di daerah Tumapel yang berubah nama Singosari (daerah sebelum memasuki kota Malang, sekarang menjadi kota kecil saja). Ada seorang raja yang berwibawa dan disegani, bergelar Sri Rajasa. Alam pertanian palawija serta rerumputan padi, juga perdagangan di wilayah tersebut makmur, seolah Dewata memberi restu sentausa bagi tahtanya selamanya.

Tak jauh dari perbatasan kota Daha, para undangan sang Prabu mengurungkan langkah ke negri masing-masing. Bathin mereka menyerahkan kepercayaan kepada penguasa Singorasi, sebagai pulung selanjutnya. Sebagian besar mereka menuju Singosari guna menghadap Rajasa. Yang awal kelahirannya bernama Ken Angrok (Ken Arok). Setelah para pandita, resi dan pujangga kerajaan Daha bersepakat ke Singorasi, berangkatlah mereka.

Sambil menunggu kedatangan mereka. Saya ceritakan bagaimana kejiwaan Angrok. Ken Angrok sebelum menjadi raja ialah sosok begundal. Perampok tersohor, penjudi ulung, penyabung ayam kawakan, juga pemetik bunga pinggir jalan. Suatu kali ia memiliki seekor ayam jantan, si jago itu amat kesohor, banyak ayam jago lawan-lawannya lari pecirit tunggang langgang, disamping banyak pula berpulang cacat oleh ulahnya. Ayam pemberani Angrok itu sempat melegenda, sebab mati di tengah gelanggang. Ia bertarung dengan keseluruhan jiwa-raga untuk sang tuannya, sampai darah penghabisan. Tak seperti ayam-ayam jago lain yang lari ketakutan, keok sebelum temukan ujung sekarat.

Hidupnya Angrok waktu itu tak ubahnya para brandal, boros dan ugal-ugalan. Ludes uang hasil judi menjadikan ia sosok perampas, merampok para sodagar yang melewati hutan, tempat ia menanti antrian nasib naas yang ditunggunya. Di tempat itu, ia memiliki cerita menarik. Pernah ada seorang tua melewati hutan itu dan menyapa kepada Angrok: Nak, katanya melewati hutan ini membahayakan. Bisakah anaknda membatu saya dalam perjalanan pulang? Angrok tersenyum, diantarnya orang itu sampai kediamannya. Jalan hidup manusia memang sulit ditebak, selalu berkelok memasuki ruang-ruang jiwa. Tak seorang pun memahami pribadi yang lain secara peka nan juntrung.

Insan yang berilmu pengalaman, ketika dinaikkan drajatnya menjadi penguasa. Jawabannya ialah makin serakah, atau loman kepada rakyatnya. Dan Angrok memilih jalan kedua. Seakan telah kenyang perbuatan angkara murka, sudah puas mengumbar hawa nafsunya. Atau telah insaf, sebab ulahnya dikala merebut kekuasaan secara paksa. Atas hasratnya merampas cerlang cahaya nareswari dari selangkangan Ken Dedes. Sewaktu Tunggul Ametung terkena sirep (ilmu sihir menidurkan musuh), dan tertikam keris Gandring atas Angrok. Ia kubur dalam-dalam watak beringas. Di hadapkan wajah santun kasih sayangnya kepada rakyat, serupa mukanya memandang kekasih-kasihnya, Ken Dedes dan Ken Umang.

Saat para jangga, resi dan pandita sampai ke kota Singosari. Sungkemlah rombongan tersebut memberi dukungan dengan alasan kemakmuran negara. Juga menangkal suara-suara hitam kekuasaan pusat yang ada di Daha. Lama-lama kabar itu tercium sang Prabu. Dengan lantang Prabu Dandanggendis berkoar: Tiada yang bisa melawan aku, kecuali Batara Guru turun sendiri dari suralaya (kahyangan).

Gema suara keangkuhan itu ditangkap telik sandi Singosari, dan dihaturkan kepada Sri Rajasa Sang Amurwabumi. Dengan bernaluri keyakinan, Ken Angrok meminta restu kepada para pandita, resi dan jangga yang setia mendukungnya. Untuk mengangkatnya bergelar Sang Hyang Caturbuja atawa Batara Guru. Sebagai usaha memantabkan mental lewat mitos, bahwa manusia sanggup menjelma apa saja. Demi meloloskan takdirkan melewati usaha sungguh membathin, dengan sekuat dinayanya.

Alam telah siap menunggu goncangan, bulan matahari memberi kesaksian yang kan dilewatinya penuh awan-gemawan mensejarah. Burung-burung berkabar ke negeri-negeri jauh. Gerak bathin anak manusia, dan alam tertunduk menerima takdirnya.

Dandanggendis mulai gemetar ketika mendengar para resi, pandita juga pujangganya telah merestui sang Rajasa dengan gelar Batara Guru. Hanya umpat pedas nan tajam yang keluar dari mulut sang Prabu. Hal itu tak disia-siakan Angrok. Ketika keangkuhan mental peperangan terpancing, magnit saling tarik kekuatan, atau terlempar jauh dari lawannya. Niat ibarat magnit, sanggup menarik jarum di dekatnya. Dan bisa menggetarkan lempeng besi walau mata tak melihatnya.

Angrok bersama suara alam langit menggemuruh kekuatan bumi merapatkan barisan. Para tentaranya yang digembleng langsung olehnya, sudah terlatih menghimpun pertahanan juga menyerang. Seperti disusupi arwah leluhur, para tentara itu menerjang berhamburan ke kota Daha. Ada menyusuri pinggiran sungai, menanjaki bukit dan tebing, menyusup laksana angin pada rerumputan.

Pasukan Singosari dicegat bala tentara Daha di sebelah utara Ganter. Bertarung kikis prajurit kedua belah pihak habis-habisan, saling mengeluarkan kadikjayaan. Mungkin kehendak sejarah tuhan, panglima perang Daha tewas. Berhamburan anak-anak buahnya bagai bebatuan kali diterjang banjir bandang. Sebagian besar gelimpangan bak pohon pisang yang tanahnya digerus lupan air bengawan. Terhanyut mengikuti arus kekalahan sampai samudra penaklukan.

Dandanggendis mengetahui pihaknya kalah total, ia berlari alang kepalang. Musnalah kerajaan Daha oleh amukan deras serangan bertubi. Angrok sendiri mengejar sang Prabu sampai kahyangan. Bertekuk hasrat tak turun ke bumi kembali, melihat bala pasukannya kocar-kacir. Dan turunlah Sri Rajasa menderapkan turangganya ke kota Singosari. Alam sadar mendapati kekecewaan, lantas menggapai harapan besar kepada Rajasa. Laksana membalikkan peta yang membosankan, dari penyesalan menyusul kepada keinginan-keinginan mulia.

*)Pengelana yang pernah mengunjungi peninggalan leluhur, serta bertemu arkeolog di daerah Singosari, Malang dan Ndoho (Daha) Kediri.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi