Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=644
(menujum sedari tahun 1144 Saka, atas sepenggal Serat Pararaton Ken Arok, yang diguratkan Dokter J. Brandes, Mangkudimedja)
Saya dengar di Daha sebentar lagi diselenggarakan pesta?. Seorang jangga muda bertanya pada resi. Ya, sang Prabu Dandanggendis akan menggelar hajatan. Beliau mengundang seluruh pandeta, resi dan pujangga dari pelosok negri jajahannya. Daha (Ndoho, kini sebuah wilayah kecil saja di kabupaten Kediri).
Di atas lembaran lontar tertuliskan, sang Prabu mengharap kehadirian mereka pada upacara tersebut. Wakil-wakil kalangan bawah pun didatangkan. Dalam benak para resi, pandita dan jangga membawa misteri berbeda-beda. Ada apa gerangan sang Prabu tiba-tiba menyebarkan undangan bertintakan emas (?).
Ada menyangka ini jelas perintah maha penting dan dirahasiakan. Pun pula ada mengira sang Prabu sedang sakit. Kepura-puraan mengundang agar tak diketahui halayak masyarakat, dan diharap para pandita sudi menyalurkan dayadinaya demi kepulihannya. Juga ada beranggapan, jangan-jangan sang Raja sedang bercanda saja kali ini, tapi tak.
Undangan telah disebar, tanggal waktu sudah ditetapkan. Tak pelak takdir tergariskan. Seakan ketentuan tuhan bisa dikompromi, diajak merembuk yang kan terjadi. Seluruh lapisan kalbu terpancang. Seorang pemimpin menggenggam sukma rakyatnya, dan setiap jengkal krentek menentukan nasib bangsa.
Para pandeta, resi, pujangga datang menghadap Raja. Ada membawa pengawal bertubuh tegap nan kekar, pula bersama para abdi kepercayaan. Dan tak ketinggalan juru tulis dihadirkan demi kekalkan berita yang kan terjadi. Ada juga kedatangannya menyamar sebagai pengemis atau petani. Sehingga banyak rakyat jelata tiada tahu, yang tengah berjalan menuju ibukota Daha ialah pandita.
Para undangan sudah berkumpul di bawah kaki kuasa Raja. Dengan sigap Prabu Dandanggendis memberi sambutan singkat nan padat. Intinya merasa jaya nan dikjaya. Segala kelebihan ilmunya dipamerkan kepada hadirin. Mereka melongo menyaksikan linuwihnya. Lantas beliau berkata: aku telah memerintah kerajaan ini cukup lama tak tergoyahkan. Adakah di antaramu tak tunduk menyembah kepadaku. Rajamu yang baik serta bijak mulia ini. Wahai para pandita, resi, pujangga dan para hadirin kepercayaanku. Dalam ajaran kita, apakah sebab kalian tak mau menyembah kepadaku. Padahal aku tiada bedanya dengan Bathara Guru. Anggapan berlebih kepada diri sendiri, sering kali mencipta bumerang.
Para hadirin semuanya gusar, mau menentang takut kuku-kuku kuasa Raja. Jika menyetujui berarti membohongi bathin sendiri. Lantas salah seorang pandita berkata: “duh baginda Raja, selamanya belum pernah ada pandita menyembah raja.” “dulu memang belum pernah ada, sekarang kalian harus menyembah kepadaku.” tegar ucapan sang Raja.
Para hadirin terdiam. Sang Prabu mencium gelagat hal itu sambil menantang bersuara lantang: kalau kalian ragu yang saya maksud, cobalah semua maju melawan diriku? Seakan serentak, ruang pendapa itu makin lama kian hening tak bergeming, seolah tiada makluk hidup. Seekor semut pun tak berani beranjak dari tempatnya, nyamuk-nyamuk jua tiada yang beterbangan, apalagi menggigit, tak. Prabu Dandanggendis merupakan raja disegani kala itu, bala tentaranya gagah pemberani, para prajuritnya patuh menjunjung tinggi titah Raja.
Entah bagaimana, Dandanggendis disebut dalam literatur sekarang Dandanggula. Ini kecerobohan para sejarawan, merubah nama seenak udelnya. Meski kata gendis (:jawa) bermakna gula. Ini kerugian fatal seperti kebangkrutan nama Gunung Krakatao berubah menjelma Krakatoa, saat pihak asing menfilemkannya. Lebih ambruknya dianggap lumrah sebagai keseleonya bahasa. Jika terkilirnya mempengaruhi ruh daripada makna bagaimana? Saya fikir ini perlu diperjelas, tidak dianggap sepeleh. Jika citraan budaya kita tak ingin hilang ditelan bumi pertiwi, oleh kurangnya perhatian kita mengenai penampilan yang hambar.
Kisah Dandanggendis ini menyerupai Firaun dan lebih, sebab dirinya secara sadar menganggap tuhan tanpa kemabukan kuasa berlebihan. Ingin mendapati kepala-kepala orang bersujud di hadapannya. Ingatan saya digiring oleh film berlabel 300 (pasukan Sparta) yang memperhanguskan tentara Persia, Raja Xerxes, berlagak tuhan atau nasib manusia berada dalam genggaman jemarinya. Kesombongan pastilah terjungkal dengan keangkuhan lain, dan berhenti jikalau tuntas laknat bathin tak menghamba.
Suara pendapa kedaton Daha hening suwong. Sang Raja bolak-balik mengelilingi para hadirin yang dipercayakan dapat mendaulat dirinya menjelma Bathara Guru. Langkah-langkah berwibawanya menyiutkan nyali pendengaran. Penulis jadi teringat dehemnya seorang spekulan di negeri adidaya Amerika, yang sanggup meruntuhkan nilai-nilai saham. Dan dehem sang Prabu Dandanggendis tak kalah kuat merontokkan mental-mental tiada pernah diasah kata berontak.
Tiada bisik-bisik kesepakatan di antara pandita, resi dan jangga. Serentak sukma mereka disentakkan kuasa dinaya tenaga sang Prabu dengan sangat kuat. Jebollah meski sebagian besar hanya fisiknya mengangguk takluk, bertekuk nyali. Setelah ruangan berhasil dikuasa sang Prabu. Ia tersenyum lebar, tawanya menggema, meruntuhkan kembali mental-mental tak pernah diasah keberanian. Sangat puas hati Raja, lantas meminta para hadirin benar-benar bersujud dihadapan kakinya. Lantai marmer pendapa bergetaran, atas jiwa Raja tak tertandingi sebab niatannya manunggal tak tergoyahkan.
Setelah dirasa cukup, para hadirin diperkenankan pulang ke negri masing-masing. Mengabarkan sang Raja sudah menjelma tuhan alam semesta. Namun tak demikian bathin semua undangan, sepulang dari gardu istana. Langkah demi langkah hati mereka berhianat, jujur kepada kalbunya bahwa seorang pandita, resi dan jangga taklah bersujud kepada seorang Raja.
Sejak lama para pandita, resi dan pujangga Daha telah mendengar kabar. Bahwa di daerah Tumapel yang berubah nama Singosari (daerah sebelum memasuki kota Malang, sekarang menjadi kota kecil saja). Ada seorang raja yang berwibawa dan disegani, bergelar Sri Rajasa. Alam pertanian palawija serta rerumputan padi, juga perdagangan di wilayah tersebut makmur, seolah Dewata memberi restu sentausa bagi tahtanya selamanya.
Tak jauh dari perbatasan kota Daha, para undangan sang Prabu mengurungkan langkah ke negri masing-masing. Bathin mereka menyerahkan kepercayaan kepada penguasa Singorasi, sebagai pulung selanjutnya. Sebagian besar mereka menuju Singosari guna menghadap Rajasa. Yang awal kelahirannya bernama Ken Angrok (Ken Arok). Setelah para pandita, resi dan pujangga kerajaan Daha bersepakat ke Singorasi, berangkatlah mereka.
Sambil menunggu kedatangan mereka. Saya ceritakan bagaimana kejiwaan Angrok. Ken Angrok sebelum menjadi raja ialah sosok begundal. Perampok tersohor, penjudi ulung, penyabung ayam kawakan, juga pemetik bunga pinggir jalan. Suatu kali ia memiliki seekor ayam jantan, si jago itu amat kesohor, banyak ayam jago lawan-lawannya lari pecirit tunggang langgang, disamping banyak pula berpulang cacat oleh ulahnya. Ayam pemberani Angrok itu sempat melegenda, sebab mati di tengah gelanggang. Ia bertarung dengan keseluruhan jiwa-raga untuk sang tuannya, sampai darah penghabisan. Tak seperti ayam-ayam jago lain yang lari ketakutan, keok sebelum temukan ujung sekarat.
Hidupnya Angrok waktu itu tak ubahnya para brandal, boros dan ugal-ugalan. Ludes uang hasil judi menjadikan ia sosok perampas, merampok para sodagar yang melewati hutan, tempat ia menanti antrian nasib naas yang ditunggunya. Di tempat itu, ia memiliki cerita menarik. Pernah ada seorang tua melewati hutan itu dan menyapa kepada Angrok: Nak, katanya melewati hutan ini membahayakan. Bisakah anaknda membatu saya dalam perjalanan pulang? Angrok tersenyum, diantarnya orang itu sampai kediamannya. Jalan hidup manusia memang sulit ditebak, selalu berkelok memasuki ruang-ruang jiwa. Tak seorang pun memahami pribadi yang lain secara peka nan juntrung.
Insan yang berilmu pengalaman, ketika dinaikkan drajatnya menjadi penguasa. Jawabannya ialah makin serakah, atau loman kepada rakyatnya. Dan Angrok memilih jalan kedua. Seakan telah kenyang perbuatan angkara murka, sudah puas mengumbar hawa nafsunya. Atau telah insaf, sebab ulahnya dikala merebut kekuasaan secara paksa. Atas hasratnya merampas cerlang cahaya nareswari dari selangkangan Ken Dedes. Sewaktu Tunggul Ametung terkena sirep (ilmu sihir menidurkan musuh), dan tertikam keris Gandring atas Angrok. Ia kubur dalam-dalam watak beringas. Di hadapkan wajah santun kasih sayangnya kepada rakyat, serupa mukanya memandang kekasih-kasihnya, Ken Dedes dan Ken Umang.
Saat para jangga, resi dan pandita sampai ke kota Singosari. Sungkemlah rombongan tersebut memberi dukungan dengan alasan kemakmuran negara. Juga menangkal suara-suara hitam kekuasaan pusat yang ada di Daha. Lama-lama kabar itu tercium sang Prabu. Dengan lantang Prabu Dandanggendis berkoar: Tiada yang bisa melawan aku, kecuali Batara Guru turun sendiri dari suralaya (kahyangan).
Gema suara keangkuhan itu ditangkap telik sandi Singosari, dan dihaturkan kepada Sri Rajasa Sang Amurwabumi. Dengan bernaluri keyakinan, Ken Angrok meminta restu kepada para pandita, resi dan jangga yang setia mendukungnya. Untuk mengangkatnya bergelar Sang Hyang Caturbuja atawa Batara Guru. Sebagai usaha memantabkan mental lewat mitos, bahwa manusia sanggup menjelma apa saja. Demi meloloskan takdirkan melewati usaha sungguh membathin, dengan sekuat dinayanya.
Alam telah siap menunggu goncangan, bulan matahari memberi kesaksian yang kan dilewatinya penuh awan-gemawan mensejarah. Burung-burung berkabar ke negeri-negeri jauh. Gerak bathin anak manusia, dan alam tertunduk menerima takdirnya.
Dandanggendis mulai gemetar ketika mendengar para resi, pandita juga pujangganya telah merestui sang Rajasa dengan gelar Batara Guru. Hanya umpat pedas nan tajam yang keluar dari mulut sang Prabu. Hal itu tak disia-siakan Angrok. Ketika keangkuhan mental peperangan terpancing, magnit saling tarik kekuatan, atau terlempar jauh dari lawannya. Niat ibarat magnit, sanggup menarik jarum di dekatnya. Dan bisa menggetarkan lempeng besi walau mata tak melihatnya.
Angrok bersama suara alam langit menggemuruh kekuatan bumi merapatkan barisan. Para tentaranya yang digembleng langsung olehnya, sudah terlatih menghimpun pertahanan juga menyerang. Seperti disusupi arwah leluhur, para tentara itu menerjang berhamburan ke kota Daha. Ada menyusuri pinggiran sungai, menanjaki bukit dan tebing, menyusup laksana angin pada rerumputan.
Pasukan Singosari dicegat bala tentara Daha di sebelah utara Ganter. Bertarung kikis prajurit kedua belah pihak habis-habisan, saling mengeluarkan kadikjayaan. Mungkin kehendak sejarah tuhan, panglima perang Daha tewas. Berhamburan anak-anak buahnya bagai bebatuan kali diterjang banjir bandang. Sebagian besar gelimpangan bak pohon pisang yang tanahnya digerus lupan air bengawan. Terhanyut mengikuti arus kekalahan sampai samudra penaklukan.
Dandanggendis mengetahui pihaknya kalah total, ia berlari alang kepalang. Musnalah kerajaan Daha oleh amukan deras serangan bertubi. Angrok sendiri mengejar sang Prabu sampai kahyangan. Bertekuk hasrat tak turun ke bumi kembali, melihat bala pasukannya kocar-kacir. Dan turunlah Sri Rajasa menderapkan turangganya ke kota Singosari. Alam sadar mendapati kekecewaan, lantas menggapai harapan besar kepada Rajasa. Laksana membalikkan peta yang membosankan, dari penyesalan menyusul kepada keinginan-keinginan mulia.
*)Pengelana yang pernah mengunjungi peninggalan leluhur, serta bertemu arkeolog di daerah Singosari, Malang dan Ndoho (Daha) Kediri.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar