Farid Gaban, Nurur Rokhmah Bintari, Dewi Rina Cahyani
http://majalah.tempointeraktif.com/
Penampilannya bersahaja—terlalu bersahaja. Namun, ada yang sedikit aneh: dia tak memakai sandal seperti yang selalu dipakainya bertahun-tahun. Tentu saja, selain sebuah mesin ketik yang erat ditentengnya, dalam perjalanannya menuju New York awal April lalu itu. Mesin ketik mengisyaratkan anakronisme, New York adalah paradoks. Dan ada satu pertanyaan menggoda: tidakkah Pramoedya Ananta Toer—seperti tokoh dalam novel fiksi-sains klasik karangan H.G. Wells—merasa terlontar oleh mesin waktu ke dunia yang sama sekali berbeda?
Kota mancanegara terakhir yang dikunjunginya adalah Beijing, sekitar 40 tahun silam, sebuah ibu kota negeri komunis terbesar yang pernah menjadi sumber kekaguman baginya. Sementara New York? Pram datang ketika indeks saham Dow—simbol kedigdayaan kapitalisme Amerika itu—menjilati angka tertinggi sepanjang sejarahnya; ketika Microsoft, bersama Intel Pentium, terus merangsek mesin-mesin ketik seperti miliknya masuk ke museum barang antik.
Dan hanya beberapa tahun sebelum kedatangannya, seorang Francis Fukuyama mengumumkan “berakhirnya sejarah”, menyusul kolapsnya komunisme. Bagaimanapun, sejarah belum berakhir—juga bagi Pram. Menjelang 75 tahun usianya, dia justru baru saja menyibak satu lagi lembar sejarah pribadinya.
Pram datang ke New York untuk menghadiri sebuah perhelatan, satu dari sedikit momen yang mungkin paling membahagiakannya: peluncuran buku The Mute’s Soliloquy—edisi bahasa Inggris dari Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, sebuah kolase pengalaman pribadi, surat untuk anak-anaknya dan permenungannya di Pulau Buru. Gumamnya yang pahit itu, akhirnya, memperoleh pendengar yang lebih luas. Itu bukan sambutan hangat pertama yang diterima Pram dari kalangan internasional.
Karya sastranya yang menjulang dari peri hidupnya yang mengiris—berkat penindasan dan pemberangusan Orde Baru—telah melambungkan namanya. Tak hanya banyak karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa asing, melainkan juga memperoleh berbagai penghargaan, termasuk “Freedom to Write Award” dari organisasi PEN di Amerika Serikat pada 1988. Namun, inilah pertama kali dia mendapatkan kembali kemerdekaannya yang lebih hakiki, kemerdekaan yang tak pernah sempurna diperolehnya, bahkan setelah lama dia dibebaskan dari Buru.
Kali ini dia punya paspor dan bisa hadir sendiri dalam sebuah acara di luar negeri—sesuatu yang mustahil di era Soeharto. Pram absen di Manila ketika, pada 1995, yayasan setempat menganugerahinya “Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literature, and Creative Communication Arts”. Larangan bepergian terhadapnya, dan polemik yang menyertai pemberian penghargaan itu, hanya menegaskan satu hal: tak hanya di luar negeri, Pram juga dikagumi banyak anak muda Indonesia yang membaca karyanya diam-diam.
Jaksa Agung Orde Baru membuat larangan setiap kali terbit karya Pram pasca-Buru—hampir setahun satu pada dasawarsa 1980: tetralogi (Bumi Manusia dan tiga lainnya), antologi sastra pra-Indonesia Tempo Doeloe, dan biografi R.M. Tirto Adhisurjo Sang Pemula. Dan tanpa Orde Baru sadari, nama Pram kian besar setiap kali karyanya diberangus.
Dari sejak Buru itu, dia mempersiapkan pertempuran ini dengan baik. “Saya cuma janji kepada diri saya sendiri: saya tidak akan mati dalam tiga puluh tahun,” kata Pram. “Saya mau melihat jatuhnya (Orde Baru). Itu yang bikin saya tidak mati.” Kepahitan tak terbayangkan—pembantaian terhadap orang-orang PKI dan penderitaan di Pulau Buru—dengan cara tertentu menyumbangkan energi yang cukup besar untuk seluruh penulisan.
“Saya dalam posisi melawan penindasan, ketidakadilan. Itu yang memberi saya semangat hidup.” Ada perasaan memiliki otoritas moral di situ. Ada daya hidup yang fantastis, dan mungkin juga dendam. Bagaimanapun, penjara Buru bukanlah pengalaman pertama. Di zaman kemerdekaan, pada usia 20-an, dia ditangkap Belanda dan dipenjarakan karena menerbitkan pamflet antikolonial. Di zaman Orde Lama, dia kembali masuk bui karena buku Hoakiau di Indonesia, pembelaannya terhadap orang-orang Tionghoa yang digebah pada 1960-an.
Buku itu juga sempat diberangus, tapi diterbitkan kembali setelah Soeharto jatuh, disusul kemudian dengan pencabutan larangan atas semua bukunya yang lain. Namun, Buru, seperti kemudian bisa dibaca dari Nyanyi Sunyi, adalah puncak kulminasi perlawanannya. “Ada tekanan untuk survive yang menakjubkan,” kata Willem Samuels, orang Amerika yang menerjemahkan karya itu ke bahasa Inggris.
Pram tahu persis bagaimana membunuh waktu—secara harfiah maupun simbolis. Dan mesin ketik, seperti yang dibawanya ke New York, adalah senjatanya, azimatnya yang—untuk beberapa hal—mewakili keteguhan, keengganannya, dan mungkin juga ketidakmampuannya untuk berubah.
Pram menulis dengan gaya yang hampir sama, seperti cerpen dan roman-romannya sejak 1940-an. Sapardi Djoko Damono, dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia, berpendapat tidak terlalu banyak karya-karya Pram yang mempunyai keistimewaan. “Novel-novel Pram yang pendek memang kuat, seperti dalam Bukan Pasar Malam. Tetapi, ketika menulis panjang, kelihatan kelemahannya, longgar dan tidak ekspresif,” katanya.
Meski begitu, Sapardi mengagumi satu hal: konsistensi Pram dalam gaya penulisan realismenya. Tema-tema karya Pram mengingatkan orang pada Max Havelaar-nya Multatuli—satu sastrawan besar yang dikaguminya di samping John Steinbeck. Tema-tema itu dipetik sebagian besar dari dunia sekelilingnya yang nyata, atau dari tokoh-tokoh nyata hasil riset sejarahnya. Misalnya, Tjerita dari Blora, yang berpusar pada masa kecilnya. Kekaguman dan simpatinya pada tokoh ibu, di samping sikap sinisnya pada tokoh-tokoh ulama, yang banyak mewarnai karyanya, juga buah pengalaman pribadinya.
Neneknya dari pihak ibu adalah “selir” dari seorang penghulu Rembang, seorang haji, yang dicampakkan dari rumah setelah melahirkan—sebagai bagian dari kepercayaan di Jawa waktu itu. Sikap itu lebih mewakili antifeodalisme Jawa ketimbang anti-Islam seperti dituduhkan para pengecamnya—misalnya ketika dia melukiskan tokoh haji sebagai tuan tanah korup.
Bagaimanapun, itu memang tampak pula mempengaruhi seluruh sikapnya terhadap agama—agama mana pun—yang menurutnya “sering digunakan sekadar sebagai alat penindasan”. Sisi menonjol lain dari karya-karya Pram adalah identifikasi setiap tokohnya terhadap “perjuangan rakyat”. Aliran realisme sosialis seperti itu memang menjadi arus besar di masa Orde Lama. “Ideologi saya adalah Pram-isme. Saya ingin menjadi diri sendiri,” kata Pram dalam wawancara dengan TEMPO belum lama ini.
Tapi, bisakah sikap individualistis seperti itu—yang lebih mewakili aliran humanisme universal, yang pernah dikecamnya habis—diucapkan Pram pada 1960-an, pada masa jayanya? Dalam seminar sastra di Universitas Indonesia, 26 Januari 1963, sebagai tokoh Lekra terkemuka, Pram menggelar gagasannya tentang realisme sosialis yang dikutipnya dari A.A. Zhdanov, seorang Stalinis yang mengontrol seni dan kesusasteraan Soviet pada 1930-an. Sebuah gagasan yang menjadi alat pemberangusan karya banyak sastrawan Eropa Timur dan mesin penindas yang menghadirkan gulag-gulag ala Pulau Buru juga. Begitulah.
Sementara karya-karyanya mudah ditebak, mengingat konsistensinya, salah satu tragedi Pram adalah sikapnya—terutama sikap politiknya—yang terasa jungkir balik bersama lintasan hidupnya yang panjang dan berliku: staf pada sebuah kantor berita, tentara, redaktur penerbitan, sebelum menjadi sastrawan puncak yang kemudian terbanting. Dan tak ada tragedi yang lebih menyengat kecuali dukungannya tanpa syarat terhadap Manifes Politik (Manipol) Soekarno.
Dalam harian Bintang Merah, 1957, sebuah organ PKI, Pram menulis dukungannya. Dia juga memimpin delegasi seniman yang menghadap presiden. Sebagai nasionalis sejati yang percaya pada gagasan negara kesatuan, dia membantu tentara dalam konfrontasi dengan “pemberontakan” PRRI di Sumatra, dan memperoleh penghargaan dari A.H. Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat kala itu.
Pram—secara langsung atau tidak—berperan pula dalam memuluskan jalan pemberangusan Konstituante, parlemen demokratis hasil pemilu, lewat Dekrit Presiden 1959, yang mengawali era “Demokrasi Terpimpin”. Bersama sejumlah seniman, dia mendesak Soekarno mencabut Keputusan Pemerintah Republik Indonesia 1945, yang membebaskan pembentukan partai-partai politik sebanyak-banyaknya.
Pram dan kawan-kawan melihat keputusan yang diprakarsai Mohammad Hatta ini sebagai pengkhianatan terhadap revolusi karena kekuatan revolusi yang pada mulanya ada di tangan rakyat dipecah dan dibagi di antara partai-partai. Dukungan Pram sekarang ini terhadap Partai Rakyat Demokratik (PRD) untuk berlaga dalam sistem multipartai di era reformasi, tentu saja, adalah sebuah revisi sikap pula.
Kembali ke masa silam, polemiknya tentang masalah Manifes Kebudayaan (Manikebu) adalah kelanjutan logis dari sikap politiknya itu. Juga serangan kasarnya—seperti ditunjukkan dalam karangan-karangannya di Lentera, rubrik kebudayaan harian PKI Bintang Timur—kepada para Manikebuis, kepada tokoh Masjumi seperti Hamka dan tokoh Partai Sosialis Indonesia, Sutan Takdir Alisjahbana.
Kebenciannya kepada H.B. Jassin, salah satu penandatangan Manikebu, bahkan kekal hingga kini. (Lihat: “Yang Tidak Setuju, ya, Minggir Saja”). Jassin berjasa memperkenalkan Pram dengan mengikutsertakan roman Perburuan-nya—karya pertama—ke sebuah sayembara penulisan yang kemudian dimenangkannya.
Sebagai kritikus, Jassin juga hampir selalu memiliki pandangan positif terhadap karya-karyanya. Pram sendiri bahkan pernah mengaguminya sebagai guru humanisme. Namun, belakangan, di matanya Jassin tidak punya rasa kemanusiaan karena diam saja menyaksikan nasib “satu setengah juta” orang (PKI atau mereka yang dituduh PKI) diinjak-injak Orde Baru.
Dalam hal ini, Pram konsisten. Sebuah tulisannya yang terbit pada 1953 berjudul Ofensif Kesusasteraan 1953, H.B. Jassin Sudah Lama Mati Sebelum Gantung Diri. Dan ironis: Pram sudah lama membunuhnya, dan toh tetap menuntut Jassin memiliki rasa kemanusiaan. Tulisan lain Pram di Lentera menjadi salah satu puncak penggasakannya terhadap kaum Manikebuis, berjudul: Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total. Ini sekaligus ironi pula—kali ini bahkan jauh lebih mengiris. Sebab, sejarah kemudian tahu pihak mana yang justru “dibabat total”. Tidak mudah untuk mencari keseimbangan—bahkan kini, bepuluh tahun kemudian—dalam merenungkan suasana kala itu, yang oleh Goenawan Mohamad digambarkan sebagai “apokaliptik”.
Tidak mudah mencari jalan tengah dari permainan zero-sum; permainan kalah-menang. Sesungguhnya tidak ada yang menang dalam pergumulan besar yang kemudian terbukti berdarah itu, ketika konflik Lekra vs Manikebu hanyalah sebuah catatan kakinya saja. Penggiringan puluhan ribu orang seperti Pram ke Pulau Buru dan pembantaian PKI di mana-mana adalah tragedi bagi bangsa ini secara keseluruhan.
Namun, melihat masa silam Pram—khususnya perannya dalam polemik 1960-an itu—adalah mereduksinya menjadi sekadar sebagai mahluk politik. Bahkan, sebagai redaktur Lentera, Pram sesungguhnya tidak cuma menawarkan sumpah serapah politik. A. Teeuw, kritikus Belanda yang juga pernah menjadi sasaran kecaman Pram, menyebut Lentera sebagai media utama tulisan Pram yang pada periode 1962-1965 “menakjubkan banyak dan anekanya” (Citra Manusia Indonesia, Pustaka Jaya, 1997).
“Banyak karangan masa itu,” tulis Teeuw, “adalah hasil riset mendalam, berdasarkan bahan kepustakaan dasawarsa pertama abad ini.” Pram juga telah memulai usahanya menuliskan kembali sejarah sastra dan merombak pengajaran sastra Indonesia, antara lain dengan sejumlah pelacakan yang kelak pada 1982 diterbitkannya dalam Tempo Doeloe. Juga dia mulai menerbitkan terjemahan Max Havelaar, meski akhirnya tidak tuntas, di samping cerita bersambung memikat: Hikayat Siti Mariah. Riset sejarahnya, yang antara lain muncul dalam biografi Tirto Adhisurjo, seorang pionir jurnalistik Indonesia, termasuk mencengangkan.
Di tengah kecenderungan kental ke arah penulisan sejarah resmi yang didiktekan negara, “karya-karya alternatif” Pram seperti ini memberi sumbangan besar untuk melihat masa silam Indonesia secara lebih utuh. Karya-karya sastra Pram memang menduduki tempat tersendiri,” kata Sapardi Djoko Damono.
Dan Teeuw, yang mengenal karya Pram pertama kali setengah abad lalu, menyebutnya sebagai “pengarang prosa Indonesia nomor wahid, tanpa saingan, dalam abad ini”. Sejarah belum berakhir—juga bagi Pram. Sejarah masih menjadi. Dan beruntung Pram kini, di usia senja, setelah semua drama itu, memiliki peluang untuk menuliskan sebuah akhir yang manis. Sebuah peluang, dan selebihnya… terserah Pram.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar