Jumat, 31 Desember 2010

Membaca buku “HARMONIKA LELAKI SEPI” Sekumpulan Puisi karya Andi Wirambara

Peresensi: Imron Tohari
Judul Buku: Harmonika Lelaki Sepi (Kumpulan Puisi)
Copyright: Andi Muhammad Era Wirambara
Cetakan pertama: Oktober 2010
Penyunting: Anindra Saraswati
Proof Reader: Irwan Bajang
Desain Sampul: Leo Baskoro
Tata Letak: Indie Book Corner Team Work
Endorsmen: Khrisna Pabicara, Pringadi AS, Nanang Suryadi
ISBN: 978602-97441-3-2
Tebal buku: 94 halaman.
Harga: Rp. 30.000,-
http://sastra-indonesia.com/

“Cinta dan iman bersemi dan tumbuh dari proses spiritual yang sedikit mengandalkan kemampuan indrawi ( Helen Keller ).

“Menjadi manusia seutuhnya mahal harganya sehingga hanya sedikit orang yang memiliki cinta dan keberanian untuk membelinya. Seseorang harus melepaskan hasrat untuk mencari rasa aman dan harus menghadapi resiko hidup dengan kedua belah tangannya. Seseorang harus memeluk kehidupan seperti memeluk seorang kekasih”. (Morris West – Novelis).

Saya yakin semua orang pasti pernah merasakan rindu,merasakan pergolakan cinta yang tak berkesudah yang membawanya menyusuri labirinlabirin sunyi, yang pada akhirya entah ia (mereka) menemukan suatu sugest positip atau justru akan kian terjerat dalam lingkaran labirin tersebut.

Melalui larik-larik sunyi “ Harmonika Lelaki Sepi”, Andi Wirambara yang lebih dikenal sebagai Ikan Biroe di dunia virtual, ingin menyampaikan tentang hasil renungannya dalam merasakan serta memandang rindu, cinta, dengan segala pernak-pernik kehidupan.

Andi Wirambara penulis belia kelahiran 24 September 1991, mewakili perasaannya sebagai sosok lelaki muda dalam menyikapi rindu dan cinta, saya rasa cukup dewasa dan bijak dalam meletupkan pemikiran-pemikirannya melalui larik-larik sajak,puisi.

Rasa rindu yang membuncah, dan rasa cinta yang bergelora, pada dasarnya tiada beda antara perasaan lelaki dan wanita: samasama memanggil sunyi!. Jadi siapa bilang lelaki yang dibekap rindu dan didera cinta tidak bisa sentimentil?

Bermuasal dari rindu dan rasa sunyi inilah terbersit di imaji piker penyair tentang “lelaki” yang mewakili aku lirik, dan “Harmonika” yang mewakili geletar irama jiwa dalam hisapan sunyi. Ya, harmonika sebuah alat musik yang paling mudah dimainkan hanya tinggal meniup dan menghisapnya, namun justru dari “tiup” dan “hisap” yang berkaitan dengan nafas inilah kesan pergolakan yang tengah berkecamuk amuk dalam jiwa akibat hisapan sunyi sangat terwakili. Sejarah harmonika berasal dari alat musik tradisional China yang bernama ‘Sheng’ yang telah digunakan kira-kira 5000 tahun yang lalu sejak kekaisaran Nyu-kwa. Dan biasanya alat tiup ini sering dipakai remaja yang lagi rindu kekasih,kampong halaman,patah hati,atau mencoba membebaskan tekanan perasaan agar tetap kuat dalam menjalani kehidupan berikutnya.

Perjalanan sunyi aku lirik dalam “Harmonika Lelaki Sepi” dibuka dengan puisi romantic humanis yang begitu indah dan disajikan dengan gaya sampaian yang begitu membumi, yang justru kian membuat puisi ini terasa lebih manusiawi, baca kutipan bait 1 puisi bertajuk “Sesendok Saja” yang membungkus rasa rindu dan kesetiaan, di halaman 1,:

“Sesendok saja aku ingin menyuapimu
Ingin melihat peram matamu, melihat
Bagaimana parfait lumer dan pernik
Cokelat terjepit di merah bibir cerimu
Pada pucuk muffin yang kusentil dan
Terbang hinggap di jendela
Seperti kakaktua yang begitu setia
Pada nenek bergigi dua
Seperti segala rasa yang bersepakat
Sewaktu-waktu bermelankolia”

Dan pada halaman 29, Andi Wirambara, masih dengan tema rindu kekasih, pada puisi “Apel” begitu piawai menyembunyikan gejolak perasaan rindunya melalui simbolik poetika (metaphor/bahasa symbol), namun tetap mudah untuk dicerna oleh yang dituju tanpa kehilangan unsur puitisnya.

Apel

entah rindu apa kau punya
hingga kau bawa aku pada
wangi embun yang sejuk dan
ranum?

betapapun senyummu kuingat pada
kabutkabut tipis tatkala embun berlahan
turun dan singgah
anggun dikulit yang basah

sebagaimana aku terkenang
sayupmu di antara dahan pohon yang tenang

dan aku, menanti
kau temui pun lembut kau petik
apel yang kugelantungkan bersama sebalas
rindu, apel wewangi rindu.

Dari dua karya Andi Wirambara yang saya kutipkan sebagian, dan yang satunya saya kutipkan secara penuh tersebut, walau pilihan diksi terkesan sederhana, namun betapa detak kejujuran penyairnya bisa kita rasakan, dan hal inilah yang membuat karya ini mampu menarik imaji penikmat baca kedalam roh penjiwaan karya termaksud. Kesadaran akan kejujuran ini pula yang membawa D. Zawawi Imron tegas mengatakan : “ Sebuah sajak yang saya tulis tanpa kejujuran hati nurani tak akan pernah mengarungi perjalanan waktu sehingga tak akan punya nilai abadi.” (Sastra Pencerahan ; halaman 129-130).

Perihal puisi, Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur. Sedang Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturut-turut secara teratur).

Dan pemikiran saya sendiri, seperti yang sering saya tulis pada setiap esai yang saya buat, saya lebih suka menyebut “puisi” sebagai rainkarnasi bahasa hati,pikiran ( samsara bahasa ) dari masing-masing pribadi/individu pengkarya cipta yang dituangkan ke dalam bentuk bahasa tulis pun lisan yang pada akhirnya menciptakan letupan-letupan imajinatip di alam imajinasi pengkarya cipta itu sendiri maupun penikmat baca/apresiator puisi. Di mana muatan emosi “puisi” sangat beragam, ada suka ada duka, ada kegembiraan ada kemarahan. Puisi sebagai permainan bahasa, mentranslate rasa/gejolak jiwa, melalui selubung simbol-simbol, atau tanda-tanda yang terangkum pada larik/baris/bait dalam menyampaikan pesan gejolak rasa jiwa dari penulis/penyair, yang merupakan hasil dari saripati sunyi (baca: perenungan!).

Kenapa saya lebih senang menyebut “puisi” sebagai rainkarnasi bahasa atau samsara bahasa?

Samsara sebagai kata sifat mempunyai arti sengsara (berdasarkan kamus bahasa Indonesia), samsara berdasarkan yang termaktub pada surat Bagavad-gita (Budha)dan Weda ( Hindu ) samsara berarti kelahiran kembali/reinkarnasi, namun dalam kelahiran kembalipun (samsara ) , yang merupakan perpindahan jiwa ini dari satu tubuh ke tubuh yang lain atau disebut reinkarnasi eksternal (samsara atau samsriti didalam bahasa sansekerta). Srimad Bhagavatam (Bhagavata Purana) 5.11.5-7 menyebutkan bahwa pikiran terikat oleh indera kesenangan, saleh atau tidak saleh. Kemudian hal itu tertuju pada tiga model dari alam material dan menyebabkan penyesuaian kelahiran dalam berbagai tipe tubuh, lebih tinggi atau lebih rendah. Oleh karena itu, jiwa menderita ketidak bahagiaan atau menikmati kebahagiaan karena pikiran,kemudian pikiran di bawah pengaruh ilusi menciptakan aktivitas-aktivitas yang saleh dan aktivitas-aktivitas yang tidak saleh, ( berdasarkan ajaran agama Budha ) dan pengertian akan samsara ini juga tidak jauh beda dengan apa yang ada pada ajaran agama Hindu ; di dalam Weda disebutkan bahwa “Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau didunia yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka. Dan juga akan dipengaruhi akan adanya karma baik dan buruk disaat-saat sebelumnya.Dari sudut pandang saya selaku orang Islam, yaitu kelahiran kembali dari kematian di akhirat kelak,dengan segala pertimbangan baik buruknya semasa kehidupan di dunia.

Begitu hal dalam setiap proses penciptaan puisi, dalam kesunyiannya pasti akan terjadi suatu pertarungan batin dan atau pertarungan piker pada diri pengkarya cipta (pertarungan sinergi positip dan sinergis negatip). Puisi sebagai reinkarnasi bahasa/samsara bahasa, pada kelahirannya kembali, tidak terlepas dari proses/ritus suasana baik buruk yang mempengaruhi rasa imajinatip pengkaryacipta. Dalam pengertian, melalui puisi penyair berusaha menghidupkan imaji tersembunyi ke dalam tubuh “bahasa”. Tubuh bahasa dari bayangan diri, baik bayangan diri penyairnya maupun bayangan diri penikmat bacanya yang sudah menyatu pada bayangan puisi itu sendiri!, maka jadilah bayangan diantara bayangan; diri membayang pada puisi, puisi membayang pada diri. Dan puisi yang baik, adalah puisi yang ditulis dengan penuh ketulusan, serta tetap mengacu pada estetika moral, sehingga nantinya bisa memberi pencerahan positip dan atau bisa menciptakan pola piker baru yang baik bagi pencipta maupun apresiator yang membacanya.

Pergulatan sunyi penyair tidak berhenti sampai pada karya-karya di atas, karena pada karya-karya selanjutnya, Andi lebih berani lagi membungkus perasaannya pada permainan simbolik poetika/metaphor, tanpa mesti kehilangan daya hisap serta pesan makna yang ingin dihantarkan kepermukaan. Lihat saja pada puisinya yang bertajuk “Ini Pilu”, “ Bintang Pulang”, Petasan”Dikamarku yang Berantakan”. Dan tentunya pada “Harmonika Lelaki sepi (hal. 39 – 40)” yang sekaligus dijadikan tajuk pada buku kumpulan puisi ini. Baca kutipan lengkapnya di bawah:

Harmonika Lelaki Sepi

harmonika
telah lekat ia pada bibir yang
mengatup
menada pada tiang-tiang malam

: pada rerumputan
Embun hendak turun, menyusur sisi ilalang
Yang tajam
Mengiris nadi
Ia nada rerumputan;merunduk

: pada bintang yang bergandengan
rasi bersenandung
mengangguk kepala
meniti
rangkai melodial langit

: pada bulan yang ringkih
menyapa ia,
menyiul sepi bersama sembilu angin
merayap
merayap lirih

sendu,
pada damaiku

(dan harmonika, telah kutitip nafasku tadi
Mainkan lagi, jangan sudi tercumbu sunyi)

Dari sekian puisi yang ada di buku ini, puisi “Malam yang Sempat Hilang”, tepatnya pada bait pertama, membuat saya terperanggah. Kelugasan dan pemilihan symbol-simbol alam untuk menyampaikan maksud, serta keindahan puitisasi bahasa yang dibalut dengan rima, mengingatkan saya dengan puisi/sajak-sajak klasik para penyair cina yang begitu menggeletarkan setiap hati pembacanya.

Bagaimana lelaku angin menyisir lamunku
Tentang sayupmu di dahan pohon yang tenang
Tentang gores angin laut yang lalu
Mengukir namamu pada karang-karang

Kukatakan memang, selalu ada yang kulaku seraya
menyeruput dingin yang menaiki bulu mata. Menjungkat-jungkit
daripadanya, jatuh ke muka pipi yang kaku, dan merayap
naik menyelinap ke bola mata, yang juga menggigil
melompat mencari selimut, di balik kenang yang mengungun
kala tiba aku bertamu pada malam
yang santun menuang bayang-bayang

nexts….

(Fragmen/1/ bait 1dan 2 “Malam yang Sempat Hilang” hal 18 Sekumpulan puisi “Harmonika Lelaki Sepi”)

Sayang kekuatan dan keindahan itu Andi tidak bisa menjaga rimanya pada bait 2 dan selanjutnya, padahal bait awalnya demikian kuat structural poetika bahasanya, yang kalau boleh aku kata, pada bait pertama tidak kalah indah dan kuat dalam bermain metaphor dan atau bahasa-bahasa symbol, juga sampaian pesannya tidak kalah dengan karya-karya sastra puisi china klasik yang patuh pada rima serta kekuatan penyair dalam mengeksplore alam sebagai sarana/symbol menyampaikan perasaan hati.

Mari kita lihat salah satu karya indah salah satu penyair zaman dinasti Wei yang menjadi acuan argumentasi pendapat saya mengenai bait 1 “Malam yang Sempat Hilang” karya Andi W.

Angin musim gugur pilu menderu udara membeku,
Daun rumput gugur melayang embun menjadi salju.
Sekawan wallet pulang angsa terbang ke selatan,
Mengingat kau yang dirantau kalbu dirundung angan.

(bait 1 “Nyanyian Bumi Yan” karya Cao Pi (187-226; Wei)

Sebagai akhir tulisan, saya memandang Andi W dalam kesunyiannya justru telah berhasil menaklukan sunyi seperti yang di tulis pada bait akhir Puisi “ Harmonika Lelaki Sepi “

: (dan harmonika, telah kutitip nafasku tadi
Mainkan lagi, jangan sudi tercumbu sunyi).

Salam lifespirit!
Pecinta sastra puisi, 7 Desember 2010.

Selasa, 28 Desember 2010

Kenapa Albert Camus Absurd?

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=636


Dalam bukunya “The Rebel” yang diindonesiakan Max Arifin, terbitan Bentang 2000. Di sana aku membaca pendapatnya: “Manusia adalah satu-satunya makhluk yang menolak untuk menjadi dirinya.”

Bagiku, ia sosok pelancong jauh yang tidak mudah dikibulin para pengembara sebelumnya. Jika boleh menentukan faham, merupakan jajaran sastrawan kelas wahid. Di hadapannya; filsuf, sejarawan juga kaum pelaku total menghidupi nafas kesusastraan, yang tak sekadar berindah-indah dalam penciptaan karya.

Mengkonstruksi ulang faham Hegel, menyelamatkan cinta butanya Karl Marx pada masyarakat tertindas. Mengekang gerak awan merah surealis, agar selepas jalannya revolusi, tidak menambah runyam mendirikan bentuk-bentuk kediktatoran anyar lebih anarkis. Menyadari nihilisme juga sanggup, tepatnya memiliki hasrat perusak yang punya sifat kekejaman serupa.

Camus dengan jiwa “tergopoh,” ingin menempatkan kaki-kakinya di lahan sejarah yang diyakininya sebagai fitroh alami, yakni absurd. Tersebab hati mudah terbolak-balik, kerap pangling menemukan silang-sengkarut. Dalam kondisi tertentu di ruang-ruang berbeda atas tekanan suhu udara, yang sering dipermainkan perubahan mengintriki manusia.

Kadang aku melihatnya menyerupai nabi Isa menghidupkan tubuh sudah mati, dalam kelahiran kedua mereka diajaknya berbincang menerus. Di sana penggalian sunyi, peristiwa puitik dimainkan segugus gagasan cantik, yang menawarkan pertimbangan jeli tinimbang orang kesurupan.

Kesadaran menawan menciptakan dirinya di ambang tragedi, terus was-was mengolah ruang-waktu demi selalu genap pun ganjil sepadan. Ia tak katakan benar atau keliru pun tidak memutuskan hukuman, sebelum memiliki alasan pribadi. Di langit membiru, ia mengajak merenungkan nasib anak-anak manusia yang didera jarak masa dengan tongkat absurditas, menapaki lelangkah berat menuju pengakuan, bahwa hidup memang simalakama.

Tanpa sungkan aku pernah menyusuri sungai nalarnya, yang menambah keyakinan dalam melengkapi gairah buku esaiku pertama: ”Trilogi Kesadaran” (Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran & Ras Pemberontak), walau tampak masih terburu.

Herbert Read dalam mengantari bukunya mengeluarkan keyakinan: “The Rebel” ialah sebuah buku yang hanya muncul di Perancis. Dan dengan sok menjijikkan hidup, “Trilogi Kesadaran,” hanya lahir di bumi Nusantara.

Dengan bacaan meluas, Camus seakan tak punya sifat kefanatikan. Selalu mengukur batas capaian, tiada ingin lepas merasai wujud keberjamanan yang dikenyamnya. Menentukan batas kemampuan insan, yang di mata orang luar dapat dianggap plin-plan. Tapi tidakkah kita selalu diuji coba diri sendiri setiap waktu?

Kalau tak ingin mandek dalam ketumpulan pun kecerdasan menggelikan mata? Adalah orang aneh di sisi jalan, kita di jarak tertentu terkagum pula bisa menertawakan. Yang pendiam sedikit kesulitan didekati berbagai kepura-puraan.

Maka selisih waktu perubahan watak peranan dijadikan penelitian dalam karya-karyanya dan esai-esainya yang tak memiliki pribadi mengejutkan. Sebab pada derajad tertentu, keterkejutan beban nasib terbentuk, sudah sangat berdaya ganggu luar biasa.

Kata “tergopoh” di atas, wujud spontanitas murni yang berangkat dari fikiran waras, selalu dipanasi penyelidikan, mencurigai nilai-nilai, apakah sejarah ataupun bersumber agama. Betapa kodrat insani yang rapuh, perasaan tak mampu menggembol keseluruhan, terjadilah (absurd). Serupa awal penerimaan bacaan atau kedipan pertama menjulurkan kasih sayang.

Ia bukan pembangun argumentasi beralasan menyelamatkan diri sebelum bertindak, nalar beningnya menghantarkan pilihan mengagumkan. Corak yang dapat dibahasakan sebagai kesadaran spiritual. Tiada kesamaan dengan orang licin berbagai manipulasi, menjebak dengan perangkap nilai, meski diterima khalayak umum, lebih-lebih kaum fanatik.

Pernah kubayangkan, jika Camus hidup di masa Nietzsche, tak akan terjadi bencana besar yang ditimbulkan perang dunia kedua yang dipelopori Hitler, seminimal mengurangi kesumatnya. Tetapi aku insaf, kesadarannya hadir selepas jauh mengoreksi huru-hara revolusi Perancis, serta bukan kaca pantul Voltaire, cermin pesimistis dipecahkan terlebih dulu, sebelum melayarkan pandangannya.

Atau demikian kerusakan di bumi diseimbangkan irama lain dan ini menyelaraskan harmoni. Meski di persimpangan kerap muncul kepentingan yang tak masuk akal, hasrat lebih yang juga pembawaan makhluk bernama manusia.

Dengan ruh keseluruhan berontaknya menyeleksi ulang pelbagai perolehan jaman sebelumnya, demi dikemukakan kembali. Ialah tak menyodorkan jawaban, tapi tanda tanya besar membuat mereka menggigil lekas berpulang, pada kemurnian paling mendasar. Bukan mencanangkan insan adiluhung impian banyak orang, namun meleburkan diri bermusik didengungkan alam ganjil terjamah pembeda, mampu membelah di atas dinamikanya yang paripurna.

Ia menyadari absurditasnya berasal pecahan bintang nihilisme Nietzsche yang berkembang secara mandiri, mendewasakan bentuknya untuk faham diyakini. Jangan-jangan ia tak punya hantaman mematikan, bagi rahang orang Jerman itu. Yang menyebut ateis lebih bermoral daripada yang agamis tanpa kendali. Dan faham lebih beringas menyudutkan agama sebagai candu mematikan, tercebur jurang dekadensi moral kerinduan di tepian masa pancaroba.

Aku percaya, telah lewati penelitian seksama pun resikonya berat, jika berhadapan langsung dengan nihilisme, sebelum benar-benar matang sebintang terang berdaya sorotan lebih sedari pendahulunya. Begitu dirinya bersikap, menghadapi tukang ramal berkumis tebal penyokong ras arya tersebut.

Di titik ini, Camus bermain perihal masa depannya laksana sulapan. Aku melihat agak bergeser sedari absurditas yang diusungnya, atau begitu kala menghadapi dukun filsuf. Tapi seyogyanya mengeluarkan alat-alat bedah yang steril, agar penyakit yang ditangani tidak merantak menjalar mengganggu penyelidikan, pun diagnosanya bisa dipertanggungjawabkan lebih mandiri.

Atau di sinikah strateginya, memaksa Nietzsche bunuh diri dengan pisaunya sendiri, seperti dikatakan di awal bagian Penegasan Mutlak:

“Sejak saat manusia meletakkan Tuhan di bawah penilaian moral, ia mengikis-Nya dari dalam hatinya sendiri. Dan apa yang menjadi dasar moralitas itu? Tuhan ditolak atas nama keadilan, tetapi dapatkah gagasan keadilan itu difahami tanpa gagasan dari Tuhan? Sampai di sini, apakah kita tidak berada dalam daerah absurditas? Absurditas adalah konsep yang ditemukan oleh Nietzsche sendiri.”

Pada tipe apapun; absurditas, eksistensialisme, nihilisme, tetap memiliki ruang pembusukan, tempat pasif merusak kejadian pencipaan mendebarkan. Menghabisi nikmatnya persetubuhan jiwa dan raga, menghambat gemuruh ruh pemberontakan dalam diri.

Semua beresiko terperangkap lubang buaya kemandekan, pembodohan dilakukan orang-orang waras, tapi ingin lebih dengan hidup ugal-ugalan. Para penyerangnya tidak jauh, biasanya anak turun yang diberontak.

Kalau setiap aliran berkumandang atas kesederhanaan masing-masing, bisa dimungkinkan dalam lingkaran roda terarah. Punya rotasi sendiri yang menjaga gravitasi ialah selamat bermawas diri. Hanya mandek tak bergerak, puas kebodohannya, girang kecerdasannya, lalai menjemput ajal, abai mempersiapkan menuju bilik nafas kebugaran nirwana.

Aku teringat musabab bunuh dirinya Yasunari Kawabata, yang mencium faham ketakmampuannya, setelah bintang Nobel terpecahnya. Tak sanggup menghidupi serpihannya menjelma gemintang terbaru, senada nasibnya supernova.

Riwayat ledakan akhir suatu faham sepatutnya membentuk formasi gemintang anyar, sebab kelahirannya niscaya. Jika tak ingin bedah caesar, pula biarlah mendekati kematangan demi melengkapi nafas-nafasnya di alam kehidupan. Jikalau dihentikan, akan datang pemberontak yang punya keinginan serupa, mempreteli kursi-kursi tanggung berayun-ayun terpuaskan. Membawa palu, gergaji serta api keabadian sepadan, dipastikan terbakar berhala-berhala kejayaan.

Selamatlah yang bersanggup seimbangkan kabut kejiwaan, memperbaharui niat menggagalkan senyuman kemayu atas kesadaran tertinggi. Yang diberkahi kemampuan menguak kejadian bersusah payah, guna tak terjadi huru-hara. Atau lenyapnya faham, diganti yang lebih bisa mengayomi jaman dikandungnya.

Lamongan, Jawa 25 September 2010

SASTRA DI TENGAH BUDAYA KAUM PECUNDANG

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Sungguh luar biasa sihir Piala Dunia! Perhatian segenap bangsa di jagat ini seperti tersedot dan tumpah pada layar kaca. Tukang beca berteriak histeris. Kesebelasan yang dijagokannya, menang. Ia berjingkrak memegang uang taruhan. Dan kaum cerdik-pandai, politisi, para eksekutif atau buruh bangunan, hanyut pula dalam tontonan yang secara langsung, sebenarnya tak ada kaitannya dengan keadaan yang terjadi di negeri ini.

Sebuah stasiun tv swasta, memahami betul maniak para pecandu bola. Berbagai mata tayangan seperti hendak memanjakan mereka. Kuis-kuis dengan hadiah uang berlimpah memperlihatkan, betapa pentingnya sepak bola. Sponsor pun berlomba-lomba menjadi sinterklas. Tak ketinggalan, koran-koran menambah jumlah halamannya. Begitu royal media cetak itu memajang potret apa pun yang berkaitan dengan sepak bola.

Sihir hiburan massal memang dahsyat. Ia dapat menghipnotis berbagai lapisan masyarakat. Dalam sesaat seseorang bisa mendadak menjadi mitos; pahlawan yang tiba-tiba dipuja macam dewa, diangkat setinggi langit dan dihujani bonus kemewahan. Setelah itu, ia sekadar jadi legenda yang hanya penting untuk dirinya sendiri atau dicampakkan. Yang tersisa hanya cerita masa lalu; catatan sepenggal nostalgia tentang zamannya.

Pertanyaannya: apa maknanya buat kehidupan manusia? Adakah sangkut-pautnya dengan kehidupan bangsa kita ini? Apakah dengan segala keroyalan dan kemewahan itu, kesebelasan kita tiba-tiba mampu menyeruak masuk menjadi salah satu tim Piala Dunia? Dengan memanjakan para maniak bola, adakah jaminan bahwa mereka tak membuat lagi kerusuhan ketika kesebelasan yang dijagokannya kalah? Itulah sihir sepakbola yang seketika bisa membuat banyak orang lupa apa pun. Sepak bola seolah-olah telah menjadi segala-galanya bagi kehidupan ini. Ia seperti telah menjadi agama baru.

Boleh jadi, dilihat dari satu sisi, itu merupakan representasi kultur pecundang. Mereka bangga atas kehebatan orang lain. Meringkuk dan menikmati hidup dalam ketiak orang lain, seolah bakal menyelesaikan semua masalah. Hidup menjadi bayang-bayang, memang tak berisiko. Tetapi itulah seburuk-buruknya karakter. Itu pula yang diharamkan eksistensialisme. Maka, pernyataan: “Jadilah diri sendiri, dan hiduplah sebagai manusia unggul!” seperti suara tak bermakna. Adagium Descartes, cogito ergo sum ‘aku sadar maka aku ada’ juga bagai kehilangan relevansinya lagi, karena memang, menonton sepak bola tidak perlu berpikir.

***

Tradisi menonton tanpa dibebani macam-macam, apalagi jika mesti berpikir segala, agaknya telah menjadi virus yang tanpa sadar menggerogoti sikap kritis dan budaya baca. Berbagai macam bentuk tontonan yang ditayangkan stasiun tv di negeri ini seperti memberi pembenaran pada usaha untuk tidak menghargai pikiran. Perhatikan saja iklan-iklan tv. Yang ditawarkan tak jauh berkisar pada persoalan perut (makanan dan minuman), urusan mandi (sabun, sampo, sikat dan pasta gigi), gaya hidup, dan tak satu pun iklan buku! Lihat juga tayangan sinetron, telenovela atau kuis-kuis dengan iming-iming hadiah menggiurkan. Titik tekannya sekadar hiburan an sich. Manakala hiburan ditempatkan di atas segalanya maka tak dapat lain, pilihannya jatuh pada budaya populer. Sebuah produk budaya yang mengumbar selera rendah dan mengeksploitasi emosi murahan, naif, dan primitif.

Sebagai produk budaya yang bersifat massal, ia dapat diapresiasi oleh hampir semua kalangan. Massalisasi itu erat kaitannya dengan tujuan ekonomi yang hendak dicapainya. Jadi, sejauh menguntung dan mendatangkan materi, ia akan diproduksi secara massal sekadar hendak memanjakan selera publik, gaya hidup, dan mimpi-mimpi. Itulah kecenderungan yang kini sedang terjadi dalam diri sebagian besar masyarakat kita. Hidup tanpa berpikir, menonton sebagai bagian penting dari aktivitas keseharian, dan cita rasa pada gaya hidup sebagai usaha mengangkat martabat; gengsi.

Lalu, bagaimanakah dampaknya bagi kelangsungan hidup sebuah bangsa? Jika kondisi ini terus berlangsung, pemerintah masih tetap menempatkan dirinya sebagai penguasa, elite politik sekadar mengurusi perutnya sendiri, aparat masih kerap pat-pat-gulipat, dunia pendidikan masih jadi alat uji-coba yang tiada henti, dan stasiun tv terus-menerus mencekoki masyarakat dengan sajian mimpi, maka menjadi bangsa pecundang tinggal menunggu waktu saja (atau kini bangsa ini telah jadi pecundang?).

***

Mencermati sejarah perjalanan hidup bangsa ini, jelas sudah bahwa Indonesia dibangun dan didirikan oleh kaum intelektual. Sejumlah nama dengan gampang dapat kita sebutkan begitu saja. Mereka, para pendiri bangsa ini, tentu saja memainkan peran kebangsaannya dengan intelek dengan memanfaatkan wawasan dan pemikirannya. Tanpa itu, mustahillah lahir kesadaran kebangsaan (1908), kesadaran untuk membangun kultur sendiri (Polemik Kebudayaan—Surat Kepercayaan Gelanggang—Manifes Kebudayaan). Jika kini pembangunan kebudayaan seperti terpinggirkan dan marjinal, maka sungguh, itu tidak hanya berkhianat pada semangat para pendiri bangsa ini, tetapi juga “murtad” pada ruh yang mendiami pelosok negeri.

Ruh keindonesiaan adalah keberagamanan etnisitas. Maka yang disebut Indonesia adalah kepelosokan itu yang di dalamnya lahir, hidup, dan berkembang-biak etnis-etnis dengan keanekaragaman kultur yang menyelimuti dan memancar dalam peri kehidupan kesehariannya. Kesadaran ini boleh jadi memberi ruang yang lebih bebas dan leluasa bagi pertumbuhan dan perkembangan kultur etnis. Kesadaran ini juga mesti dipahami sebagai keniscayaan yang sesuai dengan semangat keindonesiaan. Dengan begitu, desentralisasi merupakan salah satu jalan keluar dari penjara yang memasung kreativitas kultural.

***

Dalam lingkup yang lebih khusus, sastra sesungguhnya mempunyai tempat yang potensial bagi usaha-usaha pemahaman atas kesadaran itu. Sastra Indonesia yang lahir dari ruh kultural pengarangnya, senantiasa menyodorkan kegelisahan atas problem etnis, kultur, dan secara keseluruhan: problem kemanusiaan. Oleh karena itu, meski sudah sejak lama kegelisahan itu disodorkan para sastrawan kita, kini kesadaran itu perlu disebarkan kepada khalayak yang lebih luas: masyarakat bangsa!

Bahwa pemerintah dan dunia pendidikan kita masih kurang memberi apresiasi atas kekayaan kebudayaan dan khasnya, kesusastraan kita, tak berarti kita putus asa dan berhenti memperjuangkannya. Lahirnya poros-poros kesusastraan di berbagai daerah dengan kesadaran mengusung problem kultur-etnis, seperti Bali, Bandung, Banjarmasin, Jakarta, Lampung, Madura, Medan, Surabaya, Yogyakarta, dan entah wilayah mana lagi, menunjukkan betapa mereka sesungguhnya –sadar atau tidak– telah mengejawantahkan ihwal multikulturalisme atas pemahaman kultur-etnis yang melingkarinya. Dengan begitu persoalannya tinggal, bagaimana jalinan komunikasi yang lebih mesra melalui pertukaran informasi dapat ditumbuhkan. Bagaimana Melayu atau Minangkabau dapat diapresiasi Sunda, Bali atau Jawa. Demikian juga sebaliknya.

***

Jakarta, barangkali dapat diasumsikan sebagai bentuk miniatur Indonesia. Atau, anggaplah ia merepresentasi Indonesia, mesti tidak dalam kerangka dan pemahaman dominasi dan sentralitas. Oleh karena itulah, munculnya komunitas-komunitas sastra di wilayah Jabotabek, seyogianya dipahami sebagai bentuk miniatur keindonesiaan itu. Di sana, ada Jawa, Sunda, Padang, dan sejumlah etnis lain. Mereka tentu saja tidak dapat melepaskan ruh kultural yang telah melahirkan dan membesarkannya. Maka, komunitas itu, potensial menyebarkan pemahaman berbagai-bagai kultur-etnis.

Dari komunitas-komunitas inilah, tidak berlebihan jika kita berharap mereka tidak hanya menawarkan keberagaman kultur-etnis, tetapi juga menyodorkan kultur yang lebih membumi dan menyodorkan sesuatu yang dapat menjadi bahan pemikiran kita. Ia tidak sekadar mendesak kita untuk membaca fenomena, tetapi juga menjadikannya sebagai bahan pergulatan intelektual. Boleh jadi, melalui itu –salah satunya—kita tidak hendak memubazirkan intelek kita. Sebab, hanya para pecundang yang lebih suka dan terbiasa menganggurkan inteleknya. Maka, jika intelek dan pemikiran kita secara sadar atau tidak, telah dipensiunkan, bersiaplah kita jadi pecundang. ***

KISI-KOTA, Kalau Sastrawan Tinggal di Apartemen

Gerson Poyk
http://www.sinarharapan.co.id/

Minggu lalu beberapa sastrawan ibu kota diundang oleh sastrawan (penyair) Leon Agusta dan istri Amerikanya untuk pesta kecil memasuki rumah baru, yaitu sebuah apartemen di depan harian Kompas. Bangunan itu setinggi tiga puluh tingkat.

Mungkin karena pertemuan Leon dengan Maggy di sebuah apartemen bernama Mayflower di Iowa City, maka setelah bertahun-tahun tinggal di kampung-kampung dan di kawasan perumahnn indah tidak membetahkan mereka. Mereka rindu pada apartemen. Maka mereka memilih tingkat tiga, sebuah ruang yang tak terlalu melayang, Atau mungkin karena keamanan lebih terjaga, sebab ada satpam dan mobil yang masuk diperiksa dengan teliti.

Setelah gembira bertemu dengan teman-teman dan kenyang menikmati makan-minum, kami pulang dengan sebuah taksi yang dibayar oleh novelis Hanna Rambe. Beliau mengantar penyair Kirnanto ke Utan Kayu, kemudian taksi berputar ke Thamrin lalu kami berpisah, naik bus ke Depok. Inilah susahnya Jakarta kalau ada acara pertemuan kangen-kangenan dengan teman seniman. Kecuali kalau ada helikopter yang hinggap di atap apartemaen lalu membawa pulang ke Depok, Grogol dan Utan Kayu. Itulah khayalan masa depan.

Kenangan masa lampau tinggal di apartemen Mayflower di Iowa juga indah. Saya menempati tingkat enam. Setiap hari mengetik novel Sang Guru dan beberapa karya lain yang sudah sering dipesan pemerintah (Inpres) dan sudah diskripsikan dan ditesiskan oleh beberapa mahasiswa dalam dan luar negeri untuk memperoleh S1, S2 dan S3.

Mungkin tinggal di apartemen di negeri sendiri agak lebih baik. Karena tidak ada salju, maka orang bisa keluar cari kopi di warung-warung, nongkrong di langit terbuka, buka baju pun boleh. Tinggal di apartemen di musim salju di negeri orang membuat saya diserang penyakit home sick. Tiap seperempat jam di malam hari yang sunyi saya membuka kotak surat. Mau minum kopi ada tetapi kita hanya berhadapan dengan mesin. Taruh koin di mesin, kopi keluar. Ini juga yang membikin sakit. Seorang teman saya, sastrawan terkenal dari Amerika Latin, memukul-mukul mesin itu karena kopi tidak keluar.

Hal ini membuat saya memperoleh inspirasi untuk membual bahwa saya menolong sastrawan itu dengan mundur beberapa langkah ke belakang lalu melompat dan menendang ”warung kopi” bego itu. Maka hancurlah mesin itu. Uang dan kopi berhamburan. ”Pantas, kami orang Indonesia gampang membunuh jutaan orang. Begini caranya!” kata sastrawan itu. Untung cuma fiksi.

SOSIOLOGI BUDAYA DAN TEORI EVOLUSI BUDAYA

(Sebuah Lirikan Historis dan Prediksi Evolusi Budaya)
Janual Aidi
http://sastra-indonesia.com/

Melacak sejarah sosiologi budaya secara kultural mendalam merupakan kajian yang tak mudah. Memerlukan waktu yang banyak untuk menggali referensi ataupun cerita-cerita tentang awal mula ‘budaya’ atau ‘manusia yang menjadi subjek budaya’ ketika mulai berbudaya. Karena memang, antara sejarah, budaya, antropologi, arkeologi dan sosiologi tidak dapat dipisahkan. Kelima unsur ini memiliki kohesi yang kuat. Begitu pula ketika membicarakan sejarah sosiologi budaya maka tidak dapat dilepaskan juga dengan ‘evolusi budaya’. Evolusi budaya inilah yang kemudian menciptakan ‘peradaban dan sejarah baru’. Terlepas dari kedangkalan referensi, maka penulis mencoba menampilkan ‘presentase’ semampunya.

Baiklah, penulis mencoba menampilkan semampunya. Mari kita simak bersama ‘presentase seorang mahasiswa dhaif’. Pada akhir abad ke-19, para antropolog menyimpulkan bahwa adanya persamaan unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat disebabkan karena persebaran atau difusi. Adolf Bastian mengemukakan adanya pengaruh Elementer Gedanken, bahwa adanya kesamaan unsur kebudayaan pada dua tempat disebabkan karena keduanya berada pada tingkat evolusi yang sama. Sedangkan konsep difusi menurut Kroeber menjelaskan tentang perubahan dalam suatu masyarakat dengan cara mencari asal atau ‘aslinya’ dalam masyarakat yang lain. Difusi pada tahapan yang ekstrim menekankan bahwa setiap pola tingkah laku atau unsur budaya yang baru itu tersebar dari satu sumber asli. Jelasnya, difusi adalah komponen penting dalam melirik awal mula dari sosiologi budaya.

Kemudian, gejala persebaran unsur-unsur kebudayaan merupakan sebuah sejarah perkembangan peradaban manusia yang secara evolutif bergerak dengan tingkatnya masing-masing. Perbedaan tingkat maupun pola interaksi yang terjadi adalah pola umum yang dapat ditemui pada semua kelompok masyarakat. F. Ratzel (1844-1904) seorang sarjana ilmu hayat, mempelajari berbagai bentuk senjata busur di berbagai tempat di Afrika. Ia banyak menemukan persamaan bentuk pada busur-busur tersebut pada berbagai tempat di Afrika. Begitu pula dengan unsur kebudayaan lainnya, seperti rumah, topeng, dan pakaian. Temuan tersebut mengarahkannnya untuk menarik kesimpulan bahwa pada waktu yang lampau terjalin hubungan antara suku-suku bangsa yang mendiami tempat tersebut. Fenomena kesamaan unsur-unsur kebudayaan tersebut melahirkan anggapan dasar yang menurut Koentjaraningrat bahwa kebudayaan manusia berasal dari satu pangkal dan berada di suatu tempat tertentu.

Unsur inilah yang kemudian berkembang dan menyebar ke tempat lain dan kelompok masyarakat lainnya. Dengan demikian konsep ini menyiratkan bahwa sejarah kebudayaan manusia diawali dengan sebuah kebudayaan awal sebagai pusat atau inti dari sejarah perkembangan kebudayaan manusia. Kebudayaan inti (induk) tersebut berkembang dan menyebar, kemudian melahirkan bentuk (unsur) baru karena pengaruh lingkungan dan waktu. Nah, melacak kembali sejarah gerak perpindahan bangsa-bangsa tersebutlah yang sukar dilakukan. Inilah yang kemudian disebut sebagai ‘kebuntuan’ oleh para antropolog ataupun peneliti-peneliti. Tak mau surut oleh ‘kebuntuan’ tersebut, pengembangan konsep Ratzel oleh para antropolog mendorong produktifitas teori konsep difusionisme lebih kaya dan perspektif. Seorang konservator museum Gracbner (1877-1934) melakukan penelitian dengan menyusun dan mengelompokkan benda-benda (artefak) berdasarkan persamaan bentuk.

Metode klasifikasi ini kemudian disebut dengan Kultrukreis. Metode Kulturkreis ini kemudian dikembangkan untuk memetakan secara lebih global kebudayaan manusia. Meskipun pekerjaaan klasifikasi sangat rumit mengingat banyaknya kebudayaan yang tersebar di seluruh dunia, akan tetapi, kenyataan ini justru melahirkan sebuah cita-cita untuk untuk merekonstruksi Kulturhistores umat manusia dengan harapan akan nampak kembali sejarah persebaran bangsa-bangsa di muka bumi. Metode Kulturkreis selanjutnya dikembangkan oleh Wilhelm Schmidt (1868-1954) untuk mencari jalan untuk mewujudkan Kulturhistoire.

Nah, proyek besar tersebut dimulainya dengan mengumpulkan data-data (identifikasi dan inventarisasi) kebudayaan-kebudayaan yang tersebar di seluruh dunia yang ia peroleh dari karangan-karangan etnografi. Penelusuruan Kulturhistoire yang dilakukan oleh Schmidt membawanya pada sebuah temuan mengenai bentuk religi tertua. Ia berpendapat bahwa keyakinan dalam bentuk monoteis (Urmonotheismus) merupakan bentuk religi sangat tua. Bahwa Titah Tuhan Asli ada pada bangsa-bangsa yang tua, yang hidup dalam zaman ketika tingkat kebudayaan manusia masih sangat rendah. Salah seorang antropolog ternama yang pada awalnya seorang dokter dan psikolog yang kemudian tertarik pada ilmu antropolog yaitu Rivers (1864-1922).

Rivers melakukan ekspedisi penting untuk sebuah eksperimen mengenai hubungan antara kebudayaan-kebudayaan suku-suku bangsa yang mendiami daerah-daerah di sekitar Selat Torres, Irian Selatan dan Australia Utara. Dalam penelitiannya, Rivers mengembangkan metode wawancara baru yang dikenal dengan Genealogical Method, metode yang mengklasifikasi asal-asal individu, yang kemudian menjadi teknik utama para antropolog dalam melakukan penelitian di daerah. Rivers berhasil mengumpulkan banyak bahan mengenai sistem kemasyarakatan suku-suku bangsa tersebut. Rivers juga melakukan penelitian pada suku bangsa Toda yang tinggal di propinsi Mysore di India Selatan dan kemudian menghasilkan buku The Todas (1906). Dalam penelitian tersebut, Rivers mendapat banyak bahan mengenai sistem kekerabatan orang Toda. Dengan membandingkan bahan tersebut dengan apa yang diperolehnya di daerah Malanesia. Ia kemudian mengembangkan konsep baru mengenai sistem-sistem kekerabatan yang dimuat dalam buku Notes and Queries on Anthropoloy (1912).

Pengembangan teori difusi juga dilakukan oleh para antropolog di Inggris. Diantaranya adalah Haddon yang pernah memimpin sebuah ekspedisi Cambridge ke selat Torres. Kemudian dikenal pula G. Elliot Smith (1871-1937) dan W.J. Perry (1887-1949) yang mengemukakan teori-teori aneh. Teori aneh mereka misalnya tentang sejarah kebudayaan dunia bahwa pada zaman purbakala pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang besar yang berpangkal di Mesir, yang bergerak ke arah timur, daerah sekitar Laut Tengah, Afrika, kemudian bergerak ke India, Indonesia, Polinesia, dan ke Amerika. Teori ini kemudian disebut dengan Heliolithic Theory. Heliolithic Theory bagi Elliot dan Perry didasarkan pada unsur-unsur penting kebudayaan Mesir Kuno yang tersebar ke daerah luas, tampak pada bangunan-bangunan batu besar (megalith), unsur religiusitas yang berpusat pada penyembahan matahari, atau helios. Pendapat ini menyimpulkan bahwa kebudayaan Mesir menjadi induk dan kemudian tersebar secara acak dan berkembang ke seluruh daerah di dunia di sepanjang waktu perjalanannya.

Teori Heliolithik tersebut kemudian dipergunakan dalam suatu penelitian besar oleh Perry yang mencoba menelusuri peta penyebaran unsur-unsur kebudayaan serta sebab-sebab dari difusi tersebut. Dalam persebarannya dari Mesir ke arah Timur Tengah sampai ke Amerika tengah dan Selatan, yang tentu saja melewati Indonesia, karena keberadaan pulau-pulaunya yang terletak di tenagh. Hasil penelitian Perry tersebut dipublikasikan ke dalam buku yang menadi sangat populer The Children of the Sun (1923). Heliolithic Theory secara konseptual dapat dipahami sebagai sebuah gagasan tentang kekuatan determinan sebuah budaya. Kekuatan determinasi tersebut tumbuh melalui kemampuannya untuk beradaptasi. Argumen sesungguhnya masih menjadi preposisi, bahwa kelestarian budaya tertentu menegaskan kemampuan beradaptasi yang lebih baik. Kaplan dan Manners juga mengemukakan, bahwa semakin tinggi taraf adaptasi suatu budaya, akan makin banyak struktur yang dikandungnya dan struktur-struktur itu makin terdeferensiasikan, makin terspesialisasikan fungsinya, serta sangat terpadu.

Kajian analitis Heliolithic Theory dapat juga ditemukan pada konsep hegemoni yang dipopulerkan oleh Anthony Gramsci. Sebuah budaya dapat memberi pengaruh dan melakukan penetrasi terhadap bangsa (budaya) lain melalui pertarungan gagasan (kontak) maupun kompromi-kompromi yang terbangun pascabenturan. Kompromi tersebut dapat berwujud difusi, maupun asimilasi.

Konsep hegemoni Gramsci menyimpulkan bahwa hegemoni juga terkait dengan pertarungan gagasan maupun persetujuan terhadap gagasan-gagasan dominan. Konsep hegemoni tersebut juga jauh dari sekadar berkolusi dengan gagasan-gagasan dominan. Proposisi ini juga mendapat respon dari Dominis Strinati yang menyatakan bahwa jika konsep hegemoni dipandang sebagai berasal dari konflik, maka kita dapat berharap terjadinya kompromi-kompromi hegemonik yang menuntaskan konflik, namun secara temporer, untuk mengungkapkan berbagai persoalan maupun kepentingan yang dipertaruhkan. Meskipun Heliolithic Theory mendapat tempat yang besar di kalangan para antropolog, namun seorang antropolog Amerika, R.H. Lowie justru membantahnya sebagai sebuah teori yang ekstrim. Menurut Lowie teori Heliolithik tidak sesuai dengan kenyataan, baik dipandang dari hasil-hasil penggalian ilmu prasejarah, maupun dari konsep-konsep tentang proses difusi dan pertukaran unsur-unsur kebudayaan antara bangsa-bangsa yang telah diterima dalam kalangan ilmu antropologi.

Koentjaraningrat menyimpulkan bahwa proses difusi tidak hanya dari sudut bergeraknya unsur-unsur kebudayaan dari suatu tempat ke tempat lain di muka bumi saja tetapi terutama sebagai suatu proses di mana unsur-unsur kebudayaan dibawa oleh individu-individu dari suatu kebudayaan, dan harus diterima oleh individu-individu dari kebudayaan lain, maka terbukti bahwa tidak pernah terjadi difusi dari satu unsur kebudayaan. Unsur-unsur itu selalu berpindah-pindah sebagai suatu gabungan atau suatu kompleks yang tidak mudah dipisahkan.

Dalam hal ini, penulis setuju dengan konsep yang di ajukan oleh Koentjaraningrat yang kemudian bisa dipetik kesimpulannya bahwa “sejarah ilmu budaya berawal dari kehausan generasi akan pengetahuan yang mengalir lewat ‘arus-arus’ difusi ataupun asimilasi oleh para ‘individu-individu terdahulu’ dan kemudian disempurnakan oleh ‘generasi kini’”.

Karena melacak sejarah sosiologi budaya begitu sulit, maka penulis mencoba menggunakan pendekatan seorang perintis antropolog Amerika bernama L.H. Morgan (1877, yang pernah tinggal dengan suku-suku Indian Iraquois dan banyak melakukan penelitian) lewat bukunya yang berjudul Ancient Society. Buku tersebut tidaklah secara rinci membahas sejarah sosiologi budaya, namun lewat karya Morgan tersebut memberikan pemahaman kepada kita semua bahwa dari evolusi terdahulu (Zaman Liar Tua) manusia mulai ‘berbudaya’. Ada delapan tahapan evolusi kebudayaan yang secara universal dilalui oleh manusia. Nah menurut hemat penulis, delapan tahapan evolusi kebudayaan tersebut dapat diartikulasikan menjadi sejarah klasik sosiologi budaya. Delapan tahapan evolusi budaya tersebut yakni:

1. Zaman Liar Tua. Yakni zaman sejak manusia ada sampai menemukan api, kemudian manusia menemukan keahlian lain seperti meramu dan mencari akar-akar tumbuhan liar untuk mempertahankan hidup.
2. Zaman Liar Madya. Yakni zaman dimana manusia menemukan senjata busur dan anak panah. Pada zaman ini manusia mulai merubah mata pencahariannya yaitu dari meramu menjadi pencari ikan. Dari peramu beralih ke nelayan.
3. Zaman Liar Muda. Yakni zaman dimana manusia masih dipengaruhi oleh ‘zaman liar madya’, namun sudah memiliki kepandaian untuk membuat alat-alat dari tembikar tetapi kehidupan manusia dizaman ini masih bersandar menjadi ‘pemburu’.
4. Zaman Barbar Tua. Yakni zaman dimana manusia masih dipengaruhi oleh ‘zaman liar muda’ (memiliki kepandaian membuat alat-alat dari tembikar) namun manusia pada zaman ini sudah bisa beternak dan bercocok tanam.
5. Zaman Barbar Madya. Yakni zaman dimana manusia masih dipengaruhi oleh ‘zaman barbar tua’ (sudah bisa beternak dan bercocok tanam) namun manusia pada zaman ini sudah bisa membuat alat-alat atau benda-benda dari logam.
6. Zaman Barbar Muda. Yakni zaman dimana manusia masih dipengaruhi oleh ‘zaman barbar madya’ (sudah bisa membuat alat-alat dari logam) namun manusia sudah mampu mengenal tulisan.
7. Zaman Peradaban Purba. Yakni zaman dimana manusia sidah mampu menghasilkan beberapa peradaban klasik zaman batu dan logam
8. Zaman Masa Kini. Yakni zaman klasik sampai sekarang.

Demikianlah sejarah sosiologi budaya klasik (bahasa atau istilah penulis) yang sekaligus menampilkan tahapan evolusi budaya klasik dari kaca mata tokoh Morgan dan tokoh-tokoh lainnya. Dan sepengetahuan saya, penyebab dangkalnya kajian sosiologi budaya adalah karena sebenarnya sosiologi budaya memiliki kajian yang masuk pada beberapa ranah disiplin ilmu (sosiologi, budaya, antropologi, arkeologi, dan sejarah). Sehingga cocok jikalau ‘tokoh’ sosiologi budaya sangat sulit dilacak. Jauh dari sebelumnya bahwa tokoh-tokoh dari budayawan, antropolog dan yang lainnya adalah berasal dari para tokoh sosiologi.

Mengetahui penjelasan diatas, maka pada kesempatan ini penulis juga mencoba menampilkan dan mengungkapkan sejarah sosiologi budaya, namun menitik beratkannya pada pola-pola kebangkitan dan keruntuhan peradaban. Mengungkap kajian peradaban dalam hal ini tidaklah jauh berbeda dengan mengungkap kajian budaya. Melalui kaca mata Arnold Toynbee lewat karyanya yang berjudul A Study of History mengatakan bahwa terjadinya suatu peradaban itu sendiri terdiri dari suatu transisi dari kondisi statis ke aktivitas dinamis. Transisi ini mungkin terjadi secara spontan, melalui pengaruh beberapa peradaban yang telah ada atau melalui disintegrasi dari satu peradaban atau lebih dari generasi yang lebih tua. Ia melihat pola dasar dalam terjadinya peradaban itu sebagai suatu pola interaksi yang disebutnya dengan “tantangan dan tanggapan”.

Tantangan dari lingkungan alam dan sosial memancing tanggapan kreatif dalam suatu masyarakat itu memasuki proses peradaban.

Peradaban terus tumbuh ketika tanggapan terhadap tantangan berhasil membangkitkan momentum budaya yang membawa masyarakat keluar dari kondisi ‘equilibrium’ memasuki keseimbangan yang berlebihan (overbalance) yang tampil sebagai tantangan baru. Dengan cara ini, pola tantangan dan tanggapan awal terulang dalam fase-fase pertumbuhan berikutnya, dimana masing-masing tanggapannya berhasil menimbulkan suatu diseqilibrium yang menuntut penyesuaian-penyesuaian kreatif baru.

Irama berulang dalam pertumbuhan budaya ini tampak terkait dengan proses-proses fluktuasi yang telah diamati selama berabad-abad dan selalu dianggap sebagai bagian dari dinamika pokok alam semesta. Para filsuf Cina kuno yang sekaligus menjadi budayawan (menurut penulis) percaya bahwa semua manifestasi realitas dihasilkan oleh dinamika yang saling mempengaruhi antara dua kutub kekuatan yang disebut yin dan yang. Pengertian suatu irama universal pokok ini juga diungkap oleh para tokoh moderen. Sain Simon melihat sejarah peradaban sebagai rangkaian pertukaran periode-periode “organik” dan kritis.

Setelah mencapai puncak vitalitasnya, peradaban cenderung kehilangan tenaga budayanya dan kemudian runtuh. Suatu elemen penting dalam keruntuhan budaya ini, menurut Toynbee, adalah hilangnya fleksibilitas. Pada waktu struktur sosial dan pola perilaku telah menjadi kaku sehingga masyarakat tidak lagi mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah, peradaban itu tidak akan mampu melanjutkan proses kreatif evolusi budayanya. Dia akan hancur dan secara berangsur mengalami disintegrasi.

Sementara peradaban-peradaban yang sedang berkembang menunjukkan keberagaman dan kepandaian yang tak pernah berhenti, peradaban-peradaban yang berada dalam proses disintegrasi menunjukkan keseragaman dan kurangnya daya temu. Hilangnya fleksibilitas dalam masyarakat yang mengalami disintegrasi ini disertai dengan hilangnya harmoni secara umum pada elemen-elemennya yang mau tak mau mengarah pada meletusnya perpecahan dan kekacauan sosial.

Namun demikian, selama proses disintegrasi yang menyakitkan itu kreativitas masyarakat-kemampuannya untuk menanggapi tantangan-tidak hikang sama sekali. Meskipun arus budaya telah menajdi beku dengan melekatkan diri pada pemikiran-pemikiran mapan dan pola-pola perilaku yang kaku, minoritas kreatif akan tetap muncul ke permukaan dan melanjutkan proses tantangan—dan—tanggapan itu. Lembaga-lembaga sosial yang dominan akan menolak menyerahkan peran-peran utama kepada kekuatan-kekuatan budaya baru ini, tetapi mereka mau tak mau akan tetap runtuh dan mengalami disintegrasi, dan kelompok minoritas kratif itu mungkin akan mampu mentransformasikan beberapa elemen lama menjadi konfigurasi baru.Proses evolusi budaya ini akan terus berlanjut, tetapi berada dalam kondisi-kondisi baru dan dengan tokoh-tokoh yang baru pula.

Pola-pola budaya yang digambarkan oleh Toynbee itu tampak sesuai dengan situasi kita dewasa ini. Dalam buku yang berjudul The Turning Point Titik Balik Peradaban karangan Fritjof Capra, menggambarkan bahwa manusia dalam budaya dan evolusinya mengalami spiralisai peradaban. Prediksi radikal penulis kedepan adalah evolusi budaya kita akan kemabali ke titik nol. Artinya ada re- budaya dan peradaban. Banyak manifestasi budaya ‘lalu’ yang di adopsi oleh masyarakat sekarang. Seperti apa yang pernah dikatakan oleh seorang filosof Cina bernama I Ching yakni: “setelah masa kehancuran datanglah titik balik. Cahaya penuh daya yang dahulu hilang kini bersinar kembali. Segala sesuatu adalah gerak, namun bukan oleh tenaga… Gerak itu alami, mengalir spontan. Karena itulah pergantian menjadi mudah. Yang lama berakhir, yang baru terlahir. Keduanya berlangsung dalam saat yang telah ditentukan, karenanya tidak ada luka yang ditimbulkan”. Dan satu hal yang mesti kita ketahui adalah bahwa seperti apa yang pernah dikatakan oleh Bacon yaitu tujuan ilmu adalah penguasaan dan pengendalian alam, yang menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah dapat digunakan untuk “mengubah kita menjadi tuan dan pemilik alam”.…

PENGARUH SUREALISME DAN PUISI TERKINI

Indra Tjahyadi
http://terpelanting.wordpress.com/

Membaca puisi-puisi karya W. Haryanto, Mashuri, H.U. Mardi Luhung, Muhammad Aris dan Zaki Jubaidi terasa sekali betapa kuatnya pengaruh wacana Surealisme di dalamnya. Pengaruh tersebut terlihat dari betapa banyaknya puisi-puisi mereka menggunakan ledakan-ledakan imaji yang sifatnya spontan dan tidak logis sekali.

Seperti pada puisi karya W. Haryanto yang berjudul “Karnaval Hantu”. Pada puisi karya W. Haryanto tersebut, ledakan imaji yang begitu spontan menciptakan analogi-analogi yang tidak logis dalam kalimat-kalimat puisinya. Hal tersebut dapat dilihat pada kalimat: Aku memanggilmu dengan setetes kata yang segar./ seperti mata—/. Pada kutipan tersebut dapatlah dilihat, betapa W. Haryanto menggunakan ledakan imajinya yang spontan sehingga menciptakan suatu perbandingan yang terkesan tidak logis, yaitu: memanggilmu dan mata.

Memanggilmu yang lebih merupakan sesuatu yang berpusar pada bunyi diperbandingkan dengan benda mata yang fungsinya untuk melihat. Hal tersebut tidak akan terjadi apabila W. Haryanto dalam fakta penciptaannya tidak menggunakan, yang oleh kaum surealis disebut Otomatisme. Seperti telah diketahui bersama, bahwa Otomatisme adalah suatu tehnik penciptaan kreatif yang menempatkan diri pada ledakan bawah sadar yang didasarkan pada kesadaran.

Dalam Otomatisme, segala hal dalam kesadaran direnggut dan diledakkan oleh bawah sadar untuk kemudian dikembalikan lagi pada kesadaran. Dan hal tersebut sedikit berbeda dengan tehnik penciptaan kaum Absurd. Sebab pada wacana kaum Absurd yang ada hanya ledakan bawah sadar yang disertai penolakan dan pengingkaran pada kesadaran.

Lain dari puisi-puisi karya W. Haryanto, pada puisi-puisi karya Mashuri keterpengaruhan akan wacana surealis juga besar, meskipun tidak sebesar pada puisi-puisi karya W. Haryanto. Pada puisi-puisi karya Mashuri, pengaruh wacana surealis juga terlihat pada bagaimana ia melakukan ledakan imajinya yang demikian spontan sehingga menciptakan analogi-analogi yang terkesan tidak logis. Seperti pada puisinya yang berjudul “Sajak-sajak Maut”.

Pada puisinya tersebut gejolak dari ledakan imaji yang spontan dapat dilihat pada kalimat puisinya yang berbunyi: / Anak-anak menunggu di beranda/ Dan kau berkata tentang kata/ Suaramu halilintar. Gelas dan rambut bergetar//. Penyamaan gelas dan rambut yang sebenarnya keduanya berbeda secara keberadaan fungsi dan ujudnya, bahkan kemampuannya, membuat puisi karya Mashuri tersebut terkesan agak tidak logis. Akan tetapi, hal tersebut bukanlah hadir tanpa sebab.
Penggunaan bawah sadar yang secara besar dalam penguraian logika pada puisi-puisi yang diciptakan oleh Mashuri membuat ketidaklogisan tersebut menjadi sah dan tidak dapat dielakkan adanya. Penggunaan gejolak dari ledakan imaji yang spontan membuat segala sesuatunya seakan-akan hadir tanpa pertimbangan yang jelas. Meskipun demikian, ia mempunyai semangat ekspresi yang kuat.

Selain itu, pengaruh surealisme pada puisi-puisi karya Mashuri dapat dilihat dari seringnya ia menggunakan tema-tema kematian pada puisi-puisi yang diciptakannya. Bukanlah sebuah rahasia lagi, bahwa kaum surealis , sebenarnya, adalah mereka yang gemar sekali menggunakan tema-tema kematian dalam setiap karya yang diciptakannya. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa mereka yang menggunakan tema kematian pada puisinya dapat dikatakan bahwa ia atau mereka adalah surealis. Atau mereka yang tidak menggunakan tema kematian pada karya yang diciptakannya adalah bukan surealis atau tidak terkena pengaruh dari wacana surealis. Dan hal tersebut dapatlah dilihat pada puisi-puisi karya H.U. Mardi Luhung.

Pada puisi-puisi karya H.U. Mardi Luhung pengaruh wacana surealis juga terkesan besar dan kuat, meskipun dalam puisi-puisinya amatlah jarang ditemukan tema-tema kematian dalam puisinya. Meskipun demikian, pengaruh wacana surealis masih juga terlihat, khusunya pada puisi “Kapal Selam”.
Pada puisinya tersebut, gejolak dari ledakan imaji H.U. Mardi Luhung yang spontan dapat dilihat dari pembandingan yang digunakannya. Keberadaan kapal selam dengan Nuh adalah dua hal yang berjauhan secara sejarah dan fungsi atas keberadaannya. Akan tetapi, hal tersebut tidaklah menghentikan dirinya untuk melakukan pembandingan dan penyamaan akan kedua hal tersebut. Sebab, bagaimanapun juga, Otomatisme dalam penciptaan setiap karya puisinya tetap menemukan porsi yang penting dan substansial, meskipun terkadang hal tersebut diacuhkan oleh penciptanya.

Akan tetapi, pengaruh wacana surealis yang besar terlihat pada puisi-puisi karya Muhammad Aris. Pada puisi-puisi karya Muhammad Aris keterpengaruhan wacana surealis terlihat demikian pekat dan kuat. Dan hal tersebut bukan saja pada tehnik Otomatisme, atau penggunaan tema kematian dalam setiap puisinya. Akan tetapi, pengaruh surealisme terlihat di berbagai seginya. Seperti pada puisinya “Ombak Selatan”.

Pada puisinya tersebut, terkasan kuat pengaruh wacana surealis di dalamnya. Dan hal tersebut dapat dulihat pada baris-baris puisinya: terang adalah kekosongan/ badai matahari yang merangkai lesut angin/ tak habis-habis berpusingan/ seperti kibaran merah karang/ airmata//. Pada kutipan puisinya tersebut dapatlah dilihat pengaruh wacana surealis yang demikian kuatnya sehingga segala yang hadir terkesan muram dan tidak logis. Seperti pada kalimat kibaran merah karang. Di mana kalimat tersebut, mengandaikan bahwa karang adalah tak ubahnya bendera yang dapat berkibar.

Hal tersebut adalah jelas suatu wujud spontan dari gejolak ledakan imaji Muhammad Aris sebagai penciptanya. Karena perbandingan yang demikian tidaklah dapat hadir apabila si penciptanya menggunakan kesadaran mutlak, dan tidak berpangkal tolak pada Otomatisme kaum surealis. Sebab tanpa Otomatisme, setiap ledakan imaji yang lahir hanya merupakan penghadiran kembali segala sesuatu yang berada dalam kesadaran dan bukannya bawah sadar.

Pada puisi-puisi Zaki Jubaidi, pengaruh wacana surealis juga besar, meskipun tidaklah terkesan seekstrem W. Haryanto, atau Muhammad Aris. Akan tetapi, hal tersebut tidaklah mngurangi nilai keterpengaruhannya terhadap wacana surealis. Seperti pada puisinya yang berjudul “Dua Perempuan dan Bau Sperma”.

Pada puisinya tersebut, keterpengaruhan Zaki terhadap wacana surealis juga dari ekspresi puisinya yang berpangkal tolak pada Otomatisme yang disebabkan ledakan imajibnya yang spontan. Dan hal tersebut dapat dilihat pada kutipan kalimat puisinya, yaitu: // Lenganmu menembus lipatan-lipatan rasa sakit./ dan menjelma kupu-kupu dengan sayap dari/ runtuhan salju/. Pada kutipan tersebut, dapatlah dilihat betapa Otomatisme yang digunakan oleh Zaki dalam tehnik penulisan dan penciptaan puisinya membuat setiap analogi yang hadir terkesan tidaklah logis.

Pada akhirnya, disadari atau tidak, pengaruh surealisme pada lapangan perpuisian kita terkini demikianlah besar. Terutama pada tehnik Otomatisme yang dimiliki oleh kaum surealisme dalam setiap penciptaan karyanya. Dan kelima penyair di atas adalah contoh dari sekian banyak penyair kita kini yang juga terpengaruh oleh wacana surealis dalam setiap karyanya, seperti Acep Zamzam Noor, Wahyu Prasetya, Kriapur, Nirwan Dewanto, Arief B. Prasetyo, Deny Tri Aryanti, dsb.

Membongkar Doa — Sebuah Puisi Ragil Supriyatno Samid –

Abdul Aziz Rasjid
http://sastra-indonesia.com/

DOA

baiknya segera Engkau putuskan
tinggal ataupun pergi
tentu saja sama baiknya sebab

Engkaulah yang terbaik:
sang maha tinggal, maha pergi

(Dari catatan Ragil Sukriwul, facebook 19 Juli 2009 jam 8:19)

Dalam doalah, aku kira, kita menjadi jujur-sejujur-jujurnya. Selain itu, Doa juga upaya memahami diri yang tak dirumuskan berdasar pandangan dari banyak orang, namun berusul dari kebutuhan pribadi. Doa, usaha membongkar dan belajar untuk berani menghadapi apa yang selama ini ditakuti. Petanda yang memperlakukan secara jujur getar konkrit yang mengalir sebagai kefanaan. Dari itulah, aku kira kemudian, doa bukan usaha membaca Tuhan, apalagi menterjemahkannya. Tapi sekadar belajar mengeja diri. Dan apapun macam ragam kata-kata dalam doa –seperti puisi “DOA” yang ditulis Ragil itu misalnya– lahir dari kebutuhan pribadi yang tak bisa disalahkan sebab tiap doa punya mohonnya masing-masing.

Dalam puisi “Doa” itu, aku lirik memohon begini: “Baiknya segera engkau putuskan/ tinggal ataupun pergi” dan itu sah-sah saja bukan karena aku lirik memang ingin berlaku begitu. Aku pribadi menangkap – Walau aku lirik memang tak menulisnya dalam lirik—aku lirik berani untuk menanggung resiko ditinggalkan Tuhan, yang nyatanya tak jarang orang berani menghadapi perihal ini. Lantas, mengapa aku lirik menjadi berani atau senekat itu? Jawabnya tersirat dalam keyakinan yang terujar dalam bait-bait ini: “tinggal ataupun pergi/ tentu saja sama baiknya sebab/ Engkaulah yang terbaik”. Urai kata aku lirik itu, saya kira, tak berbeda dengan ujar ini: “Sebab tuhan tak mungkin salah dalam mengambil keputusan”.

Keberanian itu, sisi positifnya, berpotensi membuat apa yang dilakukan aku lirik –perilaku baik atau sebaliknya– bukan lagi semata-mata sebab takut atas hukuman dan ingin upah pahala dari Tuhan. Tetapi tak lebih sebagai aktualisasi dari potensi afektif dan potensi kognitif yang dimilki manusia. Bila kita kait- kaitkan perihal itu pada konteks masa kini, perihal itu menjadi paradoksal dalam keumuman yang terjadi dalam perdabam kini: Kehidupan bersandar pada kepentingan modal dan apa saja telah berada dalam kekuasaan perdagangan, kehidupan spiritual tak jarang pula lantas diterlantarkan. Namun di sisi lain, manusia enggan pula berlaku jujur untuk mengakui telah kehilangan kemanusiaannya atau sengaja menanggalkan kemanusiaannya, sebab jujur adalah pengakuan terhadap dusta bahwa keduniawian lebih dirasa penting daripada Tuhan. Celakanya pula, tak jarang juga manusia berlebihan menaruh kepercayaan pada benda-benda yang mengusung citraan imajiner maupun simbolik yang dianggap dapat mengangkat derajat atau status sosial di lingkungannya.

Yang menarik saya kira, Tuhan dalam puisi “Doa” itu, nyaris tak digambarkan oleh aku lirik berdasar citra manusia lagi, dimana kualitas-kualitas Tuhan dan manusia disadari berbeda. Realisasi potensi manusia akan terbangun dalam kesadaran ini, sebab potensi afektif dan kognitif bukan didasarkan lagi pada laba pahala dan rugi dosa. Namun sayangnya, ada yang dilematis dalam lirik sajak “doa” itu; ketika aku lirik meyakini bahwa “tinggal atau pergi sama baiknya sebab engkaulah yang terbaik” mengapa mesti capek-capek aku lirik menyuruh tuhan untuk segera memutuskan (“baiknya segera Engkau putuskan”), padahal aku lirik telah menaruh percaya, bahwa Tuhan tak mungkin salah dalam mengambil keputusan, maka andainya pun Tuhan memutuskan untuk tak pergi juga tak tingga,l hal itu bukan bagian dari kesalahan keputusan. Disinilah soalnya saya kira, aku lirik masih terjebak pada kecenderungan Antropomorfisme dalam memandang Tuhan.

Lantas bagaimana dengan larik ini “sang maha tinggal, maha pergi”, biarlah pusi berjudul Al Qodir ini (Emha Ainun Nadjib dalam Syair-syair Asmaul Husna, hal. 128-129) menemani dalam upaya memahami larik itu, sekaligus menjadi penutup yang semoga pintu menemu tuju bentuk religiositas baru yang akomodatif bagi aktualisasi keimanan pelengkap komentar yang sekriwil rambut panjang Ragil: …Allah/ bukan saja tidak meninggalkan mereka, bahkan ia/ tak/ membiarkan hamba-hamba-Nya menjadi manja,/ Terlampau/ bergantung pada keajaiban kuasa-Nya serta/ memubadzirkan kemungkinan bahwa mereka bisa/ mengerjakan perubahan diri mereka…Allah Maha kuasa sehingga Ia bukan Dzat/ yang perlu merendahkan diri-Nya dengan turun/ tangan/ mengurusi soal-soal kecil yang sudah Ia amanatkan/ kepada hamba-hamba-Nya.

Menyoal “Keberadaan” Kritik(us) Sastra

Nelson Alwi
http://www.suarakarya-online.com/

Dalam buku The Sacred Word (Metheun & Co Ltd., New York, 1960) TS Eliot menulis, we might remind ourselves that criticism is an inevitable as breathing. Ya kita selalu menghormati, membutuhkan dan tidak dapat melepaskan diri dari kritik (sastra). Syukurlah, kritik sastra masih terus ditulis, meski memang telah kehilangan legitimasinya.

Legitimasi atau kehidupan kritik(us) sastra, ya, itulah yang kerap membuncahkan jagat sastra Indonesia. Banyak kajian berupa esai atau artikel yang intinya menyiratkan keresahan, kekecewaan dan keprihatinan kita menghadapi degradasi keberadaan kritik(us) sastra.

Ketika kebudayaan industri atau kebudayaan massa koran begitu berkuasa, tradisi romantik yang cenderung ke detail dan melahirkan kritik sastra buku dan majalah ala Jassin dianggap sudah tidak relevan. Persoalannya adalah, kehadiran kritik(us) sastra koran dirasa masih sangat jauh dari memuaskan.

Asumsi di atas seakan beroleh pembenaran dari beberapa figur sastra kita. Faruk HT, melalui tulisan berjudul Situasi Kritik Sastra Dewasa Ini mengatakan kritik sastra sekarang telah dikuasai media massa koran. Karena itu, sesuai orientasi serta kaidah jurnalistik media bersangkutan, kritiknya cenderung abstrak, mengambang, bertutur tentang soal-soal yang umum sehingga kehilangan kemampuan bicara menyangkut detail.

Dengan nada lain Agus Noor mengungkapkan, kritik maupun kritikus tidak lebih dari semacam mitra dialog(is), yang membuka dan memberi peluang cara pandang mendekati serta mengapresiasi karya sastra. Iwan Gunadi menilai kritikus tak memiliki perangkat yang memadai -selain teori-teori yang terlalu memBarat- untuk menguliti sebuah karya. Nirwan Dewanto mengemukakan “kemalu-maluan” serta ketidakberanian kritik(us) sastra menegakkan kepala.

Telaah(an) para figur sastra kita itu secara tidak langsung menyiratkan bahwa kritik(us) sastra, seiring zaman, terlihat mencari bentuk dan mediumnya. Dengan kata lain, kritik sastra ternyata begitu fleksibel, bisa menyesuaikan diri dengan zaman: buku, majalah, pengantar-buku dan koran. Akan tetapi keabsahan kritik sastra bukan ditentukan oleh medium kritik(us) melainkan oleh kebernasan atau “sesuatu” yang ada pada kritik itu. Artinya adalah, seekstrem apa pun orang menolak kehadiran seorang kritikus, tapi jika di antara kita ada yang sanggup memformulasikan kritiknya sebagai sebuah kritik maka akan jadi dan di”dikritikus”kan khalayaklah dia.

Sesuai sifat dan fungsinya, kritik sastra niscaya menjadi penghubung antara pembaca dan (pengarang) karya sastra. Kecuali itu, kritik dengan segala konsekuensinya mungkin sangat diperlukan sastra(wan), sebagai tolok ukur yang, ironisnya, bukan tidak mustahil justru akan membunuh atau sebaliknya melambungkan karya sastra -termasuk pengarang.

Sekaitan ini, dalam konteks relasi kritik dengan karya dan masyarakatnya Gus tf mengatakan sublimitas seorang seniman adalah kehidupan sedang sublimitas seorang kritikus adalah karya seni. Ketimbang menyerahkan dan menghadapkan diri pada “keangkuhan” sebuah karya, kritikus menempuh jalan tersendiri yang sebetulnya ironi: mengritik dengan bahasa yang karena keharusannya bermain dalam gugus pengertian.

Tersebab “intervensi” pemikiran filsafat, korelasi dan relevansi dikotomi kritik jadi lebih bersifat konseptual. Lebih spesifik, seni (baca: karya sastra) yang diposisikan sebagai sarana penyampaian masalah-masalah sosial ditempatkan kritik(us) sebagai subordinat suatu kepentingan politik. Karya yang dipandang sebagai “alat” pencapaian ide-ide besar tentang seni ditempatkan sebagai sesuatu yang sangat individualistik. Karya yang cenderung memanifestasikan tingkah-laku sehari-hari akan ditempatkan sebagai sesuatu yang agung, tinggi, didaktik dan karenanya akan terbebani oleh berbagai tuntutan dan harapan. Karya (dunia simbolik) yang selalu berinteraksi dengan dunia sosial dan material, tidak saja akan membuat karya kehilangan otonomi tetapi juga akan direduksi kritik(us) dengan banyak aspek kepentingan yang menyertai karya tersebut.

Hemat kita, di sinilah permasalahan yang sesungguhnya. Karya sastra bisa dimasuki kritik(us) dari segala sudut pandang. Dan keberhasilan kritik sastra bukan bergantung kepada siapa yang membuat atau apa dan di mana ia dipublikasikan. Kemangkusannya berkaitan erat dengan kearifan kritikus menjaga penetrasi porsi tulisan yang mengacu pada sifat serta fungsi kritik, di samping kepiawaian kritikus menyiasati medium (buku, majalah, pengantar-buku, koran) yang hendak dimanfaatkannya.

Namun kearifan dan kelihaian kritikus memahami maksud, kiat, style berikut gaya bahasa (yang pas) yang akan digunakan mengulas karya sastra jelas tak berarti andaikata ia tidak bijak dan jeli menangkap keindahan atau kelemahan yang terkandung dalam karya. Ini ditengarai bertali-temali dengan kejujuran dan obyektivitas kritikus sewaktu menimbang karya yang dikupas. Sebagai ilustrasi, konon di sinilah keunggulan HB Jassin. Sejarah membuktikan, Chairil Anwar yang (selamanya) ia sanjung langsung dikecam begitu menyadari penyair besar itu “mencuri” sajak A Song of the Sea Hsu Chih-Mo.

Barangkali inilah diskursus atau problem yang melatarbelakangi kegamangan Taufiq Ismail. Dalam “Kongres Kesenian Indonesia I” tempo hari penyair kondang itu mengungkapkan, semenjak HB Jassin “pensiun” menulis kritik dunia sastra kita merasa sangat kehilangan. Keadaan itu diperburuk karena beberapa kritikus yang bilangannya bisa dihitung dengan jari tangan sudah memasuki “masa persiapan pensiun” pula. Sementara FSUI yang pada masa jayanya punya sebarisan jago kayak Boen Sri Oemarjati, MS Hutagalung, Lukman Ali, Saleh Saad, seakan dilanda degenerasi alias tak melakukan regenerasi.

Sedikit berbeda dengan Taufiq, Sapardi Djoko Damono justru melontar sinyalemen yang lebih menjurus ke sebab-musabab “keterpinggiran” atau stagnasi keberadaan kritik(us) sastra itu sendiri. Dalam “Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia” di Denpasar, Bali, beberapa tahun yang lalu, Guru Besar FSUI itu mengatakan bahwa untuk bisa membicarakan karya sastra secara baik, kritikus harus lebih pintar atau minimal sama cerdasnya dengan pengarang. Selain itu tiap generasi harus memiliki juru bicara, karena tiap zaman punya keunikan dan problematikanya sendiri.

Ya, orang bilang pengarang mencipta berdasarkan kekuatan imajinasinya sedang kritikus bicara dengan keluasan (ilmu) pengetahuannya. Maka idealnya, seyogyanya seorang kritikus menguasai seluk-beluk sastra yang maksimal sembari terus mempelajari puspa-ragam informasi yang beredar di tengah masyarakat. Bermodal pengetahuan yang memadailah seorang kritikus leluasa menggeluti karya sastra. Tapi memang, kritikus yang (akan) berhasil dengan misi dan visi maupun citranya adalah kritikus yang cerdas memanfaatkan peluang zaman lewat medium yang dimasukinya.***

*) Nelson Alwi, pencinta sastra-budaya, tinggal di Padang.

Selasa, 21 Desember 2010

Remy Sylado: Apresiasi Puisi Sekedar Basa Basi dan Puisi Sebagai Perkayaan Rohani

Zawawi Se
http://sastra-indonesia.com/

Yapi Tambayong atau yang lebih kita kenal dengan nama pena Remy Sylado, seorang pemusik, pedrama, dan pelukis, juga seorang sastrawan yang karya-karya novelnya banyak terpajang di etalase-etalase toko buku ternama dan diminati banyak penyuka karya sastra mulai dari Kembang Jepun, Cau Bau Kan, dan yang paling muakhir adalah Diponegoro. Bahkan salah satu novelnya pernah difilmkan oleh seorang sutradara muda Indonesia dengan berbagai prestasi.

Saat ini Remy Sylado memilih menahbiskan diri sebagai Pesyair meskipun dengan berbagai bakat seni yang dia miliki yang dia anggap sebagai nugraha Ilahi. Kenapa demikian? Bagaimana dia mencermati keriuhan puisi saat ini yang semakin banyak diproduksi dan disyiarkan diberbagai média? Bagaimanakah proses kreatifitasnnya dalam mencipta puisi yang menjanjikan perkayaan rohani? Bagaimanakah pandangannya tentang apresiasi puisi dalam berbagai peristiwa budaya yang melibatkan puisi didalamnya?

Berikut ini adalah hasil wawancara saya, Zawawi (ZA) dengan Remy Sylado (RS) dalam sebuah imajinasi pertemuan yang tentunya bilakah dan dimanakah wawancara tersebut berlangsung tak perlu saya sebutkan dan rasanya memang tak begitu penting untuk diketahui.

Zawawi (ZA): Apa kabar Pak? Sehat?

Remy Sylado (RS): Puji syukur saya sehat-sehat saja meskipun Anda lihat sendiri rambut saya telah banyak yang memutih termakan usia ha..ha..

ZA: Begini Pak, yang saya dengar Anda sekarang pun memilih menahbiskan diri sebagai penyair dengan berbagai bakat dan keahlian serta “profesi” yang telah Anda geluti selama ini. Bila dikaitkan dengan kondisi saat ini dimana kemajuan teknologi telah mempermudah sebaran dan akses informasi. Banyak kita jumpai teks-teks puisi diproduksi, baik oleh para penyair ternama maupun penyair pemula atau bahkan meminjam istilah Hasan Aspahani (HAH) para awam puisi, bagaimana menurut Anda?

RS: Hasan Aspahani? Siapa dia? Oh ya, saya ingat, bukankah di Penyair juga, karyanya sering nongol di Kompas, Tempo, dan beberapa koran nasional lainya. Ya, ya, memang jalan menuju puncak puisi, jalan menjadi pesyair berpercaya tidaklah lempeng, banyak yang terpanggil namun sedikit yang terpilih.

ZA: Jadi, maksud Anda dalam dunia kepenyairan juga ada semacam seleksi alam begitu ya. Kalau menurut Anda karya puisi yang baik itu kriterianya apa?

RS: Begini, ketika saya muda dan masih menuntut ilmu di perguruan tinggi teologi di Semarang, saya pernah bertanya kepada Prof. Dr. Bufford L. Nicholas, rektor seminari itu; kenapa film-film yang dibuat oleh bangsanya untuk tiap-tiap adegan penguburan selalu di bacakan ”The Lord is my shepherd”. Lalu beliau menjawab bahwa kandungan puisi itu berkasad menghibur orang yang ditinggal dan sekaligus memberi kepastian adanya harapan kehidupan baru bagi orang-orang yang percaya. Nah dari situ ada yang membingkai dalam pikiran saya sekarang yaitu puisi yang punya nafas panjang, yang dibaca secara tetap oleh khalayak, adalah puisi yang memberikan faedah penghiburan dan pengharapan kini dan hari esok.

ZA: Dengan kata lain karya puisi yang baik adalah karya yang abadi, bernafas panjang, dinikmati khalayak dari masa ke masa, dan memberikan faedah bagi pembacanya begitu ya?

RS: Ya, begitulah saya pikir dan topik itu pulalah yang mendasari atau sekurangnya mewarnai kemauan saya menulis puisi, karena saya yakin itu akan memberi faedah bagi banyak orang. Saya tertarik dengan pernyataan Sitor Situmorang bahwa kepengarangan, berikut tanggungjawab intelektualnya, ada kesejajaran dengan dan dapat dikiaskan sebagai kenabian.

ZA: Sebagaimana telah saya sampaikan diawal bahwa teks-teks puisi banyak diproduksi, berserakan di etalase-etalase toko, di koran-koran, di majalah-majalah, belum lagi yang ada di dunia cyber dan banyak juga disyiarkan di panggung-panggung dengan berbagai nama kegiatan, bagaimana Anda mencermati hal ini?

RS: Tidak diingkar, bahwa keramaian puisi diatas panggung itu baik juga. Tetapi selanjutnya dipertanyakan dapatkah keramaian itu menjamin adanya rasa kebutuhan – bukan lagi apresiasi, sebab apresiasi sering menjadi basa basi – bagi khalayak untuk mau membeli buku puisi, menyimpannya di antara buku-buku di rak koleksinya sebagai pelengkap ciri kehidupan berbudaya? Saya memang memuji usaha pementasan puisi dengan berbagai nama kegiatan baik lomba atau festifal sebagai peristiwa budaya, toh saya juga ingin berkata kurang yakin usaha itu serta merta dapat mendorong apresiasi menjadi kebutuhan pada puisi yang memperkaya rohani.

ZA: Maksud Anda?

RS: Ya, saya lebih yakin memperoleh perkayaan rohani bukan diperoleh dari peristiwa yang disaksikan diatas panggung, diantara sorak sorai orang banyak, tetapi justru lebih efektif diserap dalam sebuah ruang baca, dalam rumah, dalam konsentrasi pupil mata mengamati huruf dan pengertian yang terangkai pada kata-kata. Jadi menurut saya hubungan puisi dengan khalayak saat ini karuan lebih padan sebagai tontonan. Dan tontonan ini sebagaian besar dinimkati oleh usia remaja, dan barangkali belum mapan dengan suatu kerja tertentu.

ZA: Selama ini Anda dikenal sebagai sastrawan dengan karya-karya yang banyak diminati pecinta karya sastra, bahkan salah satu karya Anda diangkat ke dalam sebuah film, disamping sebagai pedrama, pemusik, dan pelukis. Sekarang Anda merambah ke dunia kepenyairan sebagai Penyair, bagaimana Anda memandang hal ini?

RS: Saya menahbiskan diri sebagai ”Pesyair” bukan Penyair. Saya menjadikan sebutan ini menjadi khas bagi diri saya. Maunya, jika orang lain Penyair, maka saya ”Pesyair”.

Ya, saya memilih menjadi Pesyair diluar menerima bakat saya yang lain seperti yang telah Anda sebutkan tadi. Saya meyakini bahwa hal tersebut sebagai bakat seni yang dianugerahkan Ilahi kepada diri saya. Saya sangat bersyukur atas anugerah tersebut.

ZA: Bagaimana maksud Anda dengan Puisi yang memberi perkayaan rohani sebagaimana yang telah Anda sebutkan diawal tadi?

RS: Begini, dengan kemampuan sebagai pesyair yang saya yakini sebagai nugraha Ilahi tadi, maka sudah seharusnya anugerah tersebut dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, maka pesyair harus menyadari kewajibannya untuk secara ikhlas bersyukur kepada penciptanya melalui hasil ciptaan yang memandangNya sebagai sumber kedayacipataan. Bersyukur berarti juga bersaksi akan kebesaranNya, kemahakasihanNya dengan kata-kata yang terencana; kata-kata yang lahir dari dorongan estetik menjadi ekspresi dorongan estetik.

Dengan kata lain, dalam bersaksi melalui kerja seni itu berarti pesyair membagi kata-kata atas perasaan dan penghayatan spiritualnya kepada manusia sesama, memberikan pengalaman-pengalaman spiritual itu sebagai pertimbangan atau pendorong kearah penemuan atau pembentukan suatu sikap spiritualitas, seraya berharap dari kerja itu sang maha pencipta berkenan menerima sebagai ibadahnya. Baru setelah itu maka puisi memperoleh arti maknawi akan pertanggungjawaban insani sebagai wujud perkayaan rohani.

ZA: Bagaimana Anda dalam proses berkreatifitas sehingga tercipta karya yang menjanjikan perkayaan rohani?

RS: Ketika saya menulis puisi, saya memanggil ilham itu, bukan menunggunya. Saya anggap ilham harus menjadi pengamatan yang tersimpan, dan yang sewaktu-waktu dapat dipangggil kembali untuk hadir: dari pelbagai pergumulan yang dipetik atas kehidupan sesungguhnya, atas kerinduan, dambaan, harapan, hari depan, atau dari kenyataan di sekitar kehidupan manusia pada lingkungannya. Berbagai pergumulan dari kenyataan itu lantas dibawa ke suatu tempat dalam kesadaran batin yang saya sebut ”sukma berdaya cipta”. Disitu pergumulan-pergumulan itu masuk menjadi semacam rengrengan, semacam sketsa dalam lukisan, dan diendap mengikuti proses pembentukannya, berlanjut pula seperti tahap membuat komposisi warna ideal dalam imajinasi lukisan, yaitu mengarah pada bentuk visual, sejauh bangunan itu sendiri sesungguhnya merupakan rangkaian kata-kata.

Begitu saya telah merasa mesti memindahkannya ke atas kerta, maka saya panggil ilham ini, atau saya panggil ingatan-ingatan yang telah tersimpan dalam sukma berdaya cipta tersebut, mengalir diatas kertas itu. Tak jarang ia mengalir dengan kejutan-kejutan, maksudnya dalam proses pembentukan itu, sering tercipta secara sekonyong kata-kata baru yang segera menyambung, menyisip, dan melengkapi rengrengan tersebut.

ZA: Bagaimana menurut Anda dalam proses kreatifitas oleh seorang Penyair dengan menggunakan obat-obatan atau sejenisnya untuk memacu keluarnya ilham?

RS: Dalam hubungan ini, saya merasa aneh, kendati tetap mencoba mengerti, bahwa ada penyair di Prancis, dari Charleville, Ardennes, yang harus dipacu untuk mendapat ilham dengan jalan mengisap ganja. Atau juga penyair Inggris dari Godalming, Surrey, yang memakai obat untuk memperoleh tingkat imajinasi yang unik bagi puisinya. Saya terkesan pada kata-kata Subaio Sastrowardoyo yang menyebut ini sebagai ”tanda ketaksabaran”. Saya malah terpikir menyebut itu suatu tindakan skeptisme, agnotisme, vrijdenker, ungodliness, ateisme. Diluar itu, sebaliknya saya bisa menghargai penyair di Bandung yang mesti menaruh dulu bunga dalam vas di jendela, supaya ia memperoleh ilham dengan melihat keindahan itu. Atau seorang penyair dari Yogya yang mesti kungkum dulu semalaman di Parangtritis supaya memperoleh ilham sejati bagi keindahan puisinya. Sebab, barangkali dengan cara itu, mereka mencoba mendekatkan visi pada misteri alam sebagai realitas adanya maha pencipta yang menguasainya, dan boleh jadi itu merupakan jalan ke sikap spiritual.

ZA: Apakah menurut Anda seorang Pesyair dituntut untuk memiliki moralitas-moralitas tertentu atas buah karyanya?

RS: Dengan terang ingin saya nyatakan disini bahwa sikap etik dalam menulis puisi, disandarkan pada kesiapan membuka nurani sebagai peradilan Ilahi. Bukankah pada dasarnya Tuhan adalah muasal masalah keindahan dan kepada-Nya pula perwujudan keindahan itu mesti diarahkan.

ZA: Wah Pak, kayaknya saya sudah menyita banyak waktu Anda. Pertanyaan terakhir saya, siapakah menurut Anda orang yang paling berpengaruh terhadap sastra Indonesia pada akhir abad 20 ini.

RS: Jika saya harus menyebut satu nama orang yang paling berpengaruh pikirannya dalam sastra Indonesia di dekade akhir abad ke 20, saya yakin itu adalah Goenawan Mohammad.

ZA: Baik Pak, terima kasih telah meluangkan waktu untuk memberikan pikiran-pikiran yang mencerahkan bagi penggemar sastra di Indonesia khususnya dunia perpuisian.

RS: baik, sama-sama

Bacaan:
Puisi-Puisi Remy Sylado, Kerygma & Martyria, Remy Sylado, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004

Jumat, 10 Desember 2010

Hikayat dari Lospalos

Robin Dos Santos Soares
http://www.kompasiana.com/robin

“Nenek tidak mau orang lain mengantarku ke tempat di mana kita harus berpisah untuk selamanya, nenek ingin kamu berjalan di sampingku sampai di pelabuhan kematian. Nenek ingin kamu bukan orang lain, ingat itu. Karena kamu satu-satunya cucuku yang nenek sayangi selama ini, karena kamu bertanya tentang kehidupan dan kematian.”
“Apakah aku harus menangis?” Aku bertanya “karena setiap kali kematian datang semua orang pasti menangis dan bersedih”
“Tidak perlu, nenek tidak ingin air matamu jatuh karena kepergian nenek masuk surga.”
“Kok nenek tahu dari mana bisa masuk surga?” aku tanya dengan sedikit bingung.
“Selama ini nenek merasa berbuat baik di dunia, masa masuk neraka! Nenekmu ini sudah beli tiket untuk masuk surga.”
“Berarti ada kehidupan baru setelah kematian?”

Nenek menjelaskan, “Kematian itu ibarat kamu tidur nyenyak, kamu bekerja di kebun misalnya, melihat jagung bertumbuh dengan subur, kacang tanah tidak dimakan ayam hutan, tidak ada hama tikus, kamu pulang menceritakan kepada tetanggamu, malamnya kamu tidur nyenyak kemudian bermimpi dalam tidurmu. Tetapi, jika jagungmu dimakan sama tikus atau monyet kamu pasti marah, kata-kata kotor mulai keluar satu persatu dari dalam rongga mulutmu. Kamu ingin sekali membunuhnya, namun sayang kamu hanya seorang diri. Hatimu pasti sedih melihat jagung dan tanaman lain, apakah kamu bisa tidur? Arti kematian seperti itu, kamu akan tidur nyenyak selama kamu merasa berbuat baik di dunia. Jika tidak maka arwahmu tidak tenang di alambaka.”

Aku masih bingung. “Bisa nggak nenek jelaskan dengan bahasa awam?”
“Baik, kalau begitu. Nenek ingin bertanya kepadamu. Apakah kamu sudah punya pacar?” Pada waktu itu aku sedikit malu, namun beberapa menit kemudian aku angkat kepala dan menjawab. “Ya nek, tapi aku jadi malu nih.”
“Nggak usah malu asal jangan sampai malu-maluin. Baik, pada saat kamu sedang jatuh cinta kepada seorang gadis desa tetapi cinta kamu ditolak, malamnya kamu bisa tidur nggak?” “Nggak bisa nek, rasanya berat banget” Jawabku dengan sedikit semangat, seperti orang baru saja minum susu.

“Tetapi seandainya cintamu diterima sama anak pak Lurah itu, apakah kamu bisa tidur?” Aku menjawab, “Tetap saja nggak bisa, tapi entar dulu, anak pak Lurah yang mana? Soalnya ada lima anak gadisnya.”
“Yang berambut lurus itu, aku lupa namanya, tetapi pernah bantuin nenek waktu lagi mandi di kali” “Bantuin apa nek?” Aku bertanya dengan rasa ingin lebih tahu lagi.
“Ah, kamu nggak perlu tahu, itu urusan perempuan!” jawab nenek sambil membenarkan sarungnya. “Ya aku tahu itu. Si Ita namanya, orangnya cantik dan baik hati, aku suka senyumnya. Dia teman sekelasku yang sering meminjam pensil waktu lagi ujian.”

“Kamu bisa tidur nggak sih?” Tanya nenekku lagi dengan suara agak keras. “Nggak bisa nek, aku ingin cepat ketemu keesokan harinya, bukan begitu nek?”
Nenek menertawain aku dan berkata. “Itu artinya kamu sudah setengah matang, ibarat buah pisang yang tumbuh di kebun kita, dan mulai jatuh cinta sama perempuan, tetapi itu wajar saja terjadi pada siapa saja. Jika semua orang di dunia ini saling jatuh cinta, nenek rasa nggak ada perang, karena masing-masing pasangan akan mengajak pacarnya berlibur kecil di pantai atau di hutan lalu berceritakisah untuk kekasihnya” Ha …Nenek terus tertawa.

“Nenek belajar itu dari mana?”
“Nenek hanya belajar dari kehidupan sehari-hari, belajar dari daun-daun hijau, tanah kering, batu, matahari, bulan dan bintang.”
“Wao… nenek pintar sekali, kalau begitu jangan mati dulu ya nek, aku ingin nenek hidup lima tahun lagi agar bisa ceritain aku tentang siang dan malam, air dan laut.”
Aku duduk diam sebentar, lalu bertanya “Boleh aku tertawa saat nenek mati nanti?”
“Kamu boleh saja tertawa, tetapi ingat jika nenek rindu, kamu harus luangkan waktumu untuk menenggokku dengan siri pinang kesukaan nenek”
“Wah, nenekku baik sekali padaku. Aku cinta nenek, aku sayang sama nenek. Tapi jangan mati dulu ya, aku nanti gimana? aku nggak punya nenek lagi yang bisa menceritakan tentang kehidupan dan kematian!”

“Nenek berjanji akan menceritakan semuanya kepadamu sebelum nenek pergi ke surga. Sekarang sudah larut malam waktunya untuk tidur, burung hantu juga sudah tidur, nenek akan ceritakan lagi besok ya!”

Tidak lama kemudian mataku mulai ngantuk, dan kami tertidur dalam udara malam yang dinginnya sampai ke dalam sumsum tulangku. Aku mulai berdoa.
“Ya Tuhan, janganlah engkau memanggil cepat nenekku. Aku masih ingin hidup bersamanya, aku ingin nenek selalu bercerita sebelum aku tidur. Amen.”

Sang surya mulai terbit di ufuk timur, muncul di balik gunung Paichau. Hari ini adalah kelanjutan dari hari kemarin, segala aktifitas dimulai lagi hari ini. Matahari terus memancarkan sinarnya. Aku baru bangun dari tempat tidur yang beralas tikar bekas. Nenek sudah bangun tadi sebelum ayam berkokok tiga kali. Ia mulai membuat sarapan pagi, merebus ubi kayu. Kami setiap pagi makan umbi kayu dengan segelas air putih. Kami tidak pernah mengenal empat sehat dan lima sempurna. Kami makan apa adanya, yang penting bisa bertahan untuk hidup.

Nenekku pernah berkata bahwa “Kita bekerja keras untuk hidup, belajar dari masa lalu untuk masa depan. Ia bisa meramal cuaca hari ini, panen akan memburuk, hujan turun tapi tidak seperti tahun lalu, bulan ini ada lagi yang mati karena kelaparan. Ia lebih pintar daripada orang-orang yang bekerja di kantor BMG (Badang Meteorologi dan Geofisika) yang digaji jutaan rupiah.

Kami tinggal bersama di gubuk kecil selama sepuluh tahun, kampung kami jauh dari keramaian kota. Memelihara binatang piaraan seperti ayam dan babi. Masyarakat pada umumnya masih miskin dan buta huruf. Hidup dalam kemiskinan sudah bertahun-tahun tetapi kami tidak pernah mencuri. Kami selalu mensyukuri apa yang kami miliki, baik itu material maupun non material. Menghargai adat istiadat. Menyembah arwah para leluhur.

Bulan Desember tiba, mendekati hari natal dan tahun baru. Orang-orang kampung yang sudah lama tinggal di kota datang menenggok keluarganya untuk natalan bersama. Mereka datang berbondong-bondong dengan konvoi mobil dan sepeda motor. Membawa oleh-oleh dari kota yang tentu saja di kampung tidak ada. Anak-anak mereka memakai baju baru bermerek, celana baru, senjata mainan plastik seperti AK-47 dan M-16.

Malam natal tiba, anak-anak itu berjalan ke gereja dengan sepatu yang bisa menyala, ada lampu ajaib kata mereka. Mereka pergi ke gereja dengan senjata mainan bersama orang tua. Nenekku pernah berpesan agar kami anak kampung jangan memakai sepatu atau sandal, agar kami bisa merasakan apa yang sedang kami injak. Doktrin itu selalu melekat di hati kami sampai dewasa.

Anak kota ada yang bercita-cita ingin mejadi tentara atau polisi. Ada yang ingin jadi pilot, dokter, orang kaya, pakar hukum, politikus yang berubah wajah menjadi tikus, dan pemimpin partai. Tetapi tidak ada yang ingin jadi petani desa. Mereka ingin bersih memakai dasi, kerja di kantor, dihormati oleh masyarakat, berfoya-foya dengan uang korupsi. Kerja kotor dengan keringat bau di badan mereka nggak mau, katanya nanti parfum dari Paris habis. Semua aksesoris dikirim dari luar negeri.

Aku bersama teman-teman takut karena senjata itu mirip senjata benaran. Seperti senjata milik para serdadu yang pernah meneror nenek waktu pulang dari kebun sore hari. Kata serdadu, nenekku seorang mata-mata dari gerakan revolusi kemerdekaan. Padahal nenekku tidak kenal sama sekali sama orang-orang itu.

Anak-anak kota selalu menghina kami dan bilang “Kami orang kampung yang bodoh dan kampungan, kotor dan menjijikan, berpakaian lusu, tidak gaul seperti anak kota, ketinggalan zaman dan informasi teknologi.”
Walaupun setahun saja tinggal di kota, mereka sudah sombong sekali. Mereka beruntung punya orang tua yang berkerja di kota. Katanya sebagian dari mereka korupsi uang rakyat.

Kami tidak punya saudara di kota, semua keluarga adalah orang kampung kelas bawah yang jaraknya paling jauh sepuluh kilometer dari kampung kami. Setiap tahun mereka datang, berjalan kaki tanpa alas kaki. Membawa pisang, ubi bakar, ayam betina.
“Ini oleh-oleh dari kampung” kata mereka.
Mereka bercerita tentang anak yang sakit, kelaparan, bencana alam, penculikan para serdadu terhadap suami mereka yang dilakukan tanpa alasan. Setiap bulan selalu ada anak-anak yang mati karena kurang gizi. Yang lain tidak dapat sekolah dengan baik, atau tidak ada obat untuk malaria. Kebahagiaan hanyalah sebuah mimpi, namun mereka tetap bertahan hidup dan pasrah menunggu malaikat pencabut nyawa datang menjemput.

Jika ada anak yang mati, semua masyarakat berbondong-bondong ke kuburan. Tidak ada yang menangis karena air mata sudah lama kering. Mereka bernyani lagu-lagu kematian dengan tarian jiwa yang kosong. Semoga arwahnya dapat diterima di surga.
Aku hanya bersedih mendengarkan kabar bahwa ada lagi yang mati.
“Penderitaanmu adalah penderitaanku juga”, aku pikir, “lukamu adalah lukaku juga, penyakitmu adalah penyakitku. Tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa saudaraku karena aku anak kecil yang sering dihina sama anak kota. Seandainya Tuhan benar-benar ada, dan malaikat Jibril menjual tiket, hari ini aku membeli tiket dan kita pergi bersama ke dunia baru. Dunia ini tidak adil bagi kita yang miskin dan melarat, nasib kita hitam seperti kulit kita.”

Para tokoh agama sering menghaluskan kematian bagi orang miskin. Mereka berkata “Hai orang-orang miskin dan tidak beriman, janganlah engkau bersedih sebab kamu diberkati Tuhan, kamu menderita di dunia tetapi sudah mendapatkan akses yang besar di surga nanti.”
Saya melanjutkan pikiran saya yang ditujukan kepada anak yang baru mati.
“Para tokoh agama melihat kita ini tidak beriman, kita seperti semut kecil tidak berdaya, mereka tidak ada yang miskin, selalu berpakaian putih bersih dengan pengawal bertopeng. Mereka hidup dalam kemewahan, merampas tanah kita untuk dijadikan tanah gereja. Sebaiknya kita tidak usah percaya pada mereka. mereka tidak pernah membantu kita pada saat dilanda musibah, para pemuka agama hanya menyuruh kita untuk pasrah.
Agama adalah milik para penguasa dan raja, karena dengan agama mereka bisa berbuat apa saja, mulai dari mencuri hak-hak kita dan ingin menghapuskan warisan para leluhur kita. Kita sebaiknya percaya pada suara hati kita, Tuhan ada dalam diri kita masing-masing, Ia selalu bersama kita sejak kita dilahirkan. Tuhan adalah napas, darah dan daging. Sampai detik ini, sebagian dari kita menyamar menjadi sosok Tuhan yang mulia, tetapi dia tidak tahu siapa sebenarnya dia.”
Setelah makan malam selesai, aku mengajak nenek kembali ke masa lalunya. Dengan sedikit malu aku bertanya.
“Nek, boleh nggak aku bertanya sesuatu?”
“Tentu saja boleh.” Jawabnya.
“Apakah nenek pernah jatuh cinta?”
“Tidak pernah”
“Kenapa?”
“Karena nenek dulu dijodohkan atas nama kehormatan keluarga bukan atas nama cinta. Nenek tidak ingin kembali ke masa lalu, bagaimana kalau kita sedikit bejalan-jalan ke masa depan?”

Nenek diam beberapa menit, sepertinya ada yang tidak beres, mungkin ada kenangan buruk yang sangat menyakiti hatinya, atau mungkin ia rindu suaminya yang sudah puluhan tahun meninggalkannya sendiri? Aku tidak tahu jawabannya, aku masih kecil dan belum tahu tentang hal-hal itu. Tiba-tiba ia balik bertanya kepadaku.
“Sampai di mana cerita kita kemarin?”
“Sampai kematian nek”
“Oiya, sekarang saya ingat”
“Sekarang nenek akan membahas kehidupan.”

Nenek mulai bercerita lagi “Hidup itu penuh dengan perjuangan, hidup itu penuh dengan perlawanan, lemah lawan kuat, miskin lawan kaya. Kita harus berjuang dengan tenaga yang kita miliki, kekuatan kita bersama rakyat jelata, melawan ketidakadilan dan tirani. Kemiskinan bukanlah kodrat alam, kemiskinan itu dibuat oleh penguasa dan raja untuk menghisap darah kita, seperti vampir yang hidupnya sangat tergantung pada darah segar.”
“Wao…. Nenek pintar sekali. Boleh aku bertanya lagi?….. Apakah nenek punya harta karun?” “Ada. Harta karun nenek adalah cangkul, parang, jagung satu drum, dan kacang tanah sepuluh kilo. Itu bekalmu di masa yang akan datang.” Itulah harta karun nenek selama ini. Bukan begitu nek, maksudku emas atau uang?”
“Jika kamu ingin hidup maka bekerja keras. Jangan langsung cari emas atau uang tanpa melakukan apa-apa. Kamu harus bekerja dulu baru dapat uang.”

Keesokan harinya neneknya menyuruhku mengantarnya ke dermaga kematian. Kapal misterius sudah siap menjemputnya. Kami harus berpisah di dermaga yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Orang-orang di kapal semua berpakaian putih-putih dan memiliki sayap. Nenekku berpesan padaku.
“Sekarang sudah waktunya kita berpisah untuk selamanya, kabarkan kepada orang-orang apa yang sudah kamu dengar dari nenek, sayangilah semua orang, ajarkan mereka bekerja dan belajar. Katakanlah pada mereka untuk kerja dan jangan hanya berdoa, belajar yang banyak agar bisa mengenal dunia.”

Nenek bernafas dengan sulit, lalu melanjutkan kata-kata terakhirnya.
“Ingat, hidup itu kadang mengalir seperti air, hidup itu kadang seperti batu yang keras, dan kadang seperti udara. Kamu harus belajar dari itu semua. Setiap peristiwa yang terjadi, catat itu dalam buku harianmu. Ajarkan anak-anak tentang alam dan dunia. Jika ada waktu luang, ajaklah meraka ke pantai untuk melihat ombak yang datang bergulung-gulung, ajarkan mereka mengenai banyak warna dalam kehidupan ini.”

Semakin lama nenek kelihatan semakin letih, dan suaranya mulai menghilang. Dia berhenti untuk istirahat sebentar, lalu melanjutkan pesannya.
“Yang terakhir, hargailah perempuan. Hargailah semua orang. Hargailah mereka seperti kamu menghargai dirimu sendiri. Menghargai seseorang tidak berarti kita menjadi budaknya, tetapi kita menciptakan keharmonisan dalam keluarga dan lingkungan. Nenek tahu bahwa kamu memiliki wajah yang jelek, hitam dan tidak tampan seperti teman-temanmu. Janganlah kamu berkecil hati terhadap orang-orang yang menjelek-jelekkanmu.
Biarkan saja mereka menghinamu, kamu harus jalani hidup dengan caramu sendiri. Hidup hanya sekali, jadi manfaatkan waktumu untuk belajar. Jangan kamu malas belajar, belajar itu bukan hanya di bangku sekolah yang guru-gurunya galak dan sering memukul kamu. Belajar itu di mana saja dan kapan saja. Bisa belajar di pantai, hutan, atau di mana-mana. Mungkin suatu saat nanti kamu akan merantau ke kota. Jika kamu memang ke kota jangan jadi sombong, kamu harus banyak belajar dari mereka yang sudah di sana. Jangan membenci musuhmu. Kebencian hanya merusakkan kehidupan umat manusia.”

Ketika orang-orang bersayap itu datang menjemput nenek, aku tetap berdiri dekat nenek dan terus mengamatinya. Tiba-tiba ada laki-laki setengah tua berjalan dengan kaki kosong mendekati nenekku, ia mulai menangis. Lelaki tua itu memeluknya dengan penuh mesra. “Ayo kita pulang sayang, aku sudah lama menunggumu.”
Ketika aku mengamati mereka, aku bertanya dalam hatiku siapa lelaki tua itu. Sebelum aku jadi bertanya, nenekku mulai memperkenalkanku kepada lelaki tua itu.
“Ini cucumu yang selama ini menemaniku, aku sudah menjelaskan semuanya kepadanya… tentang kehidupan dan kematian. Ia mengantarku sampai di dermaga kematian.”

Aku baru sadar bahwa lelaki tua itu adalah suaminya, tapi kenapa selama ini nenek tidak pernah ceritakan apa-apa mengenai suaminya kepadaku? Kami hanya saling memandang karena tidak bisa saling memeluk.
Kapal itu mulai bergerak.
Aku takut karena tidak mau ditinggalkan seorang diri
“Hei nenek, kenapa kamu pergi meninggalkan aku? Jangan pergi! Jangan membiarkan aku sendiri!”

Setelah beberapa menit teriak pada kapal yang semakin jauh, aku sudah capek berteriak. Suaraku mulai menghilang, entah ke mana. Aku berteriak lagi, tapi tidak bisa mendengarkan suaraku sendiri. Aku semakin takut dan menangis.Tiba-tiba terdengar suara dari langit, suara keras itu terdengar lembut di telingaku.
“Hei anak kecil, janganlah kamu takut akan percobaan, aku bangga dengan keberanianmu. Itulah arti kehidupan, kadang kita takut, menangis, dingin, sendiri tanpa orang lain, berteriak namun tidak ada orang yang mendengarkan.”

Suara itu menghilang lagi. Aku tidak tahu itu suara siapa tetapi yang jelas bukan suara neneku. Mungkin ini yang pernah aku baca dalam Alkitab bahwa, raja atas segala raja yang ada di dunia, dialah maha pencipta langit dan bumi beserta seluruh isinya.
Beberapa menit kemudian aku mulai menutup mata dan berdoa.
“Tuhan, aku hanya ingin pulang ke rumah bermain bersama teman-temanku. Tuhan kan maha tahu, bulan depan hujan akan turun dan aku harus menanam jagung. Kata nenekku aku harus cepat membersihkan rumput kering yang ada di kebun. Aku anakmu juga kata pastor Beneditus waktu memberi khotbahnya di Gereja Santa Maria. Kata pastor, Tuhan mencintai anak-anak. Aku bersama teman-teman setiap hari minggu ke gereja dan bernyani lagu untukmu, lagu Tuhan kasihanilah kami anak-anakmu. Aku masih anak kecil, baru saja naik kelas tiga, kata pak guru aku anak pintar karena aku rajin belajar. Aku percaya walaupun tidak melihatmu, aku masih bisa melihat fotomu di gereja. Tuhan ganteng sekali, tetapi kenapa mati di kayu salib? Kata teman-temanku orang yang disalib itu bersalah, tapi kata pastor Tuhan mati karena dosa-dosa kami, ampunilah dosaku ya Tuhan. Amen.”

Setelah aku selesai berdoa dan membuka mata, aku sadar bahwa aku berdiri di depan rumah. Matahari sudah menghilang, warna langit berubah menjadi merah seperti darah manusia. Aku percaya bahwa dunia memiliki kekuatan alam yang sangat kuat, tidak ada tandingannya dengan ilmu teknologi. Apakah ini tanda dari Tuhan bahwa dunia akan tamat riwayatnya? Kata nenek, suatu saat jika aku rindu kepadanya, aku hanya perlu bawa siri pinang, telur dua butir dengan coretan dan sedikit beras ke makamnya. Ini sebagai tanda untuk mengingatkan dia bahwa aku masih rindu kepadanya. Walaupun sekarang nenek tinggal di dunia orang-orang mati, ia masih hidup.

Dunia itu ada di bawah telapak kaki kita. Nenekku tidak mati seperti yang ia gambarkan kepadaku, ia pergi besama kapal misterius bersama rombongan orang-orang misterius juga.
Sejak saat itu aku kehilangan komunikasi dengan nenek, tidak melihat wajahnya yang lugu, mendengarkan ceritanya. Ini hanyalah sebuah kenangan indah yang tidak dapat kulupakan begitu saja. Aku harus menulisnya dalam cerita agar suatu saat nanti dunia tahu tentang kehidupan dan kematian.

Aku kembali ke rumah diam-diam, lidahku masih terlalu kaku untuk bercerita mengenai kejadian itu. Orang-orang di kampung tidak tahu nenekku sudah pergi ke dunia orang mati, mereka masih menjali kehidupan seolah-olah tidak terjadi sesuatu di hari ini. Sang surya kembali memancarkan sinarnya, langit kembali cerah, burung-burung gereja kembali menyanikan lagu-lagu alam. Di luar rumput mulai hijau kembali, anak-anak kecil mulai berlari dengan dada telanjang, mereka tidak menangis lagi seperti kemarin karena ditinggal waktu orang tua pergi ke kebun.

Hari ini adalah awal dari sebuah kehidupan, segala macam aktifitas mulai dari hari ini. Aku memanggil anjingku yang masih tidur. “Kolega, mari kita pergi ke kebun, rumput kering telah menunggu kita, di sanalah rumah kita. Kehidupan baru ada di sana.”
Anjing itu mulai mendekatiku ia menggoyangkan pantatnya siap untuk berangkat. Anjing ini satu-satu temanku yang selalu setia bersamaku. Aku mengambil cangkul dan parang lalu pergi ke kebun melewati jalan setapak dengan bersiul.

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi