Kamis, 02 Desember 2010

Jenius Lokal Berperahu Cadik

Grathia Pitaloka
Jurnal Nasional, 28 Sep 2008

Kampung halaman sangat mewarnai sastra Indonesia; bahkan jadi paradigma berpikir yang tak terpisahkan.

Pada era 1970-an, perkembangan sastra Indonesia pernah menggeliat kembali ke akar. Karya sastra yang dianggap ideal, harus memiliki muatan atau warna lokal, di mana secara simbolik dan geografik merujuk ke kampung halaman.

Tak banyak orang yang mampu mengeksplorasi tanah kelahirannya, untuk kemudian dirajut dalam bait-bait puisi. Dari segelintir itu, nama D Zawawi Imron layak disebut sebagai salah satu yang sempurna. “Ia menyerap simbol-simbol yang ada di Pulau Madura untuk kemudian diangkat jadi sebuah warna lokal yang unik,” kata penyair Acep Zamzam Noor kepada Jurnal Nasional, Selasa (23/9).

Eka Budianta menyebut Zawawi sebagai seorang jenius lokal, yang dengan pendidikan formal minim, berhasil melakukan penghayatan mendalam atas kebudayaan dan masyarakat Madura. “Berbicara mengenai Zawawi, sama artinya dengan mengulas kepribumian Indonesia,” ujar Eka.

Kedekatannya dengan idiom-idiom lokal membuat Zawawi dapat memaknainya secara intens dalam sajak. Tak heran, sejak awal karier kepenyairannya, ia tidak ragu untuk memasukkan lenguhan sapi, pohon siwalan, hingga saronen.

Realitas alam Madura ia olah secara simbolik, hingga memiliki makna luas dan universal. Rantau dan pelayaran pun tak hanya bermakna harfiah, tapi memiliki dimensi spiritual. Begitu pula daun siwalan, clurit, sapi karapan, pondok garam dan perahu cadik membentuk dimensi makna yang lebih luas bahkan kaya raya.

Zawawi memiliki bahasa ungkap sederhana, simetris dengan kesederhanaan kampung halamannya. Dan yang paling menarik adalah terciptanya sajak-sajak surealis, di tengah realitas alam sehari-hari, sebagai antipoda terhadap kemapanan yang ada.

Kebanggaan Zawawi terhadap khasanah budaya Madura, terlihat jelas pada sajak-sajaknya. Salah satu yang paling mencolok adalah puisinya yang berjudul Madura, Akulah Darahmu. “Sikapnya yang tak kenal lelah menyuarakan Madura membuatnya menjadi ‘mahal’,” kata Eka.

Bila musim labuh hujan tak turun
Kubasuhi kau dengan denyutku
Bila dadamu kerontang
Kubajak kau dengan tanduk logamku
Di atas bukit garam
Kunyalakan otakku
Lantaran aku adalah sapi kerapan
Yang menetas dari senyum dan airmatamu
Aku lari mengejar ombak, aku terbang memeluk bulan
Dan memetik bintang-gemintang
Di ranting-ranting roh nenekmoyangku
Di ubun langit kuucapkan sumpah:
- Madura, akulah darahmu.

Selain tanah kelahiran, Zawawi juga menjamah beragam tema seperti ketuhanan, sosial serta politik. “Ia menyampaikan puisi religius tidak secara formal, melainkan melalui ungkapan-ungkapan alam yang sangat murni sehingga tampak hidup,” kata Acep.

Zawawi juga kerap menulis tentang keterpesonaannya terhadap sebuah daerah yang dikunjunginya. Ia tidak membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi dengan kebudayaan setempat. “Dalam setiap perjalanan, Zawawi selalu membuat puisi dan puisinya selalu berusaha menyampaikan nilai-nilai lokal,” ujar Afrizal Malna.

Menurut Afrizal, sajak-sajak Zawawi yang sarat muatan lokal bukan semata-mata untuk kepentingan estetika, terkadang di balik itu ada motivasi untuk diterima oleh masyarakat setempat. “Zawawi mengemas puisi sebagai sarana komunikasi,” tutur Afrizal.

Ketika banyak penyair yang lebih mengedepankan masalah teknis dalam membuat sebuah puisi, maka penyair berdarah Madura ini lebih mementingkan jalinan emosi yang ia bangun kata demi kata.

Hal itu dapat ditangkap jelas oleh Afrizal, di mana kata-kata dalam sajak Zawawi menunjukkan sebuah keterikatan emosi yang kuat. Ia berhasil meniupkan ruh kehidupan pada kata-kata sehingga tampak bernyawa. “Ia tak sekadar menulis puisi, tetapi juga mampu membangun hubungan intim dengan kata-kata,” kata penyair kelahiran Jakarta, 7 Juni 1957 ini.

Rumah Terpencil

Di tengah derasnya arus globalisasi, harus diakui kehadiran warna lokal dalam karya sastra terasa tersisih atau hanya sekadar sebagai tempelan. Penyair-penyair lebih senang memperbincangkan obrolan seputar tema-tema masyarakat urban-global. Tapi hal itu tak membuat Zawawi berpaling. Ia tetap betah tinggal dalam “rumahnya”. Rumah yang dalam imajinasinya diletakkan dalam latar belakang kebudayaan, peda laman, rumah yang asing dengan hiruk pikuk kota.

Zawawi nyaman memencilkan diri (alienasi) dalam ruang kecil (rumah) dalam ruang yang besar (hutan). Peta ini bisa dijawab dengan situasi-situasi yang berbeda atau berlawanan. Seperti dalam puisinya yang berjudul Rumah Terpencil (1987). Sebuah rumah terpencil di hutan Camba / tak punya tetangga / Tapi kurasa / ada daun-daun bersenyuman setiap hari // Di sini / seperti tak ada yang berangkat tua / dan sia-sia mengasah cakar atau gigi / yang mekar hanya sanubari.

Bila penyair lain mahir menulis puisi karena banyak membaca dan mempelajari litelatur dari luar negeri, tidak untuk Zawawi. Puisi buah tangan lelaki yang akrab disapa Pak Haji ini murni lahir dari proses pengamatan dan pengalamannya. “Berbeda dengan Sapardi atau Goenawan Mohammad yang banyak menterjemahkan sajak-sajak luar, Zawawi benar-benar seorang jenius lokal,” ujar Eka.

Pengamatan serta pengalaman yang matang bukan hanya menciptakan sebuah kealaman tema tetapi juga sebuah keluasan. Sehingga tak hanya pembaca berdarah Madura yang tersentuh ketika membaca puisinya, tapi juga pembaca yang berasal dari suku bangsa berbeda. “Zawawi membuat puisi sebagai alat untuk mencintai kampung halaman, bukan sekadar kesenian merajut kata-kata,” kata suami Melanie Budianta ini.

Dalam puisi Zawawi bahasa adalah kekayaan budaya, bukan semata-mata pemuas hasrat manusia pengagum budaya. “Sebagai seorang penyair rakyat ia tak bisa hanya dinilai dari sudut artistik, ada ceruk lebih dalam yang patut digali yaitu kecintaannya terhadap sesama manusia,” ujar pria yang pernah mengenyam pendidikan di Jurusan Kajian Kesusastraan Asia Timur itu.

Ada geli yang menggelitik penikmat sastra untuk kemudian tergoda membandingkan Zawawi dengan rekan sedaerahnya, Abdul Hadi W.M. Selain berasal dari daerah yang sama, keduanya sama-sama mengangkat Madura dalam karya mereka.

A. Teeuw pernah mengatakan bahwa Zawawi adalah seorang penyair dari Madura dengan mutu sajak yang agak kontroversial dan tak sedikit pun mendekati mutu karya-karya rekan sepulaunya, Abdul Hadi (A. Teeuw, 1989: 163).

Namun A.Teeuw tidak menunjukan di mana letak kelemahan puisi-puisi Zawawi dan sampai sejauh mana informasi tentang kepenyairan Zawawi sampai kepadanya. Diperkirakan penilaian A.Teeuw hanya berdasarkan karya Zawawi sampai akhir dekade 1970-an karena banyak puisinya terbit pada dekade berikutnya.

Padahal kepenyairan Zawawi malah berkembang dengan sangat pesat serta mendapat publikasi lebih luas justru selepas dekade 1970-an, yaitu dengan terbitnya buku puisi Bulan Tertusuk Lalang (1982), Nenekmoyangku Air Mata (1985), dan Celurit Emas (1986).

Mengomentari perbandingan tersebut, Afrizal berpendapat, Abdul Hadi memiliki kekuatan pada komposisi, sementara Zawawi agak keteteran di bagian itu. Tapi, lanjut dia, Zawawi memiliki metafor yang lebih unik dibanding Abdul Hadi. “Metafor Abdul Hadi merupakan warisan nilai-nilai imajisme dunia karena ia mahir berbahasa Inggris dan memiliki intelektualitas yang tinggi. Sementara Zawawi belajar dari pengamatannya sendiri sehingga pergulatan yang dialaminya jauh lebih keras,” kata Afrizal.

Dalam menulis puisi Afrizal melihat Zawawi menggunakan tiga formula untuk memperkuat sajak-sajaknya, yaitu: spiritual, nilai budaya lokal, serta sentuhan personal yang unik. “Seiring berjalannya waktu formula yang ia gunakan semakin memperkuat sajak-sajaknya,” ujar Afrizal.

Perjalanan budaya yang dilakukan oleh Zawawi memperkaya metafor dan pemahamannya tentang bahasa. “Ia memiliki metafor yang kuat, itu yang membuat sajak-sajaknya lebih kaya dibanding penyair seangkatannya,” kata penulis buku Arsitektur Hujan ini.

Pendapat Afrizal seolah mengamini pendapat Subagio Sastrowardoyo yang secara subyektif mengaku menyukai puisi-puisi Zawawi, meski terdapat keganjilan-keganjilan imaji yang mengurangi tenaga ucap. “Apa pun wujud puisi-puisi Zawawi saya tetap mencintainya,” kata Subagio (1989).

Penyair Balada

Afrizal memaknai imajinasi Zawawi layaknya sebuah pulau yang berjalan. Ia mengatakan, dalam puisi Zawawi terdapat percampuran berbagai nilai mulai dari agraris hingga budaya lokal. “Nilai lokal yang ia sajikan sudah bertransformasi, sehingga hadir secara terbuka,” kata lelaki yang pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini.

Menurut Afrizal, Zawawi merupakan seorang penyair forklore yang banyak memasukkan cerita-cerita rakyat dalam puisinya. Selain itu, ia juga memiliki kedekatan dengan dunia pesantren, maka tak heran jika sajak-sajaknya akrab dengan rumor para kyai. “Sebenarnya jika Zawawi tidak berada dalam lingkaran penyair imajis, dia akan menjadi penyair balada yang hebat,” kata penyair berdarah Minang ini.

Pria berkepala plontos ini mengatakan, era puisi imajis sudah selesai, sulit untuk mencetak sebuah sejarah baru. Menurut Afrizal, Zawawi akan lebih berkembang jika mau menyisir kembali kemampuannya berbalada.

Penulis sajak Tak Ada Anjing Dalam Rahim Ibuku ini melihat, kekuatan balada Zawawi tampak jelas pada puisinya yang berjudul Ibu : bila kasihmu ibarat samudera // sempit lautan teduh // tempatku mandi, mencuci lumut pada diri // tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh // lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku // kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan // namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu // lantaran aku tahu //engkau ibu dan aku anakmu.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi