Jumat, 10 Desember 2010

Mencari Bangsa dalam Bahasa

Ignas Kleden
http://majalah.tempointeraktif.com/

DALAM suatu retrospeksi, kita dapat mengatakan sekarang bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia mula pertama bersemi sebagai perjuangan untuk mengukuhkan rasa kebangsaan. Namun, pengertian tentang bangsa dan wujudnya berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan sosial politik.

Dari khazanah sastra dan budaya Melayu lama ada peribahasa yang sudah dikenal umum “bahasa menunjukkan bangsa”. Ada pula ungkapan “orang berbangsa”. Jelas bahwa kata “bangsa” dalam ungkapan-ungkapan tersebut tak ada sangkut-pautnya dengan kebangsaan, karena “bangsa” dalam konteks itu menunjukkan keturunan orang baik-baik, yang jelas “bibit, bebet, dan bobot”-nya, yaitu mereka yang termasuk dalam atau berada dekat dengan suatu nobility dan mendapat sebutan bangsawan. Dalam arti itu, orang biasa, rakyat kebanyakan, para commoners dianggap tidak termasuk dalam golongan “orang berbangsa”.

Tidak mengherankan bahwa saat mula berdirinya pada 1908, Boedi Oetomo mencantumkan sebagai misi utamanya usaha menyadarkan para anggota tentang keutamaan dan kebajikan orang Jawa, yaitu segala yang berhubungan dengan budi pekerti atau budi yang utama. Kita tahu, budi pekerti yang halus dalam kebudayaan Jawa, baik menyangkut tata krama maupun yang menyangkut tata negara, adalah nilai-nilai yang dikuasai oleh kaum priyayi, sedangkan orang kebanyakan mengemban tugas tata usaha dalam pertanian.

Gebrakan besar dilakukan oleh Tjipto Mangunkoesoemo dalam dua usul yang kemudian tidak diterima, yaitu mengubah Boedi Oetomo sebagai organisasi sosial menjadi organisasi politik dan memperluas keanggotaannya untuk semua penduduk bumiputra di seluruh Hindia Belanda. Penolakan ini dapat dipahami berdasarkan konteks masa itu. Menerima semua penduduk bumiputra yang berminat agar dijadikan anggota Boedi Oetomo akan sama dengan merevolusikan pengertian “bangsa” yang hingga saat itu masih terbatas hanya pada “orang berbangsa”. Revolusi pengertian ini tidak berhasil sebagaimana diinginkan oleh Tjipto Mangunkoesoemo, karena Boedi Oetomo masih dipimpin oleh para ningrat.

Perubahan barulah terjadi dalam organisasi-organisasi politik yang muncul kemudian. Makna baru kata “bangsa” diresmikan secara publik dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang para pencetusnya “mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia… berbangsa yang satu, bangsa Indonesia” sambil “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.

Soekarno, yang sangat mungkin berasal dari kalangan priyayi kecil (ayahnya seorang guru desa dan ibunya seorang perempuan Bali), bisa merasakan ketegangan antara wong cilik dan para ningrat. Dengan cerdik dia mengidentifikasikan dirinya dengan si Marhaen yang, dalam metafor Soekarno, tidak berarti seorang proletar, tapi lebih mirip seorang petit-bourgeois atau borjuis kecil yang mandiri secara ekonomi dan karena itu bisa lebih siap untuk merdeka secara politik.

Dalam sosiologi Marxian, seorang proletar adalah orang yang hidup tanpa memiliki alat-alat produksi. Apa yang ada padanya hanya tenaga kerja yang dipertukarkan dengan upah kerja. Sebaliknya, seorang Marhaen, dalam pengertian Soekarno, memiliki alat-alat produksi tapi dalam ukuran kecil: bidang tanah yang kecil, modal kecil, dan sedikit alat-alat untuk bekerja. Akibatnya, keuntungan juga serba kecil sehingga tidak memungkinkan akumulasi modal seperti yang dilakukan oleh kelas borjuasi dalam industri. Seorang proletar bergantung pada pemilik modal yang akan memberinya kerja, tapi Marhaen dapat mandiri dan tidak perlu bergantung pada siapa pun, meskipun hidupnya tidak dalam serba kecukupan.

Dalam tulisannya, “Marhaen dan Proletar”, Soekarno menjelaskan bahwa marhaenisme adalah gejala masyarakat feodal, sedangkan proletariat lahir dari sistem kapitalisme dan imperialisme. Seperti kita tahu, integrasi kaum proletar ke dalam “bangsa” dilakukan oleh organisasi-organisasi politik kiri, dengan kristalisasinya yang terakhir dalam Partai Komunis Indonesia.

Pembentukan bangsa Indonesia rupa-rupanya berlangsung pada dua tingkat. Pada tingkat yang satu, kesadaran kebangsaan muncul dari pertentangan antara penduduk bumiputra dan pihak penjajah akibat diskriminasi terbuka yang dilakukan oleh ras putih terhadap ras berwarna. Bung Hatta dalam pidato pembelaannya, “Indonesia Merdeka”, di depan pengadilan Den Haag pada 9 Maret 1928, berbicara tentang the rising tide of colour atau pasang naik kulit berwarna, sedangkan Soekarno setahun sebelumnya menunjukkan suatu tendensi sejarah di Hindia Belanda yang bergerak naar het bruine front (menuju front sawo matang).

Pada tingkat lainnya, kebangsaan muncul dari usaha untuk memperkecil atau menghilangkan jarak sosial antara berbagai strata sosial dan kelas sosial. Lahirnya Sarekat Islam pada 1912, dengan pendahulunya Sarekat Dagang Islam, memberi suatu status sosial politik yang tegas kepada para pedagang.

Istilah “dagang” dalam bahasa Melayu menunjuk perilaku orang yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain, suatu mobilitas ekstrem yang mendekati status homeless dan membuat mereka seakan terlepas dari “orang berbangsa”. Studi-studi sosiologi tentang trading minorities yang dimulai semenjak Georg Simmel hingga sekarang menunjukkan bahwa pedagang cenderung dianggap “orang asing” dalam suatu masyarakat, dan kalau dia tidak dianggap asing, dia akan mengasingkan diri ke sebuah rantau supaya bebas bergerak tanpa diikat oleh aturan-aturan orang berbangsa.

Dapat dipahami bahwa mengumpulkan para pedagang dalam suatu organisasi politik, apalagi yang besar dan kuat seperti Sarekat Islam, merupakan jalan terbaik mengintegrasikan kaum pedagang ke dalam “bangsa” dan menjadikan mereka kekuatan dalam perjuangan politik.

Lebih dari itu, muncul berbagai prakarsa agar sebanyak mungkin orang dapat berpikir dengan satu atau beberapa metode yang sama. Hatta dan Sjahrir mendirikan Partai Nasional Indonesia Baru untuk memperkenalkan cara berpikir politis serta memberikan pengetahuan tentang manajemen dan administrasi pemerintah. Tan Malaka menulis traktat filsafat yang luas dan solid untuk memperkenalkan cara berpikir rasional dan ilmiah guna mengikis alam pikiran yang dipenuhi berbagai kepercayaan takhayul. Bukunya, Madilog, barangkali tak disenangi sebagian orang karena asas materialisme yang ia anut. Sekalipun demikian, tanpa menerima apa pun dari paham materialisme, orang tetap dapat belajar banyak dari karya itu tentang metode logika dan dialektika dalam filsafat serta ilmu pengetahuan.

Kalau dipikir-pikir, aneh juga bahwa sekarang ini terdapat lebih dari 220 juta orang yang merasa mempunyai perhubungan satu sama lain karena mereka semua bernaung di bawah sebuah nama yang sama, yang kini dikenal dunia sebagai “Indonesia”. Menurut Bung Hatta, nama itu mula pertama dipakai oleh Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda pada 1922. Penggunaan nama itu menimbulkan kecemasan di kalangan pemerintah kolonial. Sanggahan terhadapnya diajukan oleh Profesor Van Vollenhoven, ilmuwan Belanda yang mempunyai nama besar di kalangan akademisi Belanda dan di Hindia Belanda. Vollenhoven mengemukakan bahwa nama “Indonesia” lebih luas daripada Hindia Belanda. Penduduk Hindia Belanda pada waktu itu, pada 1928, berjumlah 49 juta orang, sedangkan nama “Indonesia” mencakup juga 15 juta orang di luar Hindia Belanda. Karena itu, pemakaian nama tersebut tidak tepat.

Dalam jawabannya, Bung Hatta menyatakan bahwa nama “Indonesia” dipakai dalam arti ketatanegaraan dan karena itu tak bisa disanggah dengan alasan-alasan geografis dan etnologis. Kata “Amerika” menunjuk suatu benua yang membujur dari kutub utara ke kutub selatan, tapi hanya satu negara yang memakai nama “Amerika” dalam arti tata negara, yaitu Amerika Serikat, dan tak terdengar keberatan dari Kanada, Meksiko, Brasil, atau Bolivia.

R. Tagore, dalam sebuah seri ceramahnya tentang nasionalisme, pernah berkata, ”Sejarah manusia dibentuk sesuai dengan tingkat kesulitan yang dihadapinya. Kesulitan-kesulitan itu memberikan masalah dan meminta jawaban dari kita, dengan kematian dan degradasi sebagai hukuman bagi tak terpenuhinya tugas tersebut. Kesulitan-kesulitan ini berbeda pada rakyat yang berbeda-beda di muka bumi, tapi cara kita mengatasinya akan memberi kita suatu kehormatan khusus.”

Kehormatan khusus! Tagore berbicara dalam bahasa Inggris dan memakai kata distinction. Kata itu jelas tak ada dalam bahasa Indonesia dan pada saat ini sangat mungkin juga tidak ada dalam bangsa Indonesia.

*) Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi