Jumat, 10 Desember 2010

PRAMOEDYA ANANTA TOER DAN HADIAH MAGSAYSAY

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Apa maknanya hadiah Magsaysay bagi kebudayaan dan kemanusiaan? Penghargaan atas nama mendiang Presiden Filipina, Ramon Magsaysay (1907—1957) yang tewas dalam kecelakaan pesawat tahun 1957 itu dimaksudkan sebagai penghormatan kepada seseorang yang mempunyai kebesaran jiwa dan semangat, integritas dan perjuangan untuk kebebasan. Pendirian Yayasan Hadiah Magsaysay dilakukan sejumlah seniman dan cendekiawan Filipina untuk menghormati jasa-jasa mendiang presiden ke-3 Filipina itu. Itulah ruh, substansi, hakikat, yang mendiami makna hadiah Ramon Magsaysay yang dianggap sebagai sosok manusia yang berjiwa besar dan konsisten dalam memperjuangkan kebebasan sebagai hak manusia yang paling dasar. Dengan demikian, hadiah itu dicitrakan sebagai penghargaan atas perjuangan yang gigih, luhur, dan agung.

Hadiah Ramon Magsaysay itu dipandang hanya pantas, layak, dan patut diberikan kepada seseorang yang berjiwa besar, punya integritas, bercita-cita luhur dan agung, sarat idealisme, kaya gagasan besar, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang asasi: kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Maka, ketika seseorang dinyatakan berhak memperoleh hadiah itu, nilai-nilai kemanusiaan yang paling dasar itu, serta-merta melekat dalam diri dan jiwa orang bersangkutan.

Di situlah makna simbolik hadiah Magsaysay. Ia seperti mewartakan perjuangan individu atau kelompok yang tak kenal lelah mengangkat martabat manusia dan kemanusiaan. Untuk itu Hadiah Magsaysay diberikan kepada orang-orang Asia pilihan atau mereka yang bekerja di Asia yang memperlihatkan kontribusinya dalam lima bidang, yaitu Layanan Pemerintah (government service), layanan masyarakat (public service), kepemimpinan komunitas (community leadership), Jurnalisme, Sastra dan Seni Kreatif (journalism, literature, and creative arts), dan Pemahaman Internasional (international understanding). Hadiah Magsaysay dengan begitu merupakan simbol perjuangan individu dalam kelima bidang itu yang berhasil memberi kontribusi penting bagi cita-cita dan kebebasan dalam mengangkat nilai-nilai kemanusiaan. Hadiah itu telah mencitrakan keagungan, keluhuran jiwa, keteguhan hati, dan idealisme mereka yang dianggap berhasil mengabdikan dirinya dalam membela kebenaran, keadilan, dan martabat manusia melalui kejujuran hati nurani.

Di sana ada nilai-nilai kepantasan, kelayakan dan kepatutan yang dilekatkan tersirat kepada peraih hadiah itu. Nilai kepantasan sebagai dasar untuk mengukur kiprahnya dalam memperjuangkan harkat manusia dan kemanusiaan itu memberi arti penting bagi perkembangan bidang atau karya yang ditekuninya. Ada kriteria atau ukuran yang dapat diacu pada kiprah, prestasi dan hasil karyanya. Jika terjadi kontroversi, muara perdebatannya mengacu pada karya-karya, prestasi, dan kiprah yang pernah dilakukannya. Jika ternyata karyanya memang menunjukkan kualitas yang luar biasa atas segala nilai yang diperjuangkannya, maka pantaslah atau sepantasnyalah ia memperoleh itu.

Dalam hal itulah nilai-nilai kepantasan mesti juga dilengkapi dengan nilai-nilai kelayakan. Di sini, ukuran kelayakan menyangkut kualitas karyanya, kontribusi dan sumbangannya bagi peradaban, kebudayaan, dan kehidupan kemanusiaan. Lalu, bagaimana pula dengan perkara kepatutan? Patutkah sebuah mahakarya yang dihasilkan melalui keringat dan penderitaan rakyat ditempatkan dengan nilai-nilai yang luhur dan agung? Borobudur atau Tembok Besar Cina, misalnya, adalah dua mahakarya yang pantas mendapat pujian sebagai prestasi manusia yang luar biasa. Penggagasnya atau arsitek yang memerintahkan pembangunan dua mahakarya itu, pantas pula mendapat pujian setinggi langit. Itulah prestasi yang tidak dapat direngkuh oleh sembarang manusia. Ia menuntut kepiawaian gagasan yang brilian, kerja keras yang tak kenal lelah, dan pengorbanan jiwa-raga manusia dan harta-benda yang luar biasa.

Prestasi penggagas kedua mahakarya itu, pantas dan layak mendapat pujian sebagai manusia super yang mengutamakan prestasi dan hasil, daripada proses. Semata-mata ia mengejar prestasi, tanpa mempertimbangkan korban-korban yang berjatuhan. Di sinilah seyogianya kita mulai berhitung tentang kepatutannya. Jika proses pembuatannya harus menelan sekian ribu korban nyawa manusia, patutkah ia mendapat pujian sebagai prestasi yang membanggakan (atau mengharukan)? Bukankah itu sebuah paradoks; kontradiksi antara pencapaian prestasi dan korban yang terlalu mahal. Jadi, ketika kita bicara tentang prestasi, kepantasan dan kelayakan boleh melekat di sana. Ada kesan bahwa itu merupakan pencapaian dari sebuah ambisi untuk mengusung prestasi dan prestise. Mahakarya yang dihasilkan melalui ambisi untuk mencapai prestasi tertinggi dan sekaligus dapat mengangkat prestise terhormat bagi masyarakat bersangkutan.

Ketika kita menghubungkaitkannya dengan proses pencapaiannya, soal kepatutan bolehlah kita perdebatkan. Mahakaryanya merupakan sebuah prestasi luar biasa, dan ia mengangkat prestise masyarakat bangsanya. Tetapi, patutkah pencapaian sebuah ambisi diraih melalui keringat, darah dan nyawa sekian manusia yang menjadi korbannya? Patutkah ia ditempatkan sebagai pejuang harkat kemanusiaan dan mengangkat martabat dan peradaban manusia, jika ia berdiri berkacak pinggang di atas deretan roh yang menjadi korbannya?

Hadiah apapun sebagai simbol mengangkat harkat dan martabat manusia, simbol perjuangan melawan penindasan dan nilai kemanusiaan, seyogianyalah tidak menutup mata pada prespektif kepantasan, kelayakan, dan kepatutan tadi.
***

Mengapa ada kontroversi ketika Pramoedya Ananta Toer dinyatakan sebagai Pemenang Hadiah Magsaysay untuk kategori jurnalistik, sastra, dan komunikasi kreatif? Pramoedya Ananta Toer sendiri memang sosok yang kontroversial. Riwayat perjalanan hidupnya panjang dan niscaya, melelahkan. Pada zaman perang kemerdekaan, ia ikut berjuang dan terpaksa mendekam di penjara Bukit Duri. Itulah risiko sebuah perjuangan, dan Pram menyadari itu. Selepas keluar penjara, ia kembali gigih, mengangkat gagasannya dan menyuarakan hati nurani kemanusiaan. Maka, pada dasawarsa tahun 1950-an, Pram lewat sejumlah cerpen dan novelnya, membuat potret gelap peperangan, menggugat penindasan, dan menyuarakan harkat kemanusiaan. Lewat esai-esainya, ia juga menolak campur tangan politik dalam wilayah sastra.

Dalam artikelnya yang berjudul “Kesusasteraan sebagai Alat” (Indonesia, No. 7, Th. III, Juli 1952) Pramoedya menolak campur tangan politik dalam wilayah kesusastraan. Dalam artikel itu, Pram menyatakan: “Biasanya faktor-faktor etik dan politik memainkan peranan penting dalam hasil-hasil kesusastraan yang dangkal. … Dan di daerah daerah di mana faktor-faktor politik menentukan, tak jarang apa yang dinamakan kesusastraan itu campur-aduk dan merupakan bahan gubal antara sastra, propaganda, antipati terhadap politik tertentu, dengan melupakan kemungkinan-kemungkinan lain. Dalam hal ini, kesusastraan yang sesungguhnya dikurbankan oleh dan untuk politik. Kesusastraan demikian adalah kesusastraan propaganda yang belum lagi patut mendapat nama kesusastraan.”

Di bagian lain artikel itu, Pram juga mengecam pandangan Mao Tse Tung yang mengatakan bahwa literature and art should serve people, especially the workers, peasants and soldiers.” Apa komentar Pram mengenai hal itu? Inilah pandangannya: “ Dan kalau mengingat bahwa Mao Tse Tung adalah seorang yang berkuasa di suatu daerah tertentu, dapat orang berseru: alangkah sempit batas-batas yang menentukan daerah kesusastraan itu. Sempit buat seorang pengarang yang menghendaki daerah yang lebih luas … Kesusastraan yang harus melayani masyarakat, tidak bedanya dengan pelayan di restoran yang harus memuaskan langganannya. … Ini adalah kesusastraan yang boleh dinikmati sambil makan-angin: kenikmatan yang murah. … Kebebasan kesusastraan sebagai kemutlakan seseorang pengarang untuk mencapai tujuannya berganti jadi perbudakan kesuastraan demi kepentingan politik.“

Begitulah, melalui sejumlah novel dan cerpennya, Pramoedya memberi penyadaran tentang bahaya penindasan dan penderitaan akibat perang; tentang moral dan harga diri; tentang kejujuran dan kebenaran yang berhadapan dengan kemunafikan dan penyesatan. Sementara itu, melalui sejumlah esainya, ia bersuara lantang mengusung kebebasan kreatif, idealisme dan kejujuran pada hati nurani ketika sastra berkehendak mengangkat harkat manusia. Esai-esai Pram juga lantang menentang tindakan represif dan campur tangan politik dalam wilayah kebudayaan dalam lingkup yang luas dan kesusastraan khususnya.

Sampai di situ, Pramoedya Ananta Toer –waktu itu— sesungguhnya sudah pantas mendapat anugerah hadiah Magsaysay, bersanding dengan Mochtar Lubis. Karya-karyanya dasawarsa itu, jelas memberi penyadaran atas segala derita akibat perang, betapa perang selalu melahirkan kesengsaraan berkepanjangan. Dan muara dari segala penderitaan itu, tidak lain: rakyat! Di situlah karya-karya Pram mendapat tempat terhormat dalam daftar panjang karya-karya perlawanan terhadap tirani, represi, penindasan, dan pemerkosaan harkat hidup manusia. Pram dasawarsa tahun 1950-an adalah sosok pejuang kemanusiaan, gigih dan tak kenal kompromi!

Sebelas tahun kemudian setelah Pram menulis “Kesusasteraan sebagai Alat” (1952) muncul tanggapan mengenai sepak-terjang Pram yang dilakukannya pada tahun 1960-an itu. Tulisan yang berjudul “Pramoedya Cuci Tangan sesudah sebelas Tahun” (Duta Masjarakat, Edisi Minggu, 17 Maret 1963) merupakan tanggapan atas berita yang dilansir rubrik “Lentera” Bintang Timur, 10 Maret 1963 mengenai kuliah umum Nyoto, 2 Maret 1963 di hadapan para mahasiswa Akademi Ilmu Sosial “Aliarcham”. Dikatakan Nyoto, “sudah datang waktunya untuk mengadakan penghentian terhadap segala perdebatan mengenai “seni itu berpolitik atau tidak” karena barang siapa masih berkata juga seni itu “nonpolitik”, sesungguhnya dia itu reaksioner.

“Dengan memuat ucapan Nyoto dalam “lentera”/Bintang Timur-nya tanggal 10 Maret 1963, agaknya Pram ingin cuci tangan. Dan yang pasti, dengan itu dia telah “menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.”

Memasuki dasawarsa tahun 1960-an itu, sikap Pramoedya tampak berubah drastis. Apalagi setelah ia memegang rubrik “Lentera” harian Bintang Timur yang notabene adalah corong propaganda politik PKI. Buku Prahara Budaya (1995) yang disusun D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail berhasil mengungkapkan sebagian kecil dari apa yang terjadi sebenarnya pada masa itu. Beberapa tulisan Pram yang juga dimuat dalam buku itu, menunjukkan bagaimana terjadinya perubahan sikap dan perangai sosok seorang Pram. Dalam tulisan Pram yang menanggapi sebuah surat (Bokor Hutasuhut) yang ditujukan kepada H.B. Jassin (“Lentera”/Bintang Timur, 17 November 1963), Pram menyatakan perubahan sikapnya itu sebagai berikut:

“Kalau Saudara Bokor Hutasuhut membuka riwayat hidup saya yang tersimpan pada Balai Pustaka, akan melihat, bahwa di situ akan tertulis, bahwa saya menerima “pendidikan liberal” (1950), dan pada waktu itu pun saya seorang liberal. Saya meninggalkan liberalisme ini setelah bergaul dengan seniman-seniman Lekra, sekalipun prosesnya memakan waktu yang lama, tidak kurang dari tujuh tahun,” demikian tulis Pram. Selanjutnya, dikatakan pula, “Seseorang yang menyerah, bukan pejuang lagi, kalau ideologi perjuangannya dapat dipunahkan oleh musuhnya. Dan kalau seseorang berjuang tanpa sesuatu ideologi perjuangan, maka di dalam zaman modern ini hukumnya adalah petualangan.”

Boleh jadi karena sikap politiknya itu, Pram melihat orang per orang dari kacamata politik pula. Maka, siapa pun yang tidak sejalan dengan sikap politiknya adalah musuh, dan karena itu, harus dilawan, dibabat, dienyahkan. Bahkan, serangan itu tidak hanya ditujukan kepada gagasan yang berseberangan dengan perjuangan Lekra/PKI dan pribadi individunya, tetapi juga terhadap karya-karya orang yang bersangkutan. Buku-buku karya sastrawan yang tidak sejalan dengan garis perjuangan Lekra/PKI, disingkirkan, bahkan juga dibakar. Bur Rasuanto dalam artikelnya “Momen Pengadilan Pramoedya” (Horison, Oktober 1995, hlm. 10) menyatakan: “Dalam demonstrasi pembakaran karya-karya pengarang “musuh rakyat dan musuh revolusi” oleh Lekra dan CGMI tahun 1964, di antara buku yang dibakar itu termasuk buku-buku saya.”

Itulah yang terjadi dalam paroh awal dasawarsa tahun 1960-an sampai puncaknya terjadi pada tahun 1965. Dalam artikel Pram, berjudul “Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total” (Dimuat dalam Lembaran Kebudayaan “Lentera” harian Bintang Timur, 9 Mei 1965), Pramoedya Ananta Toer, antara lain, mengatakan: “Dengan dipersenjatai oleh amanat “Banting Stir” Bung Karno di depan MPRS, termasuk di dalamnya asas “Berdikari”, amanat Dasawarsa KAA-1 dan amanat Harpenas, Rakyat Indonesia dan para pekerja kebudayaan makin diperlengkapi persenjataannya untuk mengganyang kebudayaan Manikebu, Komprador, Imperialis dan Kontra Revolusi secara total.”

“Untuk waktu yang lama tukang-tukang tadah ini menadahi segala macam penyakit dunia kapitalis-imperialis pada satu segi, dan secara aktif ikut melakukan pembentukan ideologi-setan pada lain segi.

“17 Agustus 1965 yang akan datang, dalam merayakan 20 tahun kemerdekaan Indonesia, kebudayaan-setan ini seyogianya sudah harus tidak lagi mengotori bumi dan manusia Indonesia.” Di bagian lain, Parm mengatakan: “Sebagaimana diketahui penerbit-penerbit yang menerbitkan karya-karya Manikebu adalah seperti penerbit-penerbit pemerintah, penerbit-penerbit swasta untuk tidak menyebut beberapa nama. Apakah sebabnya penerbit-penerbit tersebut menerbitkannya dan apa sebabnya tidak pernah menarik kembali penerbitan-penerbitan tersebut dari peredaran? Apakah sebabnya ada penerbit yang justeru meneritkan buku-buku plagiat Hamka, sedang sudah diketahuinya karya tersebut adalah Plagiat? …”

“Gerakan Manikebu secara dialektik telah menyebabkan organisasi-organisasi massa belajar beraksi dalam satu front persatuan yang bulat. Dan aksi front kini telah menjadi tradisi di Indonesia. Maka gerakan mengembangkan kebudayaan-setan sebagai sistem perongrongan ini secara dialektik pun akan memutuskan aksi-aksi front yang akan datang. Perkembangan yang demikian takkan dapat dielakkan, sedang kemenangan-kemenangan baru sama pastinya dengan hancurnya lawan-lawan revolusi.”

Lebih jauh Pram menyatakan: “Dengan bersenjatakan “Berdikari”, Berkepribadian dalam Kebudayaan”, dan “Banting Stir”, pembersihan terhadap penerbit yang menjadi pabrik ideolozi (sic!) gelandangan telah merupakan suatu tantangan bagi semua organisasi kebudayaan yang progresif revolusioner.”

“Pembersihan ini bukan saja akan mengakibatkan terjadinya perkembangan yang sehat dalam pembinaan kepribadian nasional, juga menghabisi perbentengan terakhir musuh-musuh revolusi. Sedang di bidang sosial-ekonomi secara edukatif akan membantu penerbit-penerbit Manipolis memasuki form-nya sebagai alat revolusi sesuai dengan tuntutan situasi revolusioner dewasa ini.”
“Juga di bidang penerbitan, setiap kekalahan pada pihak lawan mengakibatkan terjadinya kemajuan ganda pada kekuatan revolusioner.”

Demikianlah, sikap politik Pram telah menyeretnya begitu jauh untuk berpikir dikotomis: yang tidak sejalan adalah musuh, oleh karena itu harus dibabat, disingkirkan, dienyahkan! Peristiwa pembabatan itulah yang membawa Pram harus melakukan penindasan terhadap siapa pun yang tidak sejalan dengan sikap politiknya. Mereka harus diperlakukan sebagai lawan, musuh. Mereka itulah yang membawa Kebudayaan Manikebu, Kebudayaan-Setan dan Ideologi-Setan. Jadi, dalam pandangan Pram, para penanda tangan Manifes Kebudayaan beserta para pendukungnya, tidak lain adalah gerombolan yang membawa kebudayaan dan ideologi-setan, kontra revolusi yang harus dibabat secara total.

Tindakan-tindakan Pram yang berkaitan dengan penindasannya terhadap mereka yang dianggap musuh itulah yang justeru sesungguhnya bertentangan dengan perjuangan terhadap penindasan dan semangat kebebasan. “Pram memang seorang teman yang pernah menimbulkan kesusahan kepada banyak sekali seniman dan pemikir bebas di Tanah Air, tapi Pram adalah seorang mahaputra sastra Indonesia,” begitu komentar Bur Rasuanto. Jika kemudian Pram menuai sendiri perbuatannya itu dengan hukuman berat yang ditimpakan pemerintah Orde Baru, tentu saja itu lebih merupakan sebuah risiko atas pilihan politik yang diambilnya. Bahwa para sastrawan dan seniman yang pernah ditindas Pram dapat memaafkan tindakan yang dulu dilakukannya itu, tidak pula berarti catatan sejarahnya dapat dihapus begitu saja. Sejarah, bagaimanapun juga, tetap harus ditegakkan sebagaimana adanya.
***

Ketika pada tahun 1995 Pramoedya Ananta Toer memperoleh anugerah hadiah Magsaysay, mengapa kemudian terjadi kontroversi? Bukankah itu merupakan kebanggaan bagi bangsa ini karena salah seorang warganya dipandang telah berhasil mengangkat citra sebagai sosok manusia yang gigih dan tidak mengenal lelah memperjuangkan kebebasan dan hak asasi manusia, sebagaimana yang disimbolkan oleh nama besar Magsaysay?

Mencermati kontroversi yang berkembang seputar pemberian hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer, segera kita dapat menarik tiga pandangan yang melandasi kontroversi itu.

Pertama, pandangan yang menentang pemberian hadiah itu mengingat ada bagian dari perjalanan hidup Pram yang justru bertentangan dengan ruh dan semangat yang menjadi dasar pemberian hadiah Magsaysay. Sebagian besar dari kelompok ini adalah para pelaku sejarah yang terjadi pada paroh pertama tahun 1960-an dan sebagiannya lagi terdiri dari individu yang mencoba menempatkan dalam lintasan sejarah yang tak terputus. Oleh karena itu, sosok Pram harus juga dilihat dari perspektif historis. Bukankah perjalanan hidup seseorang membawa masa lalunya sendiri? Oleh karena itulah, bagaimanapun juga, masa lalu tak dapat begitu saja direvisi, diganti, atau bahkan dihilangkan.

Kedua, menerima pemberian hadiah itu dengan menutup mata pada masa lalu dan melupakan sepak terjang Pram. Yang menjadi pertimbangannya semata-mata pada karya dan kreasi Pram sebagai sastrawan. Bahwa Pram pernah terlibat kegiatan politik dan ikut memperjuangkan ideologi politiknya dengan cara represif, biarlah itu tinggal sebagai masa lalu. Beberapa orang dari kelompok ini, juga pelaku sejarah tahun 1960-an itu, dan sebagian lagi menempatkan Pram seolah-olah tidak ada kaitannya dengan perjalanan hidupnya di masa lalu. Masa lalu, biarlah tinggal sebagai milik orang-orang tua, dan bukan menjadi milik generasi sekarang.

Ketiga, mendukung pemberian hadiah itu mengingat Pram telah membayar masa lalunya dengan sangat mahal. Para pendukung ini terdiri dari dua kelompok. Kelompok pertama melihat Pram sebagai sosok yang teraniaya, jika ia harus dikaitkan dengan masa lalunya. Mereka melihat, bahwa perbuatan Pram yang terjadi pada paroh pertama tahun 1960-an itu telah dibayar Pram melebihi tindakannya pada masa itu. Penganiayaan atas diri Pram tidak sebanding dengan apa yang telah dilakukannya. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk tidak mendukung Pram. Kelompok kedua melihat bahwa masa lalu Pram biarlah menjadi milik generasi Pram. Mereka membela Pram karena mereka merasa bukan bagian dari generasi masa lalu itu. Mereka menolak terlibat atau dilibatkan dalam persoalan yang terjadi pada lalu. Generasi sekarang, menurut mereka, tak ada hubungannya dengan masalah yang terjadi pada peristiwa dulu. Alasan lain yang dikemukakan mereka adalah belum adanya pengadilan yang memutuskan kebersalahan Pram. Jadi, tidak pada tempatnya menyalahkan seseorang, sementara pengadilan belum memutuskan vonis.

Terlepas dari persoalan pro dan kontra mengenai kebersalahan yang telah dilakukan Pram atau anggapan bahwa penganiayaan terhadap Pram terlalu mahal jika dibandingkan dengan tindakan masa lalunya, bijaksanalah jika kita mencoba mencermati duduk perkaranya secara proporsional. Tentu kita tidak bermaksud menghakimi atau membela Pram. Cukup kita coba memaparkan pandangan dan komentar seputar pemberian hadiah Magsaysay kepada seorang Pramoedya Ananta Toer, salah seorang sastrawan penting kita.
***

Sebagai sastrawan, harus diakui, Pramoedya Ananta Toer berhasil menorehkan namanya sebagai salah seorang sastrawan Indonesia terkemuka. Di kalangan sastrawan Indonesia sendiri, tidak ada keraguan untuk menempatkan karya-karya Pram sebagai salah satu tonggak yang ikut memperkaya khazanah sastra Indonesia. Oleh karena itu, ketika pemerintah Orde Baru melarang peredaran buku-buku Pramoedya Ananta Toer, banyak di antara mereka yang justru menentang kebijakan itu.

Bagaimanapun juga, sejumlah besar karya Pram memperlihatkan nilai sastra yang tinggi. Bahwa Pramoedya Ananta Toer pernah terlibat aktif dan menjadi salah seorang Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah lembaga kebudayaan di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI) tidaklah berarti buku-bukunya –terutama karya-karya yang dihasilkannya sebelum menjadi salah seorang Ketua Lekra—harus pula menerima hukuman. Jadi, tak ada alasan pula ikut-ikutan melarang peredaran buku-bukunya. Jika pemerintah Orde Baru melarang buku-buku Pram karena dipandang berbahaya, kita juga dapat memahaminya mengingat pendekatan dan sudut pandang yang dilakukan pemerintah, tidak atas dasar estetika, melainkan semata-mata berdasarkan pendekatan keamanan. Satu kebijakan represif yang sebenarnya terlalu berlebihan.

Demikian juga, kelompok yang menentang pemberian hadiah Magsaysay terhadap Pram, tidaklah didasari atau tertuju pada nilai karya-karya Pram, tidak pula lantaran garis politik yang dianutnya, melainkan pada tindakan yang pernah dilakukannya pada masa lalu. Kelompok ini beranggapan bahwa Pram pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan semangat dan cita-cita yang justru menjadi ruh, simbol dan substansi pemberian hadiah itu. Tindakan itulah yang dinilai dapat mencoreng nama besar dan reputasi ketokohan Magsaysay. Dengan demikian, tidak sepatutnya hadiah itu diberikan kepada seseorang yang dalam perjalanan hidupnya di masa lalu, pernah melakukan tindak penindasan atau ikut mendukung secara aktif tindakan yang bertentangan dengan semangat kebebasan dan kemerdekaan. Maka, jika Hadiah Magsaysay diberikan kepada Pram, dan ia pernah melakukan tindak penindasan atau setidaknya ikut mendukung perbuatan tercela seperti itu, bukankah itu berarti pemberian hadiah itu salah alamat.

Mochtar Lubis, sastrawan yang juga pernah mendapat hadiah Magsaysay tahun 1958, bereaksi keras. Ia bahkan mengembalikan semua hadiah yang telah diterimanya itu kepada Yayasan Hadiah Magsaysay sebab dinilainya tidak lagi konsisten memperjuangkan semangat perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Dalam pernyataan yang didukung oleh 25 sastrawan-budayawan Indonesia, dikatakan: “Kami menduga bahwa Yayasan Hadiah Magsaysay tidak sepenuhnya tahu tentang peran tidak terpuji Pramoedya pada masa paling gelap bagi kreativitas di zaman Demokrasi Terpimpin, ketika dia memimpin penindasan sesama seniman yang tidak sepaham dengan dia.” Demikian pernyataan Mochtar Lubis atas keputusan Panitia Hadiah Magsaysay yang memberikan hadiah itu kepada Pram.

Dalam pandangan mereka, seperti ditulis dalam majalah Panji Masyarakat (No. 836, 11—21 Agustus 1995) Yayasan Hadiah Magsaysay tidak memahami peranan Pram dalam masa Demokrasi Terpimpin. Padahal, itulah masa yang dinilai sebagai periode paling gelap dari kreativitas berkesenian. Selama itu Pramoedya Ananta Toer memimpin penindasan terhadap kreativitas para seniman nonkomunis…. Dalam masa suhu politik yang panas tahun 1960-an, Pram mengambil peranan aktif untuk menyingkirkan lawan-lawannya, terutama seniman di luar Lekra yang punya pengaruh besar di masyarakat….”

Pernyataan Mochtar Lubis itu menyebutkan pula, bahwa Pram telah melancarkan kampanye fitnah dan pemburukan nama secara teratur terhadap seniman-seniman non-Lekra/PKI, teror mental dan intimidasi sebagai pelaksanaan prinsip “tujuan menghalankan cara”, mengembangkan gaya bahasa caci-maki di pers Indonesia, melakukan kampanye pembabatan terhadap penerbit-penerbit independen …. “Kami khawatir, pemberian hadiah kepada Pramoedya sekaligus berarti pula bahwa Yayasan hadiah Magsaysay membayarnya untuk tindakannya menindas kebebasan kreatif sejak awal hingga pertengahan 60-an di Indonesia.”

Bagi Mochtar Lubis, penolakannya bukanlah pada pemberian hadiah sastranya kepada Pramoedya Ananta Toer, melainkan pada “sikap Pramoedya yang punya bakat ‘antikemanusiaan, antikebebasan kreativitas’ yang pernah dilakukan Pramoedya dengan caranya yang sangat kejam terhadap teman-teman sastrawan dan seniman yang tidak menjadi anggota Lekra di zaman Orba.” Tidak dapat dipisahkan antara pengarang sebagai manusia dari ciptaan sastranya, demikian Mochtar Lubis. “Jadi, pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak kreativitas orang lain, yang pernah dihantam Pramoedya habis-habisan itu seakan-akan dianggap tidak ada. Nah itu yang kami perjuangkan dalam aksi protes ini, supaya generasi muda yang akan datang, mengerti bahwa antara sastrawan dan karya sastranya yang pernah diperbuat di masa lalu itu, tidak bisa dipisah-pisahkan. Hal ini juga berlaku bagi Pramoedya. Jadi, Pramoedya harus berani bertanggung jawab dengan sejarahnya di masa lalu.”

“Bagi saya,” ujar Mochtar Lubis, “Pramoedya tidak perlu minta maaf kepada kami, para sastrawan. Saya pribadi tidak meminta hal itu. Yang kami minta, Pramoedya meluruskan kembali bahwa apa yang dilakukannya di masa lalu adalah tidak benar.”

Frankie Sionil Jose, novelis terkemuka Filipina yang pada tahun 1960-an itu pernah berkunjung ke Jakarta dan melihat sendiri kekacauan yang melanda kehidupan kesusastraan dan kebudayaan Indonesia waktu itu, juga mempertanyakan keputusan Panitia Hadiah Magsaysay. “Sebuah kesalahan besar jika Panitia memberikan hadiah kepada orang yang berseberangan dengan cita-cita Magsaysay,” ujarnya. “Saya menyalahkan mereka yang ada di Yayasan Magsaysay. Mereka telah melanggar kehormatan kenangan kepada Magsaysay. Lembaga itu, kini justeru memberi penghargaan kepada seseorang yang dengan cara amat kasar telah memperkosa cita-cita Magsaysay: cita-cita perjuangan hak-hak asasi, penentangan penindasan, dan pembela kebebasan kreatif.”

Sebagai sastrawan dan anggota PEN Internasional yang pada tahun 1980 menerima Hadiah Magsaysay, Jose tak habis mengerti, mengapa hadiah itu jatuh pada nama Pramoedya Ananta Toer. “If Ramon Magsaysay were alive today, I am sure he will condemn the Foundation bearing his name for giving the 1995 award to Pramoedya Ananta Toer,” begitu komentarnya kepada The Inquirer, suratkabar terbesar di Manila. Sementara dalam surat yang dikirim ke harian Republika (20 Agustus 1995), Jose menyatakan bahwa keputusan Yayasan Ramon Magsaysay itu sebagai memalukan. “Ini keputusan dungu!” tulisannya.

Frankie Sionil Jose sendiri tahu, ketika Pram menjadi salah seorang Ketua Lekra, Pram telah melakukan penindasan terhadap seniman yang tidak sealiran dengan Lekra. Dikatakan Jose, “I was in Indonesia in the early 1960s before the fall of Soekarno and I know Pramoedya’s background. He was responsible for jailing of his enemies who are mostly writers and he persecuted them.” Lebih lanjut, Jose –seperti dikutip harian Republika (8 Agustus 1995)—mengatakan, “… dalam sejarah kebangsaan Indonesia tindakan penindasan yang pernah dilakukan Pram tidak dapat dilupakan begitu saja. … Saya menyaksikan, betapa dia seorang tiran dan menindas sastrawan Indonesia yang telah berjuang merebut kemerdekaan. Beruntung Pram hanya dipenjarakan, tidak dibunuh.” Sementara Amnesti Internasional pada tahun 1961 menyebut Pram sebagai “seorang Marxis yang teguh, seorang radikal dan berhaluan kerakyatan yang secara alamiah dekat dengan politik kiri.”

Mantan Direktur Eksekutif Yayasan Magsaysay, Belen Abreau, sebagaimana yang ditulis Fadli Zon (Horison, Oktober 1995), menegaskan bahwa Pram tidak cukup syarat moral untuk menerima Hadiah Magsaysay. “It is not enough that you have excellent writings but what kind of an individual the person is. Did her or she promote the chances of fellow writers or did he or she harrass them? How can Pramoedya relate to others.”

Ada sekitar 70-an artikel yang membincangkan seputar penolakan terhadap pemberian Hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer. Gencarnya penolakan itu, semata-mata lantaran Pram pernah melakukan tindakan yang justru bertentangan dengan ruh dan arti yang menjiwai idealisme, semangat dan cita-cita Ramon Magsaysay sendiri. Jadi, dalam hal ini, Pram dianggap tidak patut menerima hadiah itu, lantaran ia pernah melakukan penindasan. Bahkan, sebuah surat pembaca yang ditulis Marinus Handiyono, Jakarta Barat (Gatra, No. 46/I/30 September 1995) ikut pula mempertanyakan sikap Pram. “Sebagai pembela kemanusiaan, seperti dalam karya-karya sastra Pram, saya sangat kecewa dengan sikap Pram yang berusaha menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan dengan menindas kemanusiaan.”

Sementara itu, Asrul Sani (“Soal Moral yang Korup”, Horison, 30, 6—10, 1995), juga menyatakan keberatannya. Dengan gaya retoris ia menyatakan keherannya. “… kenapa sebuah yayasan seperti Magsaysay memberikan penghargaannya pada pengarang seperti Pramoedya Ananta Toer, yang semasa pemerintahan Orde Lama telah mempergunakan bakat dan keterampilan kesenimanannya untuk menindas kemerdekaan para seniman lain.” Selanjutnya, Asrul Sani mencoba pula mengungkapkan terpecahnya seniman Indonesia dalam menanggapi pemberian hadiah Magsaysay kepada Pram. Kelompok pertama mengirimkan pernyataan yang ditandatangani sejumlah seniman, dan kelompok kedua mereka yang menolak menandatangani pernyataan tersebut.

“Tapi kedua belah pihak berbeda ini memiliki sikap yang sama mengenai beberapa pokok. Kedua belah pihak ingin Pramoedya menerima hadia tersebut, kedua belah pihak mengharapkan agar Pemerintah tidak mencekal Pramoedya dan mengizinkannya ke Filipina untuk menerima hadiah tersebut. Kedua pihak menyatakan, Pramoedya adalah pengarang Indonesia yang penting. Kedua belah pihak sama-sama menuntut supaya larangan terhadap karya Pramoedya dicabut. Di samping itu, pihak yang tak mau menandatangani dan yang keberatan terhadap statement tersebut juga mengakui dan menyatakan bahwa Pramoedya sudah melakukan teror terhadap rekan-rekannya sesama seniman di masa lampau. Yang tak mengakui hanya: Pramoedya Ananta Toer..”

Bagi Asrul Sani, duduk perkaranya bukanlah terletak pada pertentangan antara Pramoedya dan kelompok Manifes Kebudayaan, juga bukan pada sikap politik Pram, melainkan menyangkut moral seorang pengarang. “Bagi saya,” demikian Asrul Sani, “pengarang adalah hati nurani bangsanya. Sudah menjadi tradisi dalam dunia kesusastraan di mana pun juga bahwa komitmen pertama seorang pengarang adalah pada kebenaran dan pada martabat manusia. Sehingga satu demi satu mereka adalah ujung tombak kebebasan berpikir dan kebebasan mencipta.”

Lalu bagaimana dengan Pram, dan apa yang pernah dilakukannya? “Inilah sebetulnya yang dilakukan Pramoedya,” tulis Mochtar Lubis, “Ia menindas hak orang lain untuk memperoleh hak yang ia sendiri perlukan sebagai pengarang. Ia telah menyediakan dirinya menjadi alat bagi kekuatan yang melakukan penindasan tersebut. Inilah isu yang sebenarnya, bukan isu penekanan Manikebu.”

“Yayasan Magsaysay memberikan penghargaan kepada Pramoedya dengan alasan karena Pram dinilai berhasil melakukan pencerahan dengan cerita yang brilian tentang sejarah kebangkitan dan kehidupan modern masyarakat Indonesia—illuminating with briliant stories the historical Indonesia and modern experience of Indonesia people. Yayasan Magsaysay mendasarkan pemberian penghargaannya pada prestasi semata.”

Berseberangan dengan kelompok yang menentang pemberian hadian Magsaysay, kelompok yang mendukung mengungkapkan alasannya sendiri-sendiri. Alasan yang terutama didasarkan pada karya-karya Pram yang memang sangat pantas memperoleh penghargaan itu. Sejumlah karya Pram, baik sebelum ia memasuki dunia politik, seperti Keluarga Gerilya, Blora, Bukan Pasar Malam, misalnya, atau karya-karyanya ketika ia dipenjara di Pulau Buru, antara lain, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, memperlihatkan kualitas karya yang membanggakan. Sampai di sini, Pram telah menunjukkan dirinya sebagai pengarang penting dalam dunia sastra Indonesia. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk menolak pemberian hadiah Magsaysay kepada diri seorang Pram, karena memang sepantasnya ia menerima penghargaan itu..

Sesungguhnya, ketika yang dibicarakan karya-karyanya an sich, baik yang menolak maupun yang mendukung pemberian hadiah Magsaysay kepada Pram, justeru bersepaham, bahwa karya-karya Pram memang pantas menerima hadiah itu. Tetapi, ketika sosok Pram dikaitkan dengan tindakan masa lalunya, di situlah perbedaan pendapat tidak terhindarkan. Apalagi kemudian jika dikaitkan dengan peran politik Pram ketika ia menjadi bagian dari organ politik PKI melalui Lekra. Bagaimanakah sesungguhnya pandangan para pendukung Pram mengenai masalah tersebut?

Sitor Situmorang, salah seorang tokoh Angkatan 45 yang juga pernah mendukung kebijakan politik Orde Lama, menilai bahwa dalam pemberian hadiah apa pun, baik Nobel maupun Magsaysay, pastilah ada muatan politiknya. Biasanya hal itu, terutama ketika Komunisme di Uni Soviet belum ambruk, sangat dipengaruhi oleh faktor Perang Dingin yang diciptakan oleh Amerika Serikat. Perang Dingin yang terjadi sebelum Perang Dunia kedua adalah perang antara “Barat” dengan fasisme Jerman dan fasisme Jepang. Setelah Amerika Serikat membentuk NATO (Organisasi Pertahanan Atlantik Utara) pada 1948, maka Perang Dingin yang dikobarkan itu dicitrakan sebagai “perang” antara “Barat” melawan komunisme. Padahal, sebelumnya, negara yang berideologi Komunis seperti Uni Soviet dan RRC bersekutu dengan AS saat “menghabisi” fasisme Jerman dan Jepang.

Pada 1995, ketika Pram menerima hadiah Magsaysay, sebenarnya komunisme sudah “habis”, ditandai dengan diterapkannya “glasnost” dan “perestroika” di Uni Soviet dan robohnya Tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur. Pada saat yang bersamaan, di Indonesia, dominasi Presiden Soeharto yang memaksakan ideologi Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi partai politik dan organisasi massa sedang masuk menuju masa-masa puncak kejayaan Orde Barunya. Dalam hal ini, Presiden Soeharto telah memilih untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya yang menentang asas tunggal Pancasila. Beberapa contoh kasus, dapat disebutkan di sini, Kelompok Petisi 50 yang dimotori Ali Sadikin (1980), kelompok Islam yang kemudian bermuara pada peristiwa tragedia Tanjung Priok (1984) adalah gerakan penentang yang coba disingkirkan penguasa Orde Baru. Jika kelompok-kelompok penentang itu sedikit pun tidak diberi ruang gerak, apalagi kelompok komunis yang menurut pandangan pemerintah Orde Baru sebagai dalang peristiwa G30S/PKI 1965 yang membawa korban sejumlah jenderal Angkatan Darat.

Dalam situasi politik seperti itulah Pramoedya Ananta Toer mendapat penghargaan berupa hadiah Magsaysay. Ketika Pram “teraniaya” oleh pemerintahan Soeharto, Pram dan para pendukungnya merasa bahwa ketika itu tidak ada seorang pun yang coba melakukan pembelaan terhadapnya. Yang dimaksud dengan “pembelaan” di sini adalah pembelaan secara hukum, karena fakta menunjukkan bahwa Pramoedya Ananta Toer dipenjara dan diasingkan di Pulau Buru tanpa melalui proses pengadilan.

Ketika Pram masih berada di Pulau Buru, buku-buku yang diterbitkannya pun dilarang beredar oleh pemerintah. Beberapa seniman yang dulu pernah “dihabisi” oleh Lekra, memang sempat menyuarakan, bahkan mendesak, agar pemerintah tidak melarang buku-buku tersebut. Namun, mesin politik Soeharto saat itu sangat kokoh dan tajam. Jangankan sastrawan, mahasiswa UGM, misalnya, yang membaca dan menjual secara sembunyi-sembunyi buku Pramoedya pun dihukum dan dijebloskan ke penjara di masa Orde Baru. Jelaslah bahwa pada saat itu, Pram berada dalam keadaan “tidak berdaya” sama sekali. Keadaan seperti inilah yang mendorong Yayasan Ramon Magsaysay memberikan hadiah yang nilainya diperkirakan sebesar Rp 100 juta itu.

Penilaian di dalam tim juri Magsaysay itu pun, karena dilakukan secara rahasia, tidak ada yang benar-benar tahu, kriteria dan alasan apa yang melatarbelakangi pemberian hadiah itu kepada Pramoedya Ananta Toer. Kabarnya, Panitia Hadiah Magsaysay sendiri terpecah; ada berapa orang yang setuju pemberian penghargaan itu, dan berapa orang yang tidak setuju. Namun, yang jelas, jumlah mereka yang setujulah yang dominan, sehingga Pram berhasil mendapatkan hadiah itu.

Pertanyaannya kemudian, mengapa hadiah itu tidak diberikan dari sejak dulu, dan mengapa pula baru pada tahun 1995 itu diberikan? Sekali lagi, tentu saja ada alasan-alasan politik yang melataribelakangi pemberian hadiah itu. Dengan diberikannya penghargaan Magsaysay kepada Pram di zaman Orde Baru, jelas terlihat bahwa Yayasan Ramon Magsaysay sepertinya mencoba menyuarakan demokratisasi, sebuah paham politik produk Amerika Serikat atau “Barat”.

Demokratisasi yang dihembuskan Yayasan Ramon secara tidak langsung adalah menolak adanya pelarangan buku, menuntut adanya kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berbeda pendapat. Dengan demikian, Yayasan Ramon tidak terlalu mempedulikan latar belakang Pramoedya Ananta Toer sebagai motor penggerak Lekra yang dulu pernah menindas seniman-seniman penanda tangan Manifes Kebudayaan dan para pendukungnya yang berhaluan humanisme universal.

Analoginya, jika dulu AS dapat bersekutu dengan Uni Soviet dan RRC ketika “menghabisi” fasisme Jerman dan Jepang, dalam perkembangannya kemudian, AS justeru berbalik berhadapan dengan Uni Soviet dan RRC ketika mereka (AS, Inggris, Australia, dan sekutu) hendak “menghabisi” komunisme.

Ketika Taufiq Ismail mengirim faksimile kepada Arief Budiman untuk ikut dalam aksi menolak pemberian hadiah Magsaysay kepada Pram, saat itu Arief berada di rumah K.H. Mustofa Bisri (Arief Budiman, “Hadiah Magsaysay dan Budaya Baru” Kompas, 14 Agustus 1995; Horison, Oktober 1995). Surat itu kemudian dibacakan dalam forum pertemuan tersebut. Gus Mus langsung memberikan reaksi atas surat ajakan itu, dan ia merasa keberatan dengan pesan yang disampaikan Taufiq Ismail. Gus Mus mengambil sikap seperti HAMKA yang begitu ia keluar dari penjara, ia langsung memaafkan Pram yang pernah memfitnahnya melakukan plagiat. Gus Mus cenderung memaafkan Pram, yang saat itu (di zaman Orde Baru) memang selalu teraniaya –yang secara tidak langsung dapat ditempatkan menjadi inspirasi bagi perlawanan terhadap rezim Soeharto.

Arief Budiman berpendapat bahwa apa yang dialami Pram di masa Orde Baru sebenarnya sudah lebih dari cukup dari apa yang dilakukannya di zaman Orde Lama. Sama seperti Goenawan Mohamad, Arief pun sudah melupakan peristiwa masa lalu itu, yaitu konflik masa lalu antara kubu Manifes Kebudayaan dengan Lekra, dan ia pun tidak menaruh dendam pada Pram.

Bur Rasuanto (“Momen Pengadilan Pramoedya,” Horison, Oktober 1995, hlm. 10) yang mencabut kembali keputusannya menandatangani “Pernyataan” yang ditujukan kepada Panitia Hadiah Magsaysay, mengungkapkann, bahwa mengingat Pram sendiri pernah menuduh bahwa Yayasan Magsaysay itu antek imperialis—neokolonialis … maka Hadiah Magsaysay bukanlah momen ganjaran (moment of reward), melainkan lebih merupakan momen pengadilan (moment of truth) yang harus dihadapi Pramoedya.

“Kalau Pram menolak, berarti dia masih konsisten dan konsekuen dengan cita-cita dan pandangannya yang lama. Tapi, kalau Pram menerimanya—dan dia memang menerimanya—artinya Pramoedya tidak lagi konsisten, ia telah meninggalkan paham lamanya dan mengakui bahwa kampanye yang dilakukannya dulu keliru. Tentu ada kemungkinan lain: ia munafik”

Begitulah, silang pendapat mengenai pemberian hadiah Magsaysay kepada Pram. Terjadinya perbedaan pendapat demikian, tentu saja harus kita tempatkan sebagai bagian dari proses demokratisasi. Meskipun demikian, apa yang terjadi dalam peristiwa 1960-an itu, bagaimanapun juga adalah pelajaran yang sangat mahal bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi para seniman, bahwa sikap jumawa (sikap untuk saling mendominasi, menguasai) – baik secara politik maupun ideologi – akan mendapatkan penolakan. Dalam konteks itu, seyogianya kita memang memaafkan peristiwa masa lalu itu, menempatkannya sebagai bagian dari perjalanan sejarah bangsa ini, dan oleh karena itulah, sejarah tidak boleh dilupakan begitu saja. Dengan mempelajari sejarah masa lalu itu, kita tidak hanya dapat menangkap banyak pelajaran daripadanya, tetapi juga dapat menempatkannya sebagai catatan masa lalu orang per orang. Di situ pula sejarah perlu ditegakkan, dipahami, dan ditempatkan sebagaimana adanya.

Maka, pemberian Hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer, seyogianya pula tidak dilihat sebagai sebuah kepantasan dan kelayakan seorang Pramoedya untuk menerimanya, tetapi juga dilihat dari kepatutannya jika dihubungkan dengan perilakunya di masa lalu. Dan sejarah masa lalu itulah yang memberi nilai atas kepatutan itu.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi