Gugun El-Guyanie
http://sastra-indonesia.com/
Kemarin rakyat digemparkan dengan isu “reog Ponorogo” yang diklaim oleh Malasyia. Sekarang kita munculkan wacana seni ludruk yang sama-sama dari Jawa Timur sebagaimana Reog dilahirkan. Ini kita maknai sebagai suatu sikap kultural-apresiatif terhadap kekayaan warisan seni lokal di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekali lagi marilah mengangkat dengan hormat produk seni nenek moyang yang diinjak-injak anak cucunya sendiri. Juga mencintai dan merasa memiliki (sense of belonging) karya-karya tradisional yang dianggap kampungan (subaltern).
Masih adakah generasi sekarang ini yang mengenal kesenian khas Jawa Timur yang bernama Ludruk? Sungguh nasionalisme generasi muda abad 21, diuji bukan karena tidak mengenal bahasa persatuan, tidak hormat pada merah putih atau tentang pancasila. Tetapi karena mereka sudah kehilangan kesadaran historis untuk sekedar ingat pada karya-karya tradisional khas daerah masing-masing. Kaum muda Indonesia saat ini sudah tercerabut dari akar-akar kearifan budaya lokal yang menyimpan khazanah eksotisme dan heroisme kaum tradisionalis marginal. Salah satu khazanah penting yang sedang meredup dan dilupakan oleh para pewarisnya adalah ludruk. Ludruk bagi penulis semenjak berkenalan dengannya bukan saja memiliki nilai kesenian khas rakyat, namun juga menanamkan spirit perlawanan dan kritik sosial khas orang pinggiran yang tertindas dan terhisap.
Untuk melacak akar historis seni ludruk sebenarnya tidak sulit. Walaupun banyak terjadi perbedaan tentang asal muasalnya, pada prinsipnya memiliki substansi yang sama. Salah satunya adalah hasil penelitian Suripan Sadi Hutomo, menurut kamus “Javanansch Nederduitssch Woordenboek” karya Gencke dan T Roorda (1847), Ludruk artinya Grappermaker (badutan). Sumber lain menyatakan ludruk artinya penari wanita dan badhut artinya pelawak di dalam karya WJS Poerwadarminta, BPE Sastra (1930). Sedangkan menurut S.Wojowasito (1984) bahwa kata badhut sudah dikenal oleh masyarakat Jawa Timur sejak tahun 760 M di masa kerajaan Kanyuruhan Malang dengan rajanya Gajayana, seorang seniman tari yang meninggalkan kenangan berupa candi Badhut.
Ada yang menyatakan bahwa embrio kesenian ludruk menurut penuturan beberapa narasumber dan kalangan seniman ludruk, pertama kali muncul sekitar tahun 1890. Pemulanya adalah Gangsar, seorang tokoh yang berasal dari desa Pandan, Jombang. Gangsar pertama kali mencetuskan kesenian ini dalam bentuk ngamen dan jogetan. Ia mengembara dari rumah ke rumah. Dalam pengembaraannya ini Gangsar kemudian melihat seorang lelaki sedang menggendong anaknya yang sedang menangis. Lelaki itu berpakaian perempuan, dan ini dianggap Gangsar sebagai fenomena lucu dan menarik, sehingga dia bertanya mengapa laki-laki kok mengenakan busana perempuan. Menurut si lelaki, ia memakai baju perempuan tersebut untuk mengelabui anaknya, untuk membuat anaknya merasa bahwa dia digendong oleh ibunya. Menurut nara sumber ini, peristiwa itulah yang menjadi asal munculnya laki-laki yang berperan sebagai wanita dalam kesenian ludruk. Narasumber lain menyatakan bahwa ludruk sebagai teater rakyat dimulai tahun 1907, oleh pak Santik dari desa Ceweng, Kecamatan Goda kabupaten Jombang.
Dari berbagai narasumber, pada kesimpulannya bahwa Jombang sebagai tanah air yang melahirkan kesenian ludruk yang benih-benihnya sudah tertanam di akhir abad 19. Hingga tumbuh berkembang dengan subur dari periode pemerintahan ke periode pemerintahan selanjutnya. Dari zaman kolonialisme Belanda sampai zaman Jepang, dan berlanjut hingga zaman pembangunanisme Orde Baru. Secara kultural geografis, ludruk melakukan ekspansi dari Jombang ke daerah lain di wilayah Jawa Timur, seperti Surabaya, Malang, Madiun, Madura dsb. Dengan tetap lahir dari rahim kesenian masyarakat kelas marginal yang kurang terpelajar, kelompok ekonomi miskin dan kelas sosial terpinggirkan.
Cak Durasim dan Ludruk
Menyebut-nyebut ludruk tanpa nama Cak Durasim ibarat berbicara Proklamasi tanpa menyebut nama Soekarno, atau sama halnya berbicara Reog dengan meninggalkan nama kota Ponorogo. Cak Durasim hidup sezaman dengan dr. Sutomo, tokoh politik pada zaman itu yang populer dengan peristiwa 10 November Surabaya atau kemudian dikenal dengan Hari Pahlawan. Pada tahun 1933, Cak Durasim mendirikan Ludruk Organizatie (LO), merintis pementasan ludruk berlakon, yang kemudian amat terkenal keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan kolonial Belanda maupun Jepang.
Ludruk pada masa itu memiliki multifungsi. Pertama, berfungsi sebagai hiburan dan kesenian rakyat. Kedua, sebagai alat penerangan atau pencerahan rakyat pinggiran yang jauh dari informasi. Ketiga, fungsi politis yaitu sebagai media menumbuhkan nasionalisme daan provokasi perlawanan terhadap penjajah. Peristiwa puncaknya akibat kidungan “Jula Juli” yang menjadi legenda di seluruh grup Ludruk di Indonesia yaitu : “Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro. Tuku klepon ndhu stasiun, Melok Nippon gak oleh pensiun”. Akibatnya cak Durasim dan kawan kawan ditangkap dan dipenjara oleh Jepang hingga wafat setelah sekian lama keluar dari penjara.
Kemudian menginjak masa Kemerdekaan (1945-1965), ludruk berperan informatif untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan dalam mengisi kemerdekaan. Ludruk yang terkenal pada zaman tersebut adalah ludruk Marhaen milik Partai Komunis Indonesia yang juga sekaligus digunakan sebagai corong PKI untuk melakukan penggalangan masa untuk tujuan pemberontakan. Terbukti ludruk benar-benar dekat di hati rakyat atau wong cilik di wilayah Jawa Timur. Ada dua grup ludruk yang sangat terkenal yaitu : Ludruk Marhaen dan Ludruk Tresna Enggal.
Ludruk Marhaen pernah main di Istana Negara sampai 16 kali. Hal ini menunjukkan betapa dekatnya para seniman ludruk dengan para pengambil keputusan di negeri ini. Ludruk ini juga berkesempatan menghibur para pejuang untuk merebut kembali Irian Jaya, TRIKORA II B yang memperoleh penghargaan dari panglima Mandala (Soeharto). Ludruk Marhein lebih condong ke kiri sehingga ketika terjadi peristiwa G30S/PKI Ludruk ini bubar. Peristiwa G30S/PKI benar-benar memporak porandakan grup-grup Ludruk terutama yang berafiliasi kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat milik PKI. Hingga terjadi kevakuman antara 1965-1968, dan sesudah itu muncullah kebijakan baru menyangkut grup-grup ludruk di Jawa Timur. Kemudian pada tahun 1968-1970 terjadi peleburan ludruk yang dikoordinir oleh Angkatan Bersenjata dalam hal ini DAM VIII Brawijaya. Dan setelah tahun 1975, ludruk kembali menjadi milik rakyat yang independen.
Ternyata Indonesia mengenal Jombang bukan hanya karena menjadi ibu kota pesantren yang memiliki ratusan ribu santri yang mendalami ilmu agama. Atau juga bukan hanya ada intelektual Islam Nurcholis Madjid, tokoh sekaliber Gusdur sampai ke bapaknya (A Wahid Hasyim), bahkan ke kakeknya sang pendiri Nahdlatul Ulama (KH Hasyim Asy¢arie). Dan juga bukan hanya ketenaran budayawan kondang Emha Ainun Nadjib sampai spirit jihadnya Abu Bakar Ba¢asyir, yang semua tokoh tadi dilahirkan dari Jombang. Indonesia dan kita semua harus melihat Jombang dari satu pintu lagi, yaitu pintu seni kerakyatan yang bernama ludruk. Karena di dalamnya kita temukan local wisdom, nasionalisme, heroisme, eksotisme estetis dan nilai-nilai kerakyatan yang dalam.
Kita menghidupkan kesenian rakyat daerah bukan untuk tujuan primordialisme-etnosentrisme yang sempit. Tetapi memasuki samudera NKRI melalui pintu-pintu kerakyatan yang termarginalkan, mencintai tanah air dengan menengok kampung halaman tempat kita dilahirkan. Karena seni yang diciptakan nenek moyang kita, memiliki nilai sakral untuk menuju Tuhan dan menyelamatkan bangsa yang sedang tenggelam dalam kemurkaan-Nya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar