Minggu, 09 Januari 2011

Antara Banaspati dan Mbah Jarmi

Vyan Taswirul Afkar
http://sastra-indonesia.com/

Langit belum terlalu gelap, Matahari masih menampakkan ujung kepalanya di cakrawala. Mega merah berjajar di ufuk barat kampungku. Burung-burung kelelahan belum sampai sarangnya. Bahkan, kelelawar hanya belasan yang sudah berterbangan di langit pasca senja. Tetapi di RT-ku ramai sekali. Bukan karena ada konser dangdut kawinan anak Pak Lurah seperti kemarin, melainkan salah satu rumah terbakar. Rumah itu adalah rumah Mbah Jarmi.

Para bapak berlarian membawa ember-ember berisi air yang digunakan untuk memadamkan api yang menjulurkan lidah-lidah keemasannya pada tiap bambu-bambu penyusun rumah Mbah Jarmi. Mas Hendi bahkan sampai melemparkan air sekaligus embernya. Tetapi tidak satupun orang yang menertawakannya. Karena semua yang ada di situ saat itu pasti meraskan hal yang serupa dengan Mas Hendi.

Ibu-ibu berteriak histeris hingga melupakan anak yang digendongnya. Aku yang melihatnya dari jauh masih bias merasakan panas menderu ke tubuhku. Abu berpijar dari bambu-bambu terbakar melayang-layang menerangi langit remang. Suara api itu mengingatkan aku pada waktu naik perahu di laut utara saat liburan semester satu dulu. Seperti angina yang berhembus ke arah telinga. Suara puing-puing jatuh terkadang juga terdengar menggaduhkan.

“Bima, mundur!”perintah Mas Hendi
“I-iya,”aku mundur tiga meter. Tetapi panas masih terasa.

Aku ditarik Ibu mundur lagi, hingga terlihat olehku sawah tebu di belakang rumah Mbah Jarmi.

“Bima, ajak adikmu pulang sana! Disini berbahaya.”titah Ibu

“Ibu tidak kembali?”

“Nanti, barengan sama Ayah. Cepatlah pulang!”

Dengan hati yang eman meninggalkan momen kebakaran seperti ini, aku terpaksa pulang menggandeng Tio,adikku.

“Mas, lewat jalan aja,” rengek Tio
“Nggak,ah kelamaan. Lewat sawah saja.”
“Takut , Mas,” ia mempererat pegangannya pada tanganku
“Mas gendong?”
“He’em.”
Tio merungkup erat di punggungku.

Baru tiga langkah berjalan ia menangis keras sambil semakin mengencangkan pegangannya, hampir mencekik leherku. Acuh tak acuh , aku terus berjalan menjauhi rumah Mbah Jarmi yang ada di belakangku.

“Mas!” teriaknya kencang
“Apa?”sentakku mulai jengkel
“I-itu apa?”
“Setan!” kataku menakuti.
“Aah, Mas!”
“Apa?”
“Itu,”
“Mana sih?”
“Itu lho”

Tio menunjuk ke belakang , tetapi matanya terpejam erat dan menempel di punggungku. Aku menoleh ke belakang.

“Se..,set..,setan!” Aku takut gemetaran, kakiku lemas ingin roboh tapi kutahan. Seseorang bertubuh api melolong kesakitan seperti serigala. Makhluk itu berteriak-teriak di tengah hamparan tebu.

Hatiku terus memerintahku lari, tetapi tak bisa.
“Yo, Tio!”
“Apa, Mas?”
“Mas takut, Yo”
“Aku, juga mas”

Tio lalu menangis lebih kencang karena ia baru saja sadar kalau yang dilihatnya tadi adalah kenyataan. Karena aku juga melihatnya.

Satu..Dua..Tiga. Lari! Aku berlari tunggang langgang dan terseok.

“Maas!Maas!” Tio terus berteriak.
Aku tidak memikirkannya. Aku tidak sempat memikirkannya. Atau, memang aku hanya berusaha menyelamatkan diriku sendiri.

Sesampainya di rumah, Aku mengunci rapat seluruh pintu dan jendela. Ayah dan Ibu belum pulang. Tio terus menangis ketakutan. Aku terengah-engah , keringat mengucur deras di pelipisku. Aku segera ke kamar, berbaring di atas kasur, dan menutup sekujur tubuh dengan selimut bersama Tio.
*

“Bima..!Bima..!” Seseorang memanggilku dari luar jendela. Suaranya sangat aku kenal, Ayahku.
“Iya, Yah. Sebentar!” Aku mengerjap lalu turun dari atas ranjang meninggalkan Tio yang sedang terlelap sendirian.
Aku membuka pintu, tampak Ayah dan Ibu dengan wajah lesu.
“Kenapa, Buk?” Tanyaku.
“Mbah Jarmi…,tewas!”
“Kebakar?”
“Nggak.”
“Lha terus kenapa?”
“Ibu tidak tega bercerita. Tanya Ayahmu saja.”
“Kenapa Yah?”
“Gantung diri,”
“Nggak mungkin! Mbah Jarmi itu orangnya baik, nggak mungkin dia melakukan hal seperti itu.”
“Kenyataanya?” Tanya Ibu
“Iya. Di rumahnya saja hanya ada uang tiga ribu. Kalau dibunuh, untuk apa coba?” Timpal Ayah
“Paling habis dibunuh uangnya dicuri. Nggak mungkin, pokoknya.”
“Uangnya tersimpan rapi di lemarinya,Nak. Lemarinya tidak terbakar.”
“Oh..” Aku menggeleng tak percaya
“Bima, cepat tidur! Besok kamu harus sekolah,” Pinta Ibu
“Baik, Buk. Selamat malam,”

Aku masih belum bisa tidur. Kulihat, bulan sudah berada tepat di atas atap rumahku. Air mataku menetes membasahi bantal. Aku ingin menangis terus-menerus mendengar kabar tentang Mbah Jarmi. Mbah Jarmi sudah kuanggap sebagai nenekku sendiri sejak nenekku yang sebenarnya meninggal lima tahun lalu.

Pada saat ibu marah dan mengunciku dari dalam rumah, hanya ada satu tempat yang kutuju. Rumah Mbah Jarmi. Mbah Jarmi selalu membukakan rumahnya untukku. Terkadang aku juga tidur di rumahnya. Paling tidak, sampai Ibu memaafkanku.
Sekarang kudapati berita ini. Berita pahit. Tidak mungkin.
*

Langit cerah, awan stratus sedikit berserakan di langit timur. Sinar redup sang surya belum mampu melenyapkan butir-butir embun semalam. Aku duduk dikerubungi teman-temanku yang ingin mendengar pengalamanku semalam. Tapi bisa ditebak, mereka memasang mimic kecut setelah mendengarnya.

“Itu namanya Banaspati!” Kata Habib, satu-satunya anak yang percaya dan tidak bosan mendengar ceritaku meski sudah ku ulang berkali-kali.
“Banaspati?”
“Iya. Banaspati itu manusia setengah api. Biasanya makan anak kecil.”
“Masa’.”
“Aku belum pernah melihatnya, sih. Tapi semua orang tua di kampungku mengetahuinya.”
“Ooh..”

Sepulang sekolah aku menceritakan perihal Banaspati itu kepada orang tuaku. Awalnya mereka tidak percaya, namun berkat bantuan Tio mereka akhirnya Percaya juga.

“Dimana kau lihat Banaspati itu?” Tanya Ayah.
“Di belakang rumah Mbah Jarmi.”
“Ayo kita kesana!”
“Kenapa?”
“Ayah pingin tahu, kau berbohong atau tidak.”
*

Aku dan Ayah sampai di belakang rumah Mbah Jarmi. Oh, iya. Jasad Mbah Jarmi sudah dikebumikan saat aku masih di sekolah tadi. Tali tambang yang kata Ayah digunakan gantung diri oleh Mbah Jarmi masih terikat pada plavon rumahnya. Rumah bambu itu kini tinggallah puig-puing gosong berserakan.

“Ayo, kita cari.” Ajak Ayah
‘Misi dimulai.’ Bisikku dalam hati.

-Langkah Pertama (14.00)

Pertama, kami mengumpulkan benda-benda yang mencurigakan atau yang menurut kami tidak layak ada disana. Aku merasa lebih hebat dari Sherlock Holmes yang pernah aku baca di perpustakaan sekolah. Lebih keren dari Sinichi Kudo dan Conan Edogawa yang biasanya ku lihat bersama Tio setiap minggunya.

Sekitar lima belas menit kemudian, kami sudah mengumpulkan barang-barang yang mencurigakan. Antara lain: sebilah celurit, korek api kayu, botol bensin kosong, dan lentera yang kacanya pecah karena terjatuh.

-Langkah ke Dua (14.15)

Sekarang saatnya kami menduga dari mana datangnya barang-barang ini. Aku duduk di tanah sambil menggambar rumah dengan lidi. Ayah lalu berdiri.

“Mula-mula celurit ini! Ini milik Mbah Jarmi.” Kata Ayah dengan yakin.
“Lho, tahu dari mana, Yah?”
“Nih, ada inisialnya” jawab Ayah sambil menunjuk tulisan “J” pada pangkal celurit.
“Hah? Kalau korek api nya?”
“Mmm…ini punya Lek Mat.” Jawab Ayah dengan mantap nya lagi.

Aku heran kali ini. Memang sih, rumah Lek Mat tepat berada di sebelah timur rumah Mbah Jarmi. Tapi kenapa harus Lek Mat? Kenapa bukan Lek Supar yang rumahnya tepat di sebelah barat?
“ Kok bisa?”
“Nih, ada tulisannya lagi, Matches.”
Aku tertawa terpingkal-pingkal kali ini.
“Ayah, ayah. Matches itu Bahasa Inggris. Artinya korek api!”
“ya, maklum lah , Nak. Ayahmu ini kan, sekolah nggak sampai lulus SD.”
“Ayah tetap hebat kok. Kayak Jaka Tarub.”
“Jaka Tarub? Nggak. Begini-begini Ayahmu lebih hebat dari Jaka Tarub.”
“kok bisa?”
“Ayah bisa menjaga kesatuan keluarga. Sedangkan Jaka Tarub? Tidak, kan?”
“Ooh.”
“Yah, kalau botol ini milik siapa?”
“enggak mau , ah. Nanti kalau salah kamu ketawain, lagi. Tapi kalau lentera ini, Ayah tahu.

Ini milik pencari kodok yang biasanya mencari di sekitar sini itu lho.”
Kali ini aku percaya.

“Ayah memang hebat!”

Ayah tersenyum. Kami terduduk lelah di bawah pohon akasia yang berdaun jarang.

-Langkah ke Tiga (15.45)

Inilah langkah terakhir sekaligus tersulit bagiku. Membuat hipotesis. Karena jika salah bisa jadi fitnah. Bila benar pun pasti menimbulkan masalah. Ayah menyuruhku mengajukan hipotesis terlebih dahulu.

“Kalau hipotesis mu masuk akal, meskipun ngawur kamu akan Bapak belikan rujak kesukaanmu di warung Mbak Ngat.” Ayah berjanji.

“Ada seorang pemburu katak. Lha, pas saat dia mencari katak di sini, dia mendengar pekikan Mbah Jarmi. Dengan penasarannya pencari katak itu mengintip rumah Mbah Jarmi dari luar. Lalu sangat kaget ketika melihat Mbah Jarmi sedang di gantung orang. Sampai-sampai lenteranya jatuh, dan kebakar deh.” Aku tersenyum bangga “bagaimana, Yah? Masuk akal ,kan?”

“Nggak. Kamu masih membela Mbah Jarmi.”

“Maksudnya?”
“Tadi kamu bilang Mbah Jarmi di bunuh orang. Padahal sebenarnya kan , Mbah Jarmi bunuh diri.’’
Aku tertunduk malu. Aku merasa bersalah pada Ayah.
*

(Pukul 16.45)

Hari sudah sore. Sejak tadi Ayah telah mengajakku kembali. Tetapi aku selalu menolak. Karena aku ingin membuktikan kepada Ayah bahwa aku bukanlah seorang pembohong. Jadi, aku harus menemukan Banaspati itu. Atau paling tidak bekas dan jejaknya.

“Pulang, Nak. Sudah sore. Ibumu kasihan sendiri di rumah.”
“Nanti dulu, Yah. Pencariannya kan belum selesai.”
“Tidak usah dicari. Ayah percaya sama kamu.” Aku tak yakin dengan ucapan Ayah. Setahuku, itu hanya alasan Ayah agar kami bisa cepat pulang. Aku menggeleng.

“Ya sudah. Begini saja, di sebelah mana kamu melihat Banaspati itu?”
Oh, iya. Kenapa sama sekali tidak terpikirkan olehku.

Aku berlari menerjang persawahan tebu setinggi lututku. Ayah mengikutiku di belakang. Dia hanya berjalan saja.

Tiba-tiba aku terjatuh. Mataku kemasukkan debu. Aku memjamkan mata sesaat. Saat aku membuka mata, ku lihat sesuatu berwarna hitam tergeletak di depanku. Awalnya ku kira kayu bakar bekas petani membakar singkong. Tapi setelah ku amati benar-benar, itu manusia!

Tubuhnya hitam bak malam. Wajahnya tak lagi membentuk muka-muka manusia pada umumnya. Baju yang dipakainya ikut menggosong, mungkin karena api. Aku berteriak.

Ayah kaget. Lalu berlari ke arahku. Saat dia melihat melihat makhluk itu, dia langsung berlari. Aku ditinggalnya. Aku takut lalu berdiri mengikuti larinya entah ke mana.

Ayah terus berlari tanpa menghiraukanku. Saat berada di depan rumah Pak RT ia berbelok sambil berteriak-teriak. Pak RT kebingungan. Ayah pun menceritakan semua yang baru saja kami alami.
*

Usai dari rumah Pak RT kami langsung pulang. Namun saat melewati rumah Mbah Jarmi tadi sempat ku luhat ada beberapa polisi dan sebuah mobil ambulans di sana. Aku masih belum percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Esoknya. Saat aku sedang duduk sendiri di teras rumah, Ayah mendekatiku dan duduk di sampingku.

“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa, Yah.” Aku terdiam, lalu bertanya “bagaimana mayat yang kemarin?”
“Oh, itu. Ternyata itu pencari katak.”
“Kok bisa sampai begitu, Yah?”

“Kata Pak Polisi, saat orang itu mencari katak, dia mendengar suara Mbah jarmi yang memkik. Mungkin karena penasaran atau apa, dia mengintip. Saat melihat Mbah jarmi menggantung tanpa tenaga, dia kaget. Sampai-sampai lenteranya jatuh. Minyak gas dari lentera itu menyirami tubuhnya sendiri dan juga gedhek rumah Mbah Jarmi.. karena minyak itu, tubuhnya dan gedhek itu terbakar. Api cepat membesar. Dia sudah berteriak tetapi tidak terdengar karena teriakannya kalah dengan teriakan histeris ibu-ibu yang melihat kebakaran.” Ayah mengelus kepalaku.

“Terus?”
“Dia lari ke sawah mencari air. Tetapi telat. Begitulah jadinya.’’
‘’Jadi, Banaspati yang Aku lihat itu orang itu ?’’
‘’Mungkin saja. ‘’

Kami berdua terdiam dalam lamunan kami masing-masing.
“Eh, ayo ke warung Mbak Ngat, yuk!”
“Ngapain, Yah?”
“Kamu mau Ayah belikan rujak.”

Aku memeluk Ayah. Kami berjalan beriringan menapaki jalanan yang retak menuju ke sana. Aku tersenyum.

Saat ini Aku senang sekali. Tetapi, aku juga sangat sedih. Senang karena bisa membuktikan kepada Ayah bahwa aku bukanlah seorang pendusta. Sedih karena kenyataannya Mbah Jarmi tewas bunuh diri.

Sama sekali tidak ku sangka. Orang sebaik Mbah Jarmi mengakhiri hidupnya dengan cara yang semua agama mengecamnya. Bunuh diri. Hanya karena jeratan ekonomi yang semakin menjepitnya dalam jeruji kesusahan. Apalagi dia hanya seorang pemulung yang hidup sebatang kara. Tidak bisa aku bayangkan betapa kasihannya dia.

Namun bagiku tetap, Mbah Jarmi tidak bunuh diri. Pembunuh sebenarnya adalah pemerintah yang terus menaikkan harga kebutuhan kami. Mbah Jarmi hanyalah korban dari ulah mereka.

Masalah Banaspati itu, biarlah. Biarlah ia hanya menjadi misteri yang selamanya takkan terkuak dalam hidupku. Lagi pula, aku tak tahu akan bagaimana seumpama benar-benar bertemu dengannya. Ku harap, selamanya aku takkan pernah melihatnya. []

Ket:
Banaspati : manusia setengah api dalam mitos masyarakat Jawa.
Awan stratus : lapisan awan tipis yang letaknya paling dekat dengan Bumi.
Gedhek : dinding kayu yang biasanya terbuat dari anyaman bambu.

*) Penulis adalah siswa kelas 9B sekaligus redaktur majalah sekolah “Pink Star” di SMPN 3 Peterongan.
**) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi