Irfan Budiman, Dwi Wiyana, Ardi Bramantyo, Hadriani Pudjiarti
http://majalah.tempointeraktif.com/
Jakarta, 14 Januari 1964
Saudara Pram,
Surat Saudara tanggal 28 Desember 1963 yang panjang 12 halaman telah saya baca dengan sabar dan tenang. Saya berdoa semoga Saudara kembali waras dan penyakit Saudara tidak berlarut-larut hingga jiwa Saudara tidak tertolong lagi.
Sesuai dengan permintaan Saudara, bersama ini 2 (dua) map berisi dokumen-dokumen yang Saudara minta simpan oleh saya tempo hari dan 1 (satu) kitab catatan kakek Saudara. Memoir Saudara tempo hari telah diambil kembali oleh Saudara melalui Hidajat Wikantasasmita dan Pier Santoso (tanggal 24 Januari 1962 dan 27 November 1963).
Harap Saudara terima dengan baik dan dalam keadaan tiada kurang suatu apa.
Selamat Tahun Baru buat seluruh keluarga.
Demikian surat yang ditulis H.B. Jassin kepada Pramoedya Ananta Toer pada suatu hari tahun 1964. Surat itu menyiratkan kejengkelan Jassin terhadap Pramoedya. Namun, kemarahan itu bisa dimaklumi. Saat itu keduanya tengah terlibat konflik yang terpicu karena Manifes Kebudayaan. Pram, bersama seniman Lekra lainnya, menganggap Jassin dan para penanda tangan manifes itu sebagai gerakan antirevolusi.
Politik bisa mengubah segalanya. Semula Pram menganggap Jassin sebagai sang guru. Namun, dalam perkembangan berikutnya, di mata Pram sosok guru itu lantas luntur. “Sebagai guru, dia gagal total karena ajarannya tidak mengangkat pembelaan manusia yang seharusnya ia lakukan,” kata Pram. Yang dimaksud Pram adalah sikap Jassin yang dianggap tidak membela kaum Tionghoa setelah peristiwa G30S meletus pada 1965.
Padahal, menengok ke belakang, Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu pengarang produktif yang lahir dari “tangan” Jassin. Ketika revolusi kemerdekaan meletus, saat itu Pramoedya, yang baru keluar dari bui, mengaku sering berdiskusi dan mempelajari karya-karya ataupun kritik Jassin. Saat itu, Pram menganggap Jassin sebagai guru.
Sepucuk surat yang ditulis H.B. Jassin kepada Pramoedya Ananta Toer yang tengah mendekam di dalam bui setengah abad silam bisa menjadi bukti. Dalam surat yang bertanggal 10 November 1949 itu, Jassin mengabarkan bahwa tiga buah cerita pendek milik Pram telah dimuat dalam majalah Mimbar Indonesia, yang dipimpinnya.
Di akhir suratnya, Jassin menulis sebaris kalimat simpatik:
Kapan Saudara keluar? Persetujuan sudah tercapai. RIS akan dibentuk 1 + bulan lagi. Kirimlah terus naskah-naskah lagi kalau ada. Bersama ini saya kirimkan juga 3 eksemplar Mimbar Indonesia yang memuat cerita-cerita pendek Saudara.
Betapapun, secarik kertas itu teramat berharga bagi sang penerima.
Kegiatan surat-menyurat itu hanyalah satu dari sekian ratus surat yang pernah ditulis dan dikirim H.B. Jassin kepada koleganya. Sepanjang hidupnya, di mana pun dia berada, tak terkecuali saat di luar negeri, Hans—demikian panggilan akrabnya—melakukan korespondensi. Kegiatan itu tak terbatas dilakukan dengan kalangan sastrawan, tapi juga wartawan, mahasiswa, atau orang awam. Seperti suratnya kepada Pramoedya, secara umum soal sastra kerap menjadi tema perbincangan mereka. Namun, bukan berarti soal-soal lain, misalnya kabar tentang keluarga dan hal-hal menarik lainnya, tidak menjadi bahan diskusi. Latar belakang dan kehidupan pengarang tentu merupakan hal penting buat Jassin dalam menulis kritik sastranya.
Surat-suratnya merupakan ajang pertukaran buah pikirannya dengan sastrawan lainnya. Melalui surat-suratnya, Jassin membahas karya sastra dan keadaan yang ikut mempengaruhi. Surat juga merupakan sarana buatnya dalam memburu karya-karya sastrawan yang belum dimilikinya. Hal itu tak hanya berlaku pada penulis senior, tapi juga penulis-penulis muda. Jassin sering kali meminta kembali naskah penulis pemula yang dicetak di majalah itu untuk disimpannya sebagai dokumentasi. “Data sastrawan terekam dengan baik sejak dia muda dan sebagai pemula,” kata Hamsad Rangkuti, Pemimpin Redaksi Horison. Jassin juga rajin dan tekun mengumpulkan kliping berbagai tulisan-tulisan yang berkait dengan kesusastraan.
Hasilnya? Ribuan lembar dokumentasi yang penuh—dan ditata dengan rapi—di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta, menjadi saksi kegigihan dan ketabahannya dalam mengikuti perjalanan sastra Indonesia.
Lahir di Gorontalo pada 31 Juli 1917, Hans Bague Jassin—putra pasangan B.M. Jassin dan Habibah—memang sudah lekat dengan bacaan sejak kecil. Sang ayah secara langsung membentuk Jassin kecil menjadi seorang kutu buku. Untuk melatih kemampuannya membaca, Jassin kecil sering diminta untuk membacakan keras-keras koran berbahasa Belanda saat sang ayah beristirahat di siang hari.
Namun, Jassin bukanlah anak yang manis. Setelah mahir, sesekali ia sering mencuri kesempatan untuk membaca buku-buku milik ayahnya. Jamadi—nama kecil Jassin—melahap bacaan koleksi ayahnya, macam Roos van Batavia dan Melati van Agam. Bahkan, ia juga membaca buku-buku dewasa, termasuk serial Sexueel Zeden in Woord en Beeld, kitab yang mengupas tingkah laku seksual dalam kata dan gambar.
Saat duduk di kelas empat HIS, Jassin mulai bersentuhan dengan sastra. Roman karya Max Havelaar, Saijah dan Adinda, merupakan buku sastra yang pertama kali dibacanya. Walau belum bisa menangkap keindahannya, rangkaian cerita buku itu berhasil menerbitkan minatnya terhadap sastra. Saat itu pula ia mulai menulis puisi yang lahir karena kekagumannya terhadap teman wanitanya. Itulah penggalan awal yang kemudian menyeret Jassin ke dalam pusaran kesusastraan.
Beranjak remaja, Hans mulai berkenalan dengan sastra Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman saat ia duduk di bangku HBS Medan, pada 1933. Pada saat bersamaan, ia mulai terlarut dengan sastra karya negeri sendiri. Dari majalah sastra Pujangga Baroe, ia menemukan karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sanusi Pane. Baginya, karya-karya sastrawan negerinya tak kalah dengan sastra Belanda.
Tujuh tahun kemudian, atas ajakan Sutan Takdir Alisjahbana, Jassin bergabung dengan Balai Pustaka. Di sana Hans bergabung dalam tim peresensi bersama dengan sastrawan yang terkenal saat itu. Mereka menilai karya sastra yang kemudian dimuat di beberapa majalah—pekerjaan yang amat dicintainya dan dilakukannya dengan sungguh-sungguh. Pekerjaan itu pula yang membuat Jassin memperoleh banyak pelajaran, termasuk saat harus “berkelahi” dalam menilai sebuah karya sastra.
Misalnya, saat Chairil Anwar menyerahkan sajaknya. Menurut Jassin, sajak-sajak yang ditulis Chairil pada Oktober 1942 itu layak dipublikasikan di Panji Pustaka, sementara menurut Armijn Pane, sajak Chairil terlalu menonjolkan individualisme penulisnya. Elemen kebaratan Chairil yang tampil jelas dalam sajaknya tidak tepat dimasyarakatkan saat itu. Satu hal yang bertentangan dengan slogan kebersamaan Asia Raya.
“Saya melihat pengaruh ekspresionisme dalam karyanya. Lihatlah baris-baris yang terdiri dari satu atau dua kata dalam sajak yang berjudul 1943: “Mengaum! Mengguruh!” kata Jassin. Bagi Jassin, sajak-sajak Chairil lahir dari sebuah proses pengendapan yang berlangsung matang, dan kematangan sajak itu dilalui berbagai pikiran dan perasaan.
Perjuangan itu berbuah hasil. Akhirnya, sajak Aku bisa dimuat di Panji Pustaka, dengan judul yang terpaksadiubah menjadi Semangat. Nama Chairil Anwar melejit bak meteor. Pada 1945, ketika Pantja Raja terbit menggantikan Panji Pustaka, sajak-sajak Chairil mulai bertaburan. Namanya semakin menjulang.
Tanpa disadari, Jassin telah memunculkan sosok dan pengaruh Chairil Anwar yang kuat dalam peta sastra Indonesia. Saat itulah dirinya mulai menjelma menjadi seorang kritikus sastra yang awas dan jeli. Selanjutnya, ia turut membesarkan nama-nama sastrawan muda.
Pengarang lain yang secara tidak langsung menjadi besar karena sentuhan Jassin adalah N.H. Dini. Sejak cerita pendeknya yang berjudul Pendurhaka dimuat di majalah Kisah, Dini dan Jassin berkomunikasi melalui surat-menyurat. Dari korespondensi itu, Dini sebagai pengarang muda memperoleh banyak pelajaran dari orang yang dianggap sebagai seniornya.
Jassin menjadi ikon dalam sastra Indonesia. Ia tak lagi sekadar kritikus semata, tetapi dengan otoritasnya menjadikan sosoknya menjelma menjadi orang yang memiliki pengaruh kuat, hingga di suatu masa, penulis Gayus Siagian menjulukinya sebagai “Paus Sastra Indonesia”. Julukan yang disampaikannya dalam simposium sastra pada 1955 itu sebetulnya bermaksud mengejek. Namun, yang terjadi berikutnya, sebutan itu diterima sebagai penghormatan. “Saya bukan Paus, Saya hanya seorang pelajar,” ujar Jassin menanggapi ledekan itu.
Julukan lain segera bermunculan. Penulis Balfas menyebut Jassin sebagai administrator sastra karena menurut Balfas, apa yang dilakukan Jassin semata hanya mengumpulkan dokumen dan buku-buku. Sedangkan sebagai kritik sastra, Jassin dianggap kurang memiliki gagasan.
Namun, julukan yang paling keras datang dari esais Rustandi Kartakusumah. Dia menyebut Jassin sebagai diktator sastra karena apa yang dikatakan Jassin selalu diterima orang, dan kepercayaan itu kemudian dipakai Jassin dalam menilai sastra.
“Saya tak tahu kenapa Rustandi, yang juga berusaha menulis sajak itu, harus berpendapat seperti itu. Yang saya tahu, saya memang tak selalu menyukai sajak-sajaknya,” kata Jassin.
Sosok Jassin akhirnya menjadi magnet bagi pengarang muda. Tak aneh bila banyak penulis muda mengirimkan naskah karangannya untuk sekadar dibaca Jassin, untuk meminta komentar Jassin terhadap tulisannya dan menerbitkannya dalam majalah. Bila Jassin tertarik dengan sebuah naskah, sang penulis pun diajak bertemu untuk berdiskusi.
Ini dilakukan kepada siapa pun, juga pengarang muda pemula. Buat mereka, mendapatkan perhatian dari “Paus Sastra” itu bisa saja berarti karir gemilang segera terbentang. Bila dianggap layak untuk diterbitkan, naskah itu bisa segera menjadi buku. Dan penerbit akan serta-merta menerima rekomendasi Jassin.
Namun, Jassin, yang memiliki akses yang luas ke pihak penerbit, pada suatu masa bahkan bisa menentukan karangan mana saja yang layak diterbitkan. Dengan “kekuasaan” yang dimilikinya itu, Jassin dapat ikut menentukan isi sebuah karya. Itu terjadi pada novel Pada Sebuah Kapal karya N.H. Dini, saat Dini mengirim naskah itu kepada Jassin karena Dini meminta dicarikan penerbit,
Jassin menyarankan agar bagian akhir, yakni tokoh Sri yang mengalami kecelakaan dahsyat dan meninggal, diganti. Jassin menganggap akhir cerita itu terjadi secara mendadak. Dia tidak menyukainya. Walau demikian, Jassin tetap memberikan naskah itu kepada Ajip Rosidi, Direktur Pustaka Jaya, yang memutuskan kata akhir apakah naskah itu layak diterbitkan atau tidak. Setelah membaca naskah itu, Ajip pun berkomentar sama. Dia tidak mau menerima akhir cerita seperti itu. Akhirnya, N.H. Dini mengalah. Ia mengikuti saran kedua orang itu. “Mungkin kalau hanya Jassin yang bilang dan Ajip tidak bilang, tidak akan saya ganti,” kata Dini kepada TEMPO (baca: Kejutan-Kejutan Jassin).
Perjalanan hidup Jassin, yang akrab dengan buku, ternyata akrab dengan berbagai kontroversi (baca: Kontroversi di Sekitar Jassin), dari kasus cerita pendek Langit Makin Mendung yang ditulis Ki Pandjikusmin yang menyeretnya ke meja hijau, kehebohan puitisasi Alquran, hingga debat Angkatan Sastra versi Jassin, yang banyak ditentang para sastrawan. Tetapi, itu semua dihadapinya dengan tabah dan tetap teguh dengan prinsip.
Kini, telah 40 hari Jassin berpulang. Dengus napasnya bersatu dengan debu dan lapuknya berbagai buku dan naskah sastra yang dikumpulkannya dengan tekun. Kecintaan dan kesetiaannya telah ikut menentukan arah dan bentuk sastra negeri ini. Dalam peringatan 40 hari wafatnya Jassin, Rabu pekan silam, masyarakat Gorontalo di Jakarta menggelarinya “Ta Lombuta Tootodu Wulito” atau putra terbaik Indonesia. Sebuah nama yang tepat bagi dirinya.
24 April 2000
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar