Senin, 03 Januari 2011

Pram, Marxisme-Komunisme dan Inkonsistensi

Hary B Kori’un
Riau Pos, 17 Sep 2006

JAKARTA, April 1999. Lelaki tua itu masuk ke dalam ruangan, duduk di antara pembicara yang lain dan sejenak kemudian langsung berbicara. Meski keriput terlihat di sana-sini, namun dia masih kelihatan kokoh dan berotot. Dia memang terlambat, moderator sudah lebih dulu membuka acara diskusi itu sebelum lelaki itu sampai. Kemudian sang moderator, Hilmar Farid, memberi kesempatan kepada lelaki itu untuk menyampaikan pikiran-pikirannya.

“Saya senang berada di sini, di antara anak-anak muda yang seharusnya patriotik dan membebaskan diri dari pengaruh kapitalisme-imperialisme yang lama membelenggu kita…” dan kemudian terdengar suaranya yang lantang dan kuat yang membuat seluruh yang ada menjadi diam, memperhatikan apa setiap ucapannya.

Lelaki itu Pramudya Ananta Toer, yang telah wafat pada 30 April 2006 lalu. Dialah pengarang Indonesia paling terkenal di dunia, yang karya-karyanya sudah diterjemahkan dalam 41 bahasa dan orang Indonesia yang paling dekat dengan penghargaan Nobel, meski hingga akhir hayatnya, Nobel itu tak pernah sampai kepadanya. Pram dianggap sebagai simbol perlawanan oleh banyak anak muda dan dia memang selalu membakar semangat anak-anak muda di setiap acara yang diikutinya, termasuk ketika itu saat menjadi pembicara dalam peluncuran Majalah Jaringan Kerja Budaya yang dibidani Hilmar Farid, Arswendi Nasution dan yang lainnya. Di kalangan anak-anak muda yang suka kekiri-kirian, Pram dianggap pahlawan, dan itu terlihat ketika itu. Saya yang baru datang ke Jakarta dan belum banyak kenal orang, melihat bagaimana anak-anak muda itu hormat kepada Pram. Mereka diam dan takzim mendengarkan Pram yang sedang bicara.

Terus terang, saya bukan pengagum setia Pram. Seperti Rosihan Anwar, saya tidak suka dengan bahasa Pram yang lambat. Beberapa buku Pram saya miliki, namun tak ada yang selesai saya baca. Tetralogi yang terkenal Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca dan Jejak Langkah, sudah lama saya baca ketika buku itu masih dilarang oleh penguasa Orde Baru secara sembunyi-sembunyi, namun tak tamat. Bahkan kini, ketika buku-buku itu dijual bebas, saya juga tak berniat untuk memilikinya. Namun, saya selalu membaca cerita tentang lelaki kelahiran Blora ini. Pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan termasuk penderitaan-kemiskinan sebelum dia masuk Lekra/PKI atau setelah keluar dari Buru, memunculkan empati tersendiri, bahwa Pram memang seorang laki-laki yang kuat, hebat, kokoh meski di beberapa bagian dia sebenarnya lelaki yang rapuh yang pantas dipahami dan dimakalumi sebagia manusia.

Seperti dikisahkan oleh Ajip Rosidi, Taufik Ismail, Bokor Hutasuhut dan Rosihan Anwar (Horison, Agustus 2006), Pram pada dasarnya bukan orang yang konsisten dengan pandangan dan pilihan politiknya: Marxisme-Komunis. Dia adalah korban yang terjerumus dan tak ditolong oleh teman-temannya. Pram seorang yang individualistis, dan ini sangat bertentangan dengan Marxis-Komunis yang mengutamakan sama rata sama rasa. Seperti dikisahkan Ajip, kemiskinan telah menjerumuskan Pram ke dalam ideologi kiri yang kini terbukti hancur di mana-mana itu (kecuali Cina, Cuba, Vietnam, Kamboja, Laos, Korea Utara dan beberapa negara kecil lainnya). Pram pernah mengalami masa buruk sekitar tahun 1956, yakni tak makan beberapa hari dan kemudian datang ke rumah Ajib untuk meminta nasi. Isu yang yang muncul bahwa Pram tengah didekati oleh orang-orang komunis membuat tak ada penerbit yang mau menerbitkan novelnya, surat kabar tak ada yang mau menerima cerpen-cerpennya lagi yang membuatnya mengalami krisis keuangan. Kondisi inilah yang dimanfaatkan betul oleh komunis ketika itu. Pram ditawari untuk pergi ke Cina menghadiri peringatan 20 tahun meninggalnya pengarang besar Cina, Lu Hsun, bersama penulis naskah drama Utuy Tatang Sontani. Beberapa waktu kemudian Pram ditawari menerjemahkan novel pengarang Rusia, Maksim Gorki, Ibunda. Tak lama setelah itu, bersama Utuy juga, Pram menjadi delegasi Indonesia menghadiri Konferensi Pengarang Asia di Tashkent, Uni Soviet (sekarang Turkmenistan). Hal inilah yang membuat para seniman anti-komunis menganggap bahwa Pram dan Utuy memang benar-benar sudah masuk dalam aliran kiri-komunis. Imbasnya, karya-karya Pram benar-benar ditolak di penerbitan manapun, salah satunya Majalan Star Weekly pimpinan PK Ojong yang sebelumnya banyak memuat karya Pram, langsung berhenti memuatnya.

Menurut Ajip Rosidi, sikap inilah salah satunya yang semakin menjerumuskan Pram semakin jauh ke dalam aliran kiri. Jika saat itu ketika orang kiri baru berusaha mendekatinya dan teman-temannya melakukan pendekatan untuk “mempertahankannya”, Pram tidak akan menjadi orang kiri. Individualisme Pram tidak akan sepaham dengan komunisme, dan menurut banyak orang, jika saja PKI berhasil dalam kudeta, orang seperti Pram juga bakal dihabisi karena dianggap tidak segaris dengan kebijakan partai. Seorang individualis tidak penting dalam garis partai seperti PKI.

Pram kemudian benar-benar terjerumus dalam ide komunisme ketika ia diberi keleluasaan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan menjadi editor halaman budaya “Lentara” di Harian Bintang Timur. Dengan dua pisaunya itu, Pram benar-benar berseberangan dengan mereka yang kemudian menandatangani Manifes Kebudayaan seperti HB Jassin, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, Bakdi Soemanto, Mochtar Lubis dan yang lainnya termasuk Buya Hamka. Menurut Taufik Ismail, dengan pemahaman Marxisme-Komunisme yang dipaksakan dan tak mengakar, Pram dengan bahasa kasar dan propaganda, selalu mengajak pembacanya untuk memusuhi kelompok Manifes Kebudayaan dengan kata-kata “ganyang”, “hancurkan”, “pembabatan total” dan lain sebagainya. Orang yang paling merasakan keganasan propaganda Pram adalah Mochtar Lubis yang masuk penjara selama 10 tahun di masa Orde Lama tanpa pernah diadili karena finah itu. Hamka juga demikian, harus mendekam di penjara selama 2,5 tahun dan fitnahan sebagai plagiator, yakni novelnya Tenggelamnya Kapal Van der Wijk yang dituduh plagiasi dari karya Al-Manfaluthi. Propaganda Pram dkk lewat Lekra dan halaman budaya “Lentera” di Bintang Timur, benar-benar telah jauh memisahkan Pram dari teman-temannya sendiri, bahkan dari dirinya sendiri. Sebab, pada awalnya, Pram bukanlah penganut Marxisme-Komunisme, dan ketika dia berada di ideologi itu, Pram juga tidak fasih dan terkesan memaksakan diri (atau dipaksa?) untuk kepentingan partai (PKI).

Taufik Ismail mencontohkan, bersedianya Pram menerima Hadiah Magsaysay dari Filipina tahun 1995, telah menunjukkan bahwa Pram bukanlah pribadi yang konsisten dan terlihat sangat oportunis dengan berpikir keuntungan pribadi (ini bukan cermin orang yang teguh dengan sama rata sama rasa dan anti kapitalis-imperalis). Padahal Pram tahu, hadiah itu didanai oleh sebuah lembaga dari Amerika Serikat (negeri kapitalis-imperialis) yakni Rockefeller Foundation, namun dia tetap mau menerimanya. Kalau Pram seorang yang berprinsip teguh dengan Marxis-Komunis, dia tidak akan mau menerimanya. Inilah yang membuat Mochtar Lubis kemudian mengembalikan penghargaan yang sama yang didapatnya sepuluh tahun sebelumnya. Mochtar Lubis marah, sebab yayasan dari Manila itu memberinya penghargaan karena upaya kerasnya memperjuangkan kemanusiaan dari penindasan, sementara Pram adalah seorang penindas kemanusiaan. Namun, orang secara nyata bisa melihat bagaimana sebenarnya pribadi seorang Pram dalam hal ini. Pram ternyata bukan seorang yang hebat seperti karya-karyanya. Ketika dia masuk komunis, alasan utamanya adalah karena kehidupannya terjamin (materi) dan dia menerima Magsaysay Award juga dengan alasan itu (materi).

Padahal selama ini kita selalu yakin bahwa Pram adalah seorang yang kukuh pada pendirian, garis hidup juga garis idealismenya. Pantaskah seorang Pram mendapatkan hadiah Magsaysay atau Nobel, sementara dia pengagum dan “murid” seorang Vladimir Ilich Ullyanov Lenin yang menjagal 40 juta rakyat Rusia (Uni Soviet) selama dia berkuasa (1925-1953)? Pantaskah dia untuk itu semua sementara dia tetap mengatakan bahwa Marxisme-Komunisme adalah paham yang memahami kemanusiaan, padahal telah membantai 50 juta rakyat Cina ketika Mao Tsetung berkuasa (1947-1976), 2 juta rakyat Kamboja melalui Pol Pot dengan Kmer Merah-nya (1975-1979) dan puluhan juta lainnya di puluhan negara lainnya seperti di Eropa Timur atau Amerika Latin? Tercatat, paham Marxisme-Komunisme yang terbukti gagal, telah membunuh lebih 120 juta orang di 76 negara selama 74 tahun (1917-1991) sebelum keruntuhan Tembok Berlin (Jerman Bersatu) dan reformasi yang dilakukan Michael Gorbachev di Uni Soviet yang kemudian meruntuhkan komunisme secara internasional (Uni Soviet kemudian terpecah-pecah menjadi banyak negara hingga kini). Cina, negara komunis paling besar di dunia saat ini, ternyata hanya menganut idealisme itu setengah hati. Mereka bersikeras tetap pada Marxisme-Komunisme, padahal dalam bidang ekonomi, pelan tapi pasti pasar bebas mulai terlihat di sana-sini. Barangkali tinggal Kuba, Korea Utara, Kamboja dan Kamboja yang masih kukuh dengan ketertutupannya, sementara Vietnam dan beberapa negara kecil lainnya, pelan tapi pasti, telah membuka diri meski masih dengan malu-malu.

Hingga kematiannya, Pram tidak pernah mengucapkan permintaan maaf kepada orang-orang yang pernah disakitinya. Dia merasa, dialah yang paling menderita dibandingkan penderitaan orang-orang itu, karena dibuang ke Pulau Buru oleh Orde Baru dan merasa hal itu dilakukan tanpa peradilan, serta penderitaan-penderitaan lainnya secara fisik maupun psikologis. Dia tidak mau minta maaf kepada Mochtar Lubis, HB Jassin, Buya Hamka dan sebagainya, juga tetap menutup telinganya ketika orang mempertanyakan mengapa dulu dia menyerukan penggayangan Manifes Kebudayaan, menyerukan pembakaran buku-buku lawan politik (seni)-nya, termasuk pelarangan terjemahan novel Dr Zhivago karya Boris Pasternak karena dianggapnya anti revolusi.

Di luar itu semua, Pram tetap seorang pengarang besar yang dimiliki Indonesia dan akan tetap menjadi besar sampai kapanpun. Karya-karyanya akan tetap legendaris dan tak lekang oleh waktu. Namun, Pram tetaplah manusia yang memiliki kompleksitas pikiran dan tindakan, yang kadang (bahkan sering) di luar batas nalar dan kemanusiaan. Sikap yang paling buruk yang tidak bisa diterima orang adalah dia merasa paling menderita, sementara dia lupa pernah membuat penderitaan orang lain.

Ketika Pram meninggal dan beberapa teman di Jakarta memberi kabar, saya hanya bisa berdoa semoga segala yang buruk dari dirinya dilupakan orang (meski memang susah untuk melupakannya) dan segala kebaikan dan perjuangan hidupnya tetap dikenang sebagai sebuah catatan hidup yang akan terus hidup. Paling tidak pengarang-pengarang muda generasi sekarang dan mendatang bisa belajar banyak dari karya-karyanya dengan menepikan segala hal yang negatif darinya.***

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi