Kamis, 24 Februari 2011

Anak Betawi Sebagai Sastrawan

JJ Rizal *
http://www.ruangbaca.com/

Betul juga Zefry Alkatiri, yang bilang dalam sajaknya, "Anda Memasuki Wilayah...", bahwa masuk wilayah Jakarta itu ada saja syaratnya. Disebutnya rupa-rupa tempat di Jakarta yang mesti dimasuki dengan rupa-rupa syarat. Kalau tidak, bakal ketiban pulung. Tetapi, dalam sajak itu Zefry tak menyebutkan kalau Jakarta pun menuntut syarat kepada teman-teman atau pendahulunya sesama sastrawan ketika mau masuk.

Jakarta, yang dianggap sastrawan seantero Tanah Air sebagai ikon modernitas, mensyaratkan mereka sebelum masuk untuk mencopot tradisi dan masa lalu yang dibawa dari kampung halaman. Tengoklah pengakuan Goenawan Mohamad. Ketika masuk Jakarta di tahun 1960, sebagai seorang penyair "kemarin sore" dengan segerobak ambisi sastra, ia mengaku mesti menggosok-gosokkan punggungnya hingga beberapa sisa masa lalu yang melekat seperti daki itu kikis, makin pudar.

Asrul Sani menghardik orang kampungnya supaya meninggalkan ia sendiri di Jakarta dan jangan menganggunya lagi. Sedasawarsa sebelum Asrul menulis Surat Kepercayaan Gelanggang (1946) yang kritis (kalau tidak bisa disebut apriori) dengan masa lalu, kampung halaman dan tradisi, eksponen Polemik Kebudayaan, Takdir Alisjahbana dan Achdiat Karta Mihardja, mengajukan tesis yang serupa. Demi terbentuknya "manusia baru" dan seni yang betul-betul baru serta terinspirasi dari Barat, bersikap kritislah terhadap tradisi. Tesis yang laris manis.

Apakah bagi Zefry dagangan laris manis dari zaman ke zaman itu tak ada artinya? Atau dirasa tak perlu menyebutkannya, lantaran sebagai anak Betawi ia tak pernah merasakan ketegangan dengan masa lalu, tradisi, dan juga kampungnya? Lebih jauh lagi, apakah sikap mental Zefry itu merupakan sikap mental kolektif mayoritas anak Betawi yang mengambil jalan sastra: kukuh pada tradisi dan setia pada akar kebetawiannya?

***

Tanpa mempedulikan kecenderungan perkembangan puisi Indonesia mutakhir, Zefry merintis jalan sastranya sendiri dalam peta sastra Indonesia dengan memanfaatkan sumber-sumber sejarah lisan maupun tulisan. Namun, jika diperhatikan sajak-sajak dalam kumpulan Dari Batavia Sampai Jakarta (2001), ia sesungguhnya telah mengambil peran persis tukang cerite yang hidup dalam tradisi Betawi.

Sajak-sajaknya naratif. Bahkan menjurus epik. Dalam epik tukang cerite berisi petualangan jin dalam pelbagai kaliber. Sedangkan dalam sajak Zefry dapat dinikmati petualangan sejumlah petinggi Kompeni, seperti J.P. Coen, Valckenier, dan Reineir, saksi tikus yang berpesta saban hari di graanpakhuizen Kompeni. Termasuk petualangan dari zaman pasca-Belanda minggat, seperti Mat Item benggolan tukang santron, cokek Teluk Naga, Habib kampung Arab, dukun Betawi dan Bang Ali pembangun Jakarta.

Pada keseluruhan karya Zefry terpantul hubungan antara penyair dengan lingkungan sosial-budayanya. Karyanya adalah perhatian dan penghayatan si penyair akan kehidupan budaya Batavia-Betawi-Jakarta yang plural. Masa lalu bagi Zefry bukan beban, tetapi alat untuk memahami identitas dan artinya menjadi selaras zaman. Tengok sajaknya "Lorong Waktu". Meski bergaya polos, tapi judulnya tidak kekanak-kanakan. Pilihan judul "Lorong Waktu" mengisyaratkan sebuah rumus filsafat tentang waktu. Lorong waktu adalah refleksi di mana siapa pun bisa ke masa lalu dan ke masa depan dengan sejarah. Membaca sajak ini--seperti juga sajak-sajaknya yang lain--bisa dirasakan refleksi tentang waktu, tentang kefanaan dalam konteks Jakarta sebagai kemasyarakatan dalam berabad-abad.

Dengan masa lalu itu pula mata batinnya Zefry terus dalam kepekaan dan nalurinya terasah mencerap kemanusiaan yang membawanya kepada keharuan. Sehingga sejarah yang ada dalam sajak-sajaknya bukanlah sejarah dengan S besar. Sejarah yang ditunjukkannya itu adalah sejarah perikemanusiaan di atas tragedi pertentangan penjajahan dan orang-orang yang dijajah, di atas pembunuhan yang dilakukan Valcnier terhadap orang-orang Cina, bukan sekadar derita eks-PKI yang dianggap lepra keparat, atau serangan membabi buta tentara terhadap mahasiswa di Semanggi tahun 1998. Segala muatan tragedi itu diperlihatkan Zefry, bahkan yang kecil sekalipun, seperti dalam sajaknya, "Buah Jambu dari Pasar Minggu".

Zefry pun melahirkan sejenis sajak yang dalam bangsa mana pun di dunia sampai abad ke-21 masih hidup dan dikenal sebagai sajak yang berorientasi terhadap folklor. Beberapa contohnya sajak "Legenda Mat Item", "Keroncong Tugu", "Habib", "Jampi Dukun Bayi Betawi", "Pantun Mainan Anak Blande, Indo, dan Pribumi Betawi".

***

Pada generasi sastrawan Betawi yang lebih muda dari Zefry keterikatan dengan akar tradisi, masa lalu dan lingkungan budayanya pun terlihat kuat. Cerpenis Zen Hae dalam Rumah Kawin(2004) memperlihatkan betapa asyik ia mengawinkan pengalaman masa lalu, lengkap dengan tradisi-budayanya sebagai orang Betawi pinggir. Dari sana ia--saya pinjam ungkapan Nirwan Dewanto--menjelma menjadi narator.

Ya, lewat caranya sendiri Zen Hae pun--seperti disebut dalam cerpennya, "Kelewang Batu"--telah mengaitkan diri pada tradisi sahibul hikayat alias si ampunya cerita atau tukang cerite. Dan, sebagai yang ampunya cerita Zen Hae berjasa besar memperlihatkan dunia batiniah Betawi pinggir, yang dalam sejarah, juga sastra, masih sedikit sekali mendapat perhatian (kalau tidak bisa disebut belum pernah).

Dalam cerpen "Rumah Kawin" tergambar kehidupan cokek (penyanyi gambang) dan perkaitannya dengan dunia jago yang menjadi bagian dari tradisi khas masyarakat Cina Benteng Tanggerang. Bisa tahu pula tradisi nyambut (berlaga) lengkap dengan gaya dan corak maen pukulan (silat) Betawi yang hidup di antara para jago dari kulon (barat) Jakarta yang dilukiskan dalam "Hikayat Petarung Kampung". Termasuk ihwal kesurupan dalam "Rumah Jagal" dan "Kelewang Batu" soal peninggalan prasejarah Jakarta yang hidup dan dikenali penduduk Betawi secara khas serta dihidupkan dalam mitos-mitos.

Segenerasi dengan Zen Hae adalah Chairil Gibran Ramadhan. Anak Betawi Pondok Pinang, Jakarta Selatan, ini pun membawa set Betawi dalam cerpen-cerpennya yang sejak 1997 tersebar di surat kabar nasional.

Seperti halnya Zefry dan Zen Hae, ia pun mengolah mitos dan folklor serta menangkap "pengalaman otentik" masyarakat Betawi-Jakarta menjadi kisah kesaksian, namun dengan nada kegelisahan yang kuat akan keburukan-keburukan nasibnya di tengah metropolis Jakarta. Wabil khusus cerpennya ihwal perkaitan tradisi Betawi dengan Islam, yang sering disebut sebagai napas hidup orang Betawi, tentu akan menjadi dokumen sosial menarik, seperti "Tarawih", "Malam Lebaran", "Dzikir".

***

Zefry, Zen Hae dan Gibran adalah kabar menggembirakan jika membicarakan masa depan dan percaturan anak Betawi sebagai sastrawan. Generasi baru yang telah mengambil estafet dengan caranya sendiri-sendiri dari sastrawan Betawi terdahulu, seperti S.M. Ardan dan Firman Muntaco, namun dengan sikap dasar dan tempat berangkat yang sama, yaitu masa lalu, tradisi, dan kampung halaman sendiri.

Dan, seumpama ujian kepengarangan adalah kritik dan waktu, maka ketiganya telah mendapat tempat dan pandangan positif dari masyarakat luas, juga kritikus sastra. Hal yang menarik adalah, dengan orientasi penciptaan yang mengakar pada akar kebetawiannya, mereka tidak mengalami nasib seperti sastrawan Yogyakarta yang setia pada akar kejawaannya. Mereka tak dikucilkan, dipandang sinis dan tak bernilai oleh barisan kritikus sastra nasional, sebagaimana yang dilukiskan menjadi pengalaman pahit, mengecewakan, bahkan bikin dendam sastrawan Yogyakarta oleh Farida Soemargono dalam Groupe de Yogya les voies javanaises d'une literature Indonesienne (1979).

Pada akhir 1954 dan awal 1955, cerpen-cerpen bertema dan berdialek Betawi-Jakarta S.M. Ardan ketika dimuat di majalah Kisah, yang sudah dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari usaha penyebarluasan sastra Indonesia modern, memang menuai kritik keras yang terus berlanjut menjadi polemik. Namun, H.B. Jassin selaku redaksi Kisah membelanya, sebab karya Ardan akan memperkaya kesusastraan Indonesia. Sastra Indonesia mencakup juga karya yang tertulis dalam dialek Jakarta, karena itu Kisah tetap memuat cerita-cerita Ardan. Sebab itu pula mungkin Jassin enteng saja menyebut nama Ardan, juga Firman Muntaco dengan Gambang Jakarte-nya yang pol Betawinya itu, dalam pembahasannya mengenai sastra Indonesia.

Ada banyak kemungkinan sebab penerimaan ramah dan apresiasi di aras nasional terhadap sastrawan Betawi. Mungkin karena mereka ada di "pusat"; mungkin juga lantaran kritikus lebih dekat dan mengenal tradisi budaya Betawi-Jakarta, sebab di kota itulah mereka mukim; mungkin juga sebab bahasa Melayu dialek Jakarta itu sudah menjadi bahasa ngoko-nya orang Indonesia dalam perkembangan bahasa Indonesia yang mengalami kromoisasi.

Yang jelas, dalam karya-karya anak Betawi sebagai sastrawan sejak S.M. Ardan, Firman Muntaco, hingga ke Zefry, Zen Hae serta Gibran, pembaca dan kritikus bukan saja disajikan sastra sebagai belles letters. Lebih jauh lagi sesuatu yang disebut Denys Lombard dalam Histoires courtes d'Indonesie sebagai karya-karya yang dianggap sumber yang bisa mengantarkan kepada sejarah sosial masyarakat Indonesia di suatu periode dalam keanekaan budaya dan masyarakatnya, khususnya Betawi-Jakarta. Sebab mereka memiliki "cara merasakan semesta Betawi-Jakarta". Tradisi Betawi-Jakarta, dalam hal ini, rupanya "telah jadi" dalam nilai yang seterusnya terpadu dalam batin mereka.

Akhirnya, dalam karya-karya mereka, siapa pun dapat menemukan sebuah jaringan dari referensi-referensi secara puitis, budaya dan antropologi yang nyata dan mempunyai pengaruh yang menentukan sebagai simbol semua cinta mereka dan perih mereka atas kejahatan dan keburukan kota Jakarta yang sedang dimodernisasi (kalau tidak bisa disebut diwesternisasi). Dan, ini bukan saja memungkin mereka dapat menangkap dengan tepat gambaran khas masyarakat asli dan kaum urban Jakarta, tetapi juga mampu membuat karya mereka disemangati pengamatan rasa kemanusiaan yang inklusif, merangkul dan memiliki kesadaran kemanusiaan yang satu.

*)Peneliti sejarah dan sastra Komunitas Bambu.
01 Juli 2008

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi