Sainul Hermawan
http://www.radarbanjarmasin.co.id/
Dia bosan hidup miskin. Miskin itu tidak enak. Tak bisa apa-apa dan selalu dipandang rendah. Dia memutuskan meninggalkan kampungnya, merantau ke dekat batubara. Meninggalkan ibunya. Selama ini dia cuma tahu bahwa orang tuanya cuma satu. Sejak kecil dia tak pernah melihat seperti apa abahnya. Cuma tahu namanya, dan dia tak peduli itu benar atau salah.
Saat akan berangkat, ibunya cuma berteriak, “Ingat-ingat jalan pulang.” Tak ada air mata. Hidup atau mati bagi mereka cuma soal mengingat jalan pulang pada rumah-rumah yang tak pernah abadi di pinggir kali atau di rumah-rumah usang yang siap ditinggal pergi penghuninya kapan saja.
Dia tak pernah pulang. Dia pun tak tahu kemana ibunya setelah itu. Entah masih hidup atau telah tewas. Kematian begitu intim seperti kuburan yang ditanam di pekarangan rumah. Meski begitu ia masih ingat jalan pulang: menyusuri kali dan sungai sampai di bawah pohon besar yang diangkerkan. Rumah kardus itu lenyap setahun setelah kepergiannya.
Batubara mengajarinya bahwa hidup harus menggali. Dokter-dokter gila duit menggali kantong pasiennya. Pejabat korup menggali pajak-pajak rakyat. Tiba-tiba terlintas wajah maling kambuhan di kampungnya dulu, mungkin 25 tahun silam, yang harus menggali kuburan bayi demi jari-jari mungilnya yang diyakininya sebagai azimat malih rupa. Gelandangan abadi menggali kubur mereka di jalanan.
Kini ia kaya raya karena galiannya merambah wilayah yang jauh: menyodok, memelintir, membunuh, memenjarakan, memperkosa hak-hak alam. Memerangkap penguasa dengan enteng dalam pusaran uangnya yang tak mau diam.
Kekayaannya tak sempat membahagiakan ibunya. Atau jangan-jangan dia memang tak kenal apa itu bahagia bahkan saat ia memiliki banyak uang seperti sekarang.
Semakin uang melimpah, semakin rakus ia melebihi satwa paling buas. Ke tanah suci berkali-kali, memenjarakan saingan bisnisnya dengan keji, ia pun tak peduli banyak sesamanya mampus akibat dampak buruk usahanya terhadap lingkungan. Dia lihat mereka, tapi tak ada rasa yang paling dirasakannya, selain wangi uang. Mungkin dalam alam bawah sadarnya bersemayam keyakinan yang memfosil: tak ada Tuhan selain uang.
Ya, dia punya keyakinan istimewa pada uang. Uanglah yang menolongnya menaklukkan para kades, camat, bupati, kiai, walikota, kapolres, kapolda, gubernur, hakim, jaksa, pengacara, ketua DPR, LSM, bahkan presiden. Karena itu dia genggam uang itu dengan erat. Setiap hari hidup demi uang. Sebab, dia tak ingin lagi dilecehkan seperti dulu. Dia tak mau miskin lagi. Kemiskinan yang hina jauh lebih buruk dari kekayaan yang najis.
Di rumahnya yang megah di atas bukit. Rumah yang bisa dilihat orang-orang yang lewat dari segala arah, dia memandang senja. Dari rumahnya yang ingin mengabarkan harga diri di hatinya: aku kini urang sugih, paling harat, semua perlu tahu itu! Senja yang lain. Satu-satu senja yang membuat dia merasa Tuhan sedang melihatnya.
Ia tetap menatap tajam gerakan aneh dari bola matahari di ufuk barat. Seseorang kerdil berjalan memutar matahari senja yang redup, seperti hamster berlari dalam selongsong kawat yang menjadi kurungannya. Sampai ia dikagetkan seseorang yang menepuk pundak kirinya. Saat menoleh, matahari itu tenggelam cepat seperti lumpur lapindo melahap lapak-lapak.
Ia tak kenal orang itu dan entah ia lewat mana. Ia tak bertanya, tertegun. Baru sore itu ia menerima tamu tanpa rencana sejak ia kaya raya. Rambutnya sebahu. Berpeci putih dengan garis merah darah di bagian bawahnya. Wangi khas orang yang baru keluar dari tempat-tempat suci. Giginya rapi. Tanpa kumis dan janggut atau lebih tepatnya kumis dan janggut itu tampak baru dirapikan, dipotong.
Berbusana gamis putih. Tanpa sandal. Si kaya raya itu terkagum pada wajahnya yang sejuk dan senyumnya yang membedah perasaannya. “Diamlah jika mau selamat! Saya tahu kamu selama ini juga pendiam. Kamu bukan apa-apa dengan semua kemewahan ini. Sebentar lagi saya akan jawab pertanyaan dari dalam hatimu. Siapa aku memang sangat penting bagimu daripada apa yang akan terjadi sebentar lagi. Itu sebabnya kamu tersesat. Kamu dihantui kesiapaan.”
Lelaki berjubah putih itu mengulurkan tangannya padanya yang masih belum selesai ternganga. Pria berjubah itu menyebut nama, nafasnya sedingin hawa kulkas di bawah nol derajat.
“Mana kopiah hajimu? Trendi sekali kau sore ini.” tatapannya yang teduh tampak menelisik dari ujung kaki sampai kepala si sugih. Tubuhnya menegang.
“Apa yang kau cari dengan berakus-rakus begini?” si sugih kaku itu merasakan aliran darahnya melambat. Limbung ke kiri dan… Bruk! Pertanyaan remeh dari tempat gaib menohok titik-titik penting dalam jiwa dan raganya. Darahnya dia, syaraf-sarafnya kacau. Tiga puluh menit kemudian dia dalam ambulans. Lelaki gempal yang sejauh itu masih premannya berteriak, “Ke Ulin, cepat!”
Patwal di depan iring-iringan ambulans dan mobil preman. Melaju melewati foto-foto pejabat yang cuma bisa menghiasi tepi jalan dengan foto, kegenitan masa kecil yang setia.
Di Ulin, peneriak Ulin itu meminta pelayanan khusus. Petugas jaga bingung menyikapi orang biasa yang dikawal polisi.
“Maaf, kamar ICU penuh. Kami berikan kamar periotas untuk pemeriksaan 30 menit ke depan.”
“Apa? Kami mau dokter terhebat di sini, berapapun biayanya! Telpon bosmu!”
Petugas gemetar, tapi nadinya masih lancar. Di ujung telepon langsung mengiyakan. Haji rakus itu tak boleh mati malam ini. Tak ada doa. Tapi harus ada yang dirisikokan. Ada orang biasa yang mungkin selamat dalam ICU, yang telah lama antri, harus memperpanjang antrean.
Perawat langsung mengevakuasi tubuh si sugih yang kaku. Matanya membelalak. Perawat menutupkan selimut ke kepalanya. Baru kali itu ia merasakan kegetiran hebat. Di ICU, setelah dokter jaga melihat wajahnya, ia berharap semua tenang. Ia memberikan penjelasan tentang serangan penyakit yang menimpa tuan mereka.
“Maaf, Bapak-bapak, kami di sini selalu gagal menyelamatkan gejala seperti ini. Di kota ini tampaknya tak ada penyakit aneh seperti ini. Coba lihat ke sini.”
Dokter mengajak para pendamping melihat dengan cermat mata tuan mereka. Perawat mematikan listrik. Dalam gelap mata si kaya muda itu mengeluarkan sinar merah. Dalam matanya ada jurang yang sangat dalam seperi galian batubara. Mata para penyaksi, kecuali dokter dan tim medis yang piket saat itu, merasakan aliran darah yang melambat dan jantung mereka tiba-tiba berhenti berdetak.
Kegawatan berikutnya tercipta. Keempat bodyguard itu langsung disimpulkan untuk dimasukkan ke kamar jenazah. Sampai seseorang berpakaian hitam-hitam muncul dari toilet di samping kamar itu, menyuruh mereka segera menyiapkan ambulans.
“Rafael?” perawat-perawat ternganga. Tak percaya dalam suasana genting ia hadir di rumah sakit. Rumah bagi pasien dan dokter sakit. Tadi petang mereka menyaksikan show Rafael memang. Ia cuma seseorang yang mirip. Jika ia mirip Ariel, kisahnya pasti beda.
“Ya atau bukan, dengarkan sugesti saya. Malam ini bawa mereka ke lubang-lubang batubara di Kotabaru, Tanah Bumbu, Binuang, Balangan, Tanjung. Di sanalah mereka harus dikubur, begitu saja, tanpa doa, tanpa kafan. Mereka selama ini pemuja setan dan mereka sekarang urusan saya. Bukan urusan manusia baik-baik untuk memakamkannya. Kalau paham, anggukkan kepala, ambulans sudah siap. Nanti ikuti mobil saya itu.”
Di bawah remang sinar lampu teras bangsal Jahanam, mobil hitam bernomor DA 1 terparkir di sana. Perawat tak punya waktu bertanya lagi. Dia minta orang-orang tanpa nyawa itu dilarikan ke lubang-lubang batubara. Lelaki mirip Rafael itu masuk mobil yang siap dikawal Patwal lapis lima.
Tengah malam yang sepi. Iring-iringan ambulans hanya mengerlipkan lampu. Kapal penyeberangan ke Tanjung Serdang sudah siaga. Lelaki di DA satu tadi sudah ada di lima liang batubara pada saat yang sama. Di bibir galian batu bara yang menganga seperti bekas bumi dihantam meteorit, lelaki itu memanggul mayat itu di hadapannya. Wajahnya tengadah ke langit warna darah. Dia menyebut nama Tuhan yang asing di telinga para pengantar dengan suara menggelegar. Mereka menutup telinga.
“Inilah calon fosil demi persediaan batu bara anak cucu banua kelak! Terimalah! Kabulkanlah”
Telinga para penyaksi menyimak setiap kata yang ia teriakkan. Setiap katanya mematikan sepuluh sel tubuh mereka. Terasa mereka ada antara hidup dan mampus.
Katanya: kaya menjadikannya hina. Hina lebih miskin daripada orang miskin yang mulia. Kaya rakus. Kaya tikus. Kaya monyet. Tumpaslah, tuntaskanlah, Paduka yang Mulia!
Langit berubah. Cerah. Bintang kerlap kerlip. Lelaki itu sedih, merasa permohonannya ditolak. Para penyaksi masih menunggu yang akan terjadi. Kerlap-kerlip itu mendekat, cepat dan berekor. Menghantam segala yang ada. Berdebum. Tanah retak membuncah, memuntahkan air tanah. Kotabaru banjir, Batulicin juga, Tanjung dan Balangan tergenang.
Dalam sekejap air setinggi sisa-sisa pohon di sekitarnya. Ambulans mengapung, mengalir bersama batang-batang kayu. Tak tampak satu pun manusia yang mengapung dalam aliran bah menuju muara terendah. Sampai regu penyelamat menemukan perempuan berambut panjang, berkulit putih, dan berwajah cemerlang, tersangkut di akar pohon. Tangannya kuat menggenggam selembar kertas putih yang dilaminating. Di kertas itu tertulis sajak tua “Dendam Sungai”.
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 09 Maret 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar