Evi Idawati
suarakarya-online.com/9 April 2011
Fatima hidup dengan tiga anaknya sendirian di rumah kecil yang ditinggalinya sejak dua tahun yang lalu. Sebelum waktu dua tahun, orang mengenalnya sebagai perempuan yang sukses. Hidupnya berlebihan dengan harta benda yang berlimpah. Dia mempunyai usaha yang dikelola bersama suaminya. Cabangnya hampir di semua propinsi Negara.
Orang sungguh-sungguh melihat mereka bahagia. Rumah yang besar, kantor yang mentereng. Mobil lebih dari satu yang mengantar keluarga mereka dan tamu-tamunya kemanapun hendak pergi. Cukup menjadi ukuran bahwa hidup keluarga mereka berlebihan. Setiap hari, rumahnya tidak pernah sepi dari tamu yang mengunjungi dan bersilaturahmi. Tempat tinggalnya seperti restoran yang selalu memasak dan menyediakan makan untuk siapapun yang berkunjung. Para handaitaulan maupun orang yang baru kenal yang kemudian menjadi akrab dan menginap di kediamannya.
Setiap hari, ada saja orang yang datang untuk meminjam uang. Untuk beli motor, bayar kredit rumah, membayar sekolah anak, membangun rumah, bahkan untuk berhaji, sambil membawa sertifikat rumah dan BPKP motor atau mobil, mereka meminta dibantu untuk berziarah ke makam Nabi Muhamad.
Fatima melakukan sebisanya untuk membantu mereka. Sanak saudara jauh, sanak saudara dekat, keponakan, teman, kakak dan tetangga, semuanya datang dengan berbagai tujuan. Setiap hari berdering telepon meminta zakat untuk sekian santri, proposal tanah wakaf untuk pesantren dan anak yatim piatu dengan jumlah yang lebih dari sekian ratus, bahkan ribuan, entah benar atau tidak jumlah tersebut, Fatima selalu berusaha memberi.
Tapi dua tahun ini, hidupnya berubah, Fatima bercerai dengan suaminya dan hidup sendirian bersama ketiga anaknya. Semua harta bendanya entah berada di mana, mobil dibawa siapa, motor ada dimana, tabungannya tinggal berapa, bagaimana usahanya, dia tidak hirau sama sekali. Memulai hidup sederhana, meninggalkan apa yang pernah menjadi bagian hidup dirinya dan anak-anaknya menjadikan rumahnya sungguh-sungguh sepi. Tiada lagi sanak saudara yang berkunjung. Yang mengaku teman semuanya pergi, dering telepon mengirim doa untuk meminta zakat dan shodaqoh menghilang.
Semua senyap dan sunyi. Hanya ada satu pembantu yang setia menemaninya. Tapi tidak lama kemudian, pembantunyapun meninggal tanpa sakit. Fatima sendirian. Apa yang terjadi pada keluarga Fatima menjadi pembicaraan begitu banyak orang. Tapi Fatima tidak perduli. Dia memulai hidup baru, bekerja untuk dirinya dan anak-anaknya. Dia tidak menyesali apa yang telah dilakukannya pada dirinya sendiri. Bisa makan dan berkumpul dengan anak-anaknya lebih indah dari apapun benda mewah yang diinginkan di dunia ini.
Beradaptasi dengan kekurangan dan ketidakmapanan membuatnya semakin menyadari bahwa hidup terlalu berharga untuk dilalui dalam kenangan. Menggantungkan hidup pada orang lain, tidak pernah dia lakukan.
Satu yang tidak pernah dilupakan oleh Fatima saat dulu ataupun sekarang, dia selalu menyediakan waktu untuk sekedar menyapa dan berbincang dengan tumbuhan yang ada di pekarangan rumahnya. Dia menanam tanaman yang berbunga ataupun tidak.
Baginya melihat warna hijau dedaun, membuatnya tentram dan memberinya semangat untuk hidup. Dari pohon dan tanamanlah dia belajar bersabar, belajar tumbuh dan berkembang. Fatimah menganggap tanaman adalah makhluk yang paling kuat dan sabar menjalani hidup. Selalu tumbuh keatas. Saat kering bertahan, kala hujan menyimpan bekal, jika berbuah, dia memberikannya pada siapa saja yang ingin mengambil dan menikmatinya.
“Piye to, orang kok geblek kayak begitu, daripada merawat tumbuhan yang tidak memberi hasil yang jelas. Berbuahpun tidak, memberi kembangpun tidak, mendingan kerja, menjahit, ato kerja yang lain yang menghasilkan uang. Lihat itu dirumahnya, Cuma daun-daun hijau, nambah rungkut dan medheni. Kita kalo lewat depan rumahnya malam-malam jadi merinding”.
Jangan mengucapkan sesuatu jika mendengar perkataan orang yang tidak tahu apa yang dia katakan, tersenyumlah, begitu Fatima mengajarkan pada anak-anaknya. Buat orang-orang tertentu menjahit lebih berarti daripada menanam pohon dan merawatnya. Setiap orang punya pendapat dan pandangan yang berbeda, tapi apa perlunya untuk Fatima, hirau terhadap mereka. Dia punya kehidupan yang diyakininya indah. Tidak ada orang lain yang memiliki hidup serupa dengan dia. Dia memang tidak pernah mencari pekerjaan, tetapi pekerjaanlah yang didatangkan padanya.
Pun sekarang ini, pada saat lebaran. Fatima tidak memegang uang sama sekali. Tidak ada simpanan makanan dirumah. Uang terakhir sudah dibelanjakan untuk hari kemarin. Honor pekerjaan dua bulan yang lalu masih dihutang, belum dibayarkan padanya. Untuk memintanyapun dia segan.Tadi anaknya yang terkecil umur 12 tahun berkata padanya,
“Bunda, kita makan apa hari ini? Kita tidak kemana-mana lebaran ini Bunda,” suara anaknya yang lirih, seperti kapak tajam yang memecah batu di dadanya. Anaknya mendekati Fatima, memegang tangan ibundanya lalu duduk disampingnya. Fatima menyadari sudah terlalu jauh mengajak anak-anaknya menjadi dewasa, dipaksa untuk memahami keadaan yang selayaknya tidak mereka alami. Fatima memeluk anaknya dan membisikkan sesuatu di telinganya.
“Kita akan makan sayang, bersabarlah.” “Hore! Kita makan! Bunda punya uang. Bunda punya uang!” wajah anaknya sumringah sambil melompat-lompat dan berteriak-teriak memberitahukan kedua kakaknya.
“Bunda punya uang. Kita akan makan! Kita akan makan!”
Bibir Fatima gemetar. Jari-jarinya semakin cepat bergerak. Pipinya basah. Dua tahun ini, Fatima belajar untuk menikmati segala hal sendirian. Pahit dan manisnya. Melibatkan orang lain dalam hidupnya, terlalu banyak membebani. Meskipun hanya berkunjung, dicurigai untuk meminjam uang. Jika datang ke rumah orang yang dulu sering datang ke rumahnya dikira menagih utang, lalu mereka memilih sembunyi dan tidak mau menerimanya.
Dan mengatakan sedang tidak ada di rumah. Tapi Fatima percaya, dia selalu memberi kebaikan bagi orang lain, bukankah kalau menanam kebaikan, akan diberi kebaikan. Maka dia tidak pernah lagi melibatkan orang lain dalam hidupnya. Dia hanya bersama anak-anaknya. Tidak pernah keluar mencari pekerjaan, dia menggantungkan semua kepada pemilik hidup dirinya dan anak-anaknya. Kalau dia lapar, dia meminta kepada Tuhan untuk memberinya pekerjaan.
Sekarangpun dia meminta kepada Tuhan untuk memberinya makan. Tidak sepeserpun Fatima memegang uang. Darimana dia mendapat uang? Sekarang sedang lebaran, Siapa yang mau memberi pekerjaan padanya, semuanya sibuk dengan pesta pora. Meminta kepada tetangga dan orang lain, tidak akan mau Fatima melakukannya. Gema takbir terdengar dari segala penjuru.
Anak-anaknyapun bersama-sama membaca takbir sambil berharap ibundanya segera membawakan mereka makanan. Tubuh Fatima menggigil. Tapi bibirnya terkatup rapat. Derai airmatanya tidak berhenti sejak anaknya kegirangan mendengarnya menjanjikan makanan. Dia membuka pintu dan berjalan ke pekarangan rumah. Meskipun malam, dia melangkah. Dalam diam. Dalam diam. Jari-jari tangannya tetap bergerak. Lalu dia menghentikan langkahnya karena melihat semburat cahaya dalam gelap.
Dengan wajah yang tidak berubah, tanpa terkejut, tanpa takut, Fatima berjalan mendekat, dia melihat cahaya yang bundar menggantung di dahan. Tangannya masih bergerak seakan menghitung nafas, seakan menghitung satu persatu deguban jantungnya. Tapi tangannya tidak gemetar. Dia hanya diam, terpaku. Tak terasa airmata jatuh di pipinya, dia memandang cahaya itu, tanpa berkedip, tapi airmatanya bagai embun menyentuh daun, menyentuh tanah, seperti hujan, dia mengigil. Bibirnya gemetar, dia mengulurkan kedua tangannya lalu meraih cahaya itu dengan cepat, lalu mendekapkannya di dada dan berbalik memasuki rumah. Dia membiarkan pintu rumahnya terbuka, duduk dan membuka tangannya. Dia tidak terkejut saat melihat buah delima yang berwarna merah sebesar kepalan memancarkan cahaya ditangannya, bibirnya masih gemetar dan dia berbisik perlahan. Dia mengucapkan sesuatu, begitu lirihnya sehingga anginpun tidak akan bisa menajamkan telinganya untuk mendengar kata-katanya. Airmatanya tumpah.
Dia menunduk, menimang-nimang delima, mendekapnya sambil berkata-kata. Seakan dia sedang berada di dunia yang berbeda. Tapi kemudian dia tersadarkan. dia mengusap kedua pipinya, tersenyum dan berdiri, lalu memanggil ketiga anak-anaknya.
“Akhirnya kita makan!” suara anaknya yang terkecil, terdengar girang. Mereka duduk mengelilingi Fatima.
“Kita makan Bunda?” tanya anaknya yang nomer dua.
“Iya. Kita makan sayang.” Fatima memecah delima dengan pisau dan membaginya menjadi empat. Semua anaknya diberinya satu-satu, lalu dia menyisakannya satu mungkin untuk dirinya sendiri. Anak-anaknya heran sambil melihat ibunya mereka bertanya.
“Ini apa bunda? Katanya kita makan? Bunda tidak punya uang? Kita tidak jadi makan?” Fatima memeluk ketiga anaknya, dia tidak bisa menahan lebih lama lagi curahan airmatanya. Lirih dia berucap.
“Sebentar lagi kita makan sayang, sekarang coba dirasakan buah delima ini, Bunda memetiknya di pekarangan rumah, warnanya merah sekali, pasti manis, cobalah diambil satu, ini dimakan?” Fatima mengambil butir-butir buah delima, menyuapi anak-anaknya.
“Caranya makan bagaimana Bunda?”
“Dikunyah saja, lalu ditelan.”
“Begini,” kata anaknya sambil mengunyah lalu menelannya.
“Iya..” jawab Fatima sambil tersenyum.
“Aku bisa, rasanya enak & manis.”
“Kalau delimanya habis kita makan ya Bunda,” Fatima mengangguk. Dia melihat anak-anaknya berebut makan delima dengan tersenyum, dia masih menyimpan sepotong delima untuk berjaga-jaga, jika anak-anaknya masih lapar dan memerlukannya. Tapi meskipun berjam-jam mereka makan delima, membuang pelapis buah, mengambilnya setiap butir dan mengunyah serta menelannya. Buah delima itu tidak pernah berkurang. bahkan warnanya semakin merah. Anak-anak Fatima tidak menyadari hal itu, mereka asyik bercerita tentang mimpi-mimpi mereka, bercanda satu dengan yang lain, sambil tangannya memegang buah delima, dan memakannya.
Fatima duduk diantara mereka. Apa yang terjadi saat itu, tidak bisa diungkapkannya. Dia hanya bersyukur, melipat lidahnya rapat, sambil berdendang, memanggil, dan menyebut nama Tuhan. Tak ada yang mengasihinya kecuali yang memilikinya. Dari yang tidak disangka, bukan dari orang-orang yang meminta shodaqoh dan zakat, bukan dari orang-orang yang pernah berhutang padanya, Allah memberi keberkahan dan menjamin kesejahteraannya malam ini, mencukupi kebutuhan dirinya dan anak-anaknya untuk makan, dengan satu saja buah delima, yang selama lima tahun pohonnya di halaman rumah belum pernah berbuah. Darimana datangnya, kecuali dari kasih dan sayang pemilik semesta. Maka masih perlukah Fatima percaya, bahwa benda dan harta adalah apa yang dicari dunia?
“Bunda aku kenyang sekali, jadi ngantuk, aku mau tidur Bunda dan delimanya disimpan ya, besok aku makan lagi.” Ketiga anaknya menitipkan buah delima bagian mereka masing-masing pada Fatima. Fatima menerimanya dengan tangan gemetar. Meskipun begitu dia tersenyum mengantar ketiga anaknya ke tempat tidur.
Suara takbir menggema. Fatima mengumpulkan potongan-potongan delima di tangannya, dia meletakkannya di meja. Lalu mengangkat kedua tanganya bertakbir. Kemudian bersujud hingga fajar.
Saat pagi pecah, delima semakin merah merekah.
* Jogja 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar