Kamis, 05 Mei 2011

Fatima dan Pohon Delima

Evi Idawati
suarakarya-online.com/9 April 2011

Fatima hidup dengan tiga anaknya sendirian di rumah kecil yang ditinggalinya sejak dua tahun yang lalu. Sebelum waktu dua tahun, orang mengenalnya sebagai perempuan yang sukses. Hidupnya berlebihan dengan harta benda yang berlimpah. Dia mempunyai usaha yang dikelola bersama suaminya. Cabangnya hampir di semua propinsi Negara.

Orang sungguh-sungguh melihat mereka bahagia. Rumah yang besar, kantor yang mentereng. Mobil lebih dari satu yang mengantar keluarga mereka dan tamu-tamunya kemanapun hendak pergi. Cukup menjadi ukuran bahwa hidup keluarga mereka berlebihan. Setiap hari, rumahnya tidak pernah sepi dari tamu yang mengunjungi dan bersilaturahmi. Tempat tinggalnya seperti restoran yang selalu memasak dan menyediakan makan untuk siapapun yang berkunjung. Para handaitaulan maupun orang yang baru kenal yang kemudian menjadi akrab dan menginap di kediamannya.

Setiap hari, ada saja orang yang datang untuk meminjam uang. Untuk beli motor, bayar kredit rumah, membayar sekolah anak, membangun rumah, bahkan untuk berhaji, sambil membawa sertifikat rumah dan BPKP motor atau mobil, mereka meminta dibantu untuk berziarah ke makam Nabi Muhamad.

Fatima melakukan sebisanya untuk membantu mereka. Sanak saudara jauh, sanak saudara dekat, keponakan, teman, kakak dan tetangga, semuanya datang dengan berbagai tujuan. Setiap hari berdering telepon meminta zakat untuk sekian santri, proposal tanah wakaf untuk pesantren dan anak yatim piatu dengan jumlah yang lebih dari sekian ratus, bahkan ribuan, entah benar atau tidak jumlah tersebut, Fatima selalu berusaha memberi.

Tapi dua tahun ini, hidupnya berubah, Fatima bercerai dengan suaminya dan hidup sendirian bersama ketiga anaknya. Semua harta bendanya entah berada di mana, mobil dibawa siapa, motor ada dimana, tabungannya tinggal berapa, bagaimana usahanya, dia tidak hirau sama sekali. Memulai hidup sederhana, meninggalkan apa yang pernah menjadi bagian hidup dirinya dan anak-anaknya menjadikan rumahnya sungguh-sungguh sepi. Tiada lagi sanak saudara yang berkunjung. Yang mengaku teman semuanya pergi, dering telepon mengirim doa untuk meminta zakat dan shodaqoh menghilang.

Semua senyap dan sunyi. Hanya ada satu pembantu yang setia menemaninya. Tapi tidak lama kemudian, pembantunyapun meninggal tanpa sakit. Fatima sendirian. Apa yang terjadi pada keluarga Fatima menjadi pembicaraan begitu banyak orang. Tapi Fatima tidak perduli. Dia memulai hidup baru, bekerja untuk dirinya dan anak-anaknya. Dia tidak menyesali apa yang telah dilakukannya pada dirinya sendiri. Bisa makan dan berkumpul dengan anak-anaknya lebih indah dari apapun benda mewah yang diinginkan di dunia ini.

Beradaptasi dengan kekurangan dan ketidakmapanan membuatnya semakin menyadari bahwa hidup terlalu berharga untuk dilalui dalam kenangan. Menggantungkan hidup pada orang lain, tidak pernah dia lakukan.

Satu yang tidak pernah dilupakan oleh Fatima saat dulu ataupun sekarang, dia selalu menyediakan waktu untuk sekedar menyapa dan berbincang dengan tumbuhan yang ada di pekarangan rumahnya. Dia menanam tanaman yang berbunga ataupun tidak.

Baginya melihat warna hijau dedaun, membuatnya tentram dan memberinya semangat untuk hidup. Dari pohon dan tanamanlah dia belajar bersabar, belajar tumbuh dan berkembang. Fatimah menganggap tanaman adalah makhluk yang paling kuat dan sabar menjalani hidup. Selalu tumbuh keatas. Saat kering bertahan, kala hujan menyimpan bekal, jika berbuah, dia memberikannya pada siapa saja yang ingin mengambil dan menikmatinya.

“Piye to, orang kok geblek kayak begitu, daripada merawat tumbuhan yang tidak memberi hasil yang jelas. Berbuahpun tidak, memberi kembangpun tidak, mendingan kerja, menjahit, ato kerja yang lain yang menghasilkan uang. Lihat itu dirumahnya, Cuma daun-daun hijau, nambah rungkut dan medheni. Kita kalo lewat depan rumahnya malam-malam jadi merinding”.

Jangan mengucapkan sesuatu jika mendengar perkataan orang yang tidak tahu apa yang dia katakan, tersenyumlah, begitu Fatima mengajarkan pada anak-anaknya. Buat orang-orang tertentu menjahit lebih berarti daripada menanam pohon dan merawatnya. Setiap orang punya pendapat dan pandangan yang berbeda, tapi apa perlunya untuk Fatima, hirau terhadap mereka. Dia punya kehidupan yang diyakininya indah. Tidak ada orang lain yang memiliki hidup serupa dengan dia. Dia memang tidak pernah mencari pekerjaan, tetapi pekerjaanlah yang didatangkan padanya.

Pun sekarang ini, pada saat lebaran. Fatima tidak memegang uang sama sekali. Tidak ada simpanan makanan dirumah. Uang terakhir sudah dibelanjakan untuk hari kemarin. Honor pekerjaan dua bulan yang lalu masih dihutang, belum dibayarkan padanya. Untuk memintanyapun dia segan.Tadi anaknya yang terkecil umur 12 tahun berkata padanya,

“Bunda, kita makan apa hari ini? Kita tidak kemana-mana lebaran ini Bunda,” suara anaknya yang lirih, seperti kapak tajam yang memecah batu di dadanya. Anaknya mendekati Fatima, memegang tangan ibundanya lalu duduk disampingnya. Fatima menyadari sudah terlalu jauh mengajak anak-anaknya menjadi dewasa, dipaksa untuk memahami keadaan yang selayaknya tidak mereka alami. Fatima memeluk anaknya dan membisikkan sesuatu di telinganya.

“Kita akan makan sayang, bersabarlah.” “Hore! Kita makan! Bunda punya uang. Bunda punya uang!” wajah anaknya sumringah sambil melompat-lompat dan berteriak-teriak memberitahukan kedua kakaknya.
“Bunda punya uang. Kita akan makan! Kita akan makan!”

Bibir Fatima gemetar. Jari-jarinya semakin cepat bergerak. Pipinya basah. Dua tahun ini, Fatima belajar untuk menikmati segala hal sendirian. Pahit dan manisnya. Melibatkan orang lain dalam hidupnya, terlalu banyak membebani. Meskipun hanya berkunjung, dicurigai untuk meminjam uang. Jika datang ke rumah orang yang dulu sering datang ke rumahnya dikira menagih utang, lalu mereka memilih sembunyi dan tidak mau menerimanya.

Dan mengatakan sedang tidak ada di rumah. Tapi Fatima percaya, dia selalu memberi kebaikan bagi orang lain, bukankah kalau menanam kebaikan, akan diberi kebaikan. Maka dia tidak pernah lagi melibatkan orang lain dalam hidupnya. Dia hanya bersama anak-anaknya. Tidak pernah keluar mencari pekerjaan, dia menggantungkan semua kepada pemilik hidup dirinya dan anak-anaknya. Kalau dia lapar, dia meminta kepada Tuhan untuk memberinya pekerjaan.

Sekarangpun dia meminta kepada Tuhan untuk memberinya makan. Tidak sepeserpun Fatima memegang uang. Darimana dia mendapat uang? Sekarang sedang lebaran, Siapa yang mau memberi pekerjaan padanya, semuanya sibuk dengan pesta pora. Meminta kepada tetangga dan orang lain, tidak akan mau Fatima melakukannya. Gema takbir terdengar dari segala penjuru.

Anak-anaknyapun bersama-sama membaca takbir sambil berharap ibundanya segera membawakan mereka makanan. Tubuh Fatima menggigil. Tapi bibirnya terkatup rapat. Derai airmatanya tidak berhenti sejak anaknya kegirangan mendengarnya menjanjikan makanan. Dia membuka pintu dan berjalan ke pekarangan rumah. Meskipun malam, dia melangkah. Dalam diam. Dalam diam. Jari-jari tangannya tetap bergerak. Lalu dia menghentikan langkahnya karena melihat semburat cahaya dalam gelap.

Dengan wajah yang tidak berubah, tanpa terkejut, tanpa takut, Fatima berjalan mendekat, dia melihat cahaya yang bundar menggantung di dahan. Tangannya masih bergerak seakan menghitung nafas, seakan menghitung satu persatu deguban jantungnya. Tapi tangannya tidak gemetar. Dia hanya diam, terpaku. Tak terasa airmata jatuh di pipinya, dia memandang cahaya itu, tanpa berkedip, tapi airmatanya bagai embun menyentuh daun, menyentuh tanah, seperti hujan, dia mengigil. Bibirnya gemetar, dia mengulurkan kedua tangannya lalu meraih cahaya itu dengan cepat, lalu mendekapkannya di dada dan berbalik memasuki rumah. Dia membiarkan pintu rumahnya terbuka, duduk dan membuka tangannya. Dia tidak terkejut saat melihat buah delima yang berwarna merah sebesar kepalan memancarkan cahaya ditangannya, bibirnya masih gemetar dan dia berbisik perlahan. Dia mengucapkan sesuatu, begitu lirihnya sehingga anginpun tidak akan bisa menajamkan telinganya untuk mendengar kata-katanya. Airmatanya tumpah.

Dia menunduk, menimang-nimang delima, mendekapnya sambil berkata-kata. Seakan dia sedang berada di dunia yang berbeda. Tapi kemudian dia tersadarkan. dia mengusap kedua pipinya, tersenyum dan berdiri, lalu memanggil ketiga anak-anaknya.
“Akhirnya kita makan!” suara anaknya yang terkecil, terdengar girang. Mereka duduk mengelilingi Fatima.
“Kita makan Bunda?” tanya anaknya yang nomer dua.

“Iya. Kita makan sayang.” Fatima memecah delima dengan pisau dan membaginya menjadi empat. Semua anaknya diberinya satu-satu, lalu dia menyisakannya satu mungkin untuk dirinya sendiri. Anak-anaknya heran sambil melihat ibunya mereka bertanya.

“Ini apa bunda? Katanya kita makan? Bunda tidak punya uang? Kita tidak jadi makan?” Fatima memeluk ketiga anaknya, dia tidak bisa menahan lebih lama lagi curahan airmatanya. Lirih dia berucap.

“Sebentar lagi kita makan sayang, sekarang coba dirasakan buah delima ini, Bunda memetiknya di pekarangan rumah, warnanya merah sekali, pasti manis, cobalah diambil satu, ini dimakan?” Fatima mengambil butir-butir buah delima, menyuapi anak-anaknya.
“Caranya makan bagaimana Bunda?”
“Dikunyah saja, lalu ditelan.”
“Begini,” kata anaknya sambil mengunyah lalu menelannya.
“Iya..” jawab Fatima sambil tersenyum.
“Aku bisa, rasanya enak & manis.”

“Kalau delimanya habis kita makan ya Bunda,” Fatima mengangguk. Dia melihat anak-anaknya berebut makan delima dengan tersenyum, dia masih menyimpan sepotong delima untuk berjaga-jaga, jika anak-anaknya masih lapar dan memerlukannya. Tapi meskipun berjam-jam mereka makan delima, membuang pelapis buah, mengambilnya setiap butir dan mengunyah serta menelannya. Buah delima itu tidak pernah berkurang. bahkan warnanya semakin merah. Anak-anak Fatima tidak menyadari hal itu, mereka asyik bercerita tentang mimpi-mimpi mereka, bercanda satu dengan yang lain, sambil tangannya memegang buah delima, dan memakannya.

Fatima duduk diantara mereka. Apa yang terjadi saat itu, tidak bisa diungkapkannya. Dia hanya bersyukur, melipat lidahnya rapat, sambil berdendang, memanggil, dan menyebut nama Tuhan. Tak ada yang mengasihinya kecuali yang memilikinya. Dari yang tidak disangka, bukan dari orang-orang yang meminta shodaqoh dan zakat, bukan dari orang-orang yang pernah berhutang padanya, Allah memberi keberkahan dan menjamin kesejahteraannya malam ini, mencukupi kebutuhan dirinya dan anak-anaknya untuk makan, dengan satu saja buah delima, yang selama lima tahun pohonnya di halaman rumah belum pernah berbuah. Darimana datangnya, kecuali dari kasih dan sayang pemilik semesta. Maka masih perlukah Fatima percaya, bahwa benda dan harta adalah apa yang dicari dunia?

“Bunda aku kenyang sekali, jadi ngantuk, aku mau tidur Bunda dan delimanya disimpan ya, besok aku makan lagi.” Ketiga anaknya menitipkan buah delima bagian mereka masing-masing pada Fatima. Fatima menerimanya dengan tangan gemetar. Meskipun begitu dia tersenyum mengantar ketiga anaknya ke tempat tidur.

Suara takbir menggema. Fatima mengumpulkan potongan-potongan delima di tangannya, dia meletakkannya di meja. Lalu mengangkat kedua tanganya bertakbir. Kemudian bersujud hingga fajar.
Saat pagi pecah, delima semakin merah merekah.

* Jogja 2010

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi