Djadjat Sudradjat
http://www.senimana.com/
1
“MEMBACA” puisi, bagi saya, seringkali bukanlah pekerjaan “mudah”. Pengalaman saya menjadi Redaktur Budaya Media Indonesia pada 1990-an, sungguh sebuah beban yang amat berat. Tetapi, menyadari ini bagian dari “tugas budaya” selain tugas kantor, ini jadi kegembiraan juga selain kecemasan. Gembira karena kerap tamasya mengasyikan ketika bergumul dengan sekian banyak teks; cemas karena dihantui pertanyaan: adakah yang “terseleksi” dan dimuat di koran (edisi Minggu) tak dinegasi (pembaca)?
Sering, bahkan amat sering, saya membawa bertumpuk-tumpuk naskah ke rumah dan membacanya di tengah malam hingga dini hari, kadang di tengah tidur pulas sang istri saya berkelana memasuki lapangan kata-kata. Kenapa begitu? Sebab, sungguh berbeda membaca sastra –terlebih puisi– di kantor dengan suasana yang serba “bergegas”, di tengah keriuhan berbagai urusan yang mendera. Dalam suasana seperti itu sering banyak kode bahasa dan kode budaya yang tak tertangkap indra. (Tentu pengalaman seperti ini sifatnya sangat pribadi. Pembaca yang lain tentu punya siasat yang brbeda-beda dalam menghadapi teks puisi atau sastra pada umumnya).
Begitulah. Membaca sastra, bagi saya, kadang, tak sekadar membuka sebuah “kode rahasia”. Sebuah tamasya batin dan pikiran seperti kata Tzvetan Todorov? Ada interaksi intim yang kerap pula melahirkan “anak-anak” teks baru. Sebab, setiap kali puisi dibaca seperti punya “jiwa” yang berbeda. Tafsir yang berbeda. Dunia tafsir ternyata sebuah lautan tak bertepi. Karya-karya Chairil Anwar (juga WS Rendra), misalnya, telah melahirkan teks-teks baru yang jumlahnya jauh lebih banyak dari teks utama yang ditulis Chairil sendiri.
Teks Chairil serupa kandungan emas yang tak habis-habisnya ditambang. Teks karya Chairil telah melahirkan skripsi, tesis, bahkan disetasi. Belum lagi tulisan-tulisan pendek semisal esai. Kritik-kritik atas karya penyair ini telah melahirkan pula kritik baru. Kritik atas kritik pun tak bisa dihindari. Itulah berkah tafsir.
Sebuah tafsir, betapapun dalam “ilmu” sang penafsir itu, tentu tak mungkin menangkap seluruh kekuatan yang ada dalam sastra itu sendiri. Bahkan, bisa jadi meleset sama sekali. Bukankah tafsir atas sajak “Aku” karya Chairil yang kita pahami selama ini sebagai sebuah semangat pemberontakan yang total? Sebuah perlawanan terhadap keadaan pada masa “perjuangan”. Sebuah semangat zaman yang berkobar. Wajar puisi ini sering dibacakan –sejak saya di Sekolah Dasar hingga kini—pada acara peringatan proklamasi 17 Agustus dengan suara mengguntur dan kepalan tangan.
Padahal, seperti kesaksian Asrul Sani, sahabat Chairil, sajak “Aku” lahir karena rasa gundahnya terhadap sang ayah di Medan yang melarang Chairil merantau ke Jakarta. Tetapi, tafsir punya “otonomi” kebenarannya sendiri. Ia tak harus tundak pada realitas di luar teks. Kesaksian Asrul sesungguhnya Chairil sosok yang jauh dari politik. Ia bukanlah seniman yang “terlibat”.
“Ia (Chairil, DS) jauh dari politik. Sajak “Aku” yang begitu terkenal sehingga sudah menjadi trademark bagi kepenyaian Chairil yang selalu dibawakan dengan berapi-api dan kepalan tinju, bukanlah sajak pemberontakan, tapi sebuah pamitan yg getir dari ayahnya yang mencoba membujuk dia kembali ke Medan tinggal bersama ayahnya. Ia menolak dan memilih kehidupan yang jauh dari berkecukupan,” tulis Asrul. (Michael Ronaldo, “Ambivalensi Chairil Anwar” dalam Kalam 21: 2004).
2
Begitulah saya membaca Dermaga tak Bernama, mencari ruang sunyi. Membaca, terlebih membaca sajak, sebagai produk kebudayaan, adalah membaca sebuah tanda. Menurut cara pandang semiotik, yang semula dirintis tokoh strukturalisme Ferdinand de Saussure, sebuah tanda terbuka untuk macam-macam tafsir. Ini sejalan dengan pandangan sosiologi sastra, bahwa sastra bukan datang dari langit. Ia lahir dari macam-macam faktor: latar belakang pengarangnya, masyarakat yang melahirkan pengarang, kebudayaan yang membentuknya, dan macam-macam faktor lain. Karena itu, sudah barang tentu kebudayaan tak semata bisa dipecahkan dengan pendekatan strukturalisme untuk membongkar “kedalaman” makna.
Menurut Saussure, tanda terdiri atas penanda (significant) dan petanda (signifie). Penanda adalah sebuah konsep (bentuk); sementara petanda adalah makna yang ditangkap dari konsep itu. Lihat juga tulisan saya, “Lampung Sebuah Tanda” (permintaan Dewan Kesenian Lampung, belum diterbitkan). Dalam strukturalisme, penanda mengandung relasi sintagmatik (hubungan antarkomponen dalam struktur), adapun petanda mengandung relasi paradigmatik (hubungan antara komponen dalam suatu struktur dengan entitas lain di luar struktur yang sifatnya asosiatif).
Cara pandang semiotik membantu juga untuk memahami realitas kebudayaan. Karena buku juga sebagai sebuah tanda, saya baca seluruh “unsur” yang ada buku kumpulan puisi ini. Mula-mula sampul muka, yang bergambar jembatan kayu (?) yang terhampar di atas laut (?) dengan dominasi gradasi warna hitam. Saya perhatikan judul dan nama pengarangnya. Kenapa point size huruf penulis ditulis lebih menonjol daripada judul? Pesan apakah yang hendak dicapai dari visual seperti itu? Adakah kemuraman? Adakah penerbit ingin menonjolkan sang penyair daripada karyanya?
Sementara, saya, kerap mengutamakan teks daripada produsennya, yakni sang penyair. Begitulah memang kebiasaan saya ketika menyeleksi puisi-puisi untuk edisi koran edisi Minggu, dahulu. Meskipun saya pernah terpesona pada tokoh (penyair), konsentrasi saya, mula-mula, pada karya. Saya bukan juga penganut kaum pascastukturalis yang meminggirkan pengarang (matilah pengarang!).
Saya “singgkirkan” godaan untuk membaca biodata penyairnya, sebelum membaca karyanya, supaya saya tidak “tercemar” karena tersandera oleh sang tokoh. Saya baca daftar isinya. Saya pilih yang pertama puisi yang diambil sebagai judul, “Dermaga tak Bernama”. Ini tentu tanda yang menggoda. Kenapa ini dipih sebagai representasi seluruh sajak? Kenapa tidak memilih sajak lain, yang lebih “bercerita” tentang Lampung? Tentu ini sepenuhnya hak penerbit. Betapa pun pertanyaan itu sia-sia, sebagai pembaca tak berdosa mempertanyakannya.
Seterusnya, saya memilih sajak sesuai harapan yang ada pada tanda itu. Bukankah dalam konteks semiotik, Lampung juga sebuah tanda? Sebuah geografi yang bercitra “tanah harapan” (pertanian: dengan lada dan kopi sebagai “identitasnya”, (yang sering dinarasikan para pujangga dan dinyanyikan para muli dan mekhanai); dengan komposisi masyarakatnya yang amat plural, dengan suku Jawa sebagai mayoritas, adalah sebagai sebuah penanda Lampung. Apa makna “asosiatif” dari itu semua?
Sebagai pendatang yang selalu ingin tahu tentang seluruh tanda di provinsi ini, wajarlah saya mencari sajak yang berjejak pada penanda Lampung itu. “Dermaga tak Bernama”, sebuah sajak yang muram : “ia menunggu kabar dari sombak/namun tak ada/selain bibir pantai yang membusuk” (Bait 1). Ombak tak mengabarkan apa-apa, di “dermaga tak bernama” itu, kecuali “menghempaskan bangkai camar/tepat di kakinya” (Bait 3). Harapan pun lesap. Sebab, “ombak pergi lagi/meninggalkan janji yang tak mungkin ditepati” (Bait 4). Ada amarah: ”di matanya membuih ombak” dan kebimbangan: “ada yang ingin ia tinggalkan/agar semuanya hilang/namun ada sesuatu yang masih ia simpan.” (Bait 8). Sebuah ruang tunggu yang sia-sia.
Setelah “Dermaga ….” saya bertamasya berturut-turut ke dalam sajak “Muli”, “Penggembala Kerbau”, dan “Kafetaria Tanjungkarang”. Keempat sajak ini saya gauli terlebih dahulu sebelum sajak-sajak yang lain. (Dermaga tak Bernama memuat 64 sajak; dibagi dalam tiga bagian: “Ikhwal Perjumpaan”, “Menunggu”, dan “Suara-suara sebelum Terjaga”).
Saya menikmati secara sintagmatik empat sajak yang secara paradigmatik juga mengandung tanda tentang Lampung itu. Yakni struktur bahasa dengan diksi yang kuat; dengan sintaksis yang terjaga. Kakofoni juga muncul menguatkan tema kemuraman yang menggugat itu. Tetapi, teks yang kuat itu juga bukan gadis cantik yang tak bernyawa. Ia teks dengan konteks yang setidaknya menggoda saya harapkan itu, yakni berbicara tentang Lampung. Inilah yang dalam semiotik disebut konteks, yakni struktur teks yang mengandung konsep/makna di luar teks. Untuk mencari konteks tentu kita mesti mempunyai banyak bekal dan modal, seperangkat pengetahuan tentang yang terkandung dalam teks. Ini memang tidak mudah.
“Muli” (hlm. 18-21) sebuah semangat menggugat masa silam. Sajak panjang berisi 21 bait itu, bait pertamanya langsung masuk ke pokok persoalan. Ia menyeru dengan merujuk sejarah (setidaknya masa silam masyarakat Lampung Barat). “dengarlah/wahai keturunan yang berjalan di atas air2/muliakanlah ia dengan bahasa/dan pandangan yang bersahaja.” Dalam catatan kaki dijelaskan “berjalan di atas air” (buway bejalan di way) adalah salah satu kepaksian Skala Brak di Lampung Barat. (Saya sungguh bergembira karena telah pula lahir novel yang mengambil latar masa silam Lampung, Kerjaan Skala Brak yang ditulis M Harya Ramdhoni, Perempuan Penunggang Harimau yang diluncurkan 15 Januari di Lampung Post).
Segera setelah membaca sajak ini, saya menafsir maknanya (melacak hubungan paradigmatiknya). “mengapa terikat sejarah masa silam/padahal matahari berulangkali tenggelam” (Bait 8). Dengan bait ini saya seperti diberi jalan (meski tidak mudah) untuk mencari konteks di luar teksnya. Betapa masa silam telah membangun tradisi “kesetiaan” bagi seorang wanita Lampung yang “hanya memuja satu lelaki.” (Maaf, ini berkah atau musibah?)
“di dalam hidup,/ia hanya memuja satu lelaki./dan di negerinya/siapa pun muli yang telah pergi/maka pantanglah bagi mereka/untuk kembali/karena di rumah yang baru/mereka disambut oleh air suci/sebelum anak-anak tangga dinaiki.” (Bait 15).
Tapi, kita tahu dalam masyarakat patriarkat, perempuan bukan penentu garis keturunan. Perkawinan artinya kehilangan sang muli. “di rumah yang jauh/telah berkumpul anak saudara/yang telah percaya/bahwa setiap perempuan/memang akan hilang dari keluarga.” (Bait 21). Bait pamungkas yang menjadi kesimpulan tentang kenyataan seorang muli yang memuliakan tradisi, tapi tak dapat tempat lagi dalam keluarga asalnya. Adakah penyair mengangkat ini sebagai sebuah representasi kegalauan? Mengungkap realitas tradisi belaka menyindirnya?
Tak jauh dari dua sajak terdahulu, sajak “Penggembala Kerbau” dan “Kafetaria Tanjungkarang” juga bicara tentang pergualatan batin akan sebuah masa silam yang menjauh, tapi tak bisa ditinggalkan. Masa silam (katakanlah kampung halaman) adalah latar biografi pada umumnya kita yang kini hidup di kota. (Masa lalu tak mungkin kita penggal meskipun Takdir Alisyahbana dalam Polemik Kebudayaan menolak masa silam berlanjut ke masa kini). Ia tetap menggoda. Adakah ia sebuah permata yang hilang atau sebuah dosa? Simak kutipan sajak “Penggala Kerbau” ini:
“setiap masa lalu memang telah dikuburnya, namun tanpa ia sadari, masa lalu itu tumbuh menjadi sebatang pohon yang akar-akarnya begitu kokoh, seperti cita-citanya. pohon itu adalah satu-satunya pohon yang berbuah manis, tempatnya bersandar saat matahari sedang tinggi, meniup seruling sambil memandang dua kerbaunya yang perlahan-lahan seolah menyatu dalam hamparan rumput dan ilalang.” (Bait 10).
Saya menangkap sebuah galau yang tak pernah selesai. Masa silam (apa pun bentuknya) punya dosa dan pahalanya sendiri-sendiri. Karena itu, keduanya (masa silam dan masa depan) tak bisa ditaruh dalam posisi polar, yang harus selalu dipertentangkan. Inilah jalan tengah atau semacam “perdamaian” dua kategori waktu yang menggelisahkan sang penyairnya. “ketaksetiaan memang pernah kau sembunyikan/namun kini segalanya tersingkap, tanpa ada yang/ memintanya, bersama waktu, masa lalu dan masa/depan tak sengaja bertemu.” (Bait 11).
Sajak “Kafetaria Tanjungkarang” memang, setidaknya dari judul, mempunyai mengisyaratkan masa kini. Tetapi, ia juga sebuah narasi kerisauan masa silam yang lekat. Kerisauan melihat realitas terpinggirkannya cultural capital, yang menurut Francis Fukuyama, bisa jadi modal ke arah kemakmuran. Bagi siapa pun yang memahami dan mendapat nikmat akan arkaisme, ia akan bergolak batinnya menyaksikan realitas hari ini, era yang tak mengukir jejak apa pun kecuali destruksi karena industri yang kian tak sayang pada bumi. “akan menjadi silamlah seluruh sajak leluhur/yang sempat kaubaca di bandar kota ini?” (Bait 5).
“di meja yang disinggahi ratusan remaja
akan kubacakan kilasan peristiwa yang biasa
“hingga setiap yang datang akan memesan menu masa silam
dengan sedikit rayuan cengegng dan cerita adat yang pucat.
“kepada pelayan kafe aku akan bercerita tentang kamu
tenunan tapis, aroma bunga kopi, dan lantunan sagata
mungkin pelayan itu akan menuangkan air mata di gelasku
lalu berujar, maafkan, anak saya, dia memang seorang penyair.
Barangkali pelayan itu adalah luluhurmu, Tanjungkarang.”
Bait 10-13 di atas sungguh jelas bahwa identifikasi Lampung dengan “tenunan tapis, aroma bunga kopi, dan lantunan sagata” hanya masa lalu yang kian tak perlu, sebab kini tak ada lagi yang peduli (?). Lampung yang tak lagi berjejak pada citranya yang semula. Setidaknya, di meja kafetaria yang “yang telah disinggahi ratusan remaja”. Sagata telah melindap digantikan musik elektronik dengan kemeriahan joget asyik di bawah alunan lagu semisal “Goyang Dombret”? Puisi tradisi tak lagi punya tempat dalam masyarakat yang bekerja di kantor dan bukan di kebun (?) .
3
Tafsir saya atas Dermaga Tak Bernama, adalah kerisauan dan kegelisahan yang menebar. Di bagian ke-3 kumpulan puisi ini (“Suara-Suara Sebelum Terjaga”), kian terasa betapa ada konsistensi yang kuat bagaimana realitas dikemukakan, sejumlah hal ditanyakan, tapi ia tahu pertanyaan itu tak akan menemu jawab kecuali dijawabnya sendiri. Ia menjadi semacam soliloqui yang terus menerus. Konstruksi sajak-sajak Fitri terasa pula ada jejak tradisi sastra lama: yang selalu mengandung prolog (persoalan), lalu sang penyair mempertanyakannya (isi), dan mengakhirinya dengan jawaban: kesimpulan, penegasan, atau sekadar gumam.
Hampir semua sajak dalam Dermaga tak Bernama (kecuali “Taman Argasoka” dan “Abu dan Asap Rokok” (hlm. 47, 72-73), umumnya di akhir sajak dalam kumpulan ini (khususnya pada Bagian Suara-Suara sebelum Terjaga) muncul semacam jawaban, penegasan, afirmasi, kadang muncul semacam gumam, tentang tema utama yang ada dalam masing-masing sajak. Simak antara lain sajak “Langit” (hlm.53), “Obituari Pemilik Tubuh yang Sakit”, (hlm.55-56), “Suara-Suara Sebelum Terjaga” (hlm.58), “Percakapan Bocah dan Pintu” (hlm.2), “Suara-Suara dari Balik Jendela” (hlm.3-5), “Fiksi Kelima: Rahim” (hlm. 67), “Seseorang yang Menyalakan Lampu” (hlm.69), “Di Stasiun Kereta” (hlm.77), “Jalan Raya” (hlm.78), “Kafetaria Tanjungkarang” (hlm.80-81), dan “Seperti Batu di Jurang” (hlm.82-83).
Bahkan, sajak “Suara-Suara Sebelum Terjaga” dibangun hampir sepenuhnya pertanyaan. Saya kutip sepenuhnya:
“siapa yang tiba-tiba lesap ke tubuhku
beberapa saat sebelum fajar tiba
siapa yang begitu pelan membelai jantungku
beberapa saat sebelum aku terjaga
siapa yang mengajakku berjalan menyusuri taman
yang nampak ada sekaligus tak ada
siapa yang menyebut namaku berulangkali
hingga aku seperti tenggelam di cakrawala
siapa yang telah membawaku
pada hidup yang penuh percikan mimpi:
dia, yang selalu mendengar
debar para bunga
juga dia, yang paham pada nestapa
yang terkururung di sela-sela air mata.”
Dalam beberapa sajak yang saya sebut di atas, saya menangkap, penyair seakan ingin menegaskan sejumlah persoalan itu tak ingin dibebankan kepada pembaca. Ia cukup dijawab sendiri, meskipun dengan sekadar gumam. Ia gelisah dan bergulat dengan kerisauan itu, tetapi ia atasi sendiri. (Adakah wanita Lampung memang punya tradisi kemandirian yang tak membebankan problemnya kepada orang lain? Saya hanya bisa menebak?
4
Sebagai pembaca, saya ingin menjadi “pembaca dekat” yang mengutamakan teks Dermaga tak Bernama daripada yang “lain”. Saya merasa nikmat setelah tamsya ke dalam taman kata-kata kumpulan sajak ini. Ini karena unsur-unsur persajakan muncul dengan baik: rima yang konsisten, diksi yang kuat, kakofoni yang terjaga. Sehingga Dermaga tak Bernama, secara linguistik, sebagai karya sastra, khususnya puisi, mengedepankan betul fungsi puitiknya. Ia tak bosan sebagai “locus” tamasya. (Menurut R. Jakobson, “Linguistic and Poeitic” , selain macam-macam fungsi, bahasa juga punya fungsi fatik (membangun kontak), metalinguistik (menggunakan bahasa untuk menjelaskan bahasa), dan puitik (keindahan bahasa).
Hal yang mengganggu saya jutru pengantar penerbit. Ia, menurut pemahaman saya, justru mengecilkan kualitas karyanya. Ada inferioritas dalam konteks relasi Jakarta dan bukan Jakarta; antara yang nasional dan lokal. “Selang tak begitu lama dari pesona puisinya di GONG, beberapa puisinya lalu menampang di Kompas –sebuah harian terbesar di Indonesia. Sejak itu kepenyairan Fitri Yani masuk dalam khasanah sastra di Lampung. Dia penyair termuda yang dimilki daerah ini.” Seolah-olah memperlakukan Kompas sebagai institusi pembaptis seorang penyair?
Promosi memang tak bisa dihindari dalam industri buku. Tetapi, promosi yang simplikatif, yang basisnya tidak menjelaskan karya, juga berbahaya bagi sastra. Adakah Kompas sebuah institusi pembaptis para penyair?
5
Dengan bekal sederhana, itulah tafsir saya atas tanda Dermaga tak Bernama karya Fitri Yani. Tafsir yang utuh dan komprehensif, tentu perlu bekal yang jauh lebih mendalam. Tabik.***
*) Untuk bahan diskusi kumpulan puisi Dermaga tak Bernama, karya penyair Fitri Yani, di UKMBS Unila, pukul 19.00 WIB.
Bandar Lampung, 22 Januari 2011.
Sumber: http://www.senimana.com/berita-155-buku-puisi-pilihan.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar