Kamis, 05 Mei 2011

Memberhalakan ‘Kebebasan’ ala ‘Memo Indonesia’

Saut Situmorang*
Media Indonesia, 5 Agus 2007

LARUT malam di bawah banner depan Taman Ismail Marzuki (TIM). Saya yang hendak pergi ke Serang, Banten, menghadiri pertemuan komunitas sastra se-Indonesia, dipanggil Hudan Hidayat untuk gabung ngebir bersamanya. Waktu saya menemui Hudan, ternyata sudah ada beberapa orang, seperti Djenar Mahesa Ayu dan Richard Oh. Mereka baru saja mengikuti acara Pekan Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri. Malam bertambah larut, bahkan hampir pagi. Lalu ada yang mengusulkan untuk menelepon Bang Tardji keluar dari hotel di depan TIM tempat ia dan keluarga menginap. Bang Tardji ditelepon dan tak lama kemudian ia keluar dan duduk bersama kami. Sejak tadi, perempuan bernama Djenar Mahesa Ayu itu macam-macam tingkahnya dan sekarang lebih gawat lagi. Sambil memegang-megang kepala Bang Tardji, yang selama sepekan diperingati sebagai penyair terbesar dalam sejarah sastra Indonesia modern, perempuan berpakaian sangat revealing itu mulai bermonolog menyebut ‘sosok’ kelamin lelaki berulang-ulang.

Karena mulai muak dengan pemakaian bahasa yang sangat minimalis dan sexist Chauvinist”! Hudan Hidayat sang ‘pembela kebebasan’ dan pencetus manifesto pembela kebebasan bernama seram Memo Indonesia diam tak berkata apa-apa. So much for freedom of expression!

***

Serang, Banten, dua hari kemudian. Dalam sebuah diskusi tentang ideologi dan estetika di Pertemuan Sastrawan Ode Kampung 2, Hudan Hidayat menyatakan baginya teks (karya sastra) adalah segalanya dan di luar teks tak ada apa-apa. Hudan juga mengklaim ideologi seseorang tidak harus sama dengan praktik kehidupan (berkarya) seseorang. Karena teringat pada malam di bawah banner depan TIM itu, saya merasa kasihan kepada orang itu. Kalau memang ia benar-benar percaya pada apa yang ia omongkan, sambil mengutip-ngutip ayat-ayat Alquran lagi, bahwa teks adalah segalanya dan di luar teks tak ada apa-apa. Lantas, untuk apa ia ribut-ribut dengan Taufiq Ismail membela-bela ‘kebebasan kreatifnya’ sebagai sastrawan? Untuk apa-apa ribut-ribut membuat (bersama tiga orang lain) Memo Indonesia lalu ‘mendeklarasikannya’ di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin dan media massa, cuma agar teks seperti yang dihasilkannya diterima sebagai ‘karya sastra’ oleh dunia sastra Indonesia? Bahkan, menyerang Pernyataan Sikap Sastrawan Ode Kampung (ditandatangani ratusan sastrawan dan penggiat komunitas sastra dengan latar ideologi seni yang berbeda-beda dari Aceh sampai Lombok) yang prihatin terhadap kondisi dekadensi kultural dalam sastra kontemporer Indonesia dan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia! Kalau seorang Djenar Mahesa Ayu saja tidak dapat ditangani Hudan Hidayat dalam soal ‘kebebasan berpendapat’, bagi saya memonya itu cuma bullshit.

***

Sekarang mari kita simak isi memo mereka itu. Dengan bahasa yang begitu abstrak (mirip bahasa memo para birokrat kekuasaan!) Memo Indonesia ditulis dalam enam paragraf yang intinya tentang kemanusiaan dan kebebasan. Mereka menyatakan, “Kesempurnaan kemanusiaan adalah… toleransi atas keberagaman nilai, tempat warga bangsa-bangsa berbahagia atas perbedaan mereka.” Seandainya mereka benar-benar percaya atas konsep ‘toleransi’ dan ‘keberagaman nilai’, bukankah tidak seharusnya mereka menyerang Pernyataan Sikap Sastrawan Ode Kampung yang memang berbeda pandangannya atas apa itu ‘standar estetika’ dalam penulisan karya sastra, seperti yang dilakukan M Fadjroel Rachman dalam tulisannya di Media Indonesia (29 Juli 2007)? Pernyataan Sikap Sastrawan Ode Kampung (PSOK) jelas-jelas menolak ‘eksploitasi seksual’ sebagai ‘standar estetika’ karena setiap ‘eksploitasi’ apalagi yang dilakukan atas nama ‘kebebasan’ adalah perendahan atas nilai kemanusiaan. PSOK tidak tabu terhadap seks, tapi antieksploitasi seks demi eksploitasi seks itu sendiri. Contoh nyatanya adalah buku (yang diklaim kedua penulisnya sebagai ‘karya seni sastra’, tapi tanpa mampu dibuktikan dalam konteks kritik sastra!) berjudul Tuan & Nona Kosong oleh Hudan Hidayat dan Mariana Amiruddin. Saya lebih mendapat tekstase seksual yang berseni dari film Andrew Blake tentang seks seperti Paris Chic ketimbang novel post-novel Hudan dan Mariana. Alasannya, karena film Blake memakai seks seperti sudah seharusnya dan bukan dibuat-buat supaya kelihatan provokatif. Seks adalah teks itu sendiri dan dieksplorasi lewat berbagai posisi pandangan termasuk psikologi cerita. Istilah pasarannya, seks dalam film Andrew Blake bukan bumbu cerita, tapi harus ada. Mirip dengan teks-teks Marquis de Sade. Apa yang bisa saya dapat dari Tuan & Nona Kosong yang peristiwa penerbitannya saja dimulai (dengan sengaja!) dengan ‘polemik’ di koran Media Indonesia antara para pembuat Memo Indonesia dan Hudanis lainnya itu!

“Kami adalah manusia bebas. Berdaulat atas jiwa dan raga kami untuk mencipta kemanusiaan kami sendiri dalam kebebasan penciptaan tanpa penjajahan,” teriak Memo Indonesia lagi. Siapa rupanya yang melarang mereka ‘mencipta’! Siapa yang menghalangi mereka untuk berdaulat atas jiwa dan raga mereka! Kok, sepertinya para penulis memo itu memberi kesan sudah dirampas kebebasannya, bahkan hak atas jiwa dan raga mereka. Padahal memo mereka itu sangat bebas mereka iklankan ke mana-mana termasuk di SMS!

“Kemajuan dan kebebasan kemanusiaan adalah cita-cita kami. Perbedaan dan kerja sama adalah jalan kami. Hukum dan demokrasi adalah tempat kami mengembalikan segala keberbedaan,” demikianlah bunyi repetitif Memo Indonesia. Terus terang saya capek membacanya. Slogan melulu sih. Birokrat speak doang! Sebenarnya saya mengharapkan isi yang cerdas, lebih intelektual elaborasi idenya, dan lebih nyastra bahasa ekspresinya. Bukankah keempat pembuatnya orang-orang hebat semuanya (sastrawan, esais, redaktur majalah, cendekiawan) seperti yang mereka sendiri cantumkan sebagai penjelas nama mereka!

M Fadjroel Rachman dalam tulisannya di Media Indonesia, seperti yang saya sebut di atas, dengan gagah menyatakan, “Tidak ada pribadi Indonesia, tak ada kebudayaan Indonesia, manusia yang tinggal di negeri Indonesia adalah pribadi global…” Kalau memang identitas ‘Indonesia’ itu tak ada, lantas kenapa masih merasa perlu untuk memakai istilah ‘Indonesia’ dalam nama Memo Indonesia?

Sloganisme dan inkonsistensi dianggap akan memajukan kemanusiaan. Ambisi besar tentu wajar apalagi dalam diri para elite dunia ketiga pascakolonial yang rata-rata hidup di ibu kota negerinya. Motorway dan gedung pencakar langit dipercaya sebagai simbol kebebasan kemanusiaan. Bagaimana bisa bicara kemajuan kemanusiaan dan kebebasan individu di tengah-tengah kemiskinan dan ketakadilan sosial yang mengelilinginya! Dan, betapa naifnya pandangan politik segelintir elite dunia ketiga yang merayakan pribadi global dan kebudayaan global tanpa pernah sekalipun memeras otak mereka untuk menelusuri genealogi historis dari konsep globalisme itu sendiri.

“Apa artinya menjadi manusia Indonesia hari ini?” tanya Fadjroel Rachman dalam tulisannya itu. Dengan baik hati ia memberikan jawabannya sendiri, “Menjadi manusia global membubung tinggi bersama jiwa-jiwa bebas seluas Bumi, mencipta hari depan manusia bersama-sama secara global.”

Tak ada yang baru dalam slogan itu. Humanisme liberal dari abad 19 penuh dengan frase-frase indah tentang kebebasan dan kemanusiaan. Juga kesetaraan perempuan. Tapi, apa kenyataannya? Humanisme liberal menyebabkan agama Kristen mati di Barat dan kolonialisme terjadi di Asia, Afrika, dan benua Amerika. Dan, bukankah feminisme sebagai gerakan perlawanan perempuan justru lahir dalam era kekuasaan liberalisme! Sekarang kita saksikan kekuatan liberal paling besar dalam planet ini mengeksploitasi kekuasaan ekonomi dan politiknya untuk menghancurkan negeri-negeri dunia ketiga kecil (Amerika Latin, Vietnam, Afrika, Afghanistan, Irak) yang tidak mau tunduk dalam kebebasan dan kemanusiaan ala Paman Sam.

Sebagai elite dunia ketiga, manusia mana yang akan Anda bela? Kebebasan siapa yang akan Anda rayakan? Apakah manusia Indonesia memang termasuk yang dianggap manusia dalam kemanusiaan global? Apakah kebebasan manusia Indonesia termasuk yang dirayakan dalam kebebasan kemanusiaan global? Mana buktinya?!

Ada beberapa kawan dan kenalan yang seharusnya berangkat ke Amerika Serikat tiba-tiba tidak jadi berangkat, padahal mereka diundang institusi-institusi Amerika sendiri untuk datang. Ternyata Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta tidak memberikan mereka visa. Alasannya sangat sepele, yaitu nama mereka nama orang Arab. Kalau politik rasisme sudah menjangkau nama, masih tidak malu Anda mengaku-ngaku sebagai humanis liberal?

* Saut Situmorang, esais, tinggal di Yogyakarta
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/08/tifa-memberhalakan-kebebasan-ala-memo.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi