Kamis, 05 Mei 2011

Pelukis Salim (1908-2008)

Ajip Rosidi*
Pikiran Rakyat,13 Des 2008

PADA 2 September 2008 dibuka pameran lukisan Salim di Galeri Nasional, Jakarta, sebagai penghormatan kepada pelukis kita yang seumur hidupnya di Eropa, terutama Paris yang bertepatan dengan usianya genap 100 tahun pada 3 September. Dia dilahirkan di suatu daerah di Sumatra Timur, dekat Medan, pada 3 September 1908. Tidak sampai sebulan setengah kemudian, 13 Oktober 2008, Salim meninggal dunia di Paris.

Meskipun jarang orang Indonesia yang usianya mencapai seratus tahun, kematian Salim tidak banyak mendapat tempat dalam pers Indonesia. Sebagai pelukis, dia kurang dikenal di Indonesia, mungkin karena dia hampir seumur hidup tinggal di Eropa. Sejak 1951 dia mengadakan pameran karyanya di tanah air hanya tujuh kali, 1951 di Sticusa Jakarta, 1956 di Balai Budaya Jakarta dan ITB Bandung, 1974 di TIM Jakarta, 1990 di TIM Jakarta dan ITB Bandung, 2001 di Bali, 2003 di Galeri Cemara Jakarta, bertepatan dengan terbitnya buku Salim Pelukis Indonesia di Paris yang saya tulis, dan tahun 2008 di Galeri Nasional Jakarta. Salim sendiri hanya hadir dalam dua pameran, yaitu pameran tahun 1956 dan 1990. Saya pribadi pernah menyelenggarakan pameran lukisan Salim di Jepang, yaitu di Galeri Blanch di Ikeda shi, Osaka, pada 2002 sebagai pameran lukisan karya pelukis Indonesia terakhir yang saya selenggarakan secara pribadi.

Salim saya kenal pertama kali melalui kulit buku Gema Tanah Air susunan H.B. Jassin (1948). Kemudian vinyet atau reproduksi lukisannya (semuanya hitam putih) sering saya lihat dalam majalah Zenith, Siasat, Indonesia, dll. Begitu pula tulisan tentang dia yang ditulis oleh Trisno Sumardjo, Hazil Tanzil, dan Sitor Situmorang dalam majalah-majalah tersebut.

Kesempatan menyaksikan lukisan aslinya terlaksana pada 1956, ketika Salim setelah berkunjung di Indonesia selama beberapa minggu memamerkan karya-karya yang dibuatnya selama di tanah air. Pameran ini diselenggarakan oleh BMKN di Balai Budaya, Jakarta. Dalam kesempatan itu, saya tidak hanya dapat menyaksikan lukisannya, melainkan juga bertemu dengan pelukis yang waktu itu usianya hampir setengah abad, sedangkan saya baru 18 tahun. Saya menulis tinjauan tentang pameran Salim itu dalam bahasa Sunda, dimuat dalam ruangan “Dangiang” yang saya asuh dalam surat kabar Siliwangi yang terbit di Jakarta.

Perkenalan itu memanjang, karena sejak 1972, setiap kali pergi ke Eropa saya selalu menemuinya di Paris. Mula-mula di kantornya di KBRI, karena untuk beberapa lama dia bekerja sebagai staf lokal KBRI. Namun, karena bekerja di kantor itu dirasakan mengurangi kesempatan baginya untuk melukis, kemudian dia berhenti bekerja dan memusatkan perhatian dan tenaganya untuk melukis. Sebelum bekerja di KBRI juga, dia hidup hanya sebagai pelukis. Dan pergulatan untuk bertahan sebagai pelukis di kota yang dianggap sebagai “Mekah”-nya kebudayaan Barat dan menjadi gudang pelukis itu, bukanlah perjuangan yang ringan. Salim sudah mengalaminya sejak masa awal kepelukisannya, ketika dia pada musim dingin harus mengharapkan mendapat semangkuk sup panas dari tetangga yang baik hati.

Apalagi karena Salim berkeyakinan bahwa galeri itu tak ada sangkut pautnya dengan kesenian, maka dia menolak untuk menjual lukisan di galeri-galeri. Memang kalau mengadakan pameran, dia memerlukan bahkan menerima peranan galeri. Dan pada kesempatan pameran demikian dia menjual lukisan yang dipamerkan di galeri itu, tetapi dia tidak pernah memajangkan karyanya di galeri untuk dijual.

Sikap seperti itu terasa janggal apalagi bagi pelukis yang hidup di kota besar seperti Paris. Galeri dianggap sudah menjadi bagian yang sah dari kehidupan seni rupa. Di Indonesia, pelukis yang juga bersikap demikian terhadap galeri adalah Nashar. Persamaan yang lain antara Nashar dan Salim adalah keduanya sama-sama keras kepala. Mereka tidak hanya tidak peduli atas pendapat orang lain terhadap diri dan karyanya, melainkan juga tidak peduli bahwa akibat sikapnya yang keras kepala itu maka hidupnya sendiri secara relatif menderita.

Namun, dengan demikian, keduanya melukis dengan menurutkan kata hati sendiri, dan ternyata berhasil mencapai mutu tinggi dengan gayanya yang khas. Salim ketika muda pernah belajar melukis pada pelukis kubistis terkemuka Fernand Leger (1881-1955). Akan tetapi, kalau kita perhatikan lukisan-lukisannya yang sekarang, meskipun masih ada bekas-bekas pengaruh kubisme dalam membentuk citra, berlainan sekali dengan kubisme gurunya itu. Entah karya-karyanya yang awal pada 1930-an, namun dari karya-karyanya yang pernah saya lihat (yaitu karya 1940-an sampai dengan 2000-an) saya tak melihat persamaan dengan karya Leger. Yang menonjol ialah bahwa Salim melukis dengan gaya yang ditemukannya pada suatu saat yang kadang-kadang dipertahankannya untuk beberapa lama, tetapi tidak ada gaya yang secara konstan dipertahankan. Baginya, melukis adalah tantangan yang harus dihadapi pelukis ketika berhadapan dengan kanvas kosong.

Pernah ada masanya lukisan-lukisannya merupakan komposisi warna-warna cerah yang membentuk sesuatu citra, seperti yang tampak dalam karya-karya plakat yang dipamerkannya di Balai Budaya tahun 1956. Antara lain yang kelihatan dalam “Nyanyian Alam” (1957, koleksi PDS H.B. Jassin) dan “Pemandangan yang Terkenang” (1957, koleksi Toeti Heraty/Galeri Cemara). Namun, pernah pula lukisan-lukisannya merupakan komposisi garis-garis meninggi dengan sayatan ke samping yang memberikan bentuk seperti pada “Telaga” (sekitar 1970, koleksi pribadi) dan “Catalugna” (1977, koleksi Toeti Heraty/Galeri Cemara). Pernah juga tampak lebih realistis terutama ketika melukis gadis-gadis Sete.

Namun kemudian, banyak lukisannya yang merupakan bidang-bidang warna yang lebar dengan motif yang sering muncul berulang dalam berbagai lukisan seperti burung, ikan, bunga, perempuan, perahu, dan lain-lain yang kadang-kadang memberikan kesan surealistis, karena ada ikan (berenang) di tengah jalan atau wajah gadis di tengah lautan, dan semacamnya. Akan tetapi, seingat saya tak ada lukisannya yang benar-benar abstrak. Selalu ada bentuk yang menghubungkannya dengan judulnya yang sering puitis. Banyak lukisannya yang diilhami sajak-sajak penyair dunia seperti Federico Garcia Lorca (1899-1936), Fernando Pessoa (1888-1935), François de Malherbe (1556-1628), dan Eustache Deschamps (1346-1406).

Salim juga banyak membuat lukisan yang berdasarkan Cerita Seribu Satu Malam. Dia memang pencinta sastra, terutama puisi. Pada masa Perang Dunia II, dia banyak membuat hiasan untuk berbagai buku karya sastrawan terkemuka Prancis dan dunia seperti Guy de Maupassant, Henri de Montherlant, Arthur Rimbaud, Guillaume Apollinaire, Paul Verlaine, Andre Gide, John Steinbeck, dan Baba Tahir, yang hasil penjualan bukunya digunakan untuk membiayai perlawanan terhadap pendudukan Nazi Jerman. Untuk membaca puisi dalam bahasa aslinya, Salim mempelajari bahasa yang bersangkutan. Maka selain dari bahasa Prancis, Belanda, Inggris, Jerman, Spanyol, dia juga menguasai bahasa Katalan, dan lain-lain. Pada tahun-tahun akhir hayatnya dia sedang belajar bahasa Arab. Pada lukisan-lukisan yang dibuat setelah tahun 2000 ia sering menandainya dengan huruf Arab, Sin, Lam, Mim. Hanya ketika menulis titimangsa dia mengira dalam bahasa Arab angka tahun disusun dari kanan ke kiri juga!

**

KETIKA saya menyusun buku mengenai dia (kemudian terbit dengan judul Salim Pelukis Indonesia di Paris (Pustaka Jaya, Jakarta, 2002 dalam edisi bahasa Indonesia dan bahasa Prancis), ada beberapa hal yang tak mau diketahui oleh umum. Yang pertama nama orang yang mengangkatnya sebagai anak dan menyekolahkannya di Batavia dan kemudian membawanya ke negeri Belanda (sekitar 1919) dan menyekolahkannya di Amsterdam sampai Gymnasium (SMA), yaitu suami Jerman dengan istri Belanda.

Tampaknya terjadi pertengkaran antara Salim dan orang tua angkatnya ketika dia tidak lulus ujian keluar Gymnasium. Dia agaknya tidak mau mengulang ujian lagi tahun berikutnya. Dia pergi ke Paris untuk belajar melukis. Ketika orang tua angkatnya meninggal, warisannya jatuh kepada Salim (karena mereka tidak punya anak), tetapi oleh Salim seluruhnya diserahkan kepada rumah yatim piatu, padahal ketika itu hidupnya sebagai pelukis masih senen-kemis.

Yang kedua, pernikahannya yang pertama. Dia pernah menceritakan hal itu ketika diinterviu Henri Chambert-Loir untuk buku Rantau dan Renungan I, tetapi setelah interviu itu ditulis oleh Henri, dan diperlihatkan kepada Salim, dia minta kepada Henri agar bagian itu dibuang. Juga rekaman interviu itu harus dihapus.

Kepada saya juga dia pada mulanya selalu menyembunyikan Helene, wanita yang mendampinginya sampai meninggal. Setiap kali saya datang berkunjung, Salim hanya sendirian. Sampai pada suatu waktu ketika saya berkunjung lagi ke apartemennya bersama istri saya dan Jim Adhilimas, sebelum pulang saya mengajak Salim untuk makan di restoran yang letaknya tak jauh dari situ. Karena restoran itu baru buka pukul 19.00, kami terus mengobrol bersama Salim.

Kira-kira pukul 18.00 lewat, seorang wanita masuk ke apartemen itu. Dialah Helene istri Salim. Rupanya selama ini kalau saya berkunjung, Helene selalu disuruh keluar supaya tidak bertemu dengan saya. Biasanya saya pulang pukul 17.00, paling tidak sebelum pukul 18.00. Maka kami ajak Helene makan bersama. Ketika saya sudah pulang (ketika itu masih tinggal di Jepang), saya menerima surat dari Salim yang menerangkan bahwa selama ini dia tidak mau mempertemukan Helene dengan saya karena pernah ketika sedang berjalan-jalan dengan Helene bertemu dengan tiga diplomat Indonesia yang memberikan komentar bahwa “istri Pak Salim kulitnya seperti kulit babi”.

Mendengar itu Salim marah dan akan memukul diplomat itu yang untung lekas melarikan diri. Sejak itu dia “menyembunyikan” istrinya terhadap orang Indonesia. Dalam suratnya, dia menyatakan kegembiraannya bahwa akhirnya saya bertemu dengan Helene. Sejak itu kalau saya berkunjung ke apartemennya, Helene tidak lagi disuruh keluar.

Salim tidak mempunyai anak, baik dari istri pertama maupun dari Helene. Selain itu, dia tidak punya saudara. Ketika pada 1931 dia pulang sebentar (sampai 1935) ke Indonesia untuk membantu Sutan Sjahrir dan Moh. Hatta dalam kegiatan partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), waktu liburan dia pergi ke Sumatra Barat menemui keluarga Tanzil (orang tua Djohan Sjahrusjah dan Hazil Tanzil yang aktif dalam PNI Baru). Dia tidak berliburan ke Sumatra Timur tempat dia dilahirkan, hal itu menunjukkan bahwa dia sudah tidak punya lagi keluarga di sana.

Sebagai pelukis di Paris, Salim tidak termasuk pelukis besar. Dia sendiri membagi pelukis yang hidup di Paris yang jumlahnya puluhan ribu orang itu ke dalam kelompok pelukis besar (grands maitres seperti Picasso, Mattisse, Braque, dan beberapa orang lagi), pelukis penting (maitres, yang jumlahnya puluhan), pelukis dikenal (petit maitres) dan pelukis hampir dikenal yang jumlahnya beberapa ratus orang. Salim sendiri menempatkan dirinya dalam kelompok itu. Selain itu, ada puluhan ribu pelukis yang belum masuk hitungan.

Sementara di Indonesia, Salim jelas lebih tua daripada Affandi, Hendra Gunawan, S. Sudjojono, dan angkatan Persagi, tetapi karena dia selalu hidup di Paris, dan jarang sekali mengadakan pameran di tanah air, namanya kurang diketahui para kolektor. Meskipun sebagian karyanya ada yang dikoleksi orang di Indonesia, kebanyakan berada di Eropa. Bagi mereka yang hendak menyusun sejarah seni rupa Indonesia, untuk menulis tentang Salim lebih teliti, perlu menelusuri lukisan-lukisannya yang tersimpan di tangan kolektor di Belanda, Prancis, Belgia, dan negara-negara Eropa lain. Niscaya hal itu bukan pekerjaan yang mudah.***

* Ajip Rosidi, budayawan.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/12/pelukis-salim-1908-2008.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi