Ajip Rosidi*
Pikiran Rakyat,13 Des 2008
PADA 2 September 2008 dibuka pameran lukisan Salim di Galeri Nasional, Jakarta, sebagai penghormatan kepada pelukis kita yang seumur hidupnya di Eropa, terutama Paris yang bertepatan dengan usianya genap 100 tahun pada 3 September. Dia dilahirkan di suatu daerah di Sumatra Timur, dekat Medan, pada 3 September 1908. Tidak sampai sebulan setengah kemudian, 13 Oktober 2008, Salim meninggal dunia di Paris.
Meskipun jarang orang Indonesia yang usianya mencapai seratus tahun, kematian Salim tidak banyak mendapat tempat dalam pers Indonesia. Sebagai pelukis, dia kurang dikenal di Indonesia, mungkin karena dia hampir seumur hidup tinggal di Eropa. Sejak 1951 dia mengadakan pameran karyanya di tanah air hanya tujuh kali, 1951 di Sticusa Jakarta, 1956 di Balai Budaya Jakarta dan ITB Bandung, 1974 di TIM Jakarta, 1990 di TIM Jakarta dan ITB Bandung, 2001 di Bali, 2003 di Galeri Cemara Jakarta, bertepatan dengan terbitnya buku Salim Pelukis Indonesia di Paris yang saya tulis, dan tahun 2008 di Galeri Nasional Jakarta. Salim sendiri hanya hadir dalam dua pameran, yaitu pameran tahun 1956 dan 1990. Saya pribadi pernah menyelenggarakan pameran lukisan Salim di Jepang, yaitu di Galeri Blanch di Ikeda shi, Osaka, pada 2002 sebagai pameran lukisan karya pelukis Indonesia terakhir yang saya selenggarakan secara pribadi.
Salim saya kenal pertama kali melalui kulit buku Gema Tanah Air susunan H.B. Jassin (1948). Kemudian vinyet atau reproduksi lukisannya (semuanya hitam putih) sering saya lihat dalam majalah Zenith, Siasat, Indonesia, dll. Begitu pula tulisan tentang dia yang ditulis oleh Trisno Sumardjo, Hazil Tanzil, dan Sitor Situmorang dalam majalah-majalah tersebut.
Kesempatan menyaksikan lukisan aslinya terlaksana pada 1956, ketika Salim setelah berkunjung di Indonesia selama beberapa minggu memamerkan karya-karya yang dibuatnya selama di tanah air. Pameran ini diselenggarakan oleh BMKN di Balai Budaya, Jakarta. Dalam kesempatan itu, saya tidak hanya dapat menyaksikan lukisannya, melainkan juga bertemu dengan pelukis yang waktu itu usianya hampir setengah abad, sedangkan saya baru 18 tahun. Saya menulis tinjauan tentang pameran Salim itu dalam bahasa Sunda, dimuat dalam ruangan “Dangiang” yang saya asuh dalam surat kabar Siliwangi yang terbit di Jakarta.
Perkenalan itu memanjang, karena sejak 1972, setiap kali pergi ke Eropa saya selalu menemuinya di Paris. Mula-mula di kantornya di KBRI, karena untuk beberapa lama dia bekerja sebagai staf lokal KBRI. Namun, karena bekerja di kantor itu dirasakan mengurangi kesempatan baginya untuk melukis, kemudian dia berhenti bekerja dan memusatkan perhatian dan tenaganya untuk melukis. Sebelum bekerja di KBRI juga, dia hidup hanya sebagai pelukis. Dan pergulatan untuk bertahan sebagai pelukis di kota yang dianggap sebagai “Mekah”-nya kebudayaan Barat dan menjadi gudang pelukis itu, bukanlah perjuangan yang ringan. Salim sudah mengalaminya sejak masa awal kepelukisannya, ketika dia pada musim dingin harus mengharapkan mendapat semangkuk sup panas dari tetangga yang baik hati.
Apalagi karena Salim berkeyakinan bahwa galeri itu tak ada sangkut pautnya dengan kesenian, maka dia menolak untuk menjual lukisan di galeri-galeri. Memang kalau mengadakan pameran, dia memerlukan bahkan menerima peranan galeri. Dan pada kesempatan pameran demikian dia menjual lukisan yang dipamerkan di galeri itu, tetapi dia tidak pernah memajangkan karyanya di galeri untuk dijual.
Sikap seperti itu terasa janggal apalagi bagi pelukis yang hidup di kota besar seperti Paris. Galeri dianggap sudah menjadi bagian yang sah dari kehidupan seni rupa. Di Indonesia, pelukis yang juga bersikap demikian terhadap galeri adalah Nashar. Persamaan yang lain antara Nashar dan Salim adalah keduanya sama-sama keras kepala. Mereka tidak hanya tidak peduli atas pendapat orang lain terhadap diri dan karyanya, melainkan juga tidak peduli bahwa akibat sikapnya yang keras kepala itu maka hidupnya sendiri secara relatif menderita.
Namun, dengan demikian, keduanya melukis dengan menurutkan kata hati sendiri, dan ternyata berhasil mencapai mutu tinggi dengan gayanya yang khas. Salim ketika muda pernah belajar melukis pada pelukis kubistis terkemuka Fernand Leger (1881-1955). Akan tetapi, kalau kita perhatikan lukisan-lukisannya yang sekarang, meskipun masih ada bekas-bekas pengaruh kubisme dalam membentuk citra, berlainan sekali dengan kubisme gurunya itu. Entah karya-karyanya yang awal pada 1930-an, namun dari karya-karyanya yang pernah saya lihat (yaitu karya 1940-an sampai dengan 2000-an) saya tak melihat persamaan dengan karya Leger. Yang menonjol ialah bahwa Salim melukis dengan gaya yang ditemukannya pada suatu saat yang kadang-kadang dipertahankannya untuk beberapa lama, tetapi tidak ada gaya yang secara konstan dipertahankan. Baginya, melukis adalah tantangan yang harus dihadapi pelukis ketika berhadapan dengan kanvas kosong.
Pernah ada masanya lukisan-lukisannya merupakan komposisi warna-warna cerah yang membentuk sesuatu citra, seperti yang tampak dalam karya-karya plakat yang dipamerkannya di Balai Budaya tahun 1956. Antara lain yang kelihatan dalam “Nyanyian Alam” (1957, koleksi PDS H.B. Jassin) dan “Pemandangan yang Terkenang” (1957, koleksi Toeti Heraty/Galeri Cemara). Namun, pernah pula lukisan-lukisannya merupakan komposisi garis-garis meninggi dengan sayatan ke samping yang memberikan bentuk seperti pada “Telaga” (sekitar 1970, koleksi pribadi) dan “Catalugna” (1977, koleksi Toeti Heraty/Galeri Cemara). Pernah juga tampak lebih realistis terutama ketika melukis gadis-gadis Sete.
Namun kemudian, banyak lukisannya yang merupakan bidang-bidang warna yang lebar dengan motif yang sering muncul berulang dalam berbagai lukisan seperti burung, ikan, bunga, perempuan, perahu, dan lain-lain yang kadang-kadang memberikan kesan surealistis, karena ada ikan (berenang) di tengah jalan atau wajah gadis di tengah lautan, dan semacamnya. Akan tetapi, seingat saya tak ada lukisannya yang benar-benar abstrak. Selalu ada bentuk yang menghubungkannya dengan judulnya yang sering puitis. Banyak lukisannya yang diilhami sajak-sajak penyair dunia seperti Federico Garcia Lorca (1899-1936), Fernando Pessoa (1888-1935), François de Malherbe (1556-1628), dan Eustache Deschamps (1346-1406).
Salim juga banyak membuat lukisan yang berdasarkan Cerita Seribu Satu Malam. Dia memang pencinta sastra, terutama puisi. Pada masa Perang Dunia II, dia banyak membuat hiasan untuk berbagai buku karya sastrawan terkemuka Prancis dan dunia seperti Guy de Maupassant, Henri de Montherlant, Arthur Rimbaud, Guillaume Apollinaire, Paul Verlaine, Andre Gide, John Steinbeck, dan Baba Tahir, yang hasil penjualan bukunya digunakan untuk membiayai perlawanan terhadap pendudukan Nazi Jerman. Untuk membaca puisi dalam bahasa aslinya, Salim mempelajari bahasa yang bersangkutan. Maka selain dari bahasa Prancis, Belanda, Inggris, Jerman, Spanyol, dia juga menguasai bahasa Katalan, dan lain-lain. Pada tahun-tahun akhir hayatnya dia sedang belajar bahasa Arab. Pada lukisan-lukisan yang dibuat setelah tahun 2000 ia sering menandainya dengan huruf Arab, Sin, Lam, Mim. Hanya ketika menulis titimangsa dia mengira dalam bahasa Arab angka tahun disusun dari kanan ke kiri juga!
**
KETIKA saya menyusun buku mengenai dia (kemudian terbit dengan judul Salim Pelukis Indonesia di Paris (Pustaka Jaya, Jakarta, 2002 dalam edisi bahasa Indonesia dan bahasa Prancis), ada beberapa hal yang tak mau diketahui oleh umum. Yang pertama nama orang yang mengangkatnya sebagai anak dan menyekolahkannya di Batavia dan kemudian membawanya ke negeri Belanda (sekitar 1919) dan menyekolahkannya di Amsterdam sampai Gymnasium (SMA), yaitu suami Jerman dengan istri Belanda.
Tampaknya terjadi pertengkaran antara Salim dan orang tua angkatnya ketika dia tidak lulus ujian keluar Gymnasium. Dia agaknya tidak mau mengulang ujian lagi tahun berikutnya. Dia pergi ke Paris untuk belajar melukis. Ketika orang tua angkatnya meninggal, warisannya jatuh kepada Salim (karena mereka tidak punya anak), tetapi oleh Salim seluruhnya diserahkan kepada rumah yatim piatu, padahal ketika itu hidupnya sebagai pelukis masih senen-kemis.
Yang kedua, pernikahannya yang pertama. Dia pernah menceritakan hal itu ketika diinterviu Henri Chambert-Loir untuk buku Rantau dan Renungan I, tetapi setelah interviu itu ditulis oleh Henri, dan diperlihatkan kepada Salim, dia minta kepada Henri agar bagian itu dibuang. Juga rekaman interviu itu harus dihapus.
Kepada saya juga dia pada mulanya selalu menyembunyikan Helene, wanita yang mendampinginya sampai meninggal. Setiap kali saya datang berkunjung, Salim hanya sendirian. Sampai pada suatu waktu ketika saya berkunjung lagi ke apartemennya bersama istri saya dan Jim Adhilimas, sebelum pulang saya mengajak Salim untuk makan di restoran yang letaknya tak jauh dari situ. Karena restoran itu baru buka pukul 19.00, kami terus mengobrol bersama Salim.
Kira-kira pukul 18.00 lewat, seorang wanita masuk ke apartemen itu. Dialah Helene istri Salim. Rupanya selama ini kalau saya berkunjung, Helene selalu disuruh keluar supaya tidak bertemu dengan saya. Biasanya saya pulang pukul 17.00, paling tidak sebelum pukul 18.00. Maka kami ajak Helene makan bersama. Ketika saya sudah pulang (ketika itu masih tinggal di Jepang), saya menerima surat dari Salim yang menerangkan bahwa selama ini dia tidak mau mempertemukan Helene dengan saya karena pernah ketika sedang berjalan-jalan dengan Helene bertemu dengan tiga diplomat Indonesia yang memberikan komentar bahwa “istri Pak Salim kulitnya seperti kulit babi”.
Mendengar itu Salim marah dan akan memukul diplomat itu yang untung lekas melarikan diri. Sejak itu dia “menyembunyikan” istrinya terhadap orang Indonesia. Dalam suratnya, dia menyatakan kegembiraannya bahwa akhirnya saya bertemu dengan Helene. Sejak itu kalau saya berkunjung ke apartemennya, Helene tidak lagi disuruh keluar.
Salim tidak mempunyai anak, baik dari istri pertama maupun dari Helene. Selain itu, dia tidak punya saudara. Ketika pada 1931 dia pulang sebentar (sampai 1935) ke Indonesia untuk membantu Sutan Sjahrir dan Moh. Hatta dalam kegiatan partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), waktu liburan dia pergi ke Sumatra Barat menemui keluarga Tanzil (orang tua Djohan Sjahrusjah dan Hazil Tanzil yang aktif dalam PNI Baru). Dia tidak berliburan ke Sumatra Timur tempat dia dilahirkan, hal itu menunjukkan bahwa dia sudah tidak punya lagi keluarga di sana.
Sebagai pelukis di Paris, Salim tidak termasuk pelukis besar. Dia sendiri membagi pelukis yang hidup di Paris yang jumlahnya puluhan ribu orang itu ke dalam kelompok pelukis besar (grands maitres seperti Picasso, Mattisse, Braque, dan beberapa orang lagi), pelukis penting (maitres, yang jumlahnya puluhan), pelukis dikenal (petit maitres) dan pelukis hampir dikenal yang jumlahnya beberapa ratus orang. Salim sendiri menempatkan dirinya dalam kelompok itu. Selain itu, ada puluhan ribu pelukis yang belum masuk hitungan.
Sementara di Indonesia, Salim jelas lebih tua daripada Affandi, Hendra Gunawan, S. Sudjojono, dan angkatan Persagi, tetapi karena dia selalu hidup di Paris, dan jarang sekali mengadakan pameran di tanah air, namanya kurang diketahui para kolektor. Meskipun sebagian karyanya ada yang dikoleksi orang di Indonesia, kebanyakan berada di Eropa. Bagi mereka yang hendak menyusun sejarah seni rupa Indonesia, untuk menulis tentang Salim lebih teliti, perlu menelusuri lukisan-lukisannya yang tersimpan di tangan kolektor di Belanda, Prancis, Belgia, dan negara-negara Eropa lain. Niscaya hal itu bukan pekerjaan yang mudah.***
* Ajip Rosidi, budayawan.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/12/pelukis-salim-1908-2008.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar