I Nyoman Darma Putra*
Bali Post, 21 Des 2008
DALAM setengah abad terakhir, tulisan tentang Bali, baik yang terbit di media massa maupun dalam bentuk buku, didomininasi tiga topik utama. Ketiga topik tersebut adalah masalah politik, masalah budaya-adat, dan dampak pariwisata.
Tema lain seperti lingkungan, kesehatan, dan gender juga muncul tetapi dalam penggarapannya sering dikaitkan dengan ketiga topik di atas. Misalnya, kajian tentang lingkungan dan AIDS biasanya dilihat sebagai dampak pariwisata. Situasi sosial politik mempengaruhi timbul-tenggelamnya ketiga topik dominan itu.
Masalah politik menjadi topik dominan tulisan-tulisan yang muncul pada zaman Orde Lama 1960-an. Euforia politik zaman Presiden Sukarno dan konflik antara aktivis Lekra (pro-PKI) dan Lembaga Kebudayaan Nasional alias LKN (pro-PNI) membuat banyak puisi, cerpen dan drama ditulis atau dipentaskan untuk propaganda politik.
Cerpen yang muncul waktu itu misalnya “Cintanya untuk Api Revolusi” karya IGB Arthanegara atau puisi “Anak Marhaen” karya Ngurah Parsua. Lagu-lagu janger diciptakan dengan pesan “ganyang Malaysia” atau membakar spirit membebaskan Irian Barat.
Setelah Sukarno jatuh, Presiden Suharto berkuasa. Regimnya menerapkan strategi depolitisasi. Tidak dibenarkan lagi menjadikan sastra dan seni sebagai alat propaganda politik. Perwujudan stabilitas nasional dan pembangunan ekonomi sering dijadikan alasan untuk mengekang kebebasan berekspresi. Buktinya, waktu itu novel yang hendak diterbitkan harus mendapat izin Komdak (Komanda Daerah Kepolisian).
Adat dan Pariwisata
Ketatnya kontrol pemerintah membuat tumbuhnya sikap self-cencorship atau swasensor di kalangan budayawan, intelektual. Daripada menulis soal-soal politik dengan risiko berurusan dengan aparat keamanan, mereka lebih banyak menggali masalah budaya atau kasus adat dan dampak pariwisata yang “jauh” dari politik dan kritik atas Orde Baru.
Cerpen Rasta Sindhu “Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar” yang bertema konflik kasta adalah contohnya. Cerpen ini ditetapkan sebagai terbaik Horison tahun 1969. Rasta Sindhu, wartawan dan cerpenis terbaik Bali waktu itu, juga menulis cerita berlatar pariwisata, misalnya “Sahabatku Hans Schmitter”, kisah simpati tentang hippies.
Tahun 1970-an, Putu Wijaya menulis dua novel masing-masing “Bila Malam Bertambah Malam” yang mengangkat masalah kasta, sedangkan “Tiba-tiba Malam” (TM) tampil dengan topik adat dan dampak pariwisata. Tokoh David dalam novel “Tiba-tiba Malam” menanamkan nilai Barat pada Subali dan mengajak tokoh Bali ini untuk memprotes adat yang ketinggalan zaman. Akibat ulahnya yang tidak pernah aktif di desa, Subali dijatuhi sanksi kasepekang.
Novel “Leak Ngakak” (1978) karya Putra Mada adalah contoh lain novel yang a-politis. Novel ini melukiskan kisah mahasiswi Australia yang datang ke Bali untuk belajar black magic. Ketika diangkat ke layar perak, film “Leak Ngakak” ini laris ditonton di seluruh pelosok Bali. Pemerintah tak perlu repot menyensornya karena kisahnya tak berurusan dengan topik politik.
Contoh sastra yang mengangkat tema tentang kasus adat dan dampak pariwisata secara tersendiri atau gabungan keduanya juga bisa dibaca dari karya-karya penulis produktif Bali lainnya seperti Sunaryono Basuki, Gde Aryantha Soethama dan Oka Rusmini. Aryantha Soethama, misalnya, menulis novelet “Suzan” (1988), kemudian diterbitkan dengan judul “Wanita Amerika Dibunuh di Ubud”, hadir dengan latar pariwisata dan wacana adat boleh tidaknya orang asing yang mati di Bali dikremasi secara Hindu.
Buku non-fiksi yang terbit pada zaman jaya-jayanya Orde Baru juga berurusan tentang adat. “Menggugat Bali” (1986) karya Putu Setia menyinggung pengaruh politik tetapi secara umum buku ini membahas perjalanan seni, budaya dan adat Bali dari waktu ke waktu. Contohnya lain, buku karya duet Ketut Wiana dan Raka Santeri berjudul “Kasta dalam Hindu, Kesalahpahaman Beradab-abad” (1991), jauh dari politik.
Zaman kekuasaan Suharto, buku politik tentang Bali nyaris tidak ada, kecuali yang terbit di luar negeri seperti “The Dark Side of Paradise, Political Violence in Bali” (1995) karya Geoffrey Robinson, yang beberapa waktu lalu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Sisi Gelap Pulau Dewata Sejarah Kekerasan Politik”.
Politik Muncul Lagi
Topik politik yang sempat “tenggelam” zaman Orde Baru kembali menjadi sumber inspirasi sejak reformasi. Sastrawan atau intelektual lainnya yang dari dulu menahan diri menulis ihwal politik, sejak reformasi mulai mengangkat masalah isu sosial dan politik.
Buku-buku nonfiksi tentang politik mulai banyak muncul, seperti yang ditulis Ngurah Suryawan, termasuk buku “Bali, Narasi dalam Kuasa: Politik dan Kekerasan di Bali (2005) dan “Sandyakalaning Tanah Dewata: Suara Perlawanan dan Pelenyapan” (2005). Pun dengan hadirnya terjemahan “The Dark Side of Paradise”. Jika Orde Baru masih berkuasa, buku-buku seperti ini tidak mungkin bisa terbit.
Novel “Dunia Kampus yang Lain” (2007) karya IGB Arthanegara yang mengisahkan romantika mahasiswa Indonesia tugas belajar di Cina tahun 1960-an baru “berani” terbit setelah jatuhnya Orde Baru. Walaupun novel ini berkisah tentang nasionalisme dalam konteks anti-komunisme, sulit membayangkan apa jadinya novel ini kalau terbit pada Orde Baru: entah dilarang atau tidak.
Buku Widya Pataka
Tahun 2008, Perpustakaan Daerah Bali dalam kerangka anugerah Widya Pataka menerbitkan 10 buku karya penulis Bali, lima di antaranya dibahas dalam diskusi di Undiksha Singaraja, Senin (15/12) lalu. Kelima buku yang dibahas itu mencerminkan hadirnya tiga tema dominan yaitu politik, masalah budaya-adat, dan dampak pariwisata.
Buku “Bali dalam Kuasa Politik” karya I Nyoman Darma Putra dan “Elit Lokal Bali” karangan AA Gede Oka Wisnumurti (tidak dibedah) dari judulnya saja sudah mencerminkan pembahasan politik lokal Bali. Demikina juga buku kumpulan cerpen “Petarung Jambul” karya Gde Artawan berisi cerpen-cerpen yang mengambil tema politik. Cerpen “Luka”, misalnya, melukiskan rintihan pohon-pohon yang terluka karena batang-batangnya diikat kawat dan dipaku oleh para caleg untuk memasang spanduk kampanye. Perilaku politikus dikritik pedas dalam cerpen ini.
Kecenderungan Gde Artawan menulis cerpen bergaya absurd mengingatkan kita akan karya-karya Iwan Simatupang dan Danarto. Absurd atau surealis adalah gaya yang sah dalam penulisan tetapi sejarah sastra membuktikan peminat karya realis jauh lebih luas daripada yang absurd sehingga kelak Artawan mungkin tertarik menulis kisah-kisah realis tanpa tertutup untuk menggunakan simbol atau metafora demi estetika.
Buku “Kembali ke Bali” karya I Wayan Artika juga berbicara tentang politik. Di samping itu, ulasannya terhadap kehidupan sosial budaya Bali dilakukan dengan sangat kritis ditunjang kerangka pikir dan konsep yang jelas dan kuat. Artika bisa dikatakan salah satu dari sedikit penulis Bali yang sangat berbakat. Tulisannya jernih, jelas, dan dalam.
Hanya saja sikap Artika yang tergopoh-gopoh dan kurang diplomatis membuat pendapat-pendapatnya dalam buku ini cepat kedaluwarsa atau mengandung kontradiksi internal. Misalnya, di satu tulisan dia menyebutkan seniman Bali abai akan kehadiran new media (televisi, VCD, internet, dll). Dalam tulisan lain dia menyebutkan seniman Bali cekatan memanfaatkan media baru ini seperti aktivitas geguritan interaktif di radio/tv. Kalau mau sabar, kontradiksi internal seperti ini tak perlu muncul dalam buku ini.
Drama-drama karya karya Gus Martin dalam “Peti” dan novel “Hanya Nestapa” ditulis dengan latar belakang industri pariwisata. Drama “Peti” misalnya, melukiskan romantika kehidupan perkawinan seorang penari Indonesia dengan pelukis Australia yang semula sempat retak tetapi akhirnya happy ending. Tuan Daniel, pelukis Australia, setelah rukun mengajak istrinya Rumitni untuk berlibur ke Australia. Drama pendek ini menarik karena jenaka dan dilukiskan penuh dengan tegangan, konflik dan trik surprise.
Kejenakaan Gus Martin yang sehari-hari bekerja sebagai kartunis Bali Post tercermin kuat dalam hampir semua naskah drama yang termuat dalam buku “Peti” ini. Namun, berbeda dari kartun-kartunnya yang menyoroti dinamika sosial budaya Bali, drama-drama Gus Martin jauh dari minat menggarap tema yang secara spesifik berkaitan dengan budaya Bali. Justru di sanalah letak kelebihannya karena drama ini memiliki potensi audiens yang luas, tidak ada gap budaya di mana dan kapan pun dia dipentaskan.
Kalau drama “Peti” berakhir dengan happy ending, novel “Hanya Nestapa” karya Sunaryono Basuki berakhir dengan sad ending. Tokoh utama novel adalah pengusaha biro perjalanan yang sukses tetapi dua kali dia diterjang sial: pacar yang hendak dinikahinya meninggal disikat bom tahun 2005. Setelah dia berusaha mencari lagi, nyawa pacar keduanya pun terenggut dalam serangan bom 2005. Perkawinan tidak terjadi, yang tersisa “hanya nestapa”.
Seperti dikritik oleh Kadek Sonya Piscayanti di Bali Post (7/12), novel ini tidak menyediakan ruang yang cukup untuk menggali konflik kejiwaan dan wacana konspirasi di balik bom Bali yang sempat diperkenalkan penulisnya di awal-awal cerita. Meski demikian, “Hanya Nestapa” menyumbangkan catatan dalam bentuk cerita tentang kepedihan jiwa yang dialami warga Bali secara personal akibat serangan terorisme.
Bom Bali tidak saja menghancurkan bisnis pariwisata tetapi membuat hidup banyak warga didera nestapa. Jika dibaca dari sini, novel ini bisa membangun kebencian kepada pelaku terorisme, dan melupakan dugaan teori konspirasi (yang sempat diungkit sekadarnya dalam novel ini) bahwa ledakan bom Bali itu adalah nuklir kecil yang “diragukan” hasil kerjaan oknum teroris dalam negeri.
Supercepat dan Radikal
Apa pun, penulis yang karyanya diterbitkan dalam kerangka anugerah Widya Pataka telah mencoba tidak saja mencatat apa yang terjadi tetapi menawarkan perspektifnya terhadap perubahan supercepat dan radikal di Bali dewasa ini.
Tapi, sumbangan pemikiran yang diberikan para penulis selama ini harus dikatakan masih kecil dibandingkan dengan banyaknya persoalan yang muncul. Masih banyak yang perlu ditulis dan diterbitkan sebagai buku. Tampaknya, ketiga tema besar, masalah politik, budaya-adat, dan dampak pariwisata masih akan mendominasi isi buku-buku tentang Bali!
*) Dosen Faksas Unud. Tulisan ini merupakan revisi dari makalah yang disampaikan dalam bedah buku di Fakultas Bahasa dan Seni, Undiksha, Singaraja.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/12/pustaka-tiga-topik-dominan-buku-tentang.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar