(sekilas ingatan pada kebakaran kapal Mustika Kencana 2)
Muhammad Zuriat Fadil
http://sastra-indonesia.com/
hasbunallah wa nikmal wakiil,,,,, ni’mal mwla wa ni’ma natsir
Maha Suci Allah pemilik segala nama, penguasa alam semesta. Maha Kuasa Dia yang dengan kasihNya mengutus para jiwa suci ke dunia, mengutus Rasulullah Muhammad Sholllallahu alaihi wa sallam dengan yang akhlak mulia lagi terpuji menjadi penebar syafaat bagi seluruh makhluk.
Ini catatan saya tulis sebagai ujud syukur saya atas sebuah pengalaman yang baru saja saya alami, ini cuma pengalaman pribadi saya saja. Semoga pembaca yang budiman bisa mengambil pelajaran darinya, jikapun tidak ada kemanfaatan apa-apa ya anggap saja saya sedang melega-legakan diri karena telah lolos dari sebuah kejadian yang tak disangka-sangka kedatangannya.
Kisah ini baiknyalah saya mulai pada hari Ahad tertanggal 3 Juli 2011.
Saya sedang berada pada sebuah kapal yang akan membawa saya dan ayah saya menuju ke kampung halaman kami; Makassar. Hari itu, tidak berapa lama selepas sholat maghrib, kapal bertolak dari pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Cuaca sangat baik untuk pelayaran, penumpang kapal ferry ‘Mustika Kencana 2′ cukup lengang. Tempat mobil hanya penuh di lantai paling bawah, sedangkan lantai kedua penyimpanan mobil hanya berisi dua atau tiga mobil sejauh pengamatan saya. Ini berarti, kami tidak akan terlalu berebutan makanan atau air tawar untuk minum dalam kapal.
Hari Senin tanggal 4 Juli, subuh.
saya dibangunkan oleh ayah saya untuk segra melaksanakan sholat subuh di musholla. Saya liat jam di hape, masih sekitar pukul 04.15. ah, bagus juga saya memang berencana untuk keluar sebentar ke dek sebelum fajar karena ingin memotret sunrise yang selalu indah apalagi bila dipandang dari lautan. Setelah saya sholat subuh, saya beranjak segra naik ke dek kapal, tapi ada suasana yang agak rusuh, saya liat para awak kapal berlarian ke bawah dan membangunkan teman-temannya. Karena penasaran saya ikut ke bawah, ruangan sedikit dipenuhi asap.
Saya mulai berpikir kemungkinan adanya kebakaran kecil. di negri yang kapal-kapalnya kebanyakan berasal dari bekas pakai negara lain (yang sebenarnya aneh juga, karena ini kan negara kepulauan dan dipersatukan oleh lautan) kasus semacam ini bukan hal yang mengejutkan amat jadi saya pun kembali menuju ke dek di atas. Saya mulai mempersiapkan kamera hape, semburat jingga di seblah timur mulai nampak, namun ternyata masih tertutup oleh sedikit awan mendung, pertanda badai akan datang? entahlah.
Namun perhatian saya teralihkan pada asap hitam yang keluar dari jendela di bawah, berarti kebakaran belum dapat diatasi. Sementara itu, naluri perut saya yang mulai keroncongan membimbing langkah kaki menuju dapur. Saya liat para koki masih memasak, sayapun kembali tenang (karena jam makan sudah akan tiba mungkin)
Tapi tiba-tiba seorang awak kapal berlari menuju dapur, memberitahukan sesuatu yang membuat aktivitas memasak para koki (dan perut saya pun kecewa berat!) saat awak kapal itu melihat saya dia bilang “pak, maaf ini di bawah ada kebakaran tolong siap-siap ya” saya pun segra menuju ke ruang kelas ekonomi tempat ayah saya masih tertidur, saat saya melalui tangga asap sudah mulai memenuhi ruangan dan lorong-lorong. Tepat ketika saya baru saja membangunkan ayah saya, tiba-tiba ada pengumuman agar semua penumpang berkumpul di dek. Baju pelampung dibagikan. Penumpang panik. Keadaan kacau. Ayah saya : “Aqua yang kemarin dibeli mana?” Lalu kami semua berlari ke atas. Di dek, saya masih sempat melihat sunrise yang saya nanti-nantikan itu, indah sekali. Tapi kali ini, dia berselimutkan asap hitam!
Asap semakin pekat, kami diinstruksikan untuk segra menaiki sekoci agar sekoci bisa segra diturunkan, iya kapal sekoci hanya diturunkan pabila ada sekitar lima orang di atasnya karena bila kurang dia akan terbalik di laut. Kami pun berebut naik ke sekoci, saya dan ayah saya segra berlari menuju sekoci yang masih agak sepi isinya. Masih banyak sekoci berjejer sebenarnya, namun sisi itu sudah tertutup asap, akhirnya semua penumpang yang tersisa berebut naik ke sekoci kami. Makin lama-makin berat, makin penuh, gaduh dan tambah sesak, sekoci malah jadi seperti ayunan besar berayun-ayun tidak karuan. Sekoci yang diseblah kami mulai diturunkan, suaranya makin membuat suasana makin panik “rrrrr……zzzrrrrtttttt…..” ditambah suara teriakan, jeritan ibu-ibu yang mencari anaknya dan para sopir yang sepertinya belum sepenuhnya sadar dari mabuknya sejak dangdutan semalam. Sekoci itu berhasil turun ke laut, lalu kami menunggu giliran kami. Semua terdiam, menunggu.
Beberapa saat kami menunggu, namun sekoci tidak beranjak diturunkan tiba-tiba ada yang berteriak dari bawah
“Woooiii…!!! sekoci yang ini ndak bisa diturunkaaaaaan” —-WHAT?????!!!!!
Sementara skoci yang satu lagi mulai diturunkan ternyata sekoci kami tidak jadi diturunkan, kamipun berhamburan keluar dari sekoci. Tas laptop dan tas baju saya lempar keluar dari sekoci untuk kemudian saya pun melompat keluar. Saya masih menggandeng dua tas, ayah saya menggandeng ransel besarnya, kami berlari melewati sekoci yang segra akan diturunkan itu, ternyata…. hanya satu tali yang bisa diturunkan sedangkan tali satunya macet. Posisi sekoci menjadi miring, moncongnya mengarah ke atas, saya tidak sempat sempat melihat kejadian selanjutnya hanya belakangan saya dengar kebanyakan penumpang sekoci tersebut langsung terjun bebas ke laut.
Saya dan ayah saya berlari ke dek bawah lagi, asap semakin tebal dengan bau gak karuan. Nafas sesak, mata berair, kepala terasa berat. Saya lihat ke bawah, orang-orang sudah pada terjun ke laut, laki-laki, perempuan, tua muda bahkan anak kecil. lifecraft mulai dilempar ke laut, ini adalah alternatif setelah sekoci, lifecraft adalah sejenis perahu karet yang bila dilemparkan ke laut akan mengembang dengan sendirinya. Entah berapa lifecraft di lempar, namun beberapa langsung hanyut menjauh tanpa sempat ada yang menaiki. Kami akan menju ke dek depan yang ada tangga monyet (tangga darurat dari tali) tapi asap yang keluar dari ruang komando kapal menghalangi, sementara besi-besi di kapal mulai menghangat, ini pertanda tidak baik, sebab pabila besi-besi di kapal sudah memanas apalgi berpijar, tak usah menunggu api datangpun itu sudah cukup untuk memanggang kami hidup-hidup. pilihannya adalah SEGRA TINGGALKAN KAPAL!
Saya lihat ada awak kapal yang masih mengusahakan untuk melepas baut yang mengaitkan tali sekoci, besi itu sudah karatan sehingga tak bisa dilepas. Saya tanya “Pak! ini sekocinya bakal bisa diturunin gak?!!!” awak kapal itu bilang “Bisa Mas, asal ini udah lepas” lalu ada orang yang bertanya “koq pake tangan kosong, getok aja pak pake kapak!” awak kapal itu dengan masih bermimik tegang menjawab “ITU DIA PAK! TERNYATA SEMUA KAPAK DI KAPAL INI UDAH PADA ILANG” bagus, baru kali ini saya menyadari perbuatan kita yang biasa menjarahi barang-barang emergency itu benar-benar terkutuk. Awak kapal yang masih mengusahakan turunnya sekoci itu bilang “bapak nak aja ke sekoci, ini sambil saya kerjakan kalo udah bisa langsung diturunin” begitu mendengar ini saya langsung ajak ayah saya ke atas lagi untuk naik ke sekoci, bersama kami -entah sejak kapan- seorang pria bersama anak dan istrinya ikut menaiki sekoci. Pria ini berusaha menenangkan anak dan istrinya, ditengah asap hitam, deru mesin yang suaranya makin kacau dan… suara kobaran api usaha menenangkan anak istri seperti itu tentu saja percuma.
Asap membuat kami terbatuk, dan hampir tak bisa melihat apa-apa dalam jarak 2-3 meter di depan mata. GELAP.
Kami naik ke sekoci (lagi) samar mulai terdengar ada suara logam digetok, ah berarti awak kapal tadi sudah mendapatkan sesuatu untuk melepaskan besi yang mengaitkan tali sekoci. Tapi tidak berapa lama kemudian, suara getokan tersebut berhenti, saya melongok ke bawah dan…. AWAK KAPAL IU SUDAH GAK ADA! Sekoci kami sudah tidak diusahakan untuk turun lagi! panik, kami pun melompat keluar sekoci, turun lagi ke dek ternyata asap sudah semakin pekat. Sudah tak mungkin bernafas, melihat pun hanya samar, seorang perwira kapal melihat kami “Mas, LOMPAT!!!!” lalu dia pun terjun duluan. SIAL! kapal semakin sepi. Saya mulai ke pinggiran kapal, mengambil ancang-ancang untuk terjun. Tapi sebelum saya sempat lompat, saya lihat disitu ada tanga monyet, menempel di dinding kapal dan di bawah… ah ya, itu sebuah lifecraft penuh berisi orang-orang, sepertinya menunggu kami. Lalu saya mulai meraba menuju tangga monyet, turun secepat yang saya bisa menuju lifecraft. Bruk! saya hempaskan badan di lifecraft sebelum benar-benar sampai di tangga paling bawah.
Baru saya sadari, bila tadi saya jadi melompat ke laut, maka tak ada harapan saya bisa kembali naik ke permukaan, sebab walaupun bisa berenang dan mengenakan rompi pelampung, tapi saya mengenakan jaket kulit yang sangat berat dan di bahu kiri-kanan saya melilit ransel-ransel yang berisi laptop, buku-buku dan pakaian. Bila tadi saya sempat melompat….. ah entahlah.
Lifecraft sudah penuh, tapi belum juga menjauh dari kapal, posisi kami masih sangat mepet dengan tubuh kapal. Saya teriak ke seorang pria “Mas! kenapa belum jalan?” Pria itu bilang “sebentar Pak, nunggu yang itu” dia menunjuk ke atas dan dua sosok tubuh sedang terjun langsung menuju lifecraft kami, mereka sempat menimpa saya, untuk tak ada yang kenapa-napa.Sesaat saya mulai tenang, setidaknya terhindar dari asap hitam menyesakkan di kapal. Tapi lifecraft kami tidak juga menjauh dari kapal, masalahnya ternyata lifecraft kami diikat pada pagar kapal!
Saya dan seorang pria berusaha memutuskan tali pengikat, tapi talinya kokoh sekali. Panik semakin menjadi-jadi, sebab semua orang di lifecraft ini tahu bahwa bila lifecraft tidak segra menjauh dari kapal, itu berarti BUNUH DIRI!
Lalu kami mulai berfikir menggunakan korek api gas untuk memutuskan tali tersebut, saya berusaha menyalakan korek saya namun gagal karena tadi sudah terndam saat masuk ke lifecraft. Namun ada yang berhasil menyalakan koreknya, saya gabungkan dengan gas dari korek saya akhirnya korek api saya berhasil menyala. Berdua kami coba membakar tali itu, namun tali itu seperti tak terpengaruh apa-apa. Panik lagi, bahkan mas yang tadi mulai memukul-mukul tali itu, menggigitnya, menarik dan segala macam lagi dia lakukan namun tali itu tak kunjung putus.
Sementara itu, seorang ibu menangis, putrinya diseblahnya juga menangis, ternyata anak bungsunya masih di kapal. Ibu ini menangis sambil memluk suaminya, erat… seerat tali yang mengikat lifecraft kami dengan kapal yang semakin terbakar. Putus asa, tiba-tiba ibu itu mellihat ke atas dan…. “Pak, itu anak kita pak!” (kalimat ini jelas bukan untuk saya) sontak kami melihat ke atas, seorang anak berdiri di pinggiran kapal, sendirian, menangis.”Pak…. anak kita pak….. anak kita huhuhuhuuuuu” ibu itu dan putrinya menangis, suaminya lalu mengambil tangga monyet, dia akan segra naik ke kapal yang sudah tertutup asap ketika istrinya bilang lagi
“jangan naik pak.. jangan naik…. di sini aja Pak… tapi itu anak kita pak”
yeah, seorang pria tak kan pernah berhasil memahami keinginan wanita bukan?
Si suami melihat ke atas, lalu sepertinya dia melihat sesorang yang dia kenal, dia berteriak-teriak memanggil kawannya itu, untunglah yang dipanggil mendengar. Si suami itu lalu meminta kawannya untuk menyelamatkan anaknya, kawannya yang masih di atas kapal lalu berlari ke arah si anak, digendong dan entah setelah itu dibawa kemana. Masalah tentang anak tersebut selesai, namun lifecraft kami belum menemukan penyelesaiannya. Kami sudah tak menemukan harapan ketika tiba-tiba ada yang menyodorkan sebuah silet kecil, silet diambil, disabetkan ke tali dan sekali lagi, sekali lagi sekali lagi…. dan talipun putus seiring Mas itu ngomong “ancuk! ngopo gak ket mau”
lifecraft langsung meluncur menjauhi kapal.
Masalah selesai, sekarang tinggal harapan. Kami entah berapa orang berada dalam lifecraft yang sempit, bertumpuk-tumpuk. Sejenak saya menenangkan diri, lalu saya melihat ke atas. Langit sudah terang, ternyata kami sudah begitu jauh dari kapal sehingga bisa bernafas tanpa terganggu asap hitam lagi. Lalu kami bergotong royong mengeluarkan air dari lifecraft, dengan sepatu, dengan kantong plastik, dengan tangan dengan apa saja yang kami bisa. Kami baru sadar bahwa ternyata lifecraft yang kami tumpangi ini posisinya terbalik, dan lifecraft kami meluncur terus menjauh semakin menjauh sehingga bahkan terpisah dari rombongan lifecraft dan sekoci lain.
Dan hanya hamparan laut yang seolah tanpa batas. Tak ada manusia yang terlihat, tak ada kapal, hanya laut sepanjang mata memandang disitulah terasa betapa kecilnya kita ini, dibandingkan luas lautan itu bahkan sepertinya kami hanya titik yang tidak berarti, apalagi didepan Pemiliknya. Langit dan laut hanya itu yang bisa kami lihat. Tugas kami sekarang hanya menjaga agar lifecraft ini bisa bertahan sampai bantuan datang entah dari mana dan entah kapan. Pada saat-saat seperti inilah, hanya Tuhan yang bisa kami andalkan. Semua orang berdoa dengan caranya masing-masing, berdzikir dan segala macam bacaan dibaca. Semua berdoa pada Tuhan yang sama, Yang memiliki lautan Maha Luas itu, yang menciptakan langit tanpa batas itu. Semua berdoa, walau mungkin menyebut Tuhan dengan nama yang berbeda-beda.
Pada keadaan seperti ini, tak ada yang bisa diandalkan selain berpasrah pada Nya, Bersandar pada Nya dan mencari ketenangan dalam sejuk nama Nya.
Dan tiba-tiba……blusssssshhhhhh……. LIFE CRAFT KAMI BOCOR!
bersambung partII: URIP MUNG MAMPIR UDUTAN
Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150239051732393
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 17 Juli 2011
CAKRAWALA TERTUTUP ASAP HITAM (II)
(sekilas ingatan pada kebakaran kapal Mustika Kencana 2)
Muhammad Zuriat Fadil
http://sastra-indonesia.com/
Dan ya! Ini adalah hal yang paling tidak diinginkan ditengah lautan. Berada dalam lifecraft yang tergenang air laut saja cukup membuat kami sulit bertahan, apalagi lifecraftnya tenggelam, itu berarti kami harus bertahan dengan tenaga sendiri selama rentang waktu yang tidak menentu. Tanpa perlu menunggu lama, lifecraft kami sudah menjadi setumpukan karet yang berat dan mulai masuk kelelep ke dalam air. Pria yang bersama istri dan anaknya tadi lantas bilang “Semuanya jangan mencar! Pegangan tangan!!!” kami pun saling berangkulan, posisi kami sudah mengapung dilaut. Saya mendongak ke atas, matahari bersinar, hal ini membuat saya agak heran juga karena waktu di kapal tadi saya perkirakan awan hitam akan datang membawa hujan dan bahkan mungkin… badai!
Tak lama kemudian sesuatu muncul dari laut, tepat dibawah saya dengan bunyi “”bloopppp…” ternyata lifecraft itu masih bias mengembang lagi asal kena sinar matahari, perlahan lifecraft mulai mengembang dan muncul sedikit demi sedikit di permukaaan. Spontan kami mendongak ke atas, sepertinya tidak pernah kami benar-benar merindukan sinar matahari seperti hari itu. Sinar matahari tiba-tiba menjadi barang mewah yang akan kami bayar berapapun yang kami bisa asal dia mau bersinar terus. Posisi saya tepat berada di tengah lifecraft yang sedang mengembang, awalnya lifecraft menggelembung dengan sangat cepat namun ketika lifecraft itu sudah mengembang sebesar sekitar empat biji bantal guling, lifecraft berhenti mengembang dan memompa dirinya. Saya tengok kembali ke langit, ternyata matahari tertutup oleh segumpal awan hitam, kecil awan hitam itu tapi posisinya tepat menutupi sinar matahari. Kami, para lelaki yang tadi sempat berada di atas lifecraft langsung turun dan menaikkan seorang anak kecil (saya juga bingung, sejak kapan anak itu ikut kami) serta ibu yang tadi kehilangan anaknya dan putrinya yang seperkiraan saya mungkin masih sekitar kelas5-6 SD.
Selain mereka, seingat saya dalam lifecraft yang tinggal seperempat saja itu, ada juga sepasang pria dan wanita yang menurut hemat saya sepertinya pengantin baru atau bahkan mungkin hanya pasangan pacaran –sebab usia pasangan ini sepertinya masih sangat muda – lalu ada sekitar lima orang pria dan saya serta ayah saya. Berarti dalam lifecraft yang sekarang tinggal menjadi pelampung bersama ini, ada lebih dari sepuluh orang. Sementara lifecraft entah kenapa tidak mengembang lagi. Kondisi kami saat itu mengelilingi lifecraft, berpegangan sambil setengah berenang. Si ibu, anaknya dan anak kecil yang di atas lifecraft tetap terendam sampai batas dada. Anak kecil masih sambil digendong oleh seorang pria, saya tidak tahu apakah dia ayahnya atau bukan, namun herannya anak kecil ini, yang mungkin berusia sekitar3-4 tahun, tidak menangis! dia hanya diam saja sehingga tidak ada yang terepotkan kecuali ya, Pria yang menggendongnya sambil berenang itu.
Entah berapa lama, kami mengambang seperti itu. Maka disebut-sebutlah kembali nama-nama Tuhan Yang Maha Kuasa, disebut dengan beragam cara sesuai yang diketahui masing-masing dari kami. Ayah saya mendekat pada saya lalu bilang “dzikir, terus berdzikir” Lalu saya ingat di dalam tas laptop saya ada tasbih. Saya ambil dan saya kembali berdzikir sambil membulirkan biji-biji tasbih. Sebenarnya tak perlu juga saya pakai tasbih, dalam keadaan seperti itu tak ada niatan juga mau menghitung berapa kali dzikir yang terucap oleh mulut namun karena tasbih itu biasanya menemani saya sebelum tidur, entah kenapa saya merasa agak tenang bila menggenggamnya.
Masih tak tau juga, berapa lama kami dilautan lepas itu. Sementara matahari semakin terik (dan sayangnya tidak lagi berefek apa-apa pada lifecraft, air laut malah makin terasa dingin di tubuh. Kulit mulai mengkerut, bibir bergetar, lemas dan sudah tak jelas kalimat apa yang keluar dari mulut. Dalam pikir, saya ingin mengucapkan “hasbunallah wa ni’mal wakiil ni’mal mawla wa ni’man natsir” tapi yang terdengar dari bibir yang gemetaran ini cuma “awoohh…. awooohh” sempat seseorang bilang “ADA KAPAL!!!” tubuh saya yang lemas langsung bersemangat, mencoba meninggikan kepala dan melihat ke sekeliling namun selain asap dari kejauhan, tak ada apa-apa. Salah lihat ternyata dia, sial!
Lalu seorang pria berseru kembali tak lama kemudian “itu ada kapal!!!” kami mencari-cari namun tak ada “Mana???” pria itu menjawab “itu lho, kapal kita yang tadi kebakar” lalu dari ucapan dzikir, semuanya beralih mengumpat-ngumpat orang itu. Tapi sebenarnya informasi dari Mas ini berguna juga, karena memang tiba-tiba kapal Mustika Kencana 2 yang sedang terbakar itu kelihatan jelas dari tempat kami mengapung, itu bisa dikarenakan kapal yang masih jalan atau karena kami mengambang justru mengarah ke kapal kagi.
Masih menunggu, masih menunggu di lautan luas, kondisi tubuh kami semakin lemas. Lemas, tubuh bergetar hebat, berbicara pun semakin susah bahkan beberapa orang sudah mulai muntah-muntah. Namun ayah saya sempat mengeluarkan bungkusan apel dari tas ranselnya, apel itupun mengapung. Kami bagi satu-satu, sementara apel lain terlepas ikatannya dan mengapung disekeliling kami. Namun saya tidak begitu berselera, eh Mas yang diseblah saya dengan wajah lugunya mengambil apel yang mengapung dan mengantongi beberapa. Ketika saya menoleh padanya dia malah memasang tampang malu-malu. Aduh duhh…. Kita ini memang bangsa yang benar-benar pemalu, ingin saya katakana pada Mas itu “sudahlah Mas, ambil aja, ndak apa-apa koq ” tapi mulut saya sudah ndak bisa bicara lagi.
Sementara itu, kaki saya sudah keram. Sudah tidak bias digerakkan lagi, sandal saya ternyata lepas dan mengapung-ngapung.
Ayah saya mengambil sandal saya yang tinggal seblah dan ngomong
“ini, pake sendalnya”
APA-APAAN???!!!!!
Ayah saya memang terkenal sangat disiplin soal waktu dan kerapihan, tapi ya ampun di tengah laut gini masih sempat merhatiin sendal? Plis deh Pak…..
Tapi sebenarnya saran untuk tetap mengenakan sandal itu saya fahami sebagai usaha untuk mengantisipasi bila ada hiu. Hiu akan langsung mengincar kaki manusia yang berada di laut, karena kulit manusia terlihat cerah di dalam air. Bila mengenakan sepatu, itu akan meminimalisir risiko diserang oleh hiu. Namun entah musti bersyukur atau gimana, memang kami tidak sempat diserang hiu tapi tiba-tiba beberapa orang menjerit kesakitan, satu-satu bergantian mereka menjerit-jerit.
Ternyata disekeliling kami terdapat banyak ubur-ubur yang menyengat itu. Kamippun kembali panik, tapi terus saja ada yang terkena sengatannya. Ubur-ubur….. saya lalu teringat Spongebob (serius ini, sumpah!), hmmmm… bagaimana Spongebob bisa bersahabat dengan ubur-ubur dan tidak pernah disengat sementara Squitworth selalu disengat? Lama saya berpikir lalu saya ingat…. SPONGE BOB KAN SPONS BUSA!!! Mana bisa dia disengat listrik???!!!!
Akh! Fuck Sponge Bob!
Selintas saya teringat ucapan kiai saya, dulu beliau pernah berkata“Hewan itu ummatnya Nabi Sulaiman, kirim fatihah ke Nabi Sulaeman” Maka sayapun membaca alfatihah yang diniatkan untuk Kanjeng Nabi Sulaeman. Entah karena alhatihah nya atau mungkin ubur-uburnya juga udah bosan menyengat kami yang rasanya ndak gitu enak-enak amat dan kurang gizi karena belum sempat sarapan, rombongan ubur-ubur itu mulai menyingkir. Hanya sesekali saja kami disengat, tapi tidak sesering saat rombongan ubur-ubur itu dating pertama kali tadi.
Di kejauhan, ada yang melontarkan tanda S.O.S yang seperti petasan itu. Semua berharap semoga ada yang melihat. Lalu satu tanda S.O.S lagi dilontarkan, harapan kembali…..
Namun masa kritis tidak berlalu begitu saja, sengatan ubur-ubur memang semakin jarang, namun kondisi badan kami semakin tak berdaya. Semua orang menggigil, sesaat saya pejamkan mata.
Tiba-tiba seperti wajah-wajah orang-orang yang pernah saya kenal berkelebat begitu saja. Keberhasilan dan kegagalan yang pernah saya alami juga melintas dalam ingatan, namun anehnya semua pencapaian dan kegagalan hidup saat itu terasa tidak begitu benar-benar berarti. Saya hanya ingin sekali melihat wajah orang-orang yang saya kenal itu tersenyum. Percayalah, semua wajah yang berkelebat itu sedang tersenyum. Dalam keadaan seperti ini bahkan orang yang pernah menyakitipun akan muncul dihadapanmu dan semuanya tersenyum ramah.
Dan tentu saja, ingatan saya pada sebatang rokok. Menghisap sebatang rokok, hmmm… pasti nikmat sekali raanya bukankah ‘urip mung mampir udutan?’ (hidup hanya mampir buat ngerokok) dan….. eh?! Rokok!??? Tiba-tiba saya terbangun…. Saya baru ingat, ada dua bungkus rokok yang plastiknya belum dibuka dalam kantong celana saya. Saya raba, saya cari namun sudah tidak ada (sekarang baru mikir, emang kalo ada mo ngapain? Emang ada korek di tengah laut?) Ternyata saya sudah lama juga tidak sadarkan diri, sekarang orang-orang ini sedang sibuk ingin membalik posisi lifecraft kami namun karena karetnya yang berat itu ditambah kondisi tubuh yang lemas usaha itu tetap sia-sia (ternyata sejak awal posisi lifecraft ini memang terbalik).
Lama-kelamaan, bahu dan kaki saya rasanya semakin keram. Tasbih yang sejak tadi saya pegang sudah raib entah kemana. Karena tidak kuat lagi, akhirnya tas laptop saya lepas. Tas laptop pun lenyap sudah ditelan lautan lepas.
Lama kami berusaha lagi untuk membalikkan lifecraft itu, namun tidak juga berhasil. Justru yang ada badan semakin lemas, mata saya kembali terpejam. Seorang diseblah saya mengguncang-guncang tubuh saya “Mas, jangan tertidur” Saya terbangun, tetapi rasanya mata saya kembali memejam. Bibir sudah gemetar, badan dan kaki sudah keram. Sementara itu, ombak sudah mulai membesar, kami yang semakin lemas ini malah timbul-tenggelam kayak teh celup di tengah laut. Air laut sudah tertelan banyak, mual.
Samar-samar, saya dengar “itu kapal..! itu kapalll…!!!!” saya sudah tidak bisa perduli, terutama karena yang tadi-tadi seruan seperti itu hanya tipuan. Tapi kali ini memang, saya mendengar suara deru mesin kapal….
Dan harapan datang, semangat pun kembali, seorang pria kami suruh naik dan berdiri di lifecraft untuk memberi kode. Peluit-peluit dari baju pelampung ditiup (ternyata tidak semua baju pelampung ada peluitnya, di rombongan kami hanya ada tiga yang dapat) lambat tapi pasti, kapal itu mengarah pada kami. Sungguh, rasanya lambaat sekali. Tapi akhirnya kapal itu tiba juga, ternyata sebuah kapal nelayan Madura (melihat corak dan warna kapal dan tentu saja logat nelayannya)
Beberapa orang -juga ayah saya- langsung berenang kea rah perahu nelayan, ini keputusan berani juga sebenarnya. Pertama karena jarak kapal itu tidak begitu dekat dan kedua, ombak sudah semakin meninggi. Tapi mereka berhasil sampai ke perahu dan langsung naik, sementara ada seorang pria di atas perahu nelayan itu yang memegang handy talky bilang “Pak pak, tetap disini dulu ya… jangan kemana-mana (sewot gw: LU PIKIR KAMI BISA KEMANA??) ini kami bawa dulu nanti bapak-bapak ikut kapal yang selanjutnya, tenang saja ada kapal lagi koq”
Namun kau tahu, di negri ini sekali kau menyelamatkan segolongan orang maka kau tak kan dilepas begitu saja sampai semuanya ikut terselamatkan atauy kau juga ikut tenggelam.
Saat perahu nelayan itu mulai menjauh, orang-orang di lifecraft berteriak “Paaaakkk… ini ada anak kecil paaaakkkk…. Tolong paakkkk…o kodoonng mau mi mati ini anak e” (logat Makassar) aksi ini sangat teatrikal, didukung ekspresi yang meyakinkan dan property acting yang sangat mendukung; ya anak kecil itu.
Bapak Nelayan Madura langsung menghentikan laju kapal, bapak dengan handy talky marah-marah
“jalan pak!!!! Yang mereka nanti saja!!!!”
nelayan Madura bilang “ kasiian pak, itu ada anak keccil pak….”
Singkat cerita, kapal nelayan itu berbalik kea rah kami untuk menjemput si anak, namun begitu kapal nelayan cukup dekat
maka berebutanlah semua orang untuk naik ke kapal, keadaan rusuh, kapal nelayan miring, pria dengan handy talky marah-marah….. Nelayan Madura: “addooo pak, kapal sayya bissa tenggelam pak…. Addooo pak… ndak bissa kayak ginni pak”
Sementara keadaan semakin rusuh dan alot, saya putuskan untuk tidak ikut ke kapal nelayan dulu dan menunggu pertolongan berikutnya. Namun ayah saya yang sudah berada di kapal memanggil, saya julurkan tangan, sayapun berhasil naik ke atas kapal sementara pria dengan handy talky masih marah-marah dan nelayan Madura pemilik kapal ini memohon-mohon dengan dramatis. Namun saya salut pada tiga orang yang memutuskan tetap tinggal di lifecraft agar yang lain bias diselamatkan lebih dulu. Salute…
Begitu sampai di kapal nelayan, kami dibagikan air yang hanya seukuran sachetan, cuma seteguk air dan tenaga kembali segar. Saya ambil tas pakaian saya, semestinya di dalamnya ada beberapa oleh-oleh, namun ternyata isinya sudah kosong, ambyar semua di lautan. Saya ingat di dalamnya ada juga beberapa gantungan kunci dengan gambar logo kraton Ngayogyakartahadiningrat. Yah, mungkin juga nelayan Madura ini adalah keturunan Pangeran Cakraningrat yang pada era Sultan Agung Anyokrokusumo ditugaskan mengelola Pulau Madura yang sangat istimewa itu.
Kemudian kami dibawa ke kapal tongkang, awalnya saya kira ini kapal penyelamat, sampai saya liat di depannya ada rantai yang tersambung pada tak boat. Wajar bila saya pikir ini adalah kapal penyelamat, betapa tidak? Chief kapalnya terlihat sangat keren dengan potongan rambut kayak Ekin Cheng, berkacamata hitam, tinggi besar. Lalu dengan sigap dia mengosongkan ruangan kru kapal untuk wanita dan anak-anak. Ini adalah sikap yang sangat tepat, wanita selalu punya kebutuhan yang tidak bisa diketahui sepenuhnya oleh pria. Memberi mereka ruangan untuk mengurus kebutuhan mereka itu benar-benar professional.
Dan bagi saya, pertolongan yang paling utama adalah sebatang rokok. Selesai melepas pakaian, menyiram tubuh dengan air tawar. Saya lalu ke ruang komando kapal tongkang, memasang wajah memelas dan “Pak, saya kedinginan….. ada rokok enggak?” lalu para kru kapal bahkan chief kapal itu menyodorkan semua rokok yang mereka punya, awalnya merk rokok tidak begitu masalah, namun ketika ada yang menyodorkan Gudang Garam Inter, saya langsung menyambarnya. Meminta korek, membakar dan menghisapnya, menyesapnya jauuuhhhhhh ke paru-paru ssssshhhh….. lalu pppoooosssshhhh…..menghembuskan asapnya sambil bergumam “ah, urip mung mampir udutan”
Setelah itu, nelayan Madura yang pada kahirnya berjumlah tiga perahu itu bolak-balik menyelamatkan korban-korban lain dan mengangkutnya ke kapal tongkang. Baru kami tahu saat itu sekitar pukul setengah sebelas. Selesai penyelamatan korban, kami lalu dipindah ke kapal pengiriman barang yang sudah mendekat, di kejauhan saya lihat ada sekitar dua-tiga kapal sejenis yang merapat ke lokasi kami. Ternyata sebelum terjun ke laut, kapten kapal sempat mengirim sinyal keadaan darurat.
Perjalanan dengan kapal peti kemas berlangsung hingga sekitar tengah malam. Awalnya, ketika para penumpang ditawari makan di kapal barang ini awalnya mereka masih malu-malu atau mungkin juga tidak begitu berselera makan karena masih trauma. Namun begitu hari menjelang sore, kelaparan menjadi-jadi. Maka rebutan makan pun tak terhindarkan. Untung kru kapal barang ini juga tidak keberatan berbagi jatah makan dengan kami, nasi dengan lauk garam menjadi barang yang sangat mewah untuk kami bertahan selama seharian di kapal peti kemas. Tidur bisa dimana saja, karena kapal peti kemas memang tidak menyediakan kamar yang cukup.
Sesaat tadi, waktu terapung di laut semua masalah kehidupan terasa begitu remehnya. Namun tidak butuh waktu lama bukan untuk manusia kembali meributkan rebutan makanan dan lainnya. Hanya saja, segala dinamika itu sekarang dihadapi dengan lebih enteng. Terbukti semua bisa tertawa kembali, ceria kembali dan bercanda-canda lagi. Bahkan yang tadinya tidak saling kenal sekarang menjadi saling kenal dengan mesra. Benarlah, urip mung mampir udutan koq.
Setelah mendekat ke Madura, sekitar pertengahan malam, kami dijemput oleh kapal ferry dari perusahaan Darma Lautan Utama, merekalah pemilik kapal Mustika Kencana 2 yang terbakar itu. Naik ke kapal ferry menuju Surabaya kembali, diiringi lambaian tangan para kru kapal peti kemas (o iya, nama kapal peti kemasnya K.M PEMUDI) Terima kasih kami yang begitu besar pada mereka-mereka yang menolong kami dengan tulus. Nelayan Madura, Kapal Tongkang beserta kru, dan kapal PEMUDI beserta seluruh awak kapalnya.
Sampai di kapal ferry perusahaan, sudah menyambut kami nasi bungkus dan air mineral yang langsung kami serbu. Kami diberi selimut, sarung dlsb. Tenaga medis pun telah sigap. Minuman teh dan kopi tersedia. Tapi tentu saja yang sangat dibutuhkn oleh kami ini adalah: ROKOK.
Ini pelajaran buat mereka yang selanjutnya akan bekerja sebagai penyelamat professional, kita semua tahu bahwa ada beberapa penyakit yang datang justru karena adanya dokter bukan? Itu pula yang kami alami. Begitu tim medis mulai menanyakan keluhan-keluhan, barulah muncul rasa sakit disekujur tubuh, kulit yang terasa panas dan…. Kelelahan.
Terakhir, bila anda suatu saat menjadi penyelamat dalam kasus-kasus seperti ini, siapkanlah rokok yang banyak.
Karena menurut pengalaman saya, akibat tidak disiapkannya rokok oleh fihak yang bertanggung jawab (dalam hal ini perusahaan Dharma Lautan Utama) maka yang menjadi korban adalah para awak kapal yang membawa rokok, kami serbu untuk kami ajak bercerita bahkan sebenarnya para awak kapal malah menjadi tong sampah curhatan kami sambil kami mintai rokoknya .
“wah gila! gak nyangka saya bisa bertahan… Empat jam lho Mas… empat jaammm!!!! Makanya saya ni kedinginan klo gak ada rokok, punya rokok mas?”
Sementara yang lain bercerita
“jadi begini lho ceritanya Mas…. Wwuuuiiihh… waktu itu saya tu tueerrjjun ke laut Mas… eddiann pokokke….. ada rokok lagi Mas?”
Satu orang juga ngomong disaat bersamaan
“hooh Mas, ada juga itu ibu-ibu di duorong Mas sama suaminya, lha piye menneh to??? Rokoknya satu lagi donk Mas…”
Ah yaaa…. Urip mung mampir udutan.
Hasbunallah wa ni’mal wakiil nimal mawla wa ni’ma natsir….
Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150239923442393
Muhammad Zuriat Fadil
http://sastra-indonesia.com/
Dan ya! Ini adalah hal yang paling tidak diinginkan ditengah lautan. Berada dalam lifecraft yang tergenang air laut saja cukup membuat kami sulit bertahan, apalagi lifecraftnya tenggelam, itu berarti kami harus bertahan dengan tenaga sendiri selama rentang waktu yang tidak menentu. Tanpa perlu menunggu lama, lifecraft kami sudah menjadi setumpukan karet yang berat dan mulai masuk kelelep ke dalam air. Pria yang bersama istri dan anaknya tadi lantas bilang “Semuanya jangan mencar! Pegangan tangan!!!” kami pun saling berangkulan, posisi kami sudah mengapung dilaut. Saya mendongak ke atas, matahari bersinar, hal ini membuat saya agak heran juga karena waktu di kapal tadi saya perkirakan awan hitam akan datang membawa hujan dan bahkan mungkin… badai!
Tak lama kemudian sesuatu muncul dari laut, tepat dibawah saya dengan bunyi “”bloopppp…” ternyata lifecraft itu masih bias mengembang lagi asal kena sinar matahari, perlahan lifecraft mulai mengembang dan muncul sedikit demi sedikit di permukaaan. Spontan kami mendongak ke atas, sepertinya tidak pernah kami benar-benar merindukan sinar matahari seperti hari itu. Sinar matahari tiba-tiba menjadi barang mewah yang akan kami bayar berapapun yang kami bisa asal dia mau bersinar terus. Posisi saya tepat berada di tengah lifecraft yang sedang mengembang, awalnya lifecraft menggelembung dengan sangat cepat namun ketika lifecraft itu sudah mengembang sebesar sekitar empat biji bantal guling, lifecraft berhenti mengembang dan memompa dirinya. Saya tengok kembali ke langit, ternyata matahari tertutup oleh segumpal awan hitam, kecil awan hitam itu tapi posisinya tepat menutupi sinar matahari. Kami, para lelaki yang tadi sempat berada di atas lifecraft langsung turun dan menaikkan seorang anak kecil (saya juga bingung, sejak kapan anak itu ikut kami) serta ibu yang tadi kehilangan anaknya dan putrinya yang seperkiraan saya mungkin masih sekitar kelas5-6 SD.
Selain mereka, seingat saya dalam lifecraft yang tinggal seperempat saja itu, ada juga sepasang pria dan wanita yang menurut hemat saya sepertinya pengantin baru atau bahkan mungkin hanya pasangan pacaran –sebab usia pasangan ini sepertinya masih sangat muda – lalu ada sekitar lima orang pria dan saya serta ayah saya. Berarti dalam lifecraft yang sekarang tinggal menjadi pelampung bersama ini, ada lebih dari sepuluh orang. Sementara lifecraft entah kenapa tidak mengembang lagi. Kondisi kami saat itu mengelilingi lifecraft, berpegangan sambil setengah berenang. Si ibu, anaknya dan anak kecil yang di atas lifecraft tetap terendam sampai batas dada. Anak kecil masih sambil digendong oleh seorang pria, saya tidak tahu apakah dia ayahnya atau bukan, namun herannya anak kecil ini, yang mungkin berusia sekitar3-4 tahun, tidak menangis! dia hanya diam saja sehingga tidak ada yang terepotkan kecuali ya, Pria yang menggendongnya sambil berenang itu.
Entah berapa lama, kami mengambang seperti itu. Maka disebut-sebutlah kembali nama-nama Tuhan Yang Maha Kuasa, disebut dengan beragam cara sesuai yang diketahui masing-masing dari kami. Ayah saya mendekat pada saya lalu bilang “dzikir, terus berdzikir” Lalu saya ingat di dalam tas laptop saya ada tasbih. Saya ambil dan saya kembali berdzikir sambil membulirkan biji-biji tasbih. Sebenarnya tak perlu juga saya pakai tasbih, dalam keadaan seperti itu tak ada niatan juga mau menghitung berapa kali dzikir yang terucap oleh mulut namun karena tasbih itu biasanya menemani saya sebelum tidur, entah kenapa saya merasa agak tenang bila menggenggamnya.
Masih tak tau juga, berapa lama kami dilautan lepas itu. Sementara matahari semakin terik (dan sayangnya tidak lagi berefek apa-apa pada lifecraft, air laut malah makin terasa dingin di tubuh. Kulit mulai mengkerut, bibir bergetar, lemas dan sudah tak jelas kalimat apa yang keluar dari mulut. Dalam pikir, saya ingin mengucapkan “hasbunallah wa ni’mal wakiil ni’mal mawla wa ni’man natsir” tapi yang terdengar dari bibir yang gemetaran ini cuma “awoohh…. awooohh” sempat seseorang bilang “ADA KAPAL!!!” tubuh saya yang lemas langsung bersemangat, mencoba meninggikan kepala dan melihat ke sekeliling namun selain asap dari kejauhan, tak ada apa-apa. Salah lihat ternyata dia, sial!
Lalu seorang pria berseru kembali tak lama kemudian “itu ada kapal!!!” kami mencari-cari namun tak ada “Mana???” pria itu menjawab “itu lho, kapal kita yang tadi kebakar” lalu dari ucapan dzikir, semuanya beralih mengumpat-ngumpat orang itu. Tapi sebenarnya informasi dari Mas ini berguna juga, karena memang tiba-tiba kapal Mustika Kencana 2 yang sedang terbakar itu kelihatan jelas dari tempat kami mengapung, itu bisa dikarenakan kapal yang masih jalan atau karena kami mengambang justru mengarah ke kapal kagi.
Masih menunggu, masih menunggu di lautan luas, kondisi tubuh kami semakin lemas. Lemas, tubuh bergetar hebat, berbicara pun semakin susah bahkan beberapa orang sudah mulai muntah-muntah. Namun ayah saya sempat mengeluarkan bungkusan apel dari tas ranselnya, apel itupun mengapung. Kami bagi satu-satu, sementara apel lain terlepas ikatannya dan mengapung disekeliling kami. Namun saya tidak begitu berselera, eh Mas yang diseblah saya dengan wajah lugunya mengambil apel yang mengapung dan mengantongi beberapa. Ketika saya menoleh padanya dia malah memasang tampang malu-malu. Aduh duhh…. Kita ini memang bangsa yang benar-benar pemalu, ingin saya katakana pada Mas itu “sudahlah Mas, ambil aja, ndak apa-apa koq ” tapi mulut saya sudah ndak bisa bicara lagi.
Sementara itu, kaki saya sudah keram. Sudah tidak bias digerakkan lagi, sandal saya ternyata lepas dan mengapung-ngapung.
Ayah saya mengambil sandal saya yang tinggal seblah dan ngomong
“ini, pake sendalnya”
APA-APAAN???!!!!!
Ayah saya memang terkenal sangat disiplin soal waktu dan kerapihan, tapi ya ampun di tengah laut gini masih sempat merhatiin sendal? Plis deh Pak…..
Tapi sebenarnya saran untuk tetap mengenakan sandal itu saya fahami sebagai usaha untuk mengantisipasi bila ada hiu. Hiu akan langsung mengincar kaki manusia yang berada di laut, karena kulit manusia terlihat cerah di dalam air. Bila mengenakan sepatu, itu akan meminimalisir risiko diserang oleh hiu. Namun entah musti bersyukur atau gimana, memang kami tidak sempat diserang hiu tapi tiba-tiba beberapa orang menjerit kesakitan, satu-satu bergantian mereka menjerit-jerit.
Ternyata disekeliling kami terdapat banyak ubur-ubur yang menyengat itu. Kamippun kembali panik, tapi terus saja ada yang terkena sengatannya. Ubur-ubur….. saya lalu teringat Spongebob (serius ini, sumpah!), hmmmm… bagaimana Spongebob bisa bersahabat dengan ubur-ubur dan tidak pernah disengat sementara Squitworth selalu disengat? Lama saya berpikir lalu saya ingat…. SPONGE BOB KAN SPONS BUSA!!! Mana bisa dia disengat listrik???!!!!
Akh! Fuck Sponge Bob!
Selintas saya teringat ucapan kiai saya, dulu beliau pernah berkata“Hewan itu ummatnya Nabi Sulaiman, kirim fatihah ke Nabi Sulaeman” Maka sayapun membaca alfatihah yang diniatkan untuk Kanjeng Nabi Sulaeman. Entah karena alhatihah nya atau mungkin ubur-uburnya juga udah bosan menyengat kami yang rasanya ndak gitu enak-enak amat dan kurang gizi karena belum sempat sarapan, rombongan ubur-ubur itu mulai menyingkir. Hanya sesekali saja kami disengat, tapi tidak sesering saat rombongan ubur-ubur itu dating pertama kali tadi.
Di kejauhan, ada yang melontarkan tanda S.O.S yang seperti petasan itu. Semua berharap semoga ada yang melihat. Lalu satu tanda S.O.S lagi dilontarkan, harapan kembali…..
Namun masa kritis tidak berlalu begitu saja, sengatan ubur-ubur memang semakin jarang, namun kondisi badan kami semakin tak berdaya. Semua orang menggigil, sesaat saya pejamkan mata.
Tiba-tiba seperti wajah-wajah orang-orang yang pernah saya kenal berkelebat begitu saja. Keberhasilan dan kegagalan yang pernah saya alami juga melintas dalam ingatan, namun anehnya semua pencapaian dan kegagalan hidup saat itu terasa tidak begitu benar-benar berarti. Saya hanya ingin sekali melihat wajah orang-orang yang saya kenal itu tersenyum. Percayalah, semua wajah yang berkelebat itu sedang tersenyum. Dalam keadaan seperti ini bahkan orang yang pernah menyakitipun akan muncul dihadapanmu dan semuanya tersenyum ramah.
Dan tentu saja, ingatan saya pada sebatang rokok. Menghisap sebatang rokok, hmmm… pasti nikmat sekali raanya bukankah ‘urip mung mampir udutan?’ (hidup hanya mampir buat ngerokok) dan….. eh?! Rokok!??? Tiba-tiba saya terbangun…. Saya baru ingat, ada dua bungkus rokok yang plastiknya belum dibuka dalam kantong celana saya. Saya raba, saya cari namun sudah tidak ada (sekarang baru mikir, emang kalo ada mo ngapain? Emang ada korek di tengah laut?) Ternyata saya sudah lama juga tidak sadarkan diri, sekarang orang-orang ini sedang sibuk ingin membalik posisi lifecraft kami namun karena karetnya yang berat itu ditambah kondisi tubuh yang lemas usaha itu tetap sia-sia (ternyata sejak awal posisi lifecraft ini memang terbalik).
Lama-kelamaan, bahu dan kaki saya rasanya semakin keram. Tasbih yang sejak tadi saya pegang sudah raib entah kemana. Karena tidak kuat lagi, akhirnya tas laptop saya lepas. Tas laptop pun lenyap sudah ditelan lautan lepas.
Lama kami berusaha lagi untuk membalikkan lifecraft itu, namun tidak juga berhasil. Justru yang ada badan semakin lemas, mata saya kembali terpejam. Seorang diseblah saya mengguncang-guncang tubuh saya “Mas, jangan tertidur” Saya terbangun, tetapi rasanya mata saya kembali memejam. Bibir sudah gemetar, badan dan kaki sudah keram. Sementara itu, ombak sudah mulai membesar, kami yang semakin lemas ini malah timbul-tenggelam kayak teh celup di tengah laut. Air laut sudah tertelan banyak, mual.
Samar-samar, saya dengar “itu kapal..! itu kapalll…!!!!” saya sudah tidak bisa perduli, terutama karena yang tadi-tadi seruan seperti itu hanya tipuan. Tapi kali ini memang, saya mendengar suara deru mesin kapal….
Dan harapan datang, semangat pun kembali, seorang pria kami suruh naik dan berdiri di lifecraft untuk memberi kode. Peluit-peluit dari baju pelampung ditiup (ternyata tidak semua baju pelampung ada peluitnya, di rombongan kami hanya ada tiga yang dapat) lambat tapi pasti, kapal itu mengarah pada kami. Sungguh, rasanya lambaat sekali. Tapi akhirnya kapal itu tiba juga, ternyata sebuah kapal nelayan Madura (melihat corak dan warna kapal dan tentu saja logat nelayannya)
Beberapa orang -juga ayah saya- langsung berenang kea rah perahu nelayan, ini keputusan berani juga sebenarnya. Pertama karena jarak kapal itu tidak begitu dekat dan kedua, ombak sudah semakin meninggi. Tapi mereka berhasil sampai ke perahu dan langsung naik, sementara ada seorang pria di atas perahu nelayan itu yang memegang handy talky bilang “Pak pak, tetap disini dulu ya… jangan kemana-mana (sewot gw: LU PIKIR KAMI BISA KEMANA??) ini kami bawa dulu nanti bapak-bapak ikut kapal yang selanjutnya, tenang saja ada kapal lagi koq”
Namun kau tahu, di negri ini sekali kau menyelamatkan segolongan orang maka kau tak kan dilepas begitu saja sampai semuanya ikut terselamatkan atauy kau juga ikut tenggelam.
Saat perahu nelayan itu mulai menjauh, orang-orang di lifecraft berteriak “Paaaakkk… ini ada anak kecil paaaakkkk…. Tolong paakkkk…o kodoonng mau mi mati ini anak e” (logat Makassar) aksi ini sangat teatrikal, didukung ekspresi yang meyakinkan dan property acting yang sangat mendukung; ya anak kecil itu.
Bapak Nelayan Madura langsung menghentikan laju kapal, bapak dengan handy talky marah-marah
“jalan pak!!!! Yang mereka nanti saja!!!!”
nelayan Madura bilang “ kasiian pak, itu ada anak keccil pak….”
Singkat cerita, kapal nelayan itu berbalik kea rah kami untuk menjemput si anak, namun begitu kapal nelayan cukup dekat
maka berebutanlah semua orang untuk naik ke kapal, keadaan rusuh, kapal nelayan miring, pria dengan handy talky marah-marah….. Nelayan Madura: “addooo pak, kapal sayya bissa tenggelam pak…. Addooo pak… ndak bissa kayak ginni pak”
Sementara keadaan semakin rusuh dan alot, saya putuskan untuk tidak ikut ke kapal nelayan dulu dan menunggu pertolongan berikutnya. Namun ayah saya yang sudah berada di kapal memanggil, saya julurkan tangan, sayapun berhasil naik ke atas kapal sementara pria dengan handy talky masih marah-marah dan nelayan Madura pemilik kapal ini memohon-mohon dengan dramatis. Namun saya salut pada tiga orang yang memutuskan tetap tinggal di lifecraft agar yang lain bias diselamatkan lebih dulu. Salute…
Begitu sampai di kapal nelayan, kami dibagikan air yang hanya seukuran sachetan, cuma seteguk air dan tenaga kembali segar. Saya ambil tas pakaian saya, semestinya di dalamnya ada beberapa oleh-oleh, namun ternyata isinya sudah kosong, ambyar semua di lautan. Saya ingat di dalamnya ada juga beberapa gantungan kunci dengan gambar logo kraton Ngayogyakartahadiningrat. Yah, mungkin juga nelayan Madura ini adalah keturunan Pangeran Cakraningrat yang pada era Sultan Agung Anyokrokusumo ditugaskan mengelola Pulau Madura yang sangat istimewa itu.
Kemudian kami dibawa ke kapal tongkang, awalnya saya kira ini kapal penyelamat, sampai saya liat di depannya ada rantai yang tersambung pada tak boat. Wajar bila saya pikir ini adalah kapal penyelamat, betapa tidak? Chief kapalnya terlihat sangat keren dengan potongan rambut kayak Ekin Cheng, berkacamata hitam, tinggi besar. Lalu dengan sigap dia mengosongkan ruangan kru kapal untuk wanita dan anak-anak. Ini adalah sikap yang sangat tepat, wanita selalu punya kebutuhan yang tidak bisa diketahui sepenuhnya oleh pria. Memberi mereka ruangan untuk mengurus kebutuhan mereka itu benar-benar professional.
Dan bagi saya, pertolongan yang paling utama adalah sebatang rokok. Selesai melepas pakaian, menyiram tubuh dengan air tawar. Saya lalu ke ruang komando kapal tongkang, memasang wajah memelas dan “Pak, saya kedinginan….. ada rokok enggak?” lalu para kru kapal bahkan chief kapal itu menyodorkan semua rokok yang mereka punya, awalnya merk rokok tidak begitu masalah, namun ketika ada yang menyodorkan Gudang Garam Inter, saya langsung menyambarnya. Meminta korek, membakar dan menghisapnya, menyesapnya jauuuhhhhhh ke paru-paru ssssshhhh….. lalu pppoooosssshhhh…..menghembuskan asapnya sambil bergumam “ah, urip mung mampir udutan”
Setelah itu, nelayan Madura yang pada kahirnya berjumlah tiga perahu itu bolak-balik menyelamatkan korban-korban lain dan mengangkutnya ke kapal tongkang. Baru kami tahu saat itu sekitar pukul setengah sebelas. Selesai penyelamatan korban, kami lalu dipindah ke kapal pengiriman barang yang sudah mendekat, di kejauhan saya lihat ada sekitar dua-tiga kapal sejenis yang merapat ke lokasi kami. Ternyata sebelum terjun ke laut, kapten kapal sempat mengirim sinyal keadaan darurat.
Perjalanan dengan kapal peti kemas berlangsung hingga sekitar tengah malam. Awalnya, ketika para penumpang ditawari makan di kapal barang ini awalnya mereka masih malu-malu atau mungkin juga tidak begitu berselera makan karena masih trauma. Namun begitu hari menjelang sore, kelaparan menjadi-jadi. Maka rebutan makan pun tak terhindarkan. Untung kru kapal barang ini juga tidak keberatan berbagi jatah makan dengan kami, nasi dengan lauk garam menjadi barang yang sangat mewah untuk kami bertahan selama seharian di kapal peti kemas. Tidur bisa dimana saja, karena kapal peti kemas memang tidak menyediakan kamar yang cukup.
Sesaat tadi, waktu terapung di laut semua masalah kehidupan terasa begitu remehnya. Namun tidak butuh waktu lama bukan untuk manusia kembali meributkan rebutan makanan dan lainnya. Hanya saja, segala dinamika itu sekarang dihadapi dengan lebih enteng. Terbukti semua bisa tertawa kembali, ceria kembali dan bercanda-canda lagi. Bahkan yang tadinya tidak saling kenal sekarang menjadi saling kenal dengan mesra. Benarlah, urip mung mampir udutan koq.
Setelah mendekat ke Madura, sekitar pertengahan malam, kami dijemput oleh kapal ferry dari perusahaan Darma Lautan Utama, merekalah pemilik kapal Mustika Kencana 2 yang terbakar itu. Naik ke kapal ferry menuju Surabaya kembali, diiringi lambaian tangan para kru kapal peti kemas (o iya, nama kapal peti kemasnya K.M PEMUDI) Terima kasih kami yang begitu besar pada mereka-mereka yang menolong kami dengan tulus. Nelayan Madura, Kapal Tongkang beserta kru, dan kapal PEMUDI beserta seluruh awak kapalnya.
Sampai di kapal ferry perusahaan, sudah menyambut kami nasi bungkus dan air mineral yang langsung kami serbu. Kami diberi selimut, sarung dlsb. Tenaga medis pun telah sigap. Minuman teh dan kopi tersedia. Tapi tentu saja yang sangat dibutuhkn oleh kami ini adalah: ROKOK.
Ini pelajaran buat mereka yang selanjutnya akan bekerja sebagai penyelamat professional, kita semua tahu bahwa ada beberapa penyakit yang datang justru karena adanya dokter bukan? Itu pula yang kami alami. Begitu tim medis mulai menanyakan keluhan-keluhan, barulah muncul rasa sakit disekujur tubuh, kulit yang terasa panas dan…. Kelelahan.
Terakhir, bila anda suatu saat menjadi penyelamat dalam kasus-kasus seperti ini, siapkanlah rokok yang banyak.
Karena menurut pengalaman saya, akibat tidak disiapkannya rokok oleh fihak yang bertanggung jawab (dalam hal ini perusahaan Dharma Lautan Utama) maka yang menjadi korban adalah para awak kapal yang membawa rokok, kami serbu untuk kami ajak bercerita bahkan sebenarnya para awak kapal malah menjadi tong sampah curhatan kami sambil kami mintai rokoknya .
“wah gila! gak nyangka saya bisa bertahan… Empat jam lho Mas… empat jaammm!!!! Makanya saya ni kedinginan klo gak ada rokok, punya rokok mas?”
Sementara yang lain bercerita
“jadi begini lho ceritanya Mas…. Wwuuuiiihh… waktu itu saya tu tueerrjjun ke laut Mas… eddiann pokokke….. ada rokok lagi Mas?”
Satu orang juga ngomong disaat bersamaan
“hooh Mas, ada juga itu ibu-ibu di duorong Mas sama suaminya, lha piye menneh to??? Rokoknya satu lagi donk Mas…”
Ah yaaa…. Urip mung mampir udutan.
Hasbunallah wa ni’mal wakiil nimal mawla wa ni’ma natsir….
Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150239923442393
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi