Ahmad Ikhwan Susilo
http://sastra-indonesia.com/
I
Udara kering dini hari ini masih membuatku terjaga. Dan sudah menjadi kebiasaanku untuk duduk di beranda bilamana aku terjaga dari tidur dan ingin menyendiri. Dua hari yang lalu istriku menerima sepucuk surat yang diantar oleh tukang pos ketika aku pergi ke Pairara. Istriku tak tahu menahu surat itu. Dia hanya berkata dari jauh. Tak ada nama pengirim. Hanya sebuah amplop kuning kecoklatan dengan tempelan dua perangko bergambar tiga kawanan Kanguru sedang berlarian yang bertuliskan; untuk kawan lamaku di Tanah Timor.
Aku mulai menduga…
II
Kawanku, Rudi Marsal Pires, yang selalu kukasihi.
Aku tahu kamu marah sebelum membaca tulisan ini. Kamu lebih senang melihat kehadiranku, bukan selembar tulisan dan potret masa lalu. Aku minta kamu juga mengerti keadaanku di sini. Aku berjanji pasti akan kembali. Kau masih ingat, suatu hari aku dari Dili pergi ke Lospalos hanya dengan modal satu dollar Amerika, di bawah standar kehidupan orang miskin. Aku menahan lapar di tengah jalan, tersesat di jalan dua arah menunggu bus di kota Baucau ditemani sebatang rokok. Tetapi aku selalu menepati janji. Anggaplah aku ketinggalan kereta dan sedang berjalan kaki pulang ke kampung halaman. Di tengah jalan aku menemukan banyak kehidupan yang sangat beragam warnanya. Lalu kutulis dalam sebuah cerita perjalanan seorang pengembara mencari cinta, perdamaian, dan keadilan.
Sekarang ini tidak seperti dulu lagi. Kata orang dunia sudah berubah. Aku tertawa sendiri mendengar itu. Dunia sebenarnya tidak berubah, yang berubah adalah manusia yang menghancurkan dunia. Waktu kita masih bersama dalam situasi politik yang hampir mencengkram leher dan urat nadi kita, kita hampir mati dalam gelombang laut musim barat. Aku pikir mungkin pak polisi dan tentara melihat kita berdua sebagai menu makanan yang tidak mengundang selera makan mereka. Sehingga kita diberi kesempatan untuk hidup, dan bercerita kisah yang hampir hilang dari ingatan kita.
Aku masih ingat betul, kamu belajar gitar dari aku, sementara aku belajar mencintai perempuan dan makan sehat darimu. Kadang-kadang kamu mengajakku makan malam bersamamu di rumah dinas berwarna putih seperti kulitmu. Makanan yang sangat enak dan lezat buatan ibumu. Aku suka sekali dengan sambal jeruk nipis. Ibumu melihatku seperti anaknya sendiri. Almarhum bapakmu seorang pegawai, sedangkan bapakku seorang polisi yang digaji rendah. Meski begitu, aku tetap bangga dan kagum terhadap profesinya.
Kita pernah berjanji untuk katakan ‘tidak’ pada segala jenis merek rokok yang menghancurkan hidup kita. Namun itu hanya omong kosong. Mungkin karena darah kita yang masih segar atau barangkali kita seperti anak kecil yang suka main kotor dan makan tanah. Itulah proses kehidupan, bagaimana manusia ingin mandi kalau dia sendiri belum kotor.
Kita pernah bermain mobil-mobilan di bawah pohon beringin besar dekat rumahku. Kamu memiliki mobil plastik koleksi terbaru. Orangtuamu sangat memperhatikanmu dalam hal mainan. Mereka memanjakanmu sebagai anak pertama dari empat bersaudara. Sementara aku bermain dengan mobil buatanku sendiri. Bahan-bahannya dari sepotong kayu kering dan kaleng bekas dengan paku berjumlah delapan belas. Kita bermain bersama adik-adik membuat jalan kecil. Mengangkut tanah dan batu manjadi benteng pertahanan kita, seperti kota Berlin kecil dengan desain arsitek amburadul.
Aku juga masih ingat ketika mabuk Colombus dari orang-orang Buton sebagai tanda perdamaian antara aku dengan istri pak Samsudin yang mukanya penuh dengan jerawat. Hanya gara-gara aku meminta istrinya untuk menghidupkan tape Polytron yang tidak terawat itu untuk menghiburku di pagi hari yang buta. Suaminya melaporkan kejadian itu ke kantor polisi dengan alasan aku mencoba merayu istrinya yang sudah dikaruniai dua anak. Gila saja! Ini tidak adil bagiku karena aku tidak memiliki rencana untuk melakukan hal semacam itu. Sampai akhirnya pak polisi Mas’ud dari Bima bersama Justino dari Moru Parlamento dengan motor RX-Kingnya mencari aku sampai di SMP Lautem. Waktu itu aku sudah tahu kedatangan polisi. Aku berusaha menghindarinya. Di pagi yang buta aku berlari sampai ke kampung Liarava. Sembunyi di asrama anak Soikili dan Iraonu. Kami makan jagung rebus dan ubi kayu. Kami bercanda tawa. Bercerita penuh bangga tentang reputasiku yang jelek di masyarakat.
Ah, betapa hebatnya pengalaman remaja dulu. Aku sungguh tak bisa melupakannya. Sungguh.
Kawanku, Rudi Marsal Pires, yang selalu kurindukan.
Aku ingat dengan jelas bahwa malam itu udara begitu dingin, begitu pekat gelap yang menyelimuti. Iringan suara jangkrik seperti paduan suara di Opera House Sydney menemani langkahku menembus malam menuju Lautem. Langkahku terhenti ketika tiba-tiba ada bisikan datang dari pasar gelap itu.
“Itu mungkin Robin, tapi kenapa dia tidak pakai baju? Coba kau panggil, Karlito.” Ujar pak Samada.
Karlito mulai memanggilku, “Robin, darimana kamu?”
Aku sedikit takut mendengar suara itu. Aku jawab, “Aku dari kampung Liarava. Apakah kalian bersama polisi?”
“O, tidak, kami bersama pak Samada, Rudi, dan Germano. Pak Samada memanggilmu, Robin. Dia dari tadi cari kamu.”
Dengan berat hati kulangkahkan kakiku ke pasar gelap itu. Di situ telah menunggu kau, pak Samada, dan Germano. Kulihat wajahmu begitu gusar. Dan aku sendiri mungkin terlihat pasi. Kita pun beranjak ke rumah orang Buton itu untuk berdamai.
Betapa girangnya aku sesampainya di sana. Kita langsung disuruh makan. Aku begitu menikmati. Ada ikan merah besar, bir ABC lima kaleng, dan dua botol Colombus. Sungguh, sebuah tanda perdamaian yang sangat menyenangkan.
Alkohol mulai mengotrol tubuhku. Aku merasa darahku tidak berwarna merah lagi. Bola mataku seperti Bob Marley menghisap ganja. Aku mulai ngomong dengan suara keras dan tertawa sendiri seperti orang gila dalam lagu Iwan Fals. Kita pulang dari rumah orang Buton itu. Kau memapahku karena tubuhku mulai melayang ringan. Aku berjalan sempoyongan. Tentu kau ingat, ketika kita sampai di depan kantor polisi aku mulai berteriak dengan lantang.
“Hei, Justino! kita punya masalah belum selesai, selama tanganku belum kena mukamu. Kamu ingat itu! Kamu bisa lapor ke komandanmu. Aku tidak takut sama kalian semua. Selamat tidur.” Setelah itu kita pergi. Aku mabuk berat malam itu.
III
Sebentar lagi subuh dan aku masih terjaga. Pagi ini tak begitu dingin. Aku mulai beranjak dari dudukku sedari tadi. Saatnya membuat segelas kopi lagi. Aku melangkah tenang menuju dapur. Berusaha tak membuat gaduh. Kulihat istriku begitu lelap tertidur. Aku yakin masih ada sisa air panas dalam termos juga sebungkus kopi racikan istriku. Dia pandai sekali dalam mengolah kopi. Sering kalinya aku ceritakan kepada teman-temanku bagaimana kehebatan istriku dalam meracik kopi. Hingga bilamana ada teman atau sanak saudara beranjang ke rumah kami, selalu kami bawakan kopi sebagai oleh-oleh. Memang dalam hal rasa dan selera kopi aku cukup angkuh.
Peristiwa itu sudah 26 tahun berlalu. Aku hampir melupa bila surat itu tak datang. Aku tersenyum mengingat setiap detil kebersamaan kami. Waktu darah muda dan semangat pemberontakan membanjiri tubuh. Waktu kami merasa sama hebatnya dengan Nino Konis Santana yang kenyang melahap peluru-peluru TNI.
Barangkali tanggung rasanya bila tidur pagi ini. Kurenggangkan tubuhku sejenak. Kutarik nafas. Dalam. Lalu kuhembuskan dengan perlahan. Otakku kembali segar. Segera kubuka sebungkus rokok. Kuambil sebatang. Kusulut.
Aku kembali membaca surat itu…
IV
Rudy kawanku,
Aku tahu cerita ini sudah basi di telinga orang-orang yang pernah memfitnah kita yang hidup di zaman itu. Aku tidak akan lagi menceritakannya kepada mereka. Aku hanya akan bercerita kepada anak cucu kita, generasi yang akan datang, bayi-bayi yang baru lahir, dan embrio-embrio yang sedang tumbuh dalam rahim pasangan anak muda yang mungkin besok akan menikah. Aku ingin mereka tahu sebuah kisah yang pernah terjadi di negeri ini. Aku bercerita secara jujur apa adanya. Apakah aku salah? Apakah aku sok moralis?
Ah, sungguh aku tidak ingin hidup kembali di zaman itu. Aku tidak mau seperti jagoan dalam film India yang memukul orang-orang sampai babak belur. Dan ketika kita masih remaja yang sering menghancurkan tenda-tenda pernikahan. Lorong gelap itu sudah terlalu tua untuk aku berjalan. Aku ingin membuka lembaran baru. Seperti seorang kakek tua yang rajin mandi sehari tiga kali di bawah air mancur sambil mengambil batu kecil digosokkan dari ujung kaki sampai rambut. Berlama-lama main air.
Mulai membuat jadwal menengok tetangga sebelah. Bangun lebih awal lalu membuat kopi. Mengantar anakku ke sekolah. Membaca sebuah novel. Mengajar bahasa kepiting kepada anakku. Mendengar alunan reggae di pagi hari. Sambil melihat laut dan nelayan yang mulai sibuk. Kehidupan yang damai bagi aku untuk belajar. Ah, aku merasa tua sekarang.
Kau tahu, sekarang aku pun mulai rajin berdoa. Hal ini aku pelajari dari kamu ketika dulu kita berada dalam kondisi yang terjepit. Waktu kita pertama kali tinggal satu rumah untuk bersekolah di Lospalos. Malam itu kita menyalakan dua lilin besar lalu berdoa Bapa Kami dan doa Rosario. Aku melihat kamu sangat serius seolah-olah kamu melihat malaikat datang dari surga atau sedang berkomunikasi dengan Tuhan Yesus. Dalam hatiku, aku tertawa kecil. Kamu benar-benar berubah malam itu. Imanmu lebih kuat dari pada aku. Sepertinya kamu cocok menjadi seorang katekis atau mungkin besok lusa mau jadi pastor. Aha, dalam hati aku tertawa terpingkal.
Setelah selesai berdoa lilin kamu matikan dengan tanganmu. Tidak sampai lima menit, tiba-tiba di luar rumah ada bunyi-bunyi sepatu boat tentara Indonesia. Ada orang sedang berjalan mengelilingi rumah kita, dan awalnya kita tidak takut. Di dalam rumah sangat gelap. Kita tidak saling melihat satu sama lain. Belum ada listrik. Rencananya lusa baru kita pasang. Tiba-tiba terdengar lagi di luar, bunyi sepatu semakin lama semakin banyak. Aku sempat berpikir ada apa sebenarnya. Aku berbisik ke telingamu; mungkin ada intel yang sedang mengikuti langkah kita. Dan memang daerah ini banyak intelnya pak Thomas. Pemimpin Alfa di Lospalos di bawah Kopasus di Laulara.
Dalam gelap itu kita terus berbisik-bisik. Mungkin di antara kita ada yang bekerja sama dengan para pemimpin pemberontak. Sampai bau klandestinnya tercium oleh hidung pak Thomas yang lubangnya semakin besar. Aku juga sudah mulai takut. Di tanganku ada samurai panjang milikmu. Dalam hatiku aku mulai berdoa. Makanya sampai sekarang kadang aku berpikir, kita akan mengingat Tuhan pada saat masuk gereja. Setelah keluar kita lupa. Seperti dalam cerita kita ini.
Ah, kawanku Rudi Marsal Pires
Semakin cerita itu aku kenang semakin aku rindu pula kehadiranmu di sini. Kini tanah kita telah merdeka. Namun apakah manusianya juga telah merdeka? Banyak nyawa yang terlalu sia-sia melayang. Darah yang terlalu suci tercecer. Tangisan yang tiada henti yang terlalu sesak jika aku mengenangnya lagi. Semoga kini jauh lebih baik.
Kau tahu betapa aku merindukan aroma tanah kampung kita. Entah kapan aku bisa menciumnya kembali. Karena aku telah memilih kemerdekaanku sendiri di sini.
V
Aku menerawang jauh menelusuri temaram kampung.
Membayang betapa dia begitu bahagia dengan kemerdekaannya. Kemerdekaan yang dulu sama-sama kami inginkan. Dan aku yakin tak ada satu pun di antara kami yang ingin mengulang masa-masa gelap itu di tanah kami.
Lembar-lembar surat itu telah selesai aku baca. Membuatku merasa merindukan kehadirannya. Mengulang segala cerita-cerita yang pernah kami torehkan. Bergurau sambil meminum dua botol Colombus.
Ingin rasanya segera aku ceritakan kabar baik ini kepadanya bersama angin malam yang mendesis pelan menyapu lembut wajahku.
Kampung kita sudah selayaknya kota. Kita telah memiliki pasar sendiri. Lebih ramai dari pasar-pasar yang lain. Di mana segala sayur dan buah banyak dijual di sini. Hingga kentang-kentang dari Baucau dan Maubisse terpaksa dijual di sini karena distrik tidak menghasilkan cukup untuk kebutuhan. Warga kampung kita pun masih giat menanam bunga. Walaupun potensi penjualannya masih rendah, namun sangat diperlukan bila ada perayaan agama, pesta perkawinan, dan prosesi pemakaman.
Para warga kini bingung melihat musim yang datang. Semua tak tentu. Hujan yang biasa datang dua kali seminggu di bulan Mei hingga Juli kini tidak bisa lagi dipastikan. Entah berapa tahun lagi Sungai Ribeiraraumoco, Ralailaba dan Danau Ira Lalaro mampu menjadi sumber air utama ketika musim kemarau tiba.
Anak-anak banyak yang telah sekolah. Sekolah-sekolah pun sedikit demi sedikit mulai diperbaiki hingga layak digunakan. Begitu juga dengan jalan-jalan kampung kita.
Dan yang lebih penting dari semua itu, kini tak ada lagi peluru-peluru yang menembus tubuh-tubuh tak berdosa hingga darah-darah tak perlu lagi tercecer sia-sia.
Suatu waktu bilamana rindumu sudah tak tertahan, pulanglah dan jenguk kampungmu ini. Ciumlah aroma tanah kebebasannya. Tanah kita. Lospalos…
Jogjakarta – Pare, Mei 2010
*) Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar