Petrik Matanasi *
http://sejarah.kompasiana.com/
Biarlah daku tinggal disini. Sentosa diriku disunyi sepi.
Tiada berharap tiada meminta. Jauh dunia disisi dewa.
Puisi itulah yang terukir pada nisan orang terkenal bernama Amir Hamzah. Serorang pujangga yang namanya terus disebut dalam sejarah, khususnya sejarah sastra di Indonesia. Pujangga Amir Hamzah telah memberikan sumbangan besarnya dalam dunia sastra Indonesia.
Amir Hamzah adalah pahlawan yang bernasib malang—seperti halnya Oto Iskandardinata—yang menemui ajal ditangan segelintir revolusioner buta diawal kemerdekaan sebuah negara bernama Republik Indonesia. Sentimen terhadap feodalisme diawal kemerdekaan Indonesia sangatlah wajar. Kebencian kaum kromo kepada kaum feodal yang bebrabad-abad menjadi sumber penderitaan kaum kromo. Bagaimanapun kematian Amir Hamzah di Kuala Begumit pada 20 Maret 1946—seperti juga Oto Iskandardinata—menjadi titik noda dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Amir Hamzah yang pahlawan Nasional itu tidak hanya hanya dikenal sebagai seorang pujangga besar di zamannya. Amir Hamzah, semasa belajar di Jawa pernah melibatkan diri dalam dunia pergerakan nasional Indonesia.
Sajak dan hidup Amir Hamzah
Amir Hamzah telah digolongkan dalam deretan penyair angkatan pujangga baru—Sutan Takdir Alisyahbana, Armin Pane juga Sanusi Pane—yang paling berpengaruh. Sebagai penyair—seperti judul buku H.B. Yassin—Amir Hamzah dinobatkan sebagai “Raja Penyair Pujangga Baru” yang menjadi bahan pembicaraan menarik bagi penikmat sastra Indonesia. Amir Hamzah dianggap sebagai simbol peralihan kebudayaan dan masyarakat aristokrat feodal ke aspirasi-aspirasi persamaan derajat dalam kehidupan Indonesia modern; ketegangan ini nampak pada konflik pribadi sekitar pernikahannya.
Tema dan sikap yang diusung Amir Hamzah dalam sajak-sajaknya, agak bersifat romantik. Sajak-sajak dalam kumpulan pertamanya, Buah Rindu, adalah kemurungan dan kerinduan seorang pemuda rantau dari Sumatra yang merindukan kampung halamannya. Nyanyian Sunyi, kumpulan sajaknya yang lain, adalah pergulatan seorang pemuda yang meninggalkan kesetiaannya dari dunia baru menuju sebuah dunia yang relijius.
Menurut buku Amir Hamzah: Radja Penjair Pujangga Baru, Yassin menulis, Buah Rindu memuat 25 sajak, satu diantaranya terdiri dari 4 bagian dan satu dari dua bagian. Kumpulan ini ditandai oleh kata-kata: iba, menangis, duka, sendu, merana, rindu, air mata dan lainnya yang menyatakan kesedihan. Juga kata-kata yang menggambarkan suasana jiwanya seperti: kelana, merantau, cinta, asmara, ratap. Kata-kata seperti: duhai dan wahai dipakai sebagai seruan. Yassin menangkap ketidakimbangan jiwa sang penyair—Amir Hamzah—dalam sajak Berdiri Aku:
Dalam rupa maha sempurna
Rindu sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Mengetjap hidup bertentu tudju.
Tertangkap dari sajak diatas penyair merindukan kehidupan yang bahagia dimasa depannya. Dalam sajak lainnya, Nyanyi Sunyi, Amir menggambarkannya kegoncangan jiwanya ketika dirinya terpaksa menikah dengan putri Sultan Langkat.
Amir yang dibiayai Sultan Langkat itu pernah jatuh cinta pada seorang gadis lain—Elik Sundari—dalam perantauannya hingga dengan paksa dinikahkan dengan putri yang mungkin tida dia cintai sepenuh hati itu. Amir yang sedang kuliah hukum di Recht Hoge School, Jakarta dipanggil pulang untuk menikah dan menggantikan ayahnya sebagai datuk bendahara di Langkat. Dalam sajak Selalu Sedih yang dimuat dalam Pujangga Baru edisi 7 Januari 1937 Amir menuliskan sajak—mungkin untuk Elik Sudari, kekasih yang ditinggalkannya—yang melukiskan dirinya yang tidakberdaya:
Hatiku sajang selalu sedih
Selalu sendu semata salah
Sekedjap mengetjap kasih
Paksa datang menjuruh lepas
Hidup badan tiada berdaja
Dalam genggaman orang lain
Kemana kata kesana mara
Boneka daging tiada berasa
Dalam pergolakannya dia menikmati kesunyiannya itu, Amir menuliskan: “Sunyi itu duka. Sunyi itu kudus, Sunyi itu lupa, sunyi itu lampas.” Dalam sunyi Amir berhubungan dengan Tuhan-nya, menyelami rahasia hidup sampai akhirnya ia terperosok dalam filsafat mistik.
Kumpulan sajak Nyanyi Sunyi kemungkinan ditulis di Jakarta semasa menjadi mahasiswa sekolah tinggi hukum (1934-1936). Masa-masa dimana Amir dianggap sedang mempersiapkan diri menjadi seorang pegawai sebagai persiapan pualang ke Langkat setelah kematian ayahnya. Banyak yang menyebut: saat itu Amir sedangan mengalami krisis diri teramat dalam. Hal ini berpengaruh dalam puisi-puisinya. Tema utama Nyanyi Sunyi adalah pencarian penyelesaian masalah pribadi melalui pengalaman relijius; usaha mencapai kesatuan mistik dengan Tuhan—manunggaling kawulo Gusti—disela-sela ketidakmampuannya mengatasi kontradiksi antara cinta dan kekejaman. Keduanya merupakan sifat Tuhan dalam hubungannya dengan manusia.
Persatuan dengan hakikat ketuhanan terhalang oleh perasaan duniawi yang tidak bisa ditiadakan. Sifat-sifat Tuhan yang samar-samar itu tidak jarang berubah menjadi kekejaman yang angkuh. Seperti dalam “Padamu Jua” yang sering mendapat pujian, setidaknya pada generasi Pujangga Baru:
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Dimana engkau rupa tiada
Suara sayup
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila dasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu—bukan giliranku
Mati hari bukan kawanku….
Amir Hamzah pernah diangggap destruktif terhadap bahasa-bahasa lama disatu sisi dan secara gemilang dalam kemunculan bahasa-bahasa baru. Puisi Nyanyi Sunyi juga dianggap duistere poezie (puisi gelap). Menurut H.B. Yassin, sangat tidak mukngkin kita mengerti Amir Hamzah, jika kita membaca Nyanyi Sunyi tanpa membekali diri dengan pengetahuan sejarah dan agama (Islam).
Ada pengaruh-pengaruh Melayu dalam sajak-sajak Amir Hamzah. Ini bukan hal aneh, Amir Hamzah—yang terlahir di tanah Melayu—didalam tubuhnya memang mengalir darah Melayu. Dalam penggunaan metafora terdapat pengaruh Persia dan India tanpa harus menghilangkan kemelayuannya. Contoh puisi Amir Hamzah yang memiliki corak Hinduisme terdapat dalam akhir puisi “Naik-naik.” Puisi itu terukir indah pada nisan makam penyairnya. Bagian dari puisi itu telah saya tulis diawal tulisan ini.
Riwayat Amir Hamzah Dalam pergerakan Nasional
Amir Hamzah alias Amir Hamzah Pangeran Indera Putra, terlahir—tanggal 28 Februari 1911 di Tanjung Pura, Langkat—sebagai putra Tengku Bendahara Paduka Radja Kerajaan Langkat. Langkat adalah Kesultanan kecil di pesisir timur Sumatra Utara. Keluarganya yang bangsawan telah memberinya kesempatan mempelajari banyak hal; mulai dari perdababn Islam di Melayu; juga peradaban barat.
Ayahnya, adalah penggemar sejarah dan sastra Melayu—seperti halnya orang-orang tua pada masa itu. hal ini kelak mempengaruhi Amir Hamzah. Sering kali ayahnya mengadakan malam-malam pertemuan dimana orang-orang membaca hikayat-hikayat Melayu lama seperti Hikayat Amir Hamzah, Bustanus-salatun dan lain sebagainya. Cerita yang paling diminati disana adalah cerita nabi-nabi, Qususul Anbia, namun dibacakan dalam bahasa Melayu. Tidak jarang Amir Hamzah juga disuruh membacakan hikayat-hikayat itu oleh ayahnya.
Amir Hamzah yang masih kecil ketika itu suka sekali dengan sastra-sastra Melayu, kendati hanya mendengarkan saja. Membacakannya mungkin sebuah kesenangan tersendiri bagi Amir Hamzah kecil.
Amir mulai menikmati pendidikan sekulernya di Hollandsche Inlandsche School Tanjung Pura—sekolah dasar pribumi untuk anak-anak orang terpandang—lantaran ayahnya orang penting di kesultanan Langkat. Setamat dari sana Amir melanjutkan ke sekolah menengah pertamanya—Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)—di Medan. Amir hanya menjalani sekolah menengahnya ditahun pertama saja. Di tahun kedua sampai tamat dia jalani di Christelijke MULO Mendjangan.
Bakat menulis Amir makin terasah ketika dia mengambil jurusan sastra timur di Algemene Middelbare School (AMS)—di Solo. Pendidikan tertinggi yang pernah diraihnya adalah di Recht Hoge School—sekolah tinggi Hukum zaman Belanda—di Jakarta, walau hanya samapai kandidat II.
Selama disekolah menengah-lah Amir Hamzah menerima pengaruh dari berbagai aliran sastra-sastra dunia. Amir Hamzah menerima semuanya tanpa harus kehilangan akarnya: kebudayaan Melayu. Tidak hanya Amir Hamzah saja yang menerima pengaruh kesusastraan dari luar ketika duduk di bangku sekolah-sekolah sekuler Belanda tingkat menengah seperti MULO atau AMS; Sutan Takdir, Armin Pane, Sanusi Pane. Hampir semua penyair yang pernah muda atau belajar di sekolah menengah Belanda model MULO atau AMS pada dekade 1930an, mulai mengenal sastra-sastra dunia dari sekolah menengahnya. Chairil Anwar yang bukan angkatan Pujangga Baru juga mengenal kesusastraan—modern barat—dari sekolah Belanda, kendati sekolahnya hanya sampai kelas II MULO.
Ketika belajar di RHS—bersama Sutan Takdir dan Armin Pane—ditahun 1933 mendirikan Majalah Pudjangga Baru. Majalah ini terbit teratur sampai masuknya Tentara Pendudukan Jepang di Indonesia. Tulisan Amir Hamzah yang pernah dimuat diantaranya terdapat terjemahan Setanggi Air dan Bhagawad Gita.
Kendati seorang bangsawan (Langkat) Sumatra, dirinya mau bergabung dengan Jong Java—Perkumpulan pemuda Jawa—yang tentu saja anggotanya pemuda dari Jawa. Amir Hamzah terbukti telah meninggalkan sifat kedaerahannya; jadi Amir layak dicap sebagai Nasionalis. Sebagai orang Melayu dirinya menganut: “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.” Terbukti dia berhasil menyesuaikan diri dan bergaul dengan tokoh-tokoh Jawa macam: Raden Panji Singgih atau Kanjeng Raden Tumenggung Wedyodi. Di Solo, ketika masih belajar di AMS, Amir tergabung dalam Indonesia Muda bersama Armin Pane. Amir pernah mewakili Indonesia Muda cabang solo dalam Kongres Indonesia Muda yang diadakan di Solo dari tanggal 29 Desember 1930 sampai 2 Januari 1931.
Keterlibatannya pada dunia pergerakan tidak lepas dari pergaulannya dengan kawan-kawannya di sekolah. Solo, yang merupakan kota dengan masyarakat feodal, juga menerima pengaruh pergerakannya sendiri. Riwayat pergerakan Amir Hamzah dalam organisasi politik, tidaklah terlalu menonjol. Amir Hamzah lebih dikenal dalam keterlibatannya di majalah sastra Pujangga Baru maupun puisi-puisinya. Keterlibatan Amir Hamzah dalam dunia pergerakan nasinal tidak banyak yang mencatat. Nama Amir Hamzah sendiri lebih sering dicatat dalam buku-buku sastra atau pelajaran bahasa atau sastra Indonesia dari pada dalam buku yang mengulas dunia pergerakan nasional selama dekade 1930an.
Dunia pergerakan secara tidak langsung ditinggalkan ketika dirinya dipanggil pulang pada tahun 1936, sebelum kuliah hukumnya di RHS selesai. Sepulangnya di Langkat, Amir menikah dengan Putri Tuhara, anak perempuan dari Sultan Langkat waktu itu. Latar belakang-nya yang pernah kuliah di RHS, juga mempengaruhi kedudukan-nya di masyrakat. Dia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai datuk bendahara kesultanan Langkat yang telah meninggal sebelum dipanggil pulangnya Amir. Tahap kehidupan Amir Hamzah di RHS, adalah tahap diri mempersiapkan diri menjadi pegawai dengan belajar ilmu hukum—termasuk hukum modern dan adat.
Kepulangannya ke Langkat—yang mungkin tidak dia inginkan itu—telah memisahkan dirinya dengan dunia pergerakan juga dengan gadis yang dia cintai. Dia harus menanggung hidup yang tidak dia ingini: menikahi putri Sultan Langkat—yang membiayai membiayai pendidikannya di Jawa, termasuk menemukan jati dirinya sebagai penyair.
Raja Penyair Pujangga Baru
Semula Amir berkenalan dengan sastra Belanda melalui penguasaan bahasa Belanda-nya yang dipelajarinya di HIS dan MULO. Amir mengenal sastra Belanda sejak duduk di MULO Jakarta. Di AMS semakin mengasah kemampuan menulisnya. Amir juga mulai mengenal sastra-sastra timur (Asia). Penulisan Amir lebih kearah sastra. Beberapa karangannya tentang kesusastraan India, Arab dan Persia kemudian dimuat di Pudjangga Baru pada tahun 1934.
Kendati berkenalan dengan sastra Belanda, tidak ada bukti langsung yang mempengaruhi karya-karya Amir Hamzah. Walau demikian diantara penyair Pujangga Baru lainnya, hanya Amir yang saja yang mendekati hakekat romantik Eropa, yang menjadi tonggak budaya pada zaman itu. Namun atas dasar ini pula puisinya mengakui sepenuhnya tonggak budaya tradisonal. Dibanding yang lainnya pula puisi Amir Hamzah dianggap mampu menggabungkan dengan sempurna individualisme barat dengan persajakan Melayu tradisional. Amir gemar menggunakan metafora, namun untuk tujuan pembaharuannya. Dirinya juga menggunakan pola-pola penggubahan puisi tradisional, namun dia memfungsikannya untuk tujuan individualisme yang terdapat dalam tonggak budaya modern. Disatu sisi Amir menggunakan menggali kebudayaan melayu dimana dia berasal; kebudayaan modern barat yang diperolahnya disekolah-sekolah Belanda yang dia jalani dimasa perkembangannya; juga nasionalisme yang dia wakili dalam Indonesia Muda. Ketiganya adalah sebuah dialektika dalam kehidupan penyair Amir Hamzah. Puisinya menunjukan dinamisme budaya dan potensi kreatif yang terkandung dalam gerakan kebangsaan Indonesia masa pergerakan.
Amir Hamzah ,selain memberi sumbangan untuk dunia sastra Indonesia, juga kepada dunia sastra Melayu. Dari Amir Hamzah, bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik sampai saatb sekarang ini. Diakui dalam puisi Buah Rindu, terlihat bahwa Amir Hamzah telah memberikan warna modern dalam suara dan lagu pantun-pantun Melayu.
Judul buku H.B. Yassin: Amir Hamzah: Radja Penjair Pujangga Baru (1962) telah menobatkan Amir Hamzah sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Dalam dunia pergerakan nasional sendiri Amir Hamzah bukanlah orator handal seperti Sukarno. Belum ada bukti yang menyatakan Amir Hamzah adalah daftar incaran PID Belanda yang selalu menghantui kaum pergerakan. Amir Hamzah bukan pembuat petisi seperti Soetardjo. Amir Hamzah hanya seorang penyair pada zamannya yang memberi warna dalam dunia sastra Indonesia. Lebih bijak jika kita menyebut bahwa Amir Hamzah adalah pejuang kesusastraan di Indonesia—kala itu bernama Hindia Belanda—pada lapangan kesusastraan dengan karya-karyanya yang Indonesiasentris. Bersama penyair-penyair pada zamannya, Amir Hamzah telah memberi identitas baru bagi sastra Indonesia asli setelah pengembaraannya mereduksi pengaruh-pengarus sastra dunia, baik barat maupun timur.
*) Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan, tinggal di Jogja. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar