Istiqamatunnisak
http://wa-iki.blogspot.com/
Hikayat Teungku di Meukek adalah sebuah teks sastra Aceh yang menukilkan berbagai peristiwa sejarah dan penuh pesan sosial dan politik. Tulisan ini menjelaskan tentang pengaruh kolonial dalam hikayat tersebut. Naskah kuno yang di dalamnya banyak mengandung berbagai nilai budaya, baik tentang kepercayaan, adat-istiadat, filsafat, pendidikan, ekonomi, sosial dan politik, bahkan sejarah. Pembedahan, pengkajian, dan pengungkapan berbagai warisan nilai budaya di dalamnya diperlukan sebagai upaya mewujudkan cita-cita pembangunan bangsa. Hikayat Teungku di Meukek merupakan naskah lama yang menggambarkan perlawanan rakyat Aceh di Meulaboh terhadap hulubalang yang didukung oleh Belanda. Hikayat ini ditulis untuk melihat bagaimana perlawanan masyarakat Aceh terhadap kolonial.
Pendahuluan
Karya sastra adalah refleksi pengarang tentang hidup dan kehidupan yang dipadu dengan gaya imajinasi dan kreasi yang didukung pengalaman dan pengamatannya atas kehidupan tersebut (Djojosuroto, 2006:77). Hakikat karya sastra adalah bercerita yang merupakan bentuk dari hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Djojosuroto,2006:77). Di Indonesia terlalu banyak peninggalan warisan budaya nasional yang saat ini belum terungkapkan. Warisan budaya nasional yang tak ternilai harganya itu masih banyak berserakan di seluruh pelosok tanah air, baik yang berada di tangan anggota masyarakat tanpa perawatan yang berarti, maupun yang masih terpendam tanpa diketahui di mana adanya. Salah satu di antara warisan budaya nasional yang masih bertebaran pada sebagian anggota masyarakat adalah naskah-naskah kuno, sebagai warisan intelektual bangsa Indonesia.
Berbicara tentang naskah merupakan salah satu warisan kebudayaan Indonesia yang sangat banyak nilainya, naskah mempunyai dimensi dan makna yang sangat luas, karena merupakan hasil tradisi yang melibatkan berbagai keterampilan dan sikap budaya. Dalam naskah terkandung kekayaan yang melimpah. Isi naskah tidak terbatas hanya pada kesusastraan akan tetapi mencakup berbagai bidang lain seperti agama, sejarah, hukum adat, obat-obatan, teknik dan lain-lain. Naskah kuno mengandung berbagai warisan rohani, perbendaharaan pikiran dan cita-cita nenek moyang bangsa Indonesia, adalah merupakan sumber aneka informasi ilmu pengetahuan dan perkembangannya, di antaranya adalah Hikayat Teungku di Meukek.
Hikayat kalau diartikan dalam bahasa Aceh adalah penyampaian secara lisan sering dengan irama lagu yang indah agar dapat menarik perhatian para pendengarnya. Hikayat di Aceh terdapat banyak jenis dalam ungkapan Aceh beuet-(ba-), berarti membaca Hikayat, peugah; menceritakan Hikayat, Ruhe, Hikayat jenaka yang tidak mengisahkan sesuatu masih tertentu, tetapi fantasi pengarang yang kadang-kadang didasarkan kepada pengalamannya sendiri atau orang lain; neuba mangat that s., Ia Meu-, mempunyai Hikayat. Membaca hikayat oleh orang yang mengisahkan Nadham dan Sanjak (Sakti dan Dally,2002:7). Hikayat masih tetap eksis dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan Aceh sampai sekarang sebagaimana terlihat dalam resitasi (pembacaan hafalan) yang dilakukan, bahkan untuk mempermudah dalam membacanya banyak hikayat yang sudah dicetak yang disebut dengan “Litho Graphi” dan ditransliterasi ke latin seperti melalui peredaran yang dilakukan oleh berbagai penerbitan atau toko buku di Aceh sekarang (Seno, 2002:19).
Hikayat ini memberi pengaruh dan merupakan salah satu sastra kitab hikayat populer diminati masyarakat Aceh, bagi masyarakat Aceh terutama di bidang kebudayaan yang terkandung dalam naskahnya, sehingga hampir setiap orang Aceh, terutama tokoh-tokoh masyarakat, mengadopsi ilmu-ilmu yang terdapat dalam naskah lama tersebut ini, terutama masalah adatnya. Dalam naskah ini memberikan nilai penting yang harus dipelajari oleh masyarakat Aceh sejak dulu bahkan hingga sekarang pun masih berlaku di dalam masyarakat Aceh. Bahkan hikayat juga mengisi setiap acara waktu senggang masyarakat Aceh sehingga daerah Aceh terkenal pula dengan kekayaan literaturnya.
Adapun yang dimaksud dengan teungku adalah gelar tokoh-tokoh agama di Aceh, atau orang yang taat beribadah dalam masyarakat Aceh sehingga diberi gelar teungku. Sedangkan Meukek adalah nama tempat yang terdapat di Meulaboh, Aceh Barat. Teungku di Meukek tersebut datang ke Rundeng untuk menyebarkan agama Islam dan menetap di daerah itu. Beliau sangat disegani oleh masyarakat sehingga para penguasa di sekitar wilayah tersebut tidak senang. Hikayat Teungku di Meukek ini merupakan salah satu karya sastra lama yang dikarang oleh masyarakat Aceh pada masa itu karena melihat persengketaan yang terjadi dan karena melihat kejadian-kejadian konflik antara masyarakat dengan para Hulubalang di bawah pemerintahan Belanda, Belanda menghasut para Hulubalang untuk menyerang Teungku di Meukek. Dari hikayat di atas kita bisa melihat bahwa ada pengaruh postkolonial yaitu adanya campur tangan Belanda untuk menghasut para Hulubalang sehingga atas bantuan pemerintahan Belanda, para Hulubalang menyerang daerah Rundeng tersebut.
Isi Ringkas Hikayat Teungku Di Meukek
Hikayat Teungku di Meukek diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh GWJ Drewes tahun 1980 dengan judul Two Achehnese Poems yang diperoleh dari Drs Wamad Abdullah di Banda Aceh pada Juni 1982. Dalam buku setebal 99 halaman ini, teks bahasa Acehnya telah disunting dengan menyesuaikan ejaannya dengan ejaan bahasa Indonesia yang sudah disempurnakan. Hikayat ini merupakan hikayat lama dan sudah dibicarakan oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya The Achehnese (Harun, 1983:7) Drewes sendiri mendapat kedua naskah ini dari perpustakaan Leiden. Menurut Drewes, hikayat ini merupakan karya asli pengarang Aceh, bukan terjemahan atau saduran dari karya asing, seperti hikayat Aceh lainnya. Tidak ada catatan mengenai tahun penulisan kedua karya tersebut (Harun, 1983:7).
Penyalin hikayat ini ialah Panglima Nyak Amin yang mendapat naskah aslinya dari Juhan Muda Pahlawan, yaitu putra Lila Peukasa, yaitu penguasa Meulaboh pada masa itu. Pengarang aslinya adalah Teungku Malem, asal Trumon, tinggal di Kampung Peunaga (Harun, 1983:7). Penyair mengabadikan sengketa yang terjadi pada tahun 1893 dan 1894 itu, antara tokoh tokoh penguasa Meulaboh yang bersahabat dengan Belanda, dan kelompok perlawanan yang bermarkas utama di Rundeng dan dipimpin oleh tokoh suci Teungku di Meukek (Hurgronje,1985:124).
Syekhuna, demikian nama sebutan seorang ulama yang dikenal dengan panggilan Teungku di Meukek karena perlawanannya terhadap Belanda. Ulama tersebut memperkuat kedudukannya di Rundeng, dekat Meulaboh, sambil menyebarluaskan ilmu agama serta mendirikan kubu-kubu pertahanan dengan tujuan hendak melawan Belanda. Dari berbagai kampung, orang berdatangan untuk memuliakan Teungku di Meukek dengan membawa berbagai buah tangan sebagai hadiah. Kegiatan Teungku di Meukek memperkuat negeri Rundeng dianggap oleh para hulubalang yang berkuasa negeri itu mengganggu ketertiban dan keamanan. Belanda yang mengetahui hal itu segera memanggil para hulubalang dan menghasut mereka supaya menyerang negeri Rundeng dan melawan Teungku di Meukek, seraya membekali mereka dengan senjata yang diperlukan. Para hulubalang menyambut baik bantuan Belanda dan mempersenjatai anak negeri.
Di bawah pimpinan Raja Lila Perkasa dari Meulaboh, rakyat siap menyerang Rundeng. Begitu rakyat Rundeng dan Teungku di Meukek mendengar berita bahwa pihak Belanda akan membantu para hulubalang, mereka semakin giat memperbanyak benteng-benteng pertahanan dan mengatur siasat perang di masing-masing tempat. Dengan semangat yang tinggi Teungku di Meukek dengan khotbahnya yang berapi-api mengumumkan perang jihad melawan Belanda dan kaki tangannya. Tanggal 6 dianggap hari baik untuk memulai perang. Di bawah pimpinan Teuku Panglima Dalam, Teuku Haji Ben, Panglima Nyak Yeb dan panglima lainnya, serentak rakyat Meulaboh menyerang Rundeng. Selama beberapa hari pertempuran berlangsung, satu demi satu kubu pertahanan Rundeng jatuh ke tangan hulubalang, antara lain Kuta Nibong, Kuta Asan, Padang Sirahet, dan Kuta Sijaloh.
Ketika perang sedang berlangsung di Rundeng, para pembesar Belanda di Kutaraja memutuskan untuk mengirimkan bantuan guna membantu Raja Lila Perkasa. Beberapa hari kemudian, tiga kapal perang Belanda berlabuh di Lhok Meulaboh. Para serdadu didaratkan dan langsung menyerang Rundeng, sementara meriam-meriam kapal terus menerus menembaki kubu-kubu pertahanan kaum pejuang. Korban berjatuhan di pihak kaum muslimin. Kemudian peperangan terhenti seketika.
Di dalam tubuh pejuang sendiri terjadi keretakan. Orang-orang yang berasal dari Woila dan Bubon meninggalkan Teungku di Meukek. Tanggal 27 bulan Ramadan, Teungku di Meukek keluar dari benteng pertahanan setelah melakukan sembahyang dan berdo’a semoga dapat mengusir musuh. Sambil berzikir, di malam yang gelap itu Teungku di Meukek pergi dari satu benteng ke benteng musuh yang lain. Dalam malam yang gelap gulita disertai hujan lebat Teungku di Meukek masuk ke dalam sebuah benteng yaitu Kuta Haji Sarong seraya menanyakan kepada seorang pengawal di mana Haji Sarong dan Teuku Panglima Dalam berada. Sebelum sempat memberi jawaban pedang, Teungku di Meukek sudah merengut nyawa pengawal itu. Maka terjadilah huru-hara antara Teungku di Meukek dengan para pengawal benteng. Setelah terjadi pertarungan singkat, mereka terpaksa melarikan diri meninggalkan benteng yang dikuasai Teungku di Meukek.
Teuku Panglima Dalam dan Teungku Haji Sarong yang berada di Kuta Nibong datang mencari Teungku di Meukek setelah mendengar peristiwa yang baru saja terjadi. Dalam keadaan berhadap-hadapan antara Teuku Panglima Dalam dan Teungku di Meukek di kegelapan malam itu, tiba-tiba Panglima Muda yang ikut serta dengan Teuku Panglima Dalam melepaskan tembakan. Teungku di Meukek rubuh dan tewas. Esok harinya, mayat Teungku di Meukek diambil oleh Belanda dan dibawa berlayar. Tidak ada orang yang mengetahui ke mana mayat Teungku di Meukek dibawa. Dengan syahidnya Teungku di Meukek, para hulubalang dan Belanda dapat berkuasa kembali (Ramli Harun, 1983). Hikayat ini berakhir dengan kematian Teungku di Meukek. Di sini nampak salah satu kekhasan orang Aceh. Sang penyair, walau berada di pihak pemerintah Belanda, menggambarkan Teungku di Meukek sebagai seorang sahid dan para pengikutnya sebagai wakil-wakil agama. Tidak perduli di pihak mana seorang Aceh berada, ia selalu menggambarkan musuh kaum kafir sebagai pendukung perjuangan yang benar (Hurgronje,1985:124).
Untuk mengkaji persoalan ini, maka teori yang cukup relevan digunakan adalah teori postkolonial. Teori postkolonial adalah teori kritis yang mencoba mengungkapkan kesadaran bahwa sudah sekian lama terjadinya perjalanan waktu, ada masalah-masalah yang perlu dipertimbangkan, yang sebelumnya belum disadari, akibat negatif yang ditinggalkan oleh kolonialisme Barat. Akibat yang dimaksudkan adalah tidak lebih bersifat degradasi mental.
Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa postkolonial ingin menggugat praktek-praktek kolonialisme yang telah melahirkan kehidupan yang penuh dengan propaganda peperangan dan kekerasan fisik, tetapi didialektikakan melalui kesadaran atau gagasan. Dengan perkataan lain, postkolonial sebagai alat atau perangkat kritik yang melihat secara “jernih” bagaimana sendi-sendi budaya, sosial dan ekonomi digerakkan untuk kepentingan kelas dominan atau pusat. Postkolonial mencoba membongkar mitos-mitos yang “mengerdilkan” daya kritis dari penguasaan hegemoni melalui gerakan budaya dan kesadaran yang subtil (Anderson,1999:8).
Dapat dikatakan bahwa postkolonial adalah perlawanan sehari-hari, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ben Anderson bahwa sebentuk mode atau siasat perlawanan massa rakyat kecil tanpa politik yang dilakukan dengan gerakan “picisan” untuk mengkaji ulang “politik modern” identitas adiluhung kalangan elite yang (sedang) berkuasa (Anderson, 1999:9).
Pengaruh Postkolonial Dalam Hikayat Teungku Dimeukek
Kajian postkolonial adalah salah satu kajian akademis yang berkembang setelah tahun 1980-an. Perkembangan ini sebagai dampak pemikiran teori kritis dan postmodern yang mewarisi pemikiran Nietszhe seperti: Heidegger, Derrida, Foucault, Bataille dan lainnya. Ada karakteristik yang sama dan menjadi ciri utama teori kritis dan postmodern yaitu bahwa teori sosial berguna untuk meningkatkan kesadaran dan wawasan yang lebih memungkinkan perubahan lingkungan sosial budaya secara rasional dan lebih manusiawi. Hal ini terlihat jelas pada kajian postkolonial. Oleh karena itu, Akhyar mengemukakan bahwa teori kritis dan postmodern berjasa besar dalam menumbuhkan kesadaran di kalangan ilmuwan bahwa dalam praktek-klasifikasi ilmiah, pemahaman dan penelitian tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kepentingan, kekuasaan dan ideologi (Ahyar, 2006:199).
Menurut Edward Said, pandangan kaum kolonialis Barat (khususnya kaum oriental) yang merendahkan pandangan Timur (masyarakat jajahannya) sebagai konstruksi sosial-budaya yang tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan mereka. Karena itu, pandangan dan teori yang dihasilkannya tidaklah netral dan obyektif sebagaimana mereka duga. Said menggunakan pemikiran Foucault dan Teori Kritis sebagai dasar teori postkolonialnya. Said menggunakan pemikiran tokoh itu untuk membongkar narsisme dan kekerasan epistemologi Barat terhadap Timur dengan menunjukkan bias, kepentingan, kuasa yang terkandung dalam berbagai teori yang dikemukakan kaum kolonialis dan orientalis (Baso, 2005:59).
Bukan lagi rahasia umum bahwa segala sesuatu yang dipaksakan Barat pada negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia selalu bersifat subjektif. Hikayat Teungku di Meukek merupakan salah satu hikayat yang membahas tentang persengketaan antara masyarakat Aceh pada masa itu terhadap Belanda. Perlawanan terhadap pemerintah kolonial telah terjadi naratif heroik, baik di Indonesia maupun di tempat-tempat lain, perjuangan melawan para penjajah tidak hanya menggerakkan banyak orang, tetapi juga memberikan tujuan moral yang jelas. Mengenang kembali revolusi dan mengklaim legitimasi, tetapi juga bisa menjadi cara untuk mengkritik rejim sekarang karena mengkhianati cita-cita terdahulu (Faulcher & Day, 2002:468).
Hikayat Teungku di Mekek menyajikan suatu ulasan yang jelas tentang sejarah Aceh dan wawasan mengenai kondisi Aceh pada saat itu bahkan mempunyai nilai sejarah khusus. Karya ini mempunyai latar belakang sejarah yang cukup jelas walaupun fakta-faktanya dicerminkan melalui medium imajinatif yang seluruhnya bersesuaian dengan ciri khas Aceh. Kita dapat lihat bagaimana Belanda menghasut Hulubalang untuk memerangi Teungku Meukek di Rundeng, seperti kutipan dibawah ini,
Raja Beulanda atejih sosah
Jikeumeung pinah sinan Syekhuna
Jimupakat sabe keudroe-droe
Tapangge jinoe raja raja
’Oh ka tapangge dum Hulubalang
Dudoe tayue prang bakjih teuma
Meunankeu pakat di kompeuni
Ban narit jibri ka ubak raja
Nanggroe Rundeng jak leh taprang
Beulanja tuan ulon peuna
Han sep siribee dua lhee ribee
Bek kamalee kaprang lanja
Peue meusaket atra kompeuni
Jinoe kubri keu beulanja
Nyankeuh teuku cuba pike
Ubat beude ulon peuna
Artinya:
Raja Belanda hatinya susah
Dia ingin mengusir syekhuna atau Teungku di Meukek
Mereka melakukan muwafakat dengan sesamanya(Belanda)
Untuk memanggil setiap para raja atau para Hulubalang
Setelah dipanggil para Hulubalang
Kemudian kita ssuruh perang sama mereka
Begitulah muwafakat para kompeni
Begitulah khabar yang disampaikan sama raja
Negeri rundeng mari kita perang
Semua keperluan tuan akan kami sediakan
Tidak cukup siribu dua ribupun kami kasih
Jangan kalian pikirkan kita perang saja
Jangan kalian susah dengan harta kompeni
Sekarang kami berikan untuk belanja
Sekarang coba anda pikirkan
Kalau masalah senjata ada sama kami
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Belanda mengajak dan menghasut para Hulubalang untuk menyerang Teungku di Meukek di Rundeng, bahkan Belanda juga menyiapkan semua fasilitas yang diperlukan, baik uang maupun senjata. Belanda menghasut para Hulubalang karena para Hulubalang juga sangat membenci Teungku di Meukek karena Teungku di Meukek adalah seorang pendatang yang datang ke daerah rundeng untuk menyebarkan ajaran Islam, bahkan selain itu Teungku di Meukek juga telah membuat daerah rundeng maju dan terkenal. Bahkan sebab lain para Hulubalang membenci Teungku di Meukek karena orang wilayah-wilayah yang dekat dengan rundeng juga banyak yang berdatangan untuk belajar pada Teungku di Meukek terutama belajar ilmu agama.
Dalam hikayat tersebut digambarkan bahwa Belanda sudah lama ingin menguasai Rundeng, dan sudah pernah menjajah wilayah Rundeng tersebut dan juga wilayah di sekitarnya, tapi tidak pernah berhasil karena orang Rundeng tidak terpengaruh dengan kedatangan Belanda, bahkan menolak kedatangan kolonialis ke wilayah mereka. Oleh karena itu, Belanda menghindar dan tidak berani melawan Teungku di Meukek yang memimpin wilayah Rundeng itu karena ia terkenal sangat kuat dan sukar ditaklukkan. Namun begitu Belanda mengetahui bahwa para Hulubalang Meulaboh merasa sakit hati pada Teungku di Meukek dan ingin menyerang wilayah rundeng, maka Belanda mulai mengatur siasat yaitu menggunakan kesempatan untuk bekerja sama dengan para Hulubalang.
Hikayat Teungku di Meukek menunjukan adanya ketidaksesuaian antara masyarakat Aceh yang satu wilayah dengan wilayah yang lain, sehingga munculnya perlawanan. Dalam hikayat ini juga menggambarkan bagaimana sosok seorang ulama dalam menyebarkan Islam di jalan Allah. Hikayat ini memberikan gambaran perjuangan seorang dalam menghadapi penjajahan dan secara tegas menggambarkan musuh utama itu orang Belanda yang tampil sebagai wakil semua bahaya yang mengancam mereka dari Eropa.
Hikayat ini juga menggambarkan kesabaran kepada kita bahwa walaupun dihina dan dicemoohkan oleh para Hulubalang dan Belanda, tetapi Teungku di Meukek tetap menjalankan tugasnya sebagai ulama. Bahkan Teungku di Meukek dalam peperangan melawan Belanda dan Hulubalang dibantu oleh para ulama serta warga Rundeng dan sekitarnya. Hal ini menunjukkan adanya semangat yang luar biasa pada masyarakat dalam membantu Teungku di Meukek untuk melawan para Hulubalang dan penjajah. Hikayat ini menampilkan ideologi bahwa bagaimana seruan dalam menyongsong ke arah perbaikan, melawan penjajahan, dan mempertahankan wilayahnya dari tangan penjajahan. Hikayat ini menunjukkan bahwa masyarakat melakukan perjuangan sosial dalam praktek politik nyata, dan berhasil menunjukkan adanya permainan kuasa dan pengetahuan dalam berbagai teori yang di kemukakan kaum kolonialis atau orientalis.
Dalam Hikayat ini diberikan paparan yang cemerlang, tentang bagaimana sikap para penjajah terhadap masyarakat Aceh, dan juga menunjukkan bagaimana respon masyarakat Aceh yang tertindas, sehingga munculnya dorongan untuk melawan para penjajahan, dan adanya semangat dalam melakukan perjuangan dalam bekerja sama untuk melawan penjajah tersebut. Begitu juga nilai-nilai yang terdapat dalam Hikayat, sebagian dari nilai-nilai tersebut mengajarkan hal yang serupa tentang semangat untuk bertahan hidup. Ciri khas lain yang ada dalam hikayat adalah adanya motif yang menggerakkan cerita.
Kesimpulan
Hikayat Teungku di Meukek merupakan salah satu karya sastra lama yang ditulis dalam bahasa Aceh oleh masyarakat Aceh dulu. Hikayat ini menggambarkan tentang perlawanan rakyat Aceh terhadap pemerintahan kolonial yang menghasut para Hulubalang. Hikayat ini menunjukkan adanya perjuangan sosial dalam praktek politik nyata dan berhasil menunjukkan adanya permainan kuasa dan pengetahuan dalam berbagai teori yang dikemukakan kaum kolonialis atau orientalis. Naskah ini ingin menggugat praktek-praktek kolonialisme yang telah melahirkan kehidupan yang penuh dengan propaganda peperangan dan kekerasan fisik, tetapi didialektikakan melalui kesadaran atau gagasan. Teori postkolonialisme dianggap dapat memberikan pemahaman terhadap masing-masing pribadi agar selalu mengutamakan kepentingan bangsa di atas golongan, kepentingan golongan di atas kepentingan pribadi.
Referensi:
Ahmad Baso, 2005. Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme dan Liberalisme. Bandung: Mizan Pustaka.
Akhyar Yusuf Lubis, 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
Benedict Anderson, 1999. Komunitas Imajiner: Renungan Tentang Asal-Usul dan Penyebaran Nasionalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar- Insist.
Faulcher & Tony Day, 2006. Clearing A Space, Kritik Pasca Kolonial Tentang sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kinayati Djojosuroto, 2006. Analisis Teks Sastra dan pengajarannya. Yogyakarta: Pustaka.
Ramli A. Dally dan Teuku Abdullah Sakti, 2002. Hikayat Akhbarul Karim, Transliterasi dan Terjemahan. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi NAD.
Ramli Harun, 1983. Hikayat Ranto Ngon Hikayat Teungku di Meukek. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Seno, 2002. Mitos dan Fakta “Hikayat Raja-raja Pasai (Kisah Tentang Pelanggaran Hukum yang Menyebabkan Kehancuran)”, dalam Buletin Haba, Edisi 24, Banda Aceh: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Aceh.
Snouck Hurgronje, 1985. Aceh di Mata Kolonialis. Jilid II. Jakarta: Yayasan Soko Guru.
__________
Istiqamatunnisak, Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Email: istiqamatunnisak@yahoo.co.id Sumber: http://www.acehinstitute.org
Dijumput dari: http://wa-iki.blogspot.com/2011/05/hikayat-teungku-di-meukek-tinjauan.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar