Minggu, 28 Agustus 2011

Negeri Kita Belum Merdeka

Wawan Eko Yulianto*
http://oase.kompas.com/

“NEGERI KITA BELUM MERDEKA!” begitulah kira-kira bunyi headline dua koran lokal menyusul “pemerkosaan” sebuah monumen kemerdekaan hasil sumbangan yang baru diresmikan.

Dua minggu sebelum peringatan hari kemerdekaan, para veteran yang dulunya tergabung ke dalam tentara pelajar mengundang bapak walikota dan para wartawan ke sebuah sudut jalan di sebuah pemukiman.

Di sana, wakil dari para veteran itu mengatakan kepada bapak walikota, “Kami sumbangkan Monumen Merdeka untuk kota kita . . . .” Sambil berkata, dia menarik kain yang menutupi sebuah bangun yang menjulang agak tinggi. Kain tersibak dan terlihatlah sebuah patung. “Kami harap, monumen ini bisa menjadi peringatan bagi generasi muda agar mereka menghargai kemerdekaan yang telah kami perjuangkan dan agar mereka bisa menggunakannya dengan sebaik-baiknya.”

Bapak walikota menyatakan kegembiraannya dan berjanji akan mengelola monumen ini dengan sebaik-baiknya. Para wartawan mencatat kata-kata sang veteran.

Maka, sejak itu kota memiliki sebuah monumen yang dikenal sebagai Monumen Merdeka. Monumen itu tak terlalu besar, tetapi sangat bagus. Ada pelataran bundar beralas beton dengan diameter sekitar tujuh meter. Di sekeliling lingkaran itu ada bangku juga dari beton. Di sekeliling bangku beton terdapat bagian yang dikelilingi kawasan yang hanya tertutupi batu-batu kali berukuran tinju orang dewasa. Di tengah-tengah lingkaran itu terdapat sebuah patung tentara mengangkat tangannya yang terkepal, dengan wajah tersenyum, dan membawa buku di tangan kirinya. Sekalian dengan pedestalnya, monumen itu berukuran tinggi tiga meter. Pada pedestal patung terdapat tulisan “Merdeka! Kini saatnya bagimu menggunakan kemerdekaan inil!”
* * *

Misdi si tukang sampah bekerja setiap hari. Dia ambil sampah di depan setiap rumah dan dia masukkan ke gerobaknya yang berwarna kuning. Jika sampah dari semua rumah sudah dia ambil, dia tinggal berjalan ke tempat pembuangan sampah kelurahan. Selanjutnya, akan ada truk sampah yang membawa sampah hasil buangan para tukang sampah seperti Misdi. Tanggung jawab Misdi hanya mulai rumah-rumah hingga tempat pembuangan sampah keluharan. Namun, sejak adanya Monumen Merdeka, bapak lurah memberinya tanggung jawab tambahan yaitu menjaga kebersihan Monumen Merdeka.

Misdi berangkat pada pukul 2 dini hari. Saat banyak orang sedang kerepotan bermimpi, Misdi sudah keluar rumahnya menarik gerobak kuning dan berbaju kuning yang setiap hari dia pakai untuk bekerja itu. Baju dan gerobak Misdi sangat bau. Aromanya seperti campuran segala macam sampah. Saking seringnya dia pakai berdekat-dekat dengan sampah, baju dan gerobaknya itu selalu bau. Bahkan, saat dia masih baru keluar rumahnya dan belum menyentuh sampah sama sekali, baju itu sudah berbau.
Saat dia berjalan menuju tempat pembuangan sampah kelurahan, dia akan melewati sederetan rumah agak mewah. Di tengah-tengah deretan rumah agak mewah itulah terdapat monumen baru, Monumen Merdeka. Itulah tanggung jawabnya yang baru. Biasanya, dia sudah berada di sana pada pukul setengah empat.

Tanggung jawab baru itu membuat Misdi jadi selalu berhenti di sana. Tidak banyak yang perlu dibersihkan, paling-paling dia hanya akan memungut sedikit sampah dan mengosongkan keranjang sampah yang ada di sana. Lalu dia akan beristirahat sejenak, sekedar melepas lelah. Dia selalu memarkir gerobaknya tepat di depan monumen itu dan berjalan ke bangku yang melingkari patung. Di salah satu sudut dia langsung memilih berbaring. Dia suka melihat tentara yang membawa buku itu.

Yang selalu dia lakukan adalah meratapi kenapa dia menjadi tukang sampah. Sebenarnya dia tak ingin mengeluh seperti itu. Tapi, tanpa sengaja, hal itu dia lakukan sebagai dampak dari tekanan kehidupan yang dia hadapi setiap hari. Terlebih lagi, patung yang membawa buku itu seperti memandang dengan tatapan yang memahami. Seakan-akan si patung memahami keluhan-keluhan yang Misdi sampaikan dengan suara lirih itu.

Yang paling sering dia keluhkan adalah soal dana bantuan sosial dari pemerintah. Dia tidak terima atas perlakuan pihak kelurahan yang sangat tidak adil. Dia sudah memohon agar bisa mendapatkan bantuan tunai itu. Namun, pihak kelurahan tidak meloloskannya hanya karena dia sudah memiliki pekerjaan sebagai penarik gerobak sampah kelurahan dan mendapatkan gaji tetap. Sementara itu, seorang tetangganya mendapatkan bantuan tunai itu padahal dia punya sawah lumayan banyak di pinggiran kota. Alasan yang paling mudah adalah bahwa sawah tidak memberikan penghasilan yang tetap. Tapi, yang pasti, si penerima itu adalah keluarga dekat seorang pegawai di kantor kelurahan.

Itulah yang paling layak dia keluhkan sambil berbaring di bangku beton yang dingin itu. Semilir angin fajar yang mulai menunjukkan dinginnya membuat dia bisa mengeluh dengan suara berlarat-larat. Kemudian, ketika dirasa cukup, Misdi segera bangkit dan melanjutkan perjalanannya ke tempat pembuangan sampah kelurahan.

Begitulah kegiatan wajibnya sekitar pukul setengah empat pagi. Saking seringnya dia duduk di situ dan mengeluh kepada si patung, Misdi sampai merasa seakan-akan dia sudah mengenal dekat si patung. Dia seakan tahu kapan si patung siap menerima keluhannya dan kapan dia tidak bisa mengeluh dan hanya boleh duduk sambil memandangi si patung.

Yang paling sering dia katakan pada setiap kali akan meninggalkan si patung adalah, “Bagaimana bisa kamu tersenyum dan mengangkat tangan menyatakan kemerdekaan, sementara aku di sini hidup tak tenang? Jangankan hidup, tidur saja aku tak tenang!”
* * *

Pada malam hari kemerdekaan para pemuda karang taruna mengadakan acara tasyakuran di Monumen Merdeka yang sangat indah dengan bunga-bunga dan pelataran berlapis beton yang sangat bersih itu.

Mereka mengadakan perenungan dan pembacaan doa-doa agar negara ini senantiasa dalam keadaan aman sentausa, agar rakyat bisa bahagia dan terjauh dari bencana, agar para generasi muda semakin bisa menjalankan pembangunan seperti yang diamanatkan para pahlawan. Selain itu, mereka juga menyanyikan lagu-lagu akustik bertemakan kemerdekaan, membaca puisi-puisi yang membakar patriotisme, dan juga—yang tak kalah pentingnya—mengheningkan cipta atas kepahlawanan para tentara pelajar dan angkatan tua pada masa revolusi.

Acara berlangsung hingga lewat tengah malam. Semua orang sudah lelah dan mengantuk saat mereka mengakhiri acara. Keesokan harinya mereka akan menjadi panitia acara lomba-lomba kemerdekaan. Mereka juga sudah membawa pentungan kasti yang besok akan mereka pakai untuk lomba memukul kendi dengan mata tertutup. Mereka memutuskan untuk tidak membersihkan sampah yang mereka tinggalkan. Mereka rasa waktu tidak memungkinkan untuk melakukannya. Mereka membiarkannya dengan asumsi Misdi akan lewat sini dan pasti akan membersihkannya. Sementara itu peralatan untuk lomba di keesokan harinya hanya mereka letakkan di belakang bangku yang tak bisa dilihat dari jalan. Mereka menutupinya dengan terpal.

Benar saja, ketika pada pukul setengah empat Misdi lewat monumen itu dan ingin beristirahat barang sebentar seperti hari-hari biasanya, dia terkejut setengah mati. Dilihatnya monumen itu tak lagi nyaman: daun pisang bekas bungkus kue nagasari bertebaran di mana-mana, gelas-gelas plastik air mineral tampak sangat banyak di berbagai sudut, kantong-kantong plastik kue juga berserakan, dan ada juga kertas-kertas warna merah-putih yang entah habis dipakai untuk apa. Misdi bisa saja berlalu dan langsung menuju tempat pembuangan sampah kelurahan. Tapi nalurinya mengatakan orang-orang pasti akan mencercanya jika dia benar-benar melakukan itu.

Maka, Misdi pun membersihkannya. Dia butuh waktu lebih lama untuk membersihkannya karena masih terdapat sebagian kue adonan beras pada daun-daun pisang bungkus nagasari. Kebanyakan bungkus-bungkus pisang dan kotoran itu bertebaran di sekitar bagian yang hanya tertutupi batu-batu kali, terselip-selip diantara bebatuan. Hal ini merepotkan Misdi. Ditambah lagi, sebagian dari bekas-bekas itu sudah mulai lengket pada bangku beton dan lantai monumen. Dia harus mengorek-ngorek. Dia butuh waktu sekitar setengah jam sendiri untuk membersihkan monumen itu. Dia tahu, nanti sekitar pukul sebelas siang, anak-anak karang taruna akan ke sini lagi dan mempersiapkan lomba-lomba ceria. Anak-anak Misdi pasti juga akan ikut lomba itu. Tak apa lah, pikirnya, anaknya pasti akan berbahagia. Dia senang sekali memikirkan itu. Tapi tetap saja dia geram saat harus melihat sampah-sampah itu. Namun, dia jadi ingat betapa jengkelnya dia kepada para pemuda dan orang-orang di kelurahan.

Orang-orang kelurahan itu menggajinya dengan bayaran yang tidak seberapa, tetapi mengharapkan dia bekerja dengan luar biasa berat. Contohnya pada hari ini, pada hari kemerdekaan dimana semestinya dia bisa berlibur, dia tidak mendapat libur. Bahkan, dia harus bekerja ekstra pada subuh hari seperti ini.

Betapa anehnya ini, pikirnya. Mereka telah mempersulitnya mendapatkan dana bantuan sosial dari pemerintah sementara dia begitu berbakti kepada mereka. Dan sekarang, pada hari kemerdekaan, dia sudah membuatnya bekerja dengan lebih keras tanpa penghargaan semestinya. Menurut pengalamannya, jika sebuah tempat bersih, mereka tidak pernah berterima kasih kepadanya. Namun, pada saat suatu tempat umum kotor, mereka yang menyindir-nyindir dirinya. Sungguh menjengkelkan. Ini bukan kemerdekaan.

Misdi yang sudah menemukan letak pentungan kasti di belakang bangku itu segera mengambil satu. Dia memanjat ke pedestal patung sehingga dia bisa menjangkau tangan si patung dengan pentiungannya. Dia ayunkan tongkat besi itu ke arah tangan si pahlawan yang sedang terkepal dan teracung di udara. Thang! Thang! Thang! Setelah beberapa kali, tampaklah pangkal lengan itu retak. Dia pukul lagi lengan yang kini sudah mulai bergoyang itu. Sebentar lagi tidak akan ada tangan yang mengacung tanda merdeka, pikirnya. Sebentar lagi kau akan putus. Ternyata, lengan itu tidak putus. Kerangka besi di dalam lengan membuat lengan itu tidak mungkin putus. Kini, Misdi memanjat lebih tinggi dan menarik lengan itu dengan kedua tangannya. Lengan beton itu berayun dan mulai bengkok. Pada akhirnya, setelah usaha yang melelahkan, lengan itu kini menghadap ke bawah. Ini baru bukan merdeka!

Tapi masih kurang, pikirnya. Gambar pahlawan yang tersenyum itu masih membuatnya kesal. Misdi berlari ke depan monumen. Di sana terdapat batu-batu sebesar tinju orang dewasa. Dia ambil salah satu batu di sana. Kemudian dia memanjat lagi ke tubuh monumen. Dia pukuli wajah sang pahlawan sampai wajahnya benar-benar hancur dan tak ada lagi senyum di wajahnya.

Nah, sekarang, tak ada lagi yang bisa bilang kita sudah merdeka, pikir Misdi. Kita masih belum merdeka, Pak Pahlawan! Saya masih terjajah, Pak Pahlawan!
* * *

Maka, pada hari kemerdekaan itulah semua orang bisa melihat patung yang masih berumur dua minggu itu hancur tak berbentuk. Lomba-lomba hari kemerdekaan tidak jadi diadakan di sekitar monumen. Bahkan, setelah dirundingkan, pada akhirnya lomba-lomba itu tidak jadi diadakan.

Baru keesokan harinya orang-orang tahu dari kejadian itu setelah membaca headline koran lokal yang berbunyi: NEGERI KITA BELUM MERDEKA. Isi dari berita itu adalah tentang “pemerkosaan” patung kemerdekaan tersebut.

Atas laporan beberapa orang yang melintas di depan monumen—tanpa sepengetahuan Misdi—pada saat Misdi melakukan “pemerkosaan” itu, Misdi ditangkap dan dibawa ke tahanan atas tuduhan pengrusakan sarana umum. Kepada koran-koran yang mewawancarainya karena tertarik, Misdi hanya mengatakan satu kalimat. Dan kemudian, di koran-koran ada headline seragam yang berbunyi MISDI: NEGERI KITA BELUM MERDEKA!.

9 Maret 2010
* Wawan Eko Yulianto adalah seorang cerpenis anggota Komunitas Bengkel Imajinasi Malang, dan blogger di http://berbagi-mimpi.info

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi