Kamis, 11 Agustus 2011

Siapa Bersedia Mengubur Kami?

Teguh Winarsho AS
http://www.sinarharapan.co.id/

RUMAH kami telah menjadi puing dan tumpukan sampah. Kami tak tahu dari mana sampah sebanyak itu datang ke rumah kami. Lihatlah, batu, kayu, besi, bongkah dinding bertumpuk seperti bukit gersang. Serupa gunung sehabis meletus. Tapi aku dan Cut Putri tetap memutuskan tinggal di rumah. Kami hanya berdua sebab Abah dan Umi belum pulang menjenguk kami. Sejak hari pertama, ketika gelombang tsunami datang. Padahal biasanya mereka tak pernah pergi lama. Paling ke rumah Paman Hasan di Sidikalang atau mengunjungi Tengku Sadin di Lhoksukon yang sudah dua tahun sakit. Menginap semalam dua malam lalu pulang. Tapi kini, sudah hampir dua minggu mereka belum pulang.

Cut Putri kerap menangis menanyakan Abah dan Umi. Sebagai kakak, aku sedih tak bisa berbuat banyak. Kami sama-sama perempuan yang kini tak berdaya. Ke mana kami mesti mencari Abah dan Umi? Meulaboh terlalu luas untuk kedua kaki kami yang kecil tak berdaya. Apalagi cuaca sering tak bersahabat. Kami ragu bisa menemukan Abah dan Umi. Yang bisa kami lakukan hanya menunggu dan menunggu. Menunggu keajaiban datang mempertemukan kami dengan Abah dan Umi.

Tapi entahlah, kami tiba-tiba sering disergap cemas setiap ingat Abah dan Umi. Kami takut sesuatu buruk menimpa mereka. Dua minggu bukan waktu yang pendek untuk menunggu datangnya kabar baik. Tak pernah habis cerita di sini: seseorang tiba-tiba raib selama beberapa hari kemudian ditemukan tewas mengenaskan di tepi hutan atau di tengah jalan layaknya bangkai anjing. Seolah kematiannya dijadikan peringatan bagi kami yang masih hidup agar selalu berhati-hati. Ya, ya, kalian boleh tak percaya, ini memang cerita lama, tapi sesekali masih berlangsung di tengah kehidupan kami, seperti kaset video yang selalu diputar ulang. Membuat jantung kami berdebar kencang setiap kali menginjakkan kaki di luar rumah. Membuat napas kami begitu sesak oleh bayangan kematian.

Ya, ya, siapa yang bisa menjamin keselamatan kami saat berada di luar rumah? Sedang di dalam rumah pun kadang kami masih merasa takut. Sekelompok orang bisa saja mendobrak pintu rumah seraya menodongkan senapan. Berkali-kali kami mendengar bunyi senapan mengoyak malam dan peluru-peluru itu seolah berdesing hanya beberapa senti di telinga kami. Membuat malam-malam kami begitu mencekam meniupkan aroma kematian. Membuat tidur kami tak pernah bisa nyenyak seolah di luar banyak setan berkeliaran. Dan Geuchik Ibrahim tentu bukan orang pertama yang diseret dan digantung di pojok kampung sehabis santap sahur. Jauh sebelumnya Tengku Amar telah merasakan bagaimana ujung pisau menyayat leher dan perutnya.

Lalu, Abah dan Umi? Apa yang terjadi menimpa Abah dan Umi? Kenapa sudah dua minggu belum pulang? Kami masih ingat, pagi itu, pagi yang cerah itu, Abah dan Umi memang sedang berkemas-kemas hendak pergi. Kami tak tahu mereka akan pergi ke mana. Kami tak sempat bertanya, karena toh biasanya Umi akan memberitahu kami jika saatnya sudah tiba.

Dan, pagi cerah itu, kami berdua masih asyik nonton tv di ruang tengah sambil bercanda, sementara Abah shalat dhuha dan Umi di kamar sibuk memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas ketika tiba-tiba kami merasakan rumah kami bergetar. Awalnya kami tak menduga bahwa itu adalah gempa. Semakin lama getaran itu semakin keras. Kami panik ketakutan. Belum pernah kami mengalami gempa sekuat ini. Abah yang baru selesai shalat dhuha segera datang menenangkan kami. Abah terus berdoa. Mulutnya komat-kamit.

Getaran itu berangsur-angsur reda. Kami mulai tenang. Abah mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu beringsut ke kamar Umi. Tentu mereka akan segera pergi. Cukup lama Abah berada di kamar Umi hingga tiba-tiba kami dikejutkan oleh gemuruh ombak laut yang begitu dahsyat menerjang rumah kami. Sejak itu kami tak pernah melihat Abah dan Umi. Berkali-kali kami berteriak memanggil Abah dan Umi, tapi tak ada jawaban. Sejurus kemudian kami merasakan udara begitu gelap dan senyap menyergap berkepanjangan.

Di mana Abah dan Umi?

***
HARI-HARI tanpa Abah dan Umi terasa sangat sepi. Sehabis maghrib kami tak pernah lagi mendengar Abah dan Umi mengaji di meunasah. Kami sangat rindu Abah dan Umi melantunkan ayat-ayat suci, membuat hati kami tenang dan damai. Membuat perasaan kami nyaman seolah para malaikat turun melindungi kami. Kami masih ingat, suara Abah serak-serak basah sedang suara Umi yang bekas penari seudati itu, sangat merdu tak ada duanya di kampung kami. Tapi kerinduan kami tak pernah terobati. Abah dan Umi belum kembali.

Setiap hari kami menunggu Abah dan Umi pulang. Menunggu dengan perasaan perih dan jantung berdebar-debar. Tapi angin yang datang pun tak pernah membawa kabar kepulangan Abah dan Umi. Hujan dan gerimis berlalu begitu saja seperti tak peduli. Malam menjadi saat-saat membosankan karena udara begitu dingin menampar, membuat tubuh kami menggigil gemetar, perut kami berkerucuk lapar. Sedang siang hari terik matahari tak terperi memanggang, membuat tubuh kami seperti terbakar.

Kami terus di rumah, di antara puing bangunan dan sampah, menunggu Abah dan Umi pulang. Kami tak tahu sampai kapan harus menunggu. Segalanya menjadi tak pasti kini, seperti warna langit yang tiba-tiba pudar berubah kelam. Seperti kematian yang tiba-tiba datang menemuimu di tikungan jalan. Kami telah melewati hari-hari meletihkan setelah gelombang laut yang dahsyat itu datang. Setelah siang dan malam, panas dan dingin, haus dan lapar tak henti-henti mendera tubuh kami. Di sini kami terus menunggu Abah dan Umi pulang. Terus menunggu….

Tapi kampung kami telah menjadi kampung mati. Kami tak pernah melihat orang melintas di jalan apalagi menghampiri rumah kami. Sesekali kami hanya melihat beberapa helikopter berputar-putar di atas ketinggian. Kami berharap helikoter itu turun menghampiri kami. Kami membayangkan Abah dan Umi ada di dalam helikoter itu untuk menjemput kami. Tapi burung besi itu hanya berputar-putar di udara. Sesekali memang terbang rendah, tapi tak sampai menyentuh tanah. Suaranya meraung-raung memekakkan telinga membuat kami kadang justru ketakutan. Mengingatkan gemuruh gelombang laut yang membuat rumah kami hancur.

Kami sudah tak sekolah lagi. Seragam dan buku-buku kami hilang entah ke mana. Tapi, ah, kami juga tak yakin apakah sekolah kami masih berdiri sedang semua bangunan rata tanah kecuali sebuah masjid dikejauhan sana. Lalu, di mana teman-teman sekolah kami? Hana, Fitri, Lina, Rieska, Fatma? Di mana para guru? Di mana ustadz Jakfar dan Haji Ali yang selalu mengumandangkan adzan di masjid? Di mana tetangga kanan kiri? Di mana Abah dan Umi? Di mana mereka semua sekarang ini? Kenapa hanya kami berdua di sini?

Oh, tidak! Tidak! Kali ini kami tidak berdua lagi. Ya, ya, di depan sana kami melihat beberapa orang datang, berjalan tergesa-gesa menghampiri kami. Pakaian mereka dekil dan kotor. Kami gembira sekali. Siapa tahu di antara mereka ada Abah dan Umi. Ya, ya, siapa tahu Abah dan Umi sedang mencari-cari kami. Tapi, ah, apa yang sedang mereka lakukan? Kenapa mereka membawa karung dan tongkat seperti pemulung? Kenapa sesekali mereka berhenti? Apa yang sedang mereka cari? Di mana Abah dan Umi?

Tiba-tiba kami merasa cemas dan takut. Orang-orang itu kini sudah sampai di rumah kami. Membongkar puing bangunan dan tumpukan kayu. Menyingkirkan sampah dan batu-batu. Mata mereka tajam mencari-cari sesuatu. Lalu saat tubuh kami mereka temukan, mereka segera berebut mengambil cincin, anting dan gelang yang masih melekat di tubuh kami. Begitu cepat mereka bergerak hingga tak ada lagi benda berharga tersisa di rumah kami. Mereka kemudian pergi dengan langkah gegas, tergesa, seperti kawanan pencuri.

***
RUMAH kami telah menjadi puing dan tumpukan sampah. Kami tak tahu dari mana sampah sebanyak itu datang ke rumah kami. Lihatlah, batu, kayu, besi, bongkah dinding bertumpuk seperti bukit gersang. Seperti gunung sehabis meletus. Tapi aku dan Cut Putri tetap memutuskan tinggal di rumah. Kami hanya berdua sebab Abah dan Umi belum pulang menjenguk kami. Sejak hari pertama, ketika gelombang tsunami datang menghancurkan rumah kami, sampai hari ini saat sekelompok orang mengambil paksa cincin, kalung dan gelang yang masih melekat di tulang-tulang kami yang telah kering dan kaku seperti batu.

Ya, ya, kami masih di sini menunggu Abah dan Umi. Atau, ah, siapa saja yang bersedia datang untuk mengubur tulang-tulang kami sebelum seseorang atau sekelompok orang datang membakar rumah kami yang telah menjadi puing dan tumpukan sampah….

Tolonglah! Please…

Depok, 2005

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi