Sabtu, 24 September 2011

Derabat

Budi Darma
http://sastra-indonesia.com/

Di desa saya ada seorang pemburu bernama Matropik. Sebenarnya dia bukan penduduk asli. Dia pendatang entah dari mana, dan dia masuk karena di tempat-tempat lain dia sudah tidak mungkin berburu, dan semua sudah mati di tangan dia

Sekarang, di desa saya, dia sudah mulai gelisah. Segala macam binatang sudah hampir punah. Dan kami, penduduk asli, dalam hati mengharap ia agar dia segera enyah.

Memang, sebenarnya , semenjak dia datang, kami sudah membenci dia. Kami membenci dia bukan karena kami adalah orang-orang yang tidak baik, tapi karena dia selalu menciptakan suasana yang tidak enak. Perilaku dia sangat kejam Dalam berburu, dia tidak sekadar berusaha membunuh, namun menyiksa sebelum akhirnya membunuh. Maka, begitu banyak binatang telah menderita berkepanjangan, sebelum akirnya dia habiskan dengan kejam. Cara dia makan juga benar-benar rakus.

Bukan hanya itu. Dia juga suka mabuk-mabukan. Apabila dia sudah mabuk, maka dia menciptakan suasana yang benar-benar meresahkan dan memalukan. Dia sering meneriakkan kata-kata kotor, cabul dan menjijikkan. Dalam keadaan mabuk dia suka telanjang, lari kesana kemari, mengejar-ngejar apa saja. Terutama perempuan

Bukan hanya itu. Dengan sadar dan terang-terangan, dia berusaha keras untuk merusak anak-anak muda. Dia ajak mereka untuk ikut-ikutan minum, dia didik mereka untuk bertutur kata kotor, dan dia suntikkan kepada mereka jiwa tidak puas terhadap keadaan, dan juga, kalau perlu berkelahi dengan cara-cara curang

Karena didikan dia, maka banyak anak-anak muda mulai bertingkah-laku kurang aja. Mereka cenderung tidak menghormat siapa pun, tentu saja kecuali terhadap dia (Pemburu Matropik), suka melawan, dan bernafsu untuk selalu menang. Dan dengan uang pemberian dia, mereka ikut-ikutan mabuk. Sementara itu saya tahu benar sebelum dia datang, penduduk sama sekali tidak pernah mengenal minuman haram

Karena dia tidak selamanya memberi uang, mereka akhirnya cenderung untuk mencuri. Mula-mula mereka mencuri di rumah sendiri, lalu meloncat ke rumah-rumah tetangga. Dan akhirnya tentu saja akhirnya mereka menggerayangi desa-desa lain.

Memang selama ini, orang desa-desa lain tidak dapat membuktikan bahwa anal-anak muda dari desa saya mencuri, tetapi mereka dapat merasa siapa sebenarnya pencuri-pencuri yang menggerogoti harta mereka. Namun, mereka tidak dapat membuktikan tidak berarti tidak dapat membenci. Terhadap kebencian mereka, dengan sendirinya, kami hanya sanggup menyalahkan diri sendiri

sementara itu, hukum alam justru sering bertindak culas. Orang-orang jahat, oleh alam, justru diberi wibawa besar. Karena itulah, perang sering berkecamuk, orang-orang jujur sering menjadi korban, dan orang-orang yang semestinya digilas habis oleh alam justru dipuja-puja. Maka,barang siapa berani melawan pemburu Matropik, pasti kena sikat. Bahkan setelah dia berhasil mengganggu istri sekian banyak penduduk, dan memperkosa beberapa gadis, kami tetap tidak mempunyai pilihan lain kecuali diam

hukum alam, sementara itu, terus berlanjut. Makin diam dan makin menyerah kami., makin girang pemburu Matropik. Tindakan-tindakan dia semakin sewenang-wenang, dan kekejaman dia semakin menjadi-jadi. Dan makin dipujalah dia oleh anak-anak muda.

Sementara itu, saya setiap hari saya tetap melakukan pekerjaan saya. Setiap malam saya berangkat, membawa pedati. Memang saya adalah anak turun penarik pedati, satu-satunya di desa saya. Dan karena nenek moyang saya penarik pedati hukum turun-temurun juga menjadikan saya penarik pedati. Seluk beluk pedati, dengan demikian saya benar-benar tahu. Bagaimana membongkar dan memasang pedati, merawat kuda, dan menghadapi berbagai marabahaya di jalan, hukum turun-temurun telah menjadikan saya penarik pedati yang benar-benar andal.

Demikianlah, setiap malam saya berangkat. Dalam kegelapan, saya harus bergerak melalui jalan-jalan buruk untuk menuju ke pelabuhan ikan terdekat. Dan pelabuhan itu tidak dekat, tapi benar-benar jauh.

Sebelum fajar datang, saya sudah tiba di pasar ikan. Beberapa orang menghampiri saya, sambil menggotong keranjang, keranjang berisi ikan segar. Setelah semua keranjang tertata rapi dalam pedati, dan setelah semua perhitungan dan pembayaran beres, saya meloncat ke pedati, siap menuju kota terdekat. Dan kota terdekat tersebut sebetulnya juga tidak dekat. Begitu pedati berjalan pasti saya mengambil kendi terbuat dari besei peninggalan nenek-moyang, lalu minum. Kalau sudah mencapai jalkan sepi saya turun sebentar untuk membuka satu keranjang ikan segar, agar burung-burung sahabat saya nanti dapat mengambil beberapa ikan segar dengan mudah.

Demikian inilah pekerjaan saya sehari-hari, selama beberapa tahun terakir. Sebelumnya memang saya pernah bekerja ini dan itu, juga sebagai pengangkut barang dengan pedati. Semua pekerjaan saya lakukan dengan sukacita. Dan saya meninggalkan pekerjaan ini itu untuk kemudian menjadi pengangkut ikan segar tidak lain karena pilian saya sendiri, tanpa keluhan terhadap pekerjaan-pekerjaan saya sebelumnya.

Selama bekerja, bekerja apa pun, segala sesuatu selalu saya kerjakan sendiri. Saya memang tidak mempunyai apa-apa selain pedati dan segala macam perlengkapannya termasuk kuda. Dan saya memang tidak mempunyai siapa-siapa. Ayah dan ibu saya sudah meninggal, demikian juga saudara-saudara saya. Entah mengapa, semua meninggal, semua saudara saya meninggal ketika mereka masih muda. Mungkin, karena tidak ada satu pun saudara perempuan saya yang berminat untuk menjadi istri penarik pedati, dan karena tidak ada satu pun saudara laki-laki saya yang berminat untuk menjadi penarik pedati.

Demikian inilah, sekali lagi, pekerjaan saya sehari-hari. Setelah pemburu Matropik datang, pekerjaan saya juga sama. Memang secara tidak langsung saya mendengar, dan kadang-kadang juga menyaksikan, tindakan-tindakan kurang ajar pemburu Matropik. Namun selama ini, saya tidak pernah terganggu secara langsung.

Yang mengganggu saya selama beberapa bulan terakhir ini, justru seekor burung. Bukan burung-burung yang telah sekian lama menjadi sahabat saya, tetapi seekor burung jahanam. Entah burung apa dia, saya tidak tahu. Dia sangat besar, sangat hitam, dan sangat cekatan. Matanya menyorotkan sinar jahat, nafsu mencuri, dan dorongan untuk merusak serta mencelakakan siapapun, karena siapa pun baginya adalah benar- benar musuh. Sebelum bertemu burung ini, saya tidak pernah membayangkan bahwa di dunia ada burung sehitam ini, sekuat ini, selincah ini dan sekeji ini.

Entah mengapa, begitu saya melihat burung ini untuk pertama kalinya, saya berteriak, ”Derabat!” Apa makna teriakan ini saya tidak tahu. Namun, burung ini kemudian melongok ke arah saya. Lalu meluncur dengan cepat, dan berusaha menyerang wajah saya. Untung, saya sudah siap dengan kelincahan tubuh untuk berkelit, dan dengan cemetiuntuk menghajar, kalau perlu.

Sebagai penarik pedati, tentu saja saya mengenal berbagai macam burung. Sudah begitu banyak tempat yang saya kunjungi, dan sudah begitu benyak jalan yang saya lalui. Di berbagai tempat dan di berbagai jalan, entah pagi, entah siang, atau pun malam, begitu banyak burung yang pernah saya jumpai. Perilaku mereka pun sudah benar-benar saya kenal. Bahkan tanpa melihat, dan hanya dengan mendengar kepak sayap mereka dari jauh, saya sudah tahu siapa mereka. Bau tubuh mereka pun, sudah saya kenal dengan baik. Hukum turun-menurun penarik pedati memang telah melengkapi saya dengan penciuman yang tajam pula.

Sementara itu, sebagai pengangkut ikan segar, apalagi sudah bertahun-tahun, saya hafal benar sekian banyak macam burung pemakan ikan segar. Bagaimana cara mereka berkelebat untuk kemudian menukik dan mengambil ikan segar dari pedati, saya tahu benar. Dan memang, saya bersahabat dengan mereka. Silahkan mereka mengambil ikan segar saya sebab saya tahu benar mereka sama sekali tidak serakah. Dari gerak-gerik mereka saya juga tahu bahwa mereka berusaha untuk mengucapkan terima kasih. Dan mereka juga memberi tanda-tanda bahwa mereka siap menolong saya, manakala saya menghadapi bahaya.

Berhadapan dengan Derabat atau semacam Derabat, sekali lagi, saya benar-benar belum pernah. Derabat selalu menyerobot ikan sebanyak-banyaknya. Andaikata semua ikan itu dia makan, atau katidakanlah, dibawa terbang jauh untuk diberikan kepada para kerabat, kalau dia punya, saya tidak berkeberatan. Namun ikan-ikan itu dia buang-buang di berbagai tempat di jalan yang saya lalui. Dan dia sanggup memilih ikan-ikan yang bagus dan besar

Jadi, mula-mula dia berkelebat gagah, kemudian menukik tajam. Dengan kecepatan yang sulit dibayangkan, dia ambil ikan yang paling bagus. Lalu, dia berkelebat menjauh, sekejap kemudian dia datang lagi, mencuri lagi. Demikianlah seterusnya, sampai berkali-kali. Lalu, dengan sikap sangat mengejek dia meninggalkan saya, untuk mendatangi saya lagi keeseokan harinya.

Sebenarnya hukum turun-temurun penarik pedati sudah mengajarkan saya untuk mempertahankan diri dan untuk mempertahankan harta benda, khususnya dalam perjalanan. Saya tahu bagaimana saya harus mempertahankan diri, dan bagaimana saya harus menggempur musuh, baik dengan tangan kosong maupun dengan cemeti, belati, gada, dan apa pun juga yang dapat saya pergunakan. Semua perlengkapan sudah saya siapkan dengan baik.

Namun, saya percaya, kekerasan adalah jalan terakhir. Saya yakin bahwa dengan kasih sayang, saya harus mampu membuat siapa pun, termasuk binatang-binatang kurang ajar, untuk menjadi sabat. Dan selama ini, hanya satu kali saya gagal. Sudah berpuluh-puluh kali saya dirampok dalam perjalanan. Semua perampok, kecuali satu, dapat saya buat yakin bahwa merampok sama sekali tidak baik. Saya ajak mereka bicara, saya jamu mereka dengan bekal makanan saya, dan saya kasih mereka uang dengan tulus. Akhirnya, mereka tidak pernah mengganggu saya. Beberapa di antara mereka, bahkan, pernah menolong saya pada saat saya menemui kesulitan.

Sekali lagi, hanya satu kali saya gagal, yaitu ketika saya berhadapan dengan perampok juling. Sudah berkali-kali saya berusaha untuk mengajak dia berbicara, tapi dia tetap ngotot melancarkan serangan-serangan yang benar-benar mematikan. Setelah benar-benar saya yakin bahwa dia memang suka menyakiti, memperkosa, dan membunuh, saya tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengirim dia ke neraka.

Dengan penuh penyesalan karena tidak mempunyai pilihan lain, saya lempar bangkai dia di tempat yang tidak mungkin dilacak oleh siapa pun kecuali oleh anak-turun penarik pedati yang benar-benar hormat kepada nenek moyang mereka, bangga akan pekerjaan mereka sebagai penarik pedati, cerdas, cerdik, terlatih, dan berpengalaman luas.

Berhadapan dengan Derabat, saya juga bersikap sabar. Akan saya anggap dia sebagai manusia jahil, dan akan saya dekati dia dengan jalan baik-baik. Tidak terlintas di pikiran saya bahwa saya akan menyakiti dia. Bahkan, setelah dia menyerang wajah saya, dan jelas mengincar mata saya untuk dicabut oleh cakar dia, saya masih terus bersabar. Saya memang berkelit dan menghantamkan cemeti bukan untuk melukai dia, tapi untuk memberi tahu agar dia jangan berbuat kurang ajar lagi.

Namun, pada suatu hari dia mulai menghilang. Selama beberapa hari dia tidak pernah tampak. Kemudian ketika muncul kembali, dia hanya berkelayapan di atas sana dengan sikap yang sangat manis. Karena dia sangat besar, tubuh dia juga melempar bayang-bayang yang amat besar dibanding dengan bayang-bayang burung-burung lain. Benar-benar menakjubkan.

Tapi karena dia bersikap manis, dengan sikap manis pula saya berteriak, ”Derabat, turunlah! Mengapa kamu tidak mengambil ikan? Silahkan!”

Dengan sikap sopan dia melesat, kemudian menghilang.

Selama beberapa hari, dia tidak tampak lagi.

Namun beberapa hari kemudian, saya merasa ada sebuah suasana yang benar-benar tidak enak. Tidak seperti biasa, langit sepi tanpa burung, semua sahabat saya tidak ada.

Barulah beberapa saat kemudian, ketika pedati saya sedang melesat dengan kencang, saya melihat pemandangan yang benar-benar mengharukan. Di tengah jalan, tampak bangkai seekor burung. Bahkan dari jauh pun saya sudah tahu bahwa bangkai itu tidak lain adalah burung sahabat saya. Setelah menguburkan bangkai sahabat saya, saya segera melanjutkan perjalanan. Kuda saya pacu lebih cepat, supaya tidak terlambat.

Ternyata, saya menemukan bangkai lain. Demikianlah, pada jarak-jarak tertentu, saya menemukan bangkai-bangkai burung. Dan semua itu adalah bangkai-bangkai sahabat saya.

Dari semua bangkai itu, saya tahu siapa yang telah berbuat begitu keji. Tidak lain dan tidak bukan, dialah derabat. Dia bunuh sahabat saya satu per satu, kemudian dia letakkan bangkai-bangkai sahabat saya di tempat-tempat tertentu yang akan saya lalui.

Setelah yakin tidak akan menemukan bangkai lagi, saya pacu kuda keras-keras. Saya tidak boleh terlambat menyerahkan ikan segar kepada saudagar ikan langganan saya. Dan setelah menyerahkan ikan dan meyelesaikan semua perhitungan, saya putuskan untuk tidak pulang.

Malam itu, setelah merawat kuda dan menyembunyikan pedati, saya menginap di sebuah hutan. Untuk menjaga diri ter hadapberbagai bahaya, saya tidur di sebuah pohon tinggi. Dan agar kuda saya tidak terganggu oleh apa pun, kuda itu itu saya perintah untuk tidur tidak jauh dari pohon. Kalau ada apa-apa, saya bisa segera meloncat ke bawah. Cemeti dan belati sudah saya siapkan dengan baik. Dan di tempat tersembunyi dalam pedati, sudah saya siapkan sebuah gada ampuh peninggalan nenek moyang.

Saya sempat bermimpi. Dalam mimpi saya melihat, bahwa Derabat tidak lain adalah Matropik, dan Matropik tidak lain adalah Derabat. Kalau saya berhasil melumpuhkan salah satu di antara mereka, berarti saya dapat melumpuhkan kedua mereka sekaligus.

Demikianlah, selama beberapa malam saya tidur di hutan-hutanyang berbeda. Saya berpindah-pindah dengan alasan yang saya sendiri tidak bisa tahu. Dan saya tidak pulang hanya hanya karena saya belum tertarik untuk pulang. Tapi kuda dan pedati saya tetap saya rawat dengan baik. Dan pekerjaan saya sebagai pengangkut ikan segar juga berjalan biasa-biasa saja.

Setelah beberapa hari tidak pulang, pada suatu malam saya merasa tidak enak. Tapi saya berjalan terus. Dan memang, ternyata tidak ada apa-apa.

Tapi, mungkin saya keliru. Mungkin pemburu Matropik sedang menciptakan kesengsaraan-kesengsaraan baru di desa saya. Andaikata benar, alangkah terkutuk saya. Seharusnya saya ada di sana, dan menjadikan pemburu Matropik penghuni kubur. Saya sadar bahwa ternyata selama ini saya bersikap diam, kendati kalau perlu seharusnya saya sanggup berhadap-hadapan dengan pemburu Matropik. Andaikata benar-benar terjadi, alangkah menarik.

Maka, saya putuskan untuk kembali, segera setelah pekerjaan saya selesai.

Demikianlah, segera setelah mengambil ikan segar di pelabuhan, seperti biasa saya menuju kota. Seperti biasa, jalan sepi. Namunm, tidak seperti biasa, di langit sama sekali tidak ada burung.

Ternyata, di sebuah ujung jalan ke kota, di sebelah sana tampak ada sebuah sosok berdiri sambil menenteng senapan. Dia menunggu pedati saya mendekat. Dan dia tidak lain adalah pemburu Matropik.

”Ke mana kamu minggat selama beberapa hari ini, penarik pedati anjing?” tanya pemburu Matropik

”Mengapa kamu bertanya, pemburu Matropik?”

”Karena kamu telah berbuat dosa, penarik pedati buduk”

”Apa maksud kamu, pemburu Matropik?”

”Setelah semua burung kamu bunuh, saya tidak mempunyai mangsa untuk saya buru”

”Saya tidak pernah membunuh burung, pemburu Matropik”

”Saya tidak perrrlu penjelasan kamu, penarik pedati anjing”

”Kalau begitu, pemburu Matropik, minggirlah kamu”

”Saya akan minggir, setelah saya puas menembak kepala kamu”

”Untuk apa, pemburu Matropik?”

”Kamu sudah lama ridak pulang, anjing buduk”

”Lalu?”

”Berarti, semua keuntungan kamu sedang kamu simpan dalam pedati”

”Dan kamu menginginkan semua penghasilan saya, pemburu Matropik?”

”Jangan banyak omong, anjing. Saya memerlukan kedua-duanya. Kepala kamu, lalu harta kamu”

”Bodoh benar kamu, pemburu Matropik. Kamu pemburu, tapi kamu tidak tahu. Saya hanya penarik pedati, tapi saya mencium bau sesuatu dan mendengar sesuatu”

bau inilah yang sebenarnya saya cari. Dan suara ini pulalah, yang sebetulnya juga sudah saya tunggu-tunggu. Tanpa mendongak ke sana-sini saya tahu bahwa sebetulnya Derabat sedang melayap di atas sana.

Benar, saya kemudian merndengar Derabat menukik ke bawah, namun pemburu Matropik sama sekali tidak sadar.

Seperti biasa, Derabat memang cerdik. Dia berusaha untuk tidak menimbulkan suara kendati saya tetap mendengar suara dia menukik. Dan dia juga mengambil ancang-ancang dari tempat yang tepat sehingga tubuh dia tidak menampakkan bayangan di tanah.

Ketika pemburu Matropik sadar, sudah terlambat. Derabat sudah berkelebat menuju ke arah pemburu Matropik, dengan kecepatan yang benar-benar tinggi. Pemburu Matropik, dengan senririnya, sudah tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat apa pun.

Demikianlah dengan gerak yang sangat jitu, Derabat menghajar wajah pemburu Matropik. Senapan melesat, dan saya ikut melesat. Senapan segera saya tangkap, saya buang pelurunya, kemudian saya hantamkan ke sebuah batu besar. Rusak.

Derabat segera melesat ke atas, tapi dengan kecepatan melebihi kilat dia merangsak, kembali menyerang pemburu Matropik. Tampak pemburu Matropik benar-benar kelabakan. Namun, sama sekali saya tidak mempunyai minat untuk menyaksikan apa yang akan terjadi. Karena pemburu Matropik tidak lain adalah Derabat, dan Derabat tidak lain adalah pemburu Matropik, mereka pasti akan saling memusnahkan. Biarlah iblis bertempur melawan iblis.

Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/2011/04/derabat.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi