Budi Darma
http://sastra-indonesia.com/
Di desa saya ada seorang pemburu bernama Matropik. Sebenarnya dia bukan penduduk asli. Dia pendatang entah dari mana, dan dia masuk karena di tempat-tempat lain dia sudah tidak mungkin berburu, dan semua sudah mati di tangan dia
Sekarang, di desa saya, dia sudah mulai gelisah. Segala macam binatang sudah hampir punah. Dan kami, penduduk asli, dalam hati mengharap ia agar dia segera enyah.
Memang, sebenarnya , semenjak dia datang, kami sudah membenci dia. Kami membenci dia bukan karena kami adalah orang-orang yang tidak baik, tapi karena dia selalu menciptakan suasana yang tidak enak. Perilaku dia sangat kejam Dalam berburu, dia tidak sekadar berusaha membunuh, namun menyiksa sebelum akhirnya membunuh. Maka, begitu banyak binatang telah menderita berkepanjangan, sebelum akirnya dia habiskan dengan kejam. Cara dia makan juga benar-benar rakus.
Bukan hanya itu. Dia juga suka mabuk-mabukan. Apabila dia sudah mabuk, maka dia menciptakan suasana yang benar-benar meresahkan dan memalukan. Dia sering meneriakkan kata-kata kotor, cabul dan menjijikkan. Dalam keadaan mabuk dia suka telanjang, lari kesana kemari, mengejar-ngejar apa saja. Terutama perempuan
Bukan hanya itu. Dengan sadar dan terang-terangan, dia berusaha keras untuk merusak anak-anak muda. Dia ajak mereka untuk ikut-ikutan minum, dia didik mereka untuk bertutur kata kotor, dan dia suntikkan kepada mereka jiwa tidak puas terhadap keadaan, dan juga, kalau perlu berkelahi dengan cara-cara curang
Karena didikan dia, maka banyak anak-anak muda mulai bertingkah-laku kurang aja. Mereka cenderung tidak menghormat siapa pun, tentu saja kecuali terhadap dia (Pemburu Matropik), suka melawan, dan bernafsu untuk selalu menang. Dan dengan uang pemberian dia, mereka ikut-ikutan mabuk. Sementara itu saya tahu benar sebelum dia datang, penduduk sama sekali tidak pernah mengenal minuman haram
Karena dia tidak selamanya memberi uang, mereka akhirnya cenderung untuk mencuri. Mula-mula mereka mencuri di rumah sendiri, lalu meloncat ke rumah-rumah tetangga. Dan akhirnya tentu saja akhirnya mereka menggerayangi desa-desa lain.
Memang selama ini, orang desa-desa lain tidak dapat membuktikan bahwa anal-anak muda dari desa saya mencuri, tetapi mereka dapat merasa siapa sebenarnya pencuri-pencuri yang menggerogoti harta mereka. Namun, mereka tidak dapat membuktikan tidak berarti tidak dapat membenci. Terhadap kebencian mereka, dengan sendirinya, kami hanya sanggup menyalahkan diri sendiri
sementara itu, hukum alam justru sering bertindak culas. Orang-orang jahat, oleh alam, justru diberi wibawa besar. Karena itulah, perang sering berkecamuk, orang-orang jujur sering menjadi korban, dan orang-orang yang semestinya digilas habis oleh alam justru dipuja-puja. Maka,barang siapa berani melawan pemburu Matropik, pasti kena sikat. Bahkan setelah dia berhasil mengganggu istri sekian banyak penduduk, dan memperkosa beberapa gadis, kami tetap tidak mempunyai pilihan lain kecuali diam
hukum alam, sementara itu, terus berlanjut. Makin diam dan makin menyerah kami., makin girang pemburu Matropik. Tindakan-tindakan dia semakin sewenang-wenang, dan kekejaman dia semakin menjadi-jadi. Dan makin dipujalah dia oleh anak-anak muda.
Sementara itu, saya setiap hari saya tetap melakukan pekerjaan saya. Setiap malam saya berangkat, membawa pedati. Memang saya adalah anak turun penarik pedati, satu-satunya di desa saya. Dan karena nenek moyang saya penarik pedati hukum turun-temurun juga menjadikan saya penarik pedati. Seluk beluk pedati, dengan demikian saya benar-benar tahu. Bagaimana membongkar dan memasang pedati, merawat kuda, dan menghadapi berbagai marabahaya di jalan, hukum turun-temurun telah menjadikan saya penarik pedati yang benar-benar andal.
Demikianlah, setiap malam saya berangkat. Dalam kegelapan, saya harus bergerak melalui jalan-jalan buruk untuk menuju ke pelabuhan ikan terdekat. Dan pelabuhan itu tidak dekat, tapi benar-benar jauh.
Sebelum fajar datang, saya sudah tiba di pasar ikan. Beberapa orang menghampiri saya, sambil menggotong keranjang, keranjang berisi ikan segar. Setelah semua keranjang tertata rapi dalam pedati, dan setelah semua perhitungan dan pembayaran beres, saya meloncat ke pedati, siap menuju kota terdekat. Dan kota terdekat tersebut sebetulnya juga tidak dekat. Begitu pedati berjalan pasti saya mengambil kendi terbuat dari besei peninggalan nenek-moyang, lalu minum. Kalau sudah mencapai jalkan sepi saya turun sebentar untuk membuka satu keranjang ikan segar, agar burung-burung sahabat saya nanti dapat mengambil beberapa ikan segar dengan mudah.
Demikian inilah pekerjaan saya sehari-hari, selama beberapa tahun terakir. Sebelumnya memang saya pernah bekerja ini dan itu, juga sebagai pengangkut barang dengan pedati. Semua pekerjaan saya lakukan dengan sukacita. Dan saya meninggalkan pekerjaan ini itu untuk kemudian menjadi pengangkut ikan segar tidak lain karena pilian saya sendiri, tanpa keluhan terhadap pekerjaan-pekerjaan saya sebelumnya.
Selama bekerja, bekerja apa pun, segala sesuatu selalu saya kerjakan sendiri. Saya memang tidak mempunyai apa-apa selain pedati dan segala macam perlengkapannya termasuk kuda. Dan saya memang tidak mempunyai siapa-siapa. Ayah dan ibu saya sudah meninggal, demikian juga saudara-saudara saya. Entah mengapa, semua meninggal, semua saudara saya meninggal ketika mereka masih muda. Mungkin, karena tidak ada satu pun saudara perempuan saya yang berminat untuk menjadi istri penarik pedati, dan karena tidak ada satu pun saudara laki-laki saya yang berminat untuk menjadi penarik pedati.
Demikian inilah, sekali lagi, pekerjaan saya sehari-hari. Setelah pemburu Matropik datang, pekerjaan saya juga sama. Memang secara tidak langsung saya mendengar, dan kadang-kadang juga menyaksikan, tindakan-tindakan kurang ajar pemburu Matropik. Namun selama ini, saya tidak pernah terganggu secara langsung.
Yang mengganggu saya selama beberapa bulan terakhir ini, justru seekor burung. Bukan burung-burung yang telah sekian lama menjadi sahabat saya, tetapi seekor burung jahanam. Entah burung apa dia, saya tidak tahu. Dia sangat besar, sangat hitam, dan sangat cekatan. Matanya menyorotkan sinar jahat, nafsu mencuri, dan dorongan untuk merusak serta mencelakakan siapapun, karena siapa pun baginya adalah benar- benar musuh. Sebelum bertemu burung ini, saya tidak pernah membayangkan bahwa di dunia ada burung sehitam ini, sekuat ini, selincah ini dan sekeji ini.
Entah mengapa, begitu saya melihat burung ini untuk pertama kalinya, saya berteriak, ”Derabat!” Apa makna teriakan ini saya tidak tahu. Namun, burung ini kemudian melongok ke arah saya. Lalu meluncur dengan cepat, dan berusaha menyerang wajah saya. Untung, saya sudah siap dengan kelincahan tubuh untuk berkelit, dan dengan cemetiuntuk menghajar, kalau perlu.
Sebagai penarik pedati, tentu saja saya mengenal berbagai macam burung. Sudah begitu banyak tempat yang saya kunjungi, dan sudah begitu benyak jalan yang saya lalui. Di berbagai tempat dan di berbagai jalan, entah pagi, entah siang, atau pun malam, begitu banyak burung yang pernah saya jumpai. Perilaku mereka pun sudah benar-benar saya kenal. Bahkan tanpa melihat, dan hanya dengan mendengar kepak sayap mereka dari jauh, saya sudah tahu siapa mereka. Bau tubuh mereka pun, sudah saya kenal dengan baik. Hukum turun-menurun penarik pedati memang telah melengkapi saya dengan penciuman yang tajam pula.
Sementara itu, sebagai pengangkut ikan segar, apalagi sudah bertahun-tahun, saya hafal benar sekian banyak macam burung pemakan ikan segar. Bagaimana cara mereka berkelebat untuk kemudian menukik dan mengambil ikan segar dari pedati, saya tahu benar. Dan memang, saya bersahabat dengan mereka. Silahkan mereka mengambil ikan segar saya sebab saya tahu benar mereka sama sekali tidak serakah. Dari gerak-gerik mereka saya juga tahu bahwa mereka berusaha untuk mengucapkan terima kasih. Dan mereka juga memberi tanda-tanda bahwa mereka siap menolong saya, manakala saya menghadapi bahaya.
Berhadapan dengan Derabat atau semacam Derabat, sekali lagi, saya benar-benar belum pernah. Derabat selalu menyerobot ikan sebanyak-banyaknya. Andaikata semua ikan itu dia makan, atau katidakanlah, dibawa terbang jauh untuk diberikan kepada para kerabat, kalau dia punya, saya tidak berkeberatan. Namun ikan-ikan itu dia buang-buang di berbagai tempat di jalan yang saya lalui. Dan dia sanggup memilih ikan-ikan yang bagus dan besar
Jadi, mula-mula dia berkelebat gagah, kemudian menukik tajam. Dengan kecepatan yang sulit dibayangkan, dia ambil ikan yang paling bagus. Lalu, dia berkelebat menjauh, sekejap kemudian dia datang lagi, mencuri lagi. Demikianlah seterusnya, sampai berkali-kali. Lalu, dengan sikap sangat mengejek dia meninggalkan saya, untuk mendatangi saya lagi keeseokan harinya.
Sebenarnya hukum turun-temurun penarik pedati sudah mengajarkan saya untuk mempertahankan diri dan untuk mempertahankan harta benda, khususnya dalam perjalanan. Saya tahu bagaimana saya harus mempertahankan diri, dan bagaimana saya harus menggempur musuh, baik dengan tangan kosong maupun dengan cemeti, belati, gada, dan apa pun juga yang dapat saya pergunakan. Semua perlengkapan sudah saya siapkan dengan baik.
Namun, saya percaya, kekerasan adalah jalan terakhir. Saya yakin bahwa dengan kasih sayang, saya harus mampu membuat siapa pun, termasuk binatang-binatang kurang ajar, untuk menjadi sabat. Dan selama ini, hanya satu kali saya gagal. Sudah berpuluh-puluh kali saya dirampok dalam perjalanan. Semua perampok, kecuali satu, dapat saya buat yakin bahwa merampok sama sekali tidak baik. Saya ajak mereka bicara, saya jamu mereka dengan bekal makanan saya, dan saya kasih mereka uang dengan tulus. Akhirnya, mereka tidak pernah mengganggu saya. Beberapa di antara mereka, bahkan, pernah menolong saya pada saat saya menemui kesulitan.
Sekali lagi, hanya satu kali saya gagal, yaitu ketika saya berhadapan dengan perampok juling. Sudah berkali-kali saya berusaha untuk mengajak dia berbicara, tapi dia tetap ngotot melancarkan serangan-serangan yang benar-benar mematikan. Setelah benar-benar saya yakin bahwa dia memang suka menyakiti, memperkosa, dan membunuh, saya tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengirim dia ke neraka.
Dengan penuh penyesalan karena tidak mempunyai pilihan lain, saya lempar bangkai dia di tempat yang tidak mungkin dilacak oleh siapa pun kecuali oleh anak-turun penarik pedati yang benar-benar hormat kepada nenek moyang mereka, bangga akan pekerjaan mereka sebagai penarik pedati, cerdas, cerdik, terlatih, dan berpengalaman luas.
Berhadapan dengan Derabat, saya juga bersikap sabar. Akan saya anggap dia sebagai manusia jahil, dan akan saya dekati dia dengan jalan baik-baik. Tidak terlintas di pikiran saya bahwa saya akan menyakiti dia. Bahkan, setelah dia menyerang wajah saya, dan jelas mengincar mata saya untuk dicabut oleh cakar dia, saya masih terus bersabar. Saya memang berkelit dan menghantamkan cemeti bukan untuk melukai dia, tapi untuk memberi tahu agar dia jangan berbuat kurang ajar lagi.
Namun, pada suatu hari dia mulai menghilang. Selama beberapa hari dia tidak pernah tampak. Kemudian ketika muncul kembali, dia hanya berkelayapan di atas sana dengan sikap yang sangat manis. Karena dia sangat besar, tubuh dia juga melempar bayang-bayang yang amat besar dibanding dengan bayang-bayang burung-burung lain. Benar-benar menakjubkan.
Tapi karena dia bersikap manis, dengan sikap manis pula saya berteriak, ”Derabat, turunlah! Mengapa kamu tidak mengambil ikan? Silahkan!”
Dengan sikap sopan dia melesat, kemudian menghilang.
Selama beberapa hari, dia tidak tampak lagi.
Namun beberapa hari kemudian, saya merasa ada sebuah suasana yang benar-benar tidak enak. Tidak seperti biasa, langit sepi tanpa burung, semua sahabat saya tidak ada.
Barulah beberapa saat kemudian, ketika pedati saya sedang melesat dengan kencang, saya melihat pemandangan yang benar-benar mengharukan. Di tengah jalan, tampak bangkai seekor burung. Bahkan dari jauh pun saya sudah tahu bahwa bangkai itu tidak lain adalah burung sahabat saya. Setelah menguburkan bangkai sahabat saya, saya segera melanjutkan perjalanan. Kuda saya pacu lebih cepat, supaya tidak terlambat.
Ternyata, saya menemukan bangkai lain. Demikianlah, pada jarak-jarak tertentu, saya menemukan bangkai-bangkai burung. Dan semua itu adalah bangkai-bangkai sahabat saya.
Dari semua bangkai itu, saya tahu siapa yang telah berbuat begitu keji. Tidak lain dan tidak bukan, dialah derabat. Dia bunuh sahabat saya satu per satu, kemudian dia letakkan bangkai-bangkai sahabat saya di tempat-tempat tertentu yang akan saya lalui.
Setelah yakin tidak akan menemukan bangkai lagi, saya pacu kuda keras-keras. Saya tidak boleh terlambat menyerahkan ikan segar kepada saudagar ikan langganan saya. Dan setelah menyerahkan ikan dan meyelesaikan semua perhitungan, saya putuskan untuk tidak pulang.
Malam itu, setelah merawat kuda dan menyembunyikan pedati, saya menginap di sebuah hutan. Untuk menjaga diri ter hadapberbagai bahaya, saya tidur di sebuah pohon tinggi. Dan agar kuda saya tidak terganggu oleh apa pun, kuda itu itu saya perintah untuk tidur tidak jauh dari pohon. Kalau ada apa-apa, saya bisa segera meloncat ke bawah. Cemeti dan belati sudah saya siapkan dengan baik. Dan di tempat tersembunyi dalam pedati, sudah saya siapkan sebuah gada ampuh peninggalan nenek moyang.
Saya sempat bermimpi. Dalam mimpi saya melihat, bahwa Derabat tidak lain adalah Matropik, dan Matropik tidak lain adalah Derabat. Kalau saya berhasil melumpuhkan salah satu di antara mereka, berarti saya dapat melumpuhkan kedua mereka sekaligus.
Demikianlah, selama beberapa malam saya tidur di hutan-hutanyang berbeda. Saya berpindah-pindah dengan alasan yang saya sendiri tidak bisa tahu. Dan saya tidak pulang hanya hanya karena saya belum tertarik untuk pulang. Tapi kuda dan pedati saya tetap saya rawat dengan baik. Dan pekerjaan saya sebagai pengangkut ikan segar juga berjalan biasa-biasa saja.
Setelah beberapa hari tidak pulang, pada suatu malam saya merasa tidak enak. Tapi saya berjalan terus. Dan memang, ternyata tidak ada apa-apa.
Tapi, mungkin saya keliru. Mungkin pemburu Matropik sedang menciptakan kesengsaraan-kesengsaraan baru di desa saya. Andaikata benar, alangkah terkutuk saya. Seharusnya saya ada di sana, dan menjadikan pemburu Matropik penghuni kubur. Saya sadar bahwa ternyata selama ini saya bersikap diam, kendati kalau perlu seharusnya saya sanggup berhadap-hadapan dengan pemburu Matropik. Andaikata benar-benar terjadi, alangkah menarik.
Maka, saya putuskan untuk kembali, segera setelah pekerjaan saya selesai.
Demikianlah, segera setelah mengambil ikan segar di pelabuhan, seperti biasa saya menuju kota. Seperti biasa, jalan sepi. Namunm, tidak seperti biasa, di langit sama sekali tidak ada burung.
Ternyata, di sebuah ujung jalan ke kota, di sebelah sana tampak ada sebuah sosok berdiri sambil menenteng senapan. Dia menunggu pedati saya mendekat. Dan dia tidak lain adalah pemburu Matropik.
”Ke mana kamu minggat selama beberapa hari ini, penarik pedati anjing?” tanya pemburu Matropik
”Mengapa kamu bertanya, pemburu Matropik?”
”Karena kamu telah berbuat dosa, penarik pedati buduk”
”Apa maksud kamu, pemburu Matropik?”
”Setelah semua burung kamu bunuh, saya tidak mempunyai mangsa untuk saya buru”
”Saya tidak pernah membunuh burung, pemburu Matropik”
”Saya tidak perrrlu penjelasan kamu, penarik pedati anjing”
”Kalau begitu, pemburu Matropik, minggirlah kamu”
”Saya akan minggir, setelah saya puas menembak kepala kamu”
”Untuk apa, pemburu Matropik?”
”Kamu sudah lama ridak pulang, anjing buduk”
”Lalu?”
”Berarti, semua keuntungan kamu sedang kamu simpan dalam pedati”
”Dan kamu menginginkan semua penghasilan saya, pemburu Matropik?”
”Jangan banyak omong, anjing. Saya memerlukan kedua-duanya. Kepala kamu, lalu harta kamu”
”Bodoh benar kamu, pemburu Matropik. Kamu pemburu, tapi kamu tidak tahu. Saya hanya penarik pedati, tapi saya mencium bau sesuatu dan mendengar sesuatu”
bau inilah yang sebenarnya saya cari. Dan suara ini pulalah, yang sebetulnya juga sudah saya tunggu-tunggu. Tanpa mendongak ke sana-sini saya tahu bahwa sebetulnya Derabat sedang melayap di atas sana.
Benar, saya kemudian merndengar Derabat menukik ke bawah, namun pemburu Matropik sama sekali tidak sadar.
Seperti biasa, Derabat memang cerdik. Dia berusaha untuk tidak menimbulkan suara kendati saya tetap mendengar suara dia menukik. Dan dia juga mengambil ancang-ancang dari tempat yang tepat sehingga tubuh dia tidak menampakkan bayangan di tanah.
Ketika pemburu Matropik sadar, sudah terlambat. Derabat sudah berkelebat menuju ke arah pemburu Matropik, dengan kecepatan yang benar-benar tinggi. Pemburu Matropik, dengan senririnya, sudah tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat apa pun.
Demikianlah dengan gerak yang sangat jitu, Derabat menghajar wajah pemburu Matropik. Senapan melesat, dan saya ikut melesat. Senapan segera saya tangkap, saya buang pelurunya, kemudian saya hantamkan ke sebuah batu besar. Rusak.
Derabat segera melesat ke atas, tapi dengan kecepatan melebihi kilat dia merangsak, kembali menyerang pemburu Matropik. Tampak pemburu Matropik benar-benar kelabakan. Namun, sama sekali saya tidak mempunyai minat untuk menyaksikan apa yang akan terjadi. Karena pemburu Matropik tidak lain adalah Derabat, dan Derabat tidak lain adalah pemburu Matropik, mereka pasti akan saling memusnahkan. Biarlah iblis bertempur melawan iblis.
Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/2011/04/derabat.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 24 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar