Pringadi Abdi Surya
http://suaramerdeka.com/
(1)
BIASANYA, setiap cerita pembunuhan akan dimulai dengan ditemukan mayat korban. Lalu dimulailah penyelidikan oleh seorang inspektur polisi yang meneliti satu per satu misteri sampai ditemukan motif dan bukti-bukti yang mengarah ke siapa pelaku pembunuhan. Tetapi, saya tidak akan bercerita dengan metode kuno seperti itu. Saya akan mulai dengan sebuah pengakuan: sayalah yang telah melakukan pembunuhan dengan memukulkan benda keras ke kepala, berkali-kali (saya akan berhenti kalau sudah merasa puas), sampai berdarah-darah dan sang korban sudah tak lagi mengembuskan napas. Kemudian, akan saya tinggalkan sebuah jam dinding di samping mayat korban. Jam dinding yang jarum-jarumnya sudah saya atur sesuai urutan dan waktu pembunuhan.
Ini sudah korban yang kesebelas. Tidak seperti cerita-cerita yang umum terjadi, saya tidak butuh topeng darah misterius yang bikin saya jadi gila. Saya juga tidak memiliki kepribadian ganda atau motif biasa seperti untuk melindungi diri, kepentingan bisnis, atau cinta. Tiba-tiba saya jadi ingin membunuh kalau ada orang yang rasanya ingin dan sedang berbohong pada saya. Saya tahu itu dari matanya. Saya tahu dari bahasa tubuhnya. Mudah sekali mengenali orang-orang yang bisa berbohong. Terlebih saya adalah seorang psikolog. Bertahun-tahun bergelut dengan kepribadian dan bahasa tubuh seseorang.
(2)
Namun, cerita ini tidak bisa dimulai dari jarum jam yang kesebelas. Semua akibat pasti memiliki sebab. Setiap perjalanan pasti memiliki permulaan. Begitupun pembunuhan ini yang juga mengenal kata kali pertama. Tetapi, sebelum kamu tahu siapa dan bagaimana saya membunuh korban pertama, hendaknya dipikirkan apa cita-citamu semasa kecil. Cita-cita yang kerap ditanya oleh ibu guru gendut yang tiap bagi rapor akan menanti kue-kue kecil dari muridnya. Kemudian sebagian kue dibagikan lagi ke setiap murid. Sementara sebagian yang lain (yang biasanya lebih banyak atau lebih enak) akan ia bawa pulang ke rumah. Dibagikan kepada anak-anaknya sendiri.
Cita-citaku ingin jadi pesulap. Mengeluarkan burung dari topi. Memotong-motong tubuh tetapi tidak mati. Tetapi mereka bilang pesulap itu tukang bohong. Pesulap itu tukang tipu. Ada pula yang bilang pesulap itu budak setan, penentang Tuhan. Saya ingat siapa yang bilang itu. Dia seorang anak yang bercita-cita jadi polisi. Saya geli dengan profesi yang satu ini. Baru kemarin saya kecurian. Kemudian saya ke kantor polisi melakukan pelaporan. Bukan bantuan yang saya dapatkan, saya malah dimintai biaya Rp 200.000 dengan alasan untuk biaya administrasi. Begitu pula ketika saya baru lulus sekolah, Rp 20.000 melayang untuk mendapatkan surat berkelakuan baik. Bayangkan betapa paradoksnya profesi yang satu ini. Saya hanya miris melihat slogannya yang berbunyi melayani masyarakat. Benar mental pelayan yang bergaji rendah, tetapi diam-diam mencuri barang milik majikan. Tidakkah kamu juga berpikir demikian, bahwa rakyat adalah majikan, adalah Tuan? Tetapi, berkat itu pula saya jadi mengerti, bahwa polisi-polisi di negeri ini banyak tak memiliki dedikasi, tak memiliki kemampuan untuk menyelidiki sebuah misteri. Terlebih misteri pembunuhan.
“Kamu tidak punya cita-cita lain selain jadi tukang sulap, Nak?” tanya ibu guru itu. Saya diam, memikirkan hal-hal lain seperti dokter, pilot atau presiden. Tetapi belum sempat saya menjawab, laki-laki kecil tadi berteriak, “Dia ‘kan anak pelacur, Bu…tidak pantas punya cita-cita!” Dan dia (beserta teman-temannya) menertawakan saya. Saya tidak menjawab meski sangat ingin mengatakan kalau ibu saya bukan pelacur. Ibu saya adalah seorang ibu yang baik hati dan bekerja siang malam untuk menyekolahkan saya.
(3)
Mempunyai ibu yang dicap pelacur adalah takdir saya.
Ibu memang suka pulang malam. Malam sekali sampai televisi hanya menyisakan gambar semut buram. Kata Ibu, semut-semut di dalam televisi itu sedang bertengkar memperebutkan posisi raja. Ibu juga bilang kalau semut itu hanya punya satu ratu yang berkuasa. Ratu yang mengatur segala-galanya. “Ibu adalah ratu saya,” saya katakan itu kepadanya dan dia tersenyum sambil kembali menyanyikan tembang yang tak saya ketahui judulnya. Tetapi, tembang itu selalu berhasil membuat saya tertidur.
Saya juga tidak punya teman. Tetapi tak ada yang berani melawan saya jika sudah menyangkut soal pelajaran. Saya selalu jadi juara kelas. Saya selalu meraih nilai tertinggi di setiap pelajaran yang saya ikuti. Laki-laki kecil yang bercita-cita jadi polisi itu tentu mendapat nilai terendah. Saya jadi tertawa-tawa sendiri kalau memikirkan asumsi ini, bahwa setiap laki-laki yang bercita-cita jadi polisi adalah laki-laki yang paling bodoh dalam pelajaran dan paling pandai membuat ulah pada masa kecilnya. Karena itulah, daripada suatu saat mereka ditangkap polisi, lebih baik mereka jadi polisi.
“Anak pelacur pasti mencontek. Mana ada anak pelacur yang pintar. Anak pelacur hanya akan jadi pelacur.”
Dia mulai mengolok-ngolok saya lagi. Kali ini saya tidak bisa menahan emosi. Saya berjalan mendekat. “Kamu mau apa?” tanyanya menantang.
Seketika saya lemparkan pasir ke matanya. Saya tendang kemaluannya. “Semoga suatu saat kemaluanmu ini tidak kau pakai di tempat pelacuran!” ucap saya dengan kasar.
(4)
Apa dari tadi kamu berpikir saya ini seorang lelaki?
Kamu salah. Saya seorang perempuan. Murni seorang perempuan.
Sudah hampir 17 tahun berlalu sejak saya menendang kemaluan laki-laki (untuk pertama kali). Untuk perihal yang satu ini, saya tidak ketagihan. Tetapi hanya jika ada kesempatan, saya akan melakukan lagi.
O, jangan dulu menuduh kalau ini perihal keturunan. Saya tidak suka disebut buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya.
Ibu memang pernah membawa laki-laki datang ke rumah. Tapi itu cuma satu kali. Hanya satu kali dan itu diakhiri dengan pertengkaran. Saya disuruh Ibu masuk ke dalam kamar, tetapi saya nekat mencuri dengar.
“Kamu tidak pernah bilang kamu punya anak?!” teriak laki-laki itu.
“Tapi kamu bilang mencintai aku apa adanya?” Ibu berkilah.
“Ah, persetan!”
Braak! Pintu dibanting dan laki-laki itu pergi entah ke mana.
Saya muncul dari balik kamar, “Siapa dia, Bu?”
Ibu diam saja.
“Apa dia ayah saya?” tanya saya lagi.
“Ayah? Kamu pikir kamu punya ayah?” Ibu menangis sambil tertawa. “Ayahmu mungkin saja pejabat. Mungkin saja dia wartawan keparat atau preman-preman pasar yang suka menggoda Ibu!” lanjut ibu berteriak.
Saya menangis. “Kenapa Ibu berbohong? Ibu bilang ayah adalah seorang prajurit yang pergi ke medan perang. Bukan pejabat. Bukan wartawan keparat. Bukan preman-preman pasar yang mengoda ibu?”
“Ibu ini cuma pelacur, Nak…,” Ibu diam.
Mengusap air mata. Membenahi rambutnya yang awut-awutan. “Kembalilah ke kamar, tidurlah, sudah terlalu malam,” lanjutnya.
Dan saya menurut saja. Tak lama Ibu menyusul dan memeluk saya. Masih ada air mata yang basah di pipi.
Keesokan harinya, Ibu sudah tergeletak tak bernyawa. Ada pisau yang tertancap di dada kirinya. Saya berteriak memanggil orang-orang. Orang-orang datang. Orang-orang panik. “Kamu tahu siapa pelakunya, Nak?” seorang polisi yang sedang mengidentifikasi bertanya pada saya.
Katanya Ibu bukan bunuh diri, tetapi dibunuh.
“Semalam ada laki-laki…” dan saya mulai bercerita tentang apa yang semalam terjadi. Tetapi saya tahu Ibu tidak mati di tangan sang lelaki. Tetapi di tangan saya sendiri, tentu, tanpa meninggalkan sidik jari.
Tak seharusnya kamu membohongi saya, Ibu…
(5)
Sendok. Air. Gula. Dan gelas. Kamu pilih yang mana?
Perempuan ini sepertinya akan menjadi korban kedua belas. Dia baru mengaku kalau ia tengah selingkuh. Padahal ia sudah bertunangan. Sebentar lagi akan menikah. Dia mengambil gelas. Itu artinya dia merasa menjadi wadah tempat menampung cinta. Pantas saja dia seolah bisa menerima semuanya. “Kamu tahu kenapa jam dinding itu selalu mengarah ke pukul dua belas?”
“Dia akan kembali ke pukul satu dan selanjutnya dan selanjutnya. Tidak hanya menuju pukul dua belas,” ia menjawab dengan enteng.
“Kenapa kamu selingkuh?” tanya saya lagi.
“Karena dia sudah lebih dulu selingkuh. Satu-satu kan?” jawab wanita itu.
“Kamu merasa bersalah?” saya mulai mengetuk-ngetukkan sendok ke gelas.
Matanya mengikuti setiap ketukan-ketukan saya. “Kamu tahu, setiap kamu dengar ketukan ini, kamu akan terlelap dalam dan lebih dalam?” saya mulai memainkan teknik hipnotis.
Dan tentu saja berhasil. Pelan tapi pasti dia mulai memejamkan mata. Lalu tertidur, masuk ke alam bawah sadarnya. “Mulai sekarang kamu akan merasa bersalah dan sangat ingin mati dengan membenturkan kepalamu ke jam dinding yang membentuk angka dua belas,” ucap saya memberi sugesti.
(6)
Apakah wanita tadi sudah mati? Apakah saya tertangkap polisi?
Pasti pertanyaan-pertanyaan semacam itu sekarang ada di dalam benak kamu.
Seorang polisi datang mengetuk pintu. Tentu laki-laki, seusia saya. Rambutnya rapi. Senyumnya juga rapi seakan sudah diatur satu centi ke kanan dan ke kiri. Tetapi, ada yang saya kenali. Matanya yang tengil dan tahi lalat di samping kanan hidungnya membuat saya tertawa geli, akibat sebuah prediksi.
“Maaf, apa benar perempuan ini adalah pasien Anda?” dia bertanya sambil menyodorkan sebuah foto.
Foto perempuan kemarin itu.
“Ya. Baru dua hari yang lalu dia datang kemari, berkonsultasi,” jawab saya.
“Dia ditemukan meninggal hari ini. Kemungkinan dia bunuh diri,” lanjutnya dengan tatapan menyelidik.
Saya tahu tatapan itu. Saya juga tahu harus bagaimana menghadapi tatapan itu. Saya tetap tenang dan juga balik menyelidik.
“Saya pikir dia tipe perempuan yang mandiri. Tidak mungkin bunuh diri. Apa tidak ada kemungkinan lain?” saya balik bertanya.
Balik menatap matanya. “Seperti dibunuh misalnya?” saya ajukan pertanyaan ini dan matanya terkesiap.
“Tidak, tidak ada petunjuk yang mengarah ke sana. Dia membenturkan kepalanya ke jam dinding sampai mati. Tapi…,” dia terdiam sejenak, “tapi ada yang aneh dengan jam dinding itu. Jarum jamnya tepat menunjuk ke jam dua belas, dan setelah diautopsi dia pun mati tepat di jam dua belas. Bukankah ini terlihat seperti bunuh diri yang sangat direncanakan?” gumamnya kebingungan, atau sengaja dibuat kebingungan.
“Sebentar…,” saya ke belakang.
Tak lama kemudian saya kembali dengan secangkir kopi.
“O, terima kasih,” ucapnya sambil tersenyum. Dia meneguknya dengan pelan. Memandangi belahan di dada saya yang elegan. Saya pun sengaja sedikit menunduk. Matanya sudah seperti banteng yang mau menyeruduk.
“Menurutmu, apakah tukang sulap itu pekerjaan setan? Apakah tukang sulap itu adalah pekerjaan penipuan?”
Sejak saat itulah harusnya dia sadar bahwa matanya tak akan pernah lagi jelalatan. Matanya tak akan pernah lagi sembarangan. Dan jam dinding besar yang ada di ruang tamu ini pun berdentang keras menunjukkan pukul satu yang baru. Pukul satu yang berbeda.
2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar