Sabtu, 24 September 2011

Firasat

Ilham Yusardi
http://www.harianhaluan.com/

(I)

“Niar, kau lihat hape?” Bahar menyonsong istrinya di dapur. Niar mengaduk minuman pagi suaminya itu. Niar menoleh, menangkap suaminya menyembul separuh badan di pintu. Niar agaknya sedikit heran dengan kelabat lakinya.

“Hape Uda? Tidak. Biasanya sebelum tidur, Uda taruh di lemari kamar. Tentu masih disitu.” Tidak biasanya, pagi-pagi ia menanyakan hape. Lagi pula hape yang dibelikan Lara, putri tunggal mereka yang sekarang bekerja di ibu kota, memang jarang berbunyi. Hape itu baru seminggu di tangan Bahar. Ia sangat senang. Menangis mene­rima hape itu dari tangan Lara. Menangis bukan karena hapenya, tapi Bahar terharu, sebab itulah pemberian pertama Lara dari hasil jerih peluhnya bekerja. Ia bangga dengan pemberian itu.

Hape itu diberikan waktu Lara pulang, saat Lebaran. Mereka tiga beranak tertawa gembira dan suka cita dalam gurau di rumah, sewaktu Lara mengajarkan Bahar cara memegang hape, cara memencet tombol-tombol yang kecil. Mak­lumlah, penglihatan mata tua Bahar memang sudah sedikit kabur. Melihat huruf di tombol itu, ia mesti mendekatkan hape ke pelupuk matanya, mengernyitkan mata agar sedikit jelas. Dengan gigih dan berkali-kali, Lara ajarkan tombol apa yang mesti ditekan bila ada panggilan masuk. Kemudian bagai­mana pula cara menghubungi seseorang. Sehari dua-hari sejak itu, ayahnya mulai pandai cara menghu­bunginya, cara menerima telepon darinya.

“Nanti kalau Ibu atau Ayah rindu pada Lara, tinggal telpon pakai hape saja.”

Mereka gelak terbahak-bahak melihat cara kerja hape yang menurut mereka ajaib. Tentulah ajaib bagi meraka yang tidak tamat pendidikan dasar itu. Lagi pula, selama ini Bahar belum sekalipun menyentuh hape.

Bahar balik ke kamar. Gelagat­nya terdesak sangat. Diperiksa satu per satu laci lemari, tidak tampak. Dibalik-balik pula lipatan kain, tak terlihat.

“Tak ada, Niar!” Setengah bersorak ia memberitahu. Niar yang kini menating gelas kopi ke ruang tengah mulai terbawa panik.

“Lha, kan hapenya tidak berka­ki. Masa bisa jalan sendiri? Coba bawa bertenang dulu, terakhir kali Uda bersama hape itu kapan?”

“Tadi malam. Hape itu kuma­tikan sebelum ke surau. Sepulang dari surau. Sebelum tidur aku ke jamban. Kutaruh hape…”

“Nah tuh kan, jelas. Lihat di dalam saku celana yang Uda pakai tadi malam”

“Celana itu ke mana?”

“Tergantung di paku pintu kamar mandi.”

Berlari ia ke kamar mandi. Agak gemetar, diraihnya hape.. Matanya setengah berpicing me­nang­kap cahaya dari layar hape. Seperti yang pernah diajarkan, ia cari nama anaknya itu. Lara. Menemukan, ditekannya tombol hijau. Beberapa detik suara sambu­ngan, tuuuuuuuut… tuuuuut…

“Asalamualaikum, Ayah,” suara lembut dari lubang speker. Tak lain tentulah suara putrinya itu. Di seberang yang jauh.

“Lara? Kau biak-baik saja, Nak?”

“Alhamdulillah, baik Ayah. Sekarang Lara sedang mengajar. Ada apa, Ayah?”

“O, anu, ah…, tidak. Ayah cuma mencoba hapenya.”

“Ooo, Lara mengajar dulu ya, Ayah. Nanti kalau pulsa habis Lara kirim lagi.”

“Nggg, anu, tak perlu. O, mmm, Teruskanlah pekerjaanmu.”

Ia matikan hape. Seketika, perasaan galau yang memaksa ia bergesa mencari hape selesai sudah. Lega tegangan nadi yang merengsek jantungnya. Berhenti peluh dingin bersimbah di lekuk tengkuknya. Bagaiman tidak, ia tidak bisa lepas dari mimpi yang didapati tadi malam. Mimpi baralek, pesta kawinan di rumahnya. Lara, anak gadis tunggalnya itu menjadi anak dara. Ramai orang yang datang bertamu, bersuka cita. Mimpilah itulah menumbuh risau. Setahu Bahar, dari cerita yang beralih dari mulut ke mulut, yang telah menjadi rahasia umum, jika seseorang bermimpi baralek, akan ada seseorang dari keluarga yang bermimpi itu bakal meninggal.

Bahar keluar dari dalam kamar mandi.

“Ada apa Uda, pagi-pagi mencari hape?”

Dengan sendi yang kaku Bahar menghenyakkan badan di kursi busa yang sudah reot berpalung itu.

“Ada apa, Uda?”

Bahar menggeleng. Tanpa kata.

(II)

Jingga senja lingkar matahari luluh ke lambung bukit. Dari Towa, pengeras suara yang ditempatkan di puncak kubah surau, terdengar lengking bacaan Qur’an. Biasanya, kalau bacaan Qur’an sudah terde­ngar, itu tandanya waktu Magrib beberapa saat lagi.

Niar baru saja selesai mandi, duduk di kursi kayu, menghadap jauh lurus ke ujung jalan. Pintu rumah itu persis bergaris lurus dengan jalan yang menghampar panjang, sebelum kelok pertama ke balik bukit menumbuk pandang­an. Niar mendapatkan tanah jalan bersepuh emas langit. Bahar belum juga tampak di jalan. Tidak biasa­nya lakinya pulang keburu Magrib. Biasanya, pukul enam sudah di rumah, mandi dan bersiap ke surau.

Ada yang dirinduinya. Sejak Lara menamatkan sekolah MAN di nagari, Lara pindah untuk kuliah di kota. Kini, mereka berdua saja laki-bini di rumah gadang itu. Sudah empat tahun lebih rumah ini tidak terlalu riang. Bagi mereka berdua, hari-hari yang terlewati, terlebih perasaan hati Niar, sedikit sunyi agaknya.

Udara bergerak lamban, pelan menikungi baris pohon pinang, beringsut mengayunkan dahan cokelat yang merimbun di halaman rumah, merengsek ke segala sudut beranda rumah. Membelai kuduk Niar, sehingga ia bergeletar dingin, karena lembab sehabis mandi masih lekat di pori kulitnya.

Tiba tiba, Niar terkesiap dengan gerak melayang sesosok mahkluk dari kiri beranda. Rama-rama besar, sayapnya seukuran dua kali telapak tangannya. Warnanya hitam pekat dengan sedikit bercak kuning di tengah sayap. Seketika, entah sebab apa pula, ada sesuatu yang menyer­gap seluruh penjuru pembuluh darahnya, ada hentakan yang kuat menabuh jantungya. Matanya terpaku hampa menatapi gerak turun-naik kepak sayap yang pelan. Mulut Niar terkatup. Kerong­kongan­nya tercekat. Peluh menguap dari pori tubuhnya. Dingin.

Niar coba mengusir pikirannya yang spontan muncul begitu meli­hat rama-rama itu. Ia berusaha tidak larut dalam petanda yang diyakini oleh kebanyakan orang di nagari, bahwa kalau ada rama-rama besar, Rama-rama Orang Mati, begitu mereka menamainya, yang berkitar ke dalam rumah, itu membawa isyarat gaib, bahwa akan ada sanak saudara yang meninggal dari keluarga rumah itu. Lama Niar tertawan, rama-rama besar itu terus merengsek. Meski terantuk-antuk pada ukiran kayu dinding, si rama-rama seakan tahu arah pintu.

Walau ia telah dengan sepenuh hati membuyarkan pikiran itu, pada kali lain ia terseret juga arus geletar desir di nadinya. Segera Niar bangkit dari kursi, ia begerak ke dalam rumah, meraih gagang pintu, dengan pelan, terdengar ringkik engsel. Pintu mengatup. Tertutup rapat. Niar ia tak mau rama-rama besar itu menyelusup ke dalam rumah. Ia tak mau rama-rama itu menggerogoti dirinya.

“Niar…, Niar, kau di rumah Niar?” Ia tahu itu suara yang sedari tadi ia tunggu.

“Ya, Uda.” Pintu terbuka. Terlihat wajah Niar yang lembab dan pasi.

“Ada apa, Niar. Kenapa Kau pucat?”

Niar menggeleng. Tak ada kata.

Sepulang Magrib di surau, begitu ia menguakkan daun pintu, langkah Niar terantuk. Terkesiap alang kepalang,

“Lihat itu, Uda. Rama-rama urang mati!”

(III)

Lepas dua hari, Bahar juga istrinya, coba mengikis begalau hati mereka. Mereka mulai tidak mempersoal hal-hal yang tidak masuk akal. Tiap malam, sehabis Isya atau sebelum tidur, mereka selalu ditelpon oleh Lara. Penuh keceriaan mereka berbincang. Karena itu pulalah, mereka merasa semua berjalan baik-baik saja.

Namun hari itu, sebagaimana yang ia rencanakan pagi tadi, Bahar tidak pergi ke ladang yang letaknya di punggung bukit. Rencananya, ia mau membersihkan parak di belakang rumah saja.

Sore menjelang, Bahar masih sibuk mengayunkan parang mene­bas ranting-ranting perdu. Meski langit mendung, Bahar tidak terlalu khawatir. Sebab, bila hujan tiba tiba turun, tentunya ia bisa segera berlari ke rumah.

Di sela keasyikannya, di antara bunyi detusan mata parang mengena kayu, sayup-sayup tapi perlahan kemudian menjelas, tertangkap oleh indra dengar Bahar. Kicau burung. Tapi kicau itu, bukan pula kicau biasanya.

Pic…ciang! picciang!

Ia tahu sekali. Kicau itu, kicau burung murai. Suranya sangat deras dan dekat. Bahar menghentikan ayunan parangnya. Ia telusuri arah, asal suara itu. Dan…

Pic…ciang! picciang!

Seekor burung Murai hitam bertengger gelisah di pokok kakao.

Setahu ia, sebagaimana yang ia pahami dari turun temurun, burung itu menyebut kata piciang, mak­sudnya picing, menutup mata. Jika burung itu berkicau di sekitar rumah, burung tersebut hendak berkabar dalam isyarat, bahwa akan ada seseorang yang akan memicing­kan mata untuk selamanya.

Lagi lagi, ia menarik nafas dalam. Telapak tanganya dingin berpeluh. Dengan sekuat daya, ia buang pikiran itu.

Tapi…, pada detik berikutnya. Tanah tempat ia berpijak bergetar, dan dalam sekejap kian keras berguncang. Kuat sangat. Ia terhu­yung.

“Gempaaaaaa! Allahuakbar! Gempa, Uda! Gempaaaa!”

Niar berhamburan keluar. Bahar, dengan risau yang bersisa, mengumpul tenaga menyusul istrinya yang berlarian ke arah tanah lapang. Beberapa orang pun sudah berlari, berhimpun di tengah lapangan. Gempa itu sangat kuat berguncang.

Sejenak ia tercenung di samping istrinya yang masih mengatur napas. Pikiran Bahar berkelabat secepat kilat. Gempa sangat kuat yang baru saja terjadi dimanakah pusatnya? Biasanya, seperti yang ia saksikan di televisi, gempa sering terjadi di laut. Secepat kilat berkelabat ia teringat Lara, yang tinggal di ibu kota propinsi yang terletak di pesisir pantai. Secepat kilat ingatannya memutar balik tayangan gelombang Tsunami yang berkali kali ia lihat di televisi.

Setengah jam berlalu, sebagian orang balik ke rumah. Ia pun mengajak pulang istrinya. Tanpa menyebut risaunya pada Lara, ia menuntun istrinya pulang.

Sesampai di rumah, “Cepat, Uda. Cepat hubungi Lara,” ternyata istrinya pun sudah memendam risau yang sama.

Bahar menggengam hape dengan seksama. Di kepalanya berhimpum segala petanda duka yang belakang ini menyergap mereka. Mimpi baralek, Rama-rama Orang Mati, dan kicau burung Murai itu. Dengan se­genap daya, ia kuatkan menekan tombol seperti yang sudah ia pelajari.

Ia tempelkan hape ke telinga­nya. Ia tunggu denyit nada sam­bung. Namun…

Nomor yang anda tuju sedang…

“Lara? Kau baik-baik saja? Lara! Lara!” Ia menatap Niar yang sudah menggigit bibir…

Berulang kali Bahar menekan hape. Selalu saja, sesuara di hape menjawab…

The number you are calling is not active or out of coverage area. Please try again in a few minute…

Sementara istrinya, ada yang hendak runtuh di tebing matanya.

24 April 2011

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi